Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 152116 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Qurrotul Aini
"ABSTRACT
Latar Belakang: Penyakit periodontitis yang sering dijumpai adalah periodontitis kronis. Periodontitis kronis tidak menimbulkan rasa sakit, sehingga tidak jarang penyakit ini terdiagnosa ketika telah mencapai tingkat keparahan moderate atau severe. Pada pemeriksaan radiografis periodontitis kronis, akan terlihat penurunan tulang alveolar. Penurunan tulang alveolar  akibat proses destruksi meluas akan menyebabkan terjadinya perubahan rasio akar-mahkota gigi. Nilai rasio akar-mahkota gigi dapat berpengaruh pada rencana perawatan dan prognosis dari gigi. Tujuan: Memperoleh nilai rata-rata rasio akar-mahkota pada gigi 36 atau 46 pasien usia 40-59 tahun yang mengalami periodontitis kronis di RSKGMP FKG UI dari radiograf. Metode: Pengukuran rasio akar-mahkota dengan menggunakan metode Lind (1972) dan modifikasi metode Lind pada 69 sampel radiograf periapikal digital yang diambil dari rekam medik pasien periodontitis kronis pada gigi 36 dan/atau 46 usia 40-59 tahun di RSKGMP FKG UI. Hasil: Pada gigi molar pertama mandibula, nilai rata-rata rasio akar-mahkota anatomis sebesar 1,99 ± 0,26, nilai rata-rata rasio akar-mahkota radiografis sebesar 1,32 ± 0,18, dan nilai rata-rata rasio akar-mahkota kasus periodontitis kronis sebesar 0,78 ± 0,29. Berdasarkan tingkat keparahan, nilai rata-rata penurunan tulang pada tingkat keparahan moderate sebesar 2,66 ± 1,43 dan menghasilkan nilai rata-rata rasio akar-mahkota sebesar  0,82 ± 0,24, sedangkan nilai rata-rata penurunan tulang pada tingkat keparahan severe sebesar 8,25 ± 1,41 dan menghasilkan nilai rata-rata rasio akar-mahkota sebesar 0,20 ±0,13. Kesimpulan: Nilai rata-rata rasio akar mahkota anatomis gigi molar pertama mandibula lebih besar dari rasio akar-mahkota radiografis. Dari penelitian ini terlihat kecenderungan bahwa semakin besar tingkat keparahan periodontitis kronis maka semakin kecil nilai rata-rata rasio akar-mahkota radiografis gigi.

ABSTRACT
Background: The most common type of periodontitis is chronic periodontitis. Chronic periodontitis is painless, consequently the disease may not be diagnosed until the severity is moderate or severe.  In radiograph examination of chronic periodontitis, a decreased alveolar bone height will be seen. Decreasing alveolar bone height due to the extensive destruction process will cause changes in the root-crown ratio. The value of root-crown ratio can affect the treatment planning and prognosis of the tooth. Objective: To obtain the average value of root-crown ratio on mandibular first molar in 40-59 years old patient with chronic periodontitis at RSKGMP FKG UI radiographically. Method: Measurement of root-crown ratio using Lind Method (1972) and modification of Lind Method in 69 digital periapical radiograph samples obtained from medical records of patient with chronic periodontitis on mandibular first molar aged 40-59 years old at RSKGMP FKG UI. Result: On mandibular first molar, the average value of anatomic root-crown ratio was 1,99 ± 0,26, the average value of radiographic root-crown ratio was 1,32 ± 0,18 and the average value of root-crown ratio was 0,78 ± 0,29. Based on the severity, the average value of decreased alveolar bone height at moderate severity was  2,66 ± 1,43 and  the average value of root-crown ratio was 0,82 ± 0,24, whereas the average value of root-crown ratio at severe severity was 8,25 ± 1,41 dan the average value of root-crown ratio was 0,20 ±0,13. Conclusion: The average value of anatomic root-crown ratio is greater than radiographic root-crown ratio. From this study, there is a tendency that the greater severity of chronic periodontitis, the smaller average value of radiographic root-crown ratio."
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aulia Karina Fitriananda
"Latar Belakang:  Penyakit periodontal merupakan penyakit gigi dan mulut kedua terbanyak diderita masyarakat Indonesia. Penyakit periodontal terdiri dari gingivitis dan periodontitis. Periodontitis adalah inflamasi pada jaringan pendukung gigi yang disebabkan oleh mikroorganisme spesifik atau kelompok mikroorganisme. Dalam mendiagnosis penyakit periodontitis pada umumnya diperlukan pemeriksaan radiografis untuk melakukan evaluasi perubahan tulang alveolar, terutama perubahan tinggi tulang alveolar yang merupakan salah satu tanda adanya penyakit periodontal. Data ini diperlukan bagi tatalaksana pasien yang meliputi diagnosis, rencana perawatan, prakiraan prognosis dan observasi. Radiograf periapikal adalah “gold standard” pada pemeriksaan radiografis konvensional kasus periodontitis. Tujuan: Memperoleh nilai rata-rata penurunan tinggi tulang alveolar pada pasien penderita periodontitis kronis rentang usia 25-40 tahun secara radiografis di RSKGM FKG UI. Metode: Pengukuran penurunan tinggi tulang alveolar pada 192 sampel radiograf periapikal digital usia 25-40 tahun di RSKGM FKG UI. Hasil: Nilai rata-rata penurunan tinggi tulang alveolar pada gigi insisif sentral rahang atas permukaan mesial sebesar 5.13 ± 0.58 dan pada permukaan distal sebesar 3.82 ± 0.4. Pada gigi insisif sentral rahang bawah, nilai rata-rata penurunan tinggi tulang alveolar permukaan mesial sebesar 7.98 ± 0.6 dan pada permukaan distal 6.85 ± 0.48. Pada gigi molar 1 rahang atas, diperoleh nilai rata-rata permukaan mesial sebesar 3.73 ± 0.37 dan pada permukaan distal 4.66 ± 0.55, sedangkan pada gigi molar 1 rahang bawah permukaan mesial diperoleh nilai rata-rata 3.74 ± 0.43 dan permukaan distal sebesar 3.08 ± 0.17. Kesimpulan: Nilai rata-rata penurunan tinggi tulang alveolar pada permukaan mesial gigi insisif sentral rahang bawah kasus penyakit periodontal adalah yang tertinggi dibanding kelompok lainnya.

Background: Periodontal disease is the second most common tooth and mouth disease suffered by Indonesian society. Periodontal disease consists of gingivitis and periodontitis. Periodontitis is defined as an inflammatory disease of supporting bone tissues of teeth caused by specific microorganisms or groups of specific microorganisms. In diagnosing periodontitis, in general we need radiograph examination to evaluate changes in alveolar bone, especially changes in alveolar height which indicates the periodontal disease. This data is necessary for the management of the patient including diagnosis, treatment plan, prognosis, and observation.  Periapical is a “gold standard” on conventional radiographic examination on periodontitis cases. Objective: To obtain the average value of decreased alveolar bone height in 25-40 years old patients with chronic periodontitis at RSKGM FKG UI radiographically. Method: Measurement of decreased alveolar bone height in 192 digital periapical radiograph samples aged 25-40 years in RSKGM FKG UI. Result: The mean value of decreased alveolar bone height of maxillary central incisors on the mesial surface was 5.13 ± 0.58 and on the distal surface was 3.82 ± 0.4. On mandibular central incisors, the mean value of decreased alveolar bone height on the mesial surface was 7.98 ± 0.6 and on the distal surface was 6.85 ± 0.48. On maxillary first molars, the mean value of decreased alveolar bone height on the mesial surface was 3.73 ± 0.37 and on the distal surface was 4.66 ± 0.55. Whereas, on mandibular first molar, the mean value of decreased alveolar bone height on mesial surface was 3.74 ± 0.43 and on the distal surface was 3.08 ± 0.17. Conclusion: The average decreased in alveolar bone height on mesial surface of mandibular central incisors is the highest among other groups.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2017
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Salzabilla Wahyu Putri
"Latar Belakang: Periodontitis adalah penyakit yang memengaruhi jaringan pendukung gigi seperti kerusakan tulang alveolar, dan diderita oleh sebagian besar populasi manusia di dunia. Periodontitis terbagi menjadi periodontitis terlokalisasi dan periodontitis menyeluruh. Dalam menentukan diagnosis penyakit periodontitis diperlukan pemeriksaan radiografis untuk mengevaluasi perubahan tinggi tulang, terutama pada tulang alveolar. Radiograf panoramik dapat digunakan dalam pemeriksaan full-mouth dengan paparan radiasi yang lebih sedikit.
Tujuan: Memperoleh nilai rata-rata persentase sisa tinggi tulang alveolar gigi molar mandibular pasien periodontitis menyeluruh usia 26-50 tahun pada radiograf panoramik.
Metode: Pengukuran persentase sisa tinggi tulang alveolar pada 45 sampel radiograf panoramik konvensional dan digital usia 26-50 tahun di RSKGM FKG UI.
Hasil: Persentase sisa tinggi tulang alveolar pada pasien penyakit periodontitis menyeluruh dengan rentang usia 26-50 tahun sebesar 75,2% ± 10,2%. Persentase sisa tinggi tulang alveolar pada gigi molar 1 rahang bawah sebesar 72,2% ± 8,4% di permukaan mesial dan 76,4% ± 8,0% di permukaan distal, serta pada gigi molar 2 rahang bawah sebesar 76,8% ± 8,5% di permukaan mesial dan 76,5% ± 12% di permukaan distal. Rata-rata persentase permukaan mesial sebesar 73,9% dan persentase sisa tulang distal sebesar 76,5%.
Kesimpulan: Persentase kehilangan tulang pada permukaan mesial gigi molar 1 dan 2 penderita periodontitis sedang/parah pada usia 26-50 tahun lebih tinggi daripada permukaan distal.

Background: Periodontitis is a disease that affects the supporting tissue of the teeth such as alveolar bone decay and affects most of human population in the world. Periodontitis is classified into localized periodontitis and generalized periodontitis. In diagnosing periodontitis disease, radiographic examination is needed to evaluate the changes in bone height, especially in alveolar bone. Panoramic radiograph can be used in full-mouth examination with less radiation exposure.
Objective: To obtain average percentage of remaining alveolar bone of mandibular molars in generalized periodontitis patients aged 26-50 years on panoramic radiograph.
Methods: Measuring the percentage of remaining alveolar bone in 45 conventional and digital panoramic radiograph samples aged 26-50 years at RSKGM FKG UI.
Result: The percentage of remaining alveolar bone in patients with generalized periodontitis aged 26-50 years was 75.2% ± 10.2%. The percentage of remaining alveolar present in mandibular 1st molar was 72.2% ± 8.4% on the mesial surface and 76.4% ± 8.0% on distal surface, and in mandibular 2nd molar it was 76.4% ± 8.0% on mesial surface and 76.5 ± 12% on distal surface. The average percentage on mesial surface was 73.9% and the percentage of the remaining distal bone was 76.5%.
Conclusion: The percentage of bone loss on mesial surface of 1st and 2nd molars in patients with moderate/severe periodontitis aged 26-50 years was higher than on the distal surface.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kandita Iman Khairina
"ABSTRAK
Perubahan pertumbuhan penduduk Indonesia ke arah usia yang lebih tua. Seiring bertambahnya usia, tubuh manusia mengalami perubahan salah satunya adalah perubahan jaringan tulang. Salah satu tulang yang terlibat dalam kedokteran gigi adalah tulang mandibula. Gambaran radiogoraf panoramik dapat melihat tinggi tulang mandibula secara radiografis. Tujuan: Mengetahui nilai rata-rata tinggi tulang mandibula pasien rentang usia 45-75 tahun secara radiografis. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Pengukuran tinggi tulang mandibula pada tiga titik referensi spesifik pada 136 radiograf panoramik digital pasien usia 45-75 tahun menggunakan software Digora for Windows 2.5 R1 Tuusula Finland. Tiga titik referensi tersebut yaitu A, C, dan F. Tinggi A merupakan tinggi mandibula pada daerah sudut dalam mandibula, Tinggi F merupakan tinggi pada daerah foramen mental, dan C merupakan tinggi di antara tinggi A dan F. Hasil: Nilai rata-rata tinggi tulang mandibula pasien rentang usia 45-75 tahun yang diperoleh 32.27 mm dengan nilai rata-rata tertinggi pada titik referensi F. Nilai rata-rata tinggi tulang mandibula tertinggi terdapat pada kelompok usia 45-55 tahun, sedangkan terendah pada kelompok usia 66-75 tahun. Kesimpulan: Nilai rata-rata tinggi tulang mandibula menurun pada kelompok usia 66-75 tahun. Usia bukan merupakan satu-satunya faktor yang mempengaruhi tinggi tulang mandibula.

ABSTRACT
Indonesia rsquo s population growth is increasing in older group. As the age is increasing, human body undergoes some changes. One of the changes that happens is osseous tissues changes. One of bones in human body that is involved in dentistry is mandible. Dental panoramic radiograph can be used to see the heigh of mandible bone radiographically. Objective To obtain the average value of mandibular height in 45 75 year old patiesnts in digital panoramic radiograph. Method This study is a descriptive cross sectional study.Mandibular height at three specific references in 136 digital panoramic radiograph of 45 75 year old patients were measured using Digora for Windows 2.5 R1 Tuusula Finland software. The three specific references are, mandibular height A which is the height of mandible in inner angle of mandible region, F is the height of mandible in foramen mental region, and C is the height of mandible between them. Results The average value of mandibular height in 45 75 year old patients that has been obtained is 32.272 mm with the highest average value at specific reference F. The age group with the highest average value is 45 55 age group, while the lowest is 66 75 age group. Conclusion The average value of mandibular height is lower in 66 75 age group. "
2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kania Hanna Suherman
"Latar Belakang: Informasi radiografis mengenai kehilangan tulang berperan penting dalam penentuan diagnosis, rencana perawatan, dan prognosis periodontitis. Pengklasifikasian diagnosis periodontitis berdasarkan AAP 2017 mencakup komponen kehilangan perkelatan klinis dan persentase kehilangan tulang radiografis yang menghasilkan diagnosis periodontitis berdasarkan tingkat keparahan. Tujuan: Melihat tingkat kesesuaian diagnosis radiografis berdasarkan persentase kehilangan tulang dengan diagnosis klinis berdasarkan kehilangan perlekatan. Metode: Menggunakan studi potong lintang menggunakan 70 sampel komponen data kehilangan perlekatan klinis rekam medis dan radiograf intraoral sisi proksimal sampel gigi dengan diagnosis dan kerusakan terparah dari pasien periodontitis kronis di RSKGM FKG UI. Perhitungan kerusakan menggunakan persentase kehilangan tulang dengan mengukur jarak CEJ ke defek tulang terparah dan jarak CEJ ke ujung apeks gigi. Hasil: Uji komparatif Wilcoxon menunjukkan terdapat perbedaan bermakna secara statistik antara diagnosis klinis dan radiografis berdasarkan klasifikasi AAP 2017 mengenai periodontitis dengan nilai p=0,003. Sebanyak 64,3% sampel memiliki kesesuaian diagnosis klinis dan radiografis, 27,1% sampel memiliki diagnosis radiografis < klinis, dan 8,6% sampel memiliki diagnosis radiografis > klinis. Kesimpulan: Diperlukan dua alat diagnostik untuk menentukan tingkat keparahan periodontitis, yaitu secara klinis dan diikuti dengan pemeriksaan radiografis untuk menutupi limitasi dari masing-masing jenis pemeriksaan. Berdasarkan kesesuaian diagnosis yang signifikan, radiograf periapikal dapat digunakan untuk membantu diagnosis periodontitis.

Background: Radiographic information regarding bone loss plays an important role in determining periodontitis diagnosis. The AAP 2017 classification of periodontitis diagnosis uses CAL and the RBL that would result in a periodontitis diagnosis based on the severity and disease progression. Objectives: The study was aimed to compare the diagnosis based on a percentage of RBL and clinical diagnosis based on CAL. Methods: The cross-sectional study was conducted on 70 samples using CAL and percentage of RBL in proximal sites. Radiographic assessment was done by calculating the distance from CEJ to proximal bone defects and from CEJ to root tip. Result: The result of the Wilcoxon comparative test showed a statistically significant difference between clinical and radiographic diagnosis based on the AAP 2017 classification with p-value=0.003. The result showed that 64,3% had clinical diagnosis = radiographic diagnosis, 27,1% had a radiographic diagnosis < clinical diagnosis, and 8,6% had a radiographic diagnosis > clinical diagnosis. Conclusion: Two diagnostic tools are needed to determine the severity of periodontitis, clinically and followed by a radiographic examination to cover the limitations of each examination. Based on the significant accuracy of the diagnosis, the periapical radiograph can be used to assist in the periodontitis diagnosis."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Florentsia Hanum Nugroho
"ABSTRAK
Latar Belakang: rasio mahkota-akar gigi adalah merupakan kondisi gigi yang penting dalam penentuan prognosis dan rencana perawatan kedokteran gigi. Belum ada data mengenai nilai ini pada populasi di Indonesia. Tujuan: mengetahui nilai rerata rasio mahkota-akar gigi insisif, premolar, dan molar permanen pada pasien laki-laki dan perempuan di RSKGM FKG UI rentang usia 15-25 tahun. Metode: panjang akar dan tinggi mahkota diukur menggunakan modifikasi metode Lind pada 196 radiograf panoramik digital. Uji realibilitas menggunakan uji technical error of measurement. Uji hipotesis menggunakan uji t tidak berpasangan dan uji Mann-Whitney U. Hasil: nilai rerata mahkota-akar gigi terbesar pada kedua jenis kelamin dijumpai pada premolar dua rahang bawah laki-laki 1:2,12, perempuan 1:2,10 dan yang terkecil pada gigi molar satu rahang atas laki-laki 1:1,50, perempuan 1:1,44 . Rasio gigi rahang bawah lebih besar dibandingkan gigi rahang atas. Tidak ditemukan perbedaan rasio bermakna antara laki-laki dan perempuan p.

ABSTRACT
Background tooth crown root ratio is one of the most important condition in determining prognosis and treatment planning in dentistry. There are no data of this value in Indonesia. Purpose to obtain the average crown root ratio value on insisive, premolar, and molar permanent teeth of male and female aged 15 25 in RSKGM FKG UI. Method root length and crown height of teeth were measured by modified Lind method on 196 digital panoramic radiographs. Reliability test was assessed by technical error of measurement test. Independent t test and Mann Whitney U test was applied to test the hipotesis. Results the highest mean crown root ratio in both arches and sex was found in mandibular second premolar male 1 2,12, female 1 2,10 and the lowest in maxillary first molar male 1 1,50, female 1 1,44 . Ratio is higher in mandibule than in maxilla. There are no significant different in ratio between male and female p"
2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alya Fatikha Sari
"Latar Belakang: Inferior Alveolar Nerve Block (IANB) merupakan prosedur paling umum dalam praktik kedokteran gigi, dan menjadi salah satu insiden kegagalan tertinggi dibanding teknik anestesi lain hingga 15-20%. Salah satu penyebab umum terjadinya kegagalan blok IANB karena tidak tepatnya dalam menentukan letak foramen mandibula. Letak foramen mandibula memiliki tiga kategori, yaitu di atas garis oklusal, segaris oklusal, dan di bawah garis oklusal. Variasi letak foramen mandibula tersebut dipengaruhi oleh faktor ras dan jenis kelamin. Mengetahui letak dan rerata jarak foramen mandibula yang tepat diperlukan untuk menghindari terjadinya kegagalan anestesi sebelum tindaklanjut tindakan medis.
Tujuan: mengetahui kategori letak dan membandingkan rerata jarak foramen mandibula pada kelompok pria dan wanita usia 18-35 tahun di RSKGM FKG UI.
Metode: Studi dilakukan pada 200 radiograf panoramik digital yang dibagi menjadi kelompok pria dan wanita berusia 18-35 tahun di RSKGM FKG UI. Dilakukan dengan membuat garis bidang oklusal sejajar horizontal pada distolingual cusp molar 1 atau molar 2 di kedua sisi rahang, lalu tarik garis pada bagian superior anterior kanal mandibula tegak lurus ke garis oklusal dan anterior ramus. Kemudian dilakukan uji reliabilitas intraobserver dan interobserver dengan uji ICC dan uji komparatif independent t-test.
Hasil: Diperoleh rerata jarak foramen mandibula terhadap garis bidang oklusal pada kelompok pria (15,49  3,29) dan pada wanita (14,68  3,07). Rerata jarak foramen mandibula terhadap anterior ramus pada kelompok pria (14,61  3,29) dan pada wanita (13,63  3,07).
Kesimpulan: Terdapat perbedaan signifikan rerata jarak foramen mandibula terhadap anterior ramus, tetapi tidak terdapat perbedaan rerata jarak foramen mandibula terhadap garis bidang oklusal pada pria usia 18-25 tahun dan wanita usia 18-35 tahun di RSKGM FKG UI.
Background: Inferior Alveolar Nerve Block (IANB) is the most common procedure in dental practice, and has become one of the highest failures compared to other anesthetic techniques up to 15-20%. One of the the common causes of the failure in IANB Block is due to the inaccuracy in determining the location of mandible foramen. There are 3 categories of the location of mandible foramen - above the oclusal line, in line with the oclusal, below the oclusal line. The variety of the mandible foramen location is affected by races and gender. To acknowledge the accurate location and the average distance of mandible foramen is necessary in order to avoid the failure of anesthesia before undergoing the later medical treatment.
Aim: To acknowledge the category of the location and to compare the average of the distance of mandible foramen on male and female patients aged 18-35 in RSKGM FKG UI.
Methode: The study or research is carried out on 200 Digital Panoramic Radiography divided into male group of aged 18-35 and female group of aged 18-35. The measurement is conducted by drawing the lines of oclusal horizontally in line on distolingual cusp first molar or second molar in both sides of jaw, then drawing the line on anterior superior of mandible canal perpendicular line to oclusal line and ramus anterior. Finally, intraobserver and interobserver reliability tests by ICC test and t-test independent comparative are applied.
Result: The average distance of mandible to the occlusal plane on male group is (15,49  3,29), on female group is (14,68  3,07). The average distance of mandibule to the ramus anterior on male group is (14,61  3,29), on female group is (13,63  3,07).
Conclusion : There is significant distinction on the distance of mandible foramen to the ramus anterior, but there is no difference on the distance of mandibular foramen to the occlusal plane between male aged 18-35 and on female aged 18-35 in RSKGM FKG UI."
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fawnia Raissa Azzahra
"Latar belakang: Terdapat banyak tindakan Kedokteran Gigi yang dilakukan di daerah foramen mental serta adanya risiko komplikasi cedera neurovaskular. Foramen mental memiliki letak bervariasi yang dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti ras dan jenis kelamin. Mengetahui normal range letak foramen mental merupakan hal yang penting diketahui klinisi untuk mengurangi resiko cedera saat perawatan. Tujuan: Mengetahui nilai rata-rata dan membandingkan jarak foramen mental terhadap puncak tulang alveolar pada kelompok laki-laki dan perempuan berusia 20-40 tahun di RSKGM FKG UI. Metode: Dilakukan pengukuran nilai jarak dengan membuat garis tegak lurus antara garis singgung pada batas superior foramen mental dan garis singgung pada puncak tulang alveolar, di mana garis-garis singgung tersebut sejajar dengan batas bawah mandibula pada 140 radiograf panoramik digital yang dibagi menjadi kelompok laki-laki dan perempuan berusia 20-40 di RSKGM FKG UI menggunakan software viewer Microdicom. Kemudian dilakukan uji reliabilitas intraobsever dan interobserver dengan uji ICC dan uji komparatif dengan uji T-test Independen. Hasil: Berdasarkan pengukuran diperoleh rata-rata dan standar deviasi pada kelompok laki-laki berusia 20-40 tahun adalah 15.60 ± 1.73 mm dan pada kelompok perempuan berusia 20-40 tahun adalah 15.12 ± 1.97 mm. Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan bermakna antara nilai rata-rata jarak foramen mental terhadap puncak tulang alveolar pada kelompok laki-laki berusia 20-40 tahun dan kelompok perempuan berusia 20-40 tahun di RSKGM FKG UI.

Background: There are a lot of dental treatments involving mental foramen and a risk of neurovascular injuries as the complication from the treatments. Mental foramen varies in position based on several factors including race and gender. Knowing the position range of mental foramen is essential to prevent injuries during dental treatment. Objective: To elicit and compare the mean distance of mental foramen to alveolar crest in male and female aged 20-40 years old at RSKGM FKG UI. Method: This study is utilizing 140 digital panoramic radiographs divided into male group and female group aged 20-40 years old in RSKGM FKG UI. Samples were measured by making a perpendicular line to tangent line of mental foramen’s superior border and tangent line of alveolar crest which both tangent lines are parallel to inferior border of the mandible. Samples were measured directly on the digital panoramic viewer software (Microdicom). Then, carry on with the reliability test for both intraobserver and interobserver with ICC test and comparative test with Independent T-test. Results: Average and standard deviation for mean distance of mental foramen to alveolar crest in male group aged 20-40 years is 15.60 ± 1.73 mm and in female group aged 20-40 years is 15.12 ± 1.97 mm. Conclusion: There is no significant difference between the mean distance of mental foramen to alveolar crest in male aged 20-40 years and in female aged 20-40 years at RSKGM FKG UI"
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gladiola Alifa Putri
"ABSTRAK
Latar belakang: Diabetes Melitus tipe-2 dan penyakit periodontal merupakan penyakit dengan frekuensi tinggi di Indonesia. Diabetes Melitus tipe-2 diketahui dapat memperberat penyakit periodontal, dan juga sebaliknya. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai perbedaan status periodontal pada penderita periodontitis kronis dengan Diabetes Melitus tipe-2 dan tanpa Diabetes Melitus tipe-2. Tujuan penelitian: Mengetahui perbedaan status periodontal pada penderita periodontitis kronis dengan Diabetes Melitus tipe-2 dan tanpa Diabetes Melitus tipe-2, dengan batasan penelitian pada kedalaman poket, resesi gingiva, dan kehilangan perlekatan klinis. Metode: Penelitian cross-sectional pada 97 subjek Diabetes Melitus tipe-2 dan 97 subjek tanpa Diabetes Melitus tipe-2 menggunakan data kartu status rekam medik Klinik Periodonsia RSKGM FKG UI tahun kunjungan 2007-2016. Data dianalisis menggunakan uji Mann-Whitney. Hasil: Terdapat perbedaan bermakna dari rerata kedalaman poket, resesi gingiva, dan kehilangan perlekatan klinis subjek Diabetes Melitus tipe-2 dibandingkan dengan subjek tanpa Diabetes Melitus tipe-2

ABSTRACT
Background Type 2 Diabetes Mellitus and periodontal are high frequency diseases in Indonesia. Type 2 Diabetes Mellitus has known for the effect that can worsen periodontal diseases, and vice versa. Therefore, further researches are needed on the difference of periodontal status between chronic periodontitis patient with and without type 2 Diabetes Mellitus. Objective To understand the periodontal status differences between chronic periodontitis patient with and without type 2 Diabetes Mellitus, with limitation spesifically on pocket depth, gingival recession, and loss of attachment. Method Cross sectional study of 97 subjects with type 2 Diabetes Mellitus and 97 subjects without type 2 Diabetes Mellitus sourced from medical record status cards in Klinik Periodonsia RSKGM FKG UI during 2007 2016. It was statistically analyzed by Mann Whitney test. Result There were statistically significant differences in the mean values of pocket depth, gingival recession, and loss of attachment on subjects with type 2 Diabetes Mellitus compared with subjects without type 2 Diabetes Mellitus p"
2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indira Annisa Sophia
"ABSTRAK
Latar belakang: Penggunaan alat ortodonti cekat dapat mempersulit pembersihan gigi karena komponen alat ortodonti cekat mampu melindungi plak gigi dari pembersihan mekanis. Akibat dari buruknya oral hygiene, lingkungan rongga mulut dapat berisiko mengalami kondisi patologis pada jaringan periodontal, salah satunya periodontitis kronis. Tujuan penelitian: Mengetahui evaluasi gigi geligi yang mengalami periodontitis kronis pada kasus pemakai alat ortodonti cekat. Metode: Penelitian deskriptif retrospektif pada 76 subjek yang mengalami periodontitis kronis serta memakai alat ortodonti cekat, menggunakan data kartu status rekam medik Klinik Periodonsia RSKGM FKG UI tahun kunjungan 2008-2017. Hasil: Frekuensi periodontitis kronis pada pemakai alat ortodonti cekat lebih sering pada gigi-gigi rahang bawah (51,3%), khususnya regio rahang bawah posterior (28,1%). Kelompok gigi dengan frekuensi periodontitis kronis tertinggi pada pemakai alat ortodonti cekat adalah kelompok gigi insisif (31,3%), khususnya elemen gigi 11 (4,6%). Sisi dengan frekuensi poket periodontal dan kehilangan perlekatan klinis tertinggi pada penderita periodontitis kronis yang memakai alat ortodonti cekat adalah sisi distal (32,6%). Sisi dengan frekuensi resesi gingiva tertinggi pada penderita periodontitis kronis yang memakai alat ortodonti cekat adalah sisi bukal (32,6%). Kesimpulan: Periodontitis kronis pada pemakai alat ortodonti cekat lebih sering pada gigi-gigi rahang bawah, khususnya regio rahang bawah posterior. Kelompok gigi dengan frekuensi periodontitis kronis tertinggi pada pemakai alat ortodonti cekat adalah kelompok gigi insisif, khususnya elemen gigi 11. Sisi dengan frekuensi poket periodontal dan kehilangan perlekatan klinis tertinggi pada penderita periodontitis kronis yang memakai alat ortodonti cekat adalah sisi distal. Sisi dengan frekuensi resesi gingiva tertinggi pada penderita periodontitis kronis yang memakai alat ortodonti cekat adalah sisi bukal.

ABSTRACT
Background: Usage of fixed orthodontic appliances could cause difficulty on oral cleansing because its components could protect dental plaque from mechanical cleansing. The consequence of bad oral hygiene leads to an oral environment that could be at risk for pathological conditions in periodontal tissues, such as chronic periodontitis. Objective: To understand the dental evaluation of chronic periodontitis in cases of fixed orthodontic patients. Method: This retrospective descriptive study was conducted on 76 subjects that have chronic periodontitis and also using fixed orthodontic appliances, by using medical records of Klinik Periodonsia RSKGM FKG UI in period of 2008 - 2017. Result: The frequency of chronic periodontitis in users of fixed orthodontic appliances is more frequent in the mandibular teeth (51.3%), especially the posterior mandibular region (28.1%). The group of teeth with the highest frequency of chronic periodontitis in users of fixed orthodontic appliances was the incisors (31.3%), especially the 11 tooth element (4.6%). The side with highest frequency of periodontal pocket and clinical attachment loss in patients with chronic periodontitis who use fixed orthodontic appliances is the distal side (32.6%). The side with highest frequency of gingival recession in patients with chronic periodontitis who use fixed orthodontic appliances is the buccal side (32.6%). Conclusion: Chronic periodontitis in users of fixed orthodontic appliances is more frequent in mandibular teeth, especially the posterior mandibular region. The group of teeth with highest frequency of chronic periodontitis in users of fixed orthodontics is the incisor tooth group, especially the 11 tooth element. The side with highest frequency of periodontal pockets and clinical attachment loss in patients with chronic periodontitis using fixed orthodontic appliances is the distal side. The side with highest frequency of gingival recession in patients with chronic periodontitis using fixed orthodontic appliances is the buccal side."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>