Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 192080 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ommy Ariansih
"ABSTRAK
Tujuan. 1. mengetahui hubungan antara FA yang lebar dengan perkembangan motorik
kasar dan bahasa pada anak usia 6-24 bulan, 2. mengetahui hubungan antara fontanel
anterior yang lebar dengan perkembangan otak yang abnormal dari pemeriksaan USG kepala,
3. mengetahui faktor-faktor risiko yang berperan dalam perkembangan motorik kasar dan
bahasa pada anak dengan FA lebar.
Metode. Desain penelitian adalah kasus kontrol untuk menilai perkembangan motorik
kasar dan bahasa menggunakan pemeriksaan Denver II dan perkembangan otak dinilai
dengan pemeriksaan USG kepala, pada anak usia 6-24 bulan dengan ukuran FA lebar (≥ 1 SD)
sesuai kelompok usia. Kelompok kasus jika perkembangan motorik kasar dan bahasanya
terlambat sedangkan kelompok kontrol jika perkembangan motorik kasar dan bahasanya
normal yang dipasangkan sesuai kelompok usianya, yang berobat ke RSUPN dr. Cipto
Mangunkusumo antara bulan Desember 2017 sampai dengan Mei 2018. Faktor-faktor risiko
dianalisis secara bivariat dan multivariat.
Hasil penelitian. Dari 127 anak dengan FA lebar, 9 anak dieksklusi, sehingga ada 118 anak
sebagai subyek penelitian. Pada kelompok kasus maupun kontrol ada 59 subyek, terdiri dari
18 anak (usia 6-<9 bulan), 16 anak (usia 9-<12 bulan), 17 anak (usia 12-<18 bulan) dan 8
anak (usia 18-<24 bulan). Pada kelompok anak dengan FA lebar (>2SD) lebih banyak
ditemukan pada kelompok kasus, sebaliknya pada anak dengan FA ≥1 SD ≤ 2SD lebih
banyak ditemukan pada kelompok kontrol. Pada analisis bivariat didapatkan faktor
risiko yang bermakna adalah status gizi kurang, kelahiran prematur, LK abnormal dan
hasil USG kepala abnormal. Pada analisis multivariat didapatkan anak dengan FA lebar
berhubungan bermakna dengan riwayat kelahiran prematur (OR 7,5; IK 95% 1,585-35,913)
dan abnormalitas USG kepala (OR 29; IK 95% 3,82-225,37).
Simpulan. Anak dengan FA lebar >2 SD lebih banyak ditemukan perkembangan motorik
kasar dan bahasa yang terlambat, dan berhubungan bermakna dengan kelahiran prematur
dan abnormalitas USG kepala.

ABSTRACT
Background. Abnormalities in head circumference (HC) and anterior fontanel (AF) size in children may reveal clues to assessment of intrauterine brain growth disorders. Brain growth disorders may lead to clinical manifestations of impaired growth and development of children. Objectives. (1) to determine the relationship between large AF with gross motor and language developmental in children aged 6-24 months, (2) to determine the relationship between large AF with abnormalities of brain growth by cerebral ultrasound, (3) to find the association of risk factors of gross motor and language developmental in children with large AF. Methodes. A case control study was to assess gross motor and language development by using Denver II and brain growth by cerebral ultrasound in children aged 6-24 months with large AF (≥ 1 SD) visiting dr. Cipto Mangunkusumo National General Hospital between December 2017 and May 2018. Case group consisted of gross motor and language developmental delay, control group consisted of similar children but who were normal of gross motor and language development. Both groups were matched according to gender and aged. Bivariate and multivariate analysis were done to identify significant risk factors. Results. Out of 127 large AF children, 9 child who meet exclusion criteria, subject in the study was 118 children. Case groups and control groups were 59 subject; 18 subject (6-<9 months), 16 subject (9-<12 months), 17 subject (12-<18 months) and 8 subject (18-<24 months). Most children of AF >2 SD with gross motor and language development delay were compared to children of AF ≥1 SD- ≤2 SD with normal of gross motor and language development. Bivariate analysis showed that significantly of risk factors were under nutrition, premature, abnormality HC and abnormality cerebral ultrasound. Multivariate analysis showed that significantly prematurity (OR 7,5; IK 95% 1,585-35,913) and abnormality cerebral ultrasound (OR 29; IK 95% 3,82-225,37) in children of large AF with gross motor and language development delay. Conclussions. The most of children of large AF (> 2 SD) were gross motor and language development delay, and significantly with prematurity and abnormality cerebral ultrasound."
2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Bishop, D. V. M.
"keterbatasan pemikiran dan ketidaknormalan proses berpikir pada anak-anak"
Philadelphia: Psychology Press, 2000
616.89 SPE
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Abdullah Muhammad Syafi`i
"Latar Belakang
Keterlambatan wicara adalah kondisi ketika seorang anak belum dapat mencapai batas kemampuan bicara yang ideal sesuai dengan anak normal seusianya. Salah satu penyebab keterlambatan wicara adalah gangguan pendengaran. Gangguan pendengaran dapat diintervensi dengan tepat apabila pemeriksaan tidak terlambat. Baku emas pemeriksaan pendengaran pada anak oleh Joint Committee on Infant Hearing adalah Brainstem Evoked Response Audiometry (BERA). Namun, BERA memiliki nilai standar yang berbeda pada setiap institusi, sehingga diperlukan nilai standar nilai BERA pada anak dengan keterlambatan wicara di Poliklinik THT RSCM
Metode
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif numerik dengan model penelitian cross- sectional. Subjek dalam penelitian ini adalah anak berusia 2-3 tahun dengan keterlambatan wicara yang melakukan pemeriksaan BERA dengan hasil fungsi pendengaran perifer normal untuk dicari rerata hasil pemeriksaan BERA pada 2018-2023.
Hasil
Dari 133 sampel yang dikumpulkan, didapatkan nilai normal masa laten absolut gelombang V BERA click dengan intensitas 20 dB pada anak dengan keterlambatan wicara adalah 7,30±0,41 ms pada telinga kanan dan 7,29±0,41 ms pada telinga kiri. Terdapat perbedaan hasil pada laki-laki dan perempuan, dengan rerata nilai gelombang V BERA pada anak laki-laki sebesar 7,37±0,41 ms pada telinga kanan dan 7,38±0,39 ms pada telinga kiri, sedangkan pada anak perempuan sebesar 7,16±0,38 ms pada telinga kanan dan 7,13±0,42 ms pada telinga kiri.
Kesimpulan
Terjadi pemanjangan hasil nilai normal gelombang V BERA pada anak dengan keterlambatan wicara di poliklinik THT RSCM. Terdapat perbedaan yang bermakna pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan, dengan nilai rerata nilai normal gelombang V BERA anak laki-laki lebih panjang dibanding pada anak perempuan.

Introduction
Delayed speech is condition when a child can’t reach the milestones for their age. Hearing loss is one reason speech delay occurs. Hearing loss could intervened appropriately if diagnosed correctly. Brainstem Evoked Response Audiometry (BERA) is the gold standard for child hearing tests, according to the Joint Committee on Infant Hearing. However, BERA standard values is vary in each institution, so it’s need a standard BERA value in children with speech delays at the ENT Polyclinic of RSCM
Method
This study is a descriptive numerical study with a cross-sectional model. Children aged 2-3 years with delayed speech who underwent BERA examinations with normal hearing function as the subject to find the average wave V BERA results in 2018-2023.
Results
From 133 samples collected, the average value of wave V BERA click with intensity 20 dB in children with delayed speech was 7.30±0.41 ms in right ear and 7.29±0.41 ms in left ear. There were differences in the results in boys and girls, with the average value of wave V BERA in boys being 7.37±0.41 ms in right ear and 7.38±0.39 ms in left ear, while in girls it was 7.16±0.38 ms in right ear and 7.13±0.42 ms in left ear.
Conclusion
The results of the normal value of wave V BERA in children with speech delay at ENT clinic of RSCM is prolonged compared to normative value. There is a significant difference in boys compared to girls, with prolonged average value of wave V BERA in boys than girls.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Joanna Erin Hanrahan
"Latar belakang. Terdapat 5 domain keterampilan yang harus dicapai sesuai dengan kelompok usia anak. Apabila tidak dicapai hingga melebihi batasan usia yang seharusnya, anak dikatakan mengalami keterlambatan perkembangan. Keterampilan motorik kasar merupakan domain perkembangan dengan tingkat perhatian orang tua tertinggi, sebab keterampilan motorik kasar merupakan penentu otonomi seorang anak. Penelitian mengenai faktor risiko dibuat untuk menyusun strategi intervensi pencegahan keterlambatan perkembangan.
Tujuan. (1) Mengetahui faktor risiko yang signifikan terhadap keterlambatan motorik kasar pada anak usia 6-24 bulan. (2) Mengetahui pengaruh antar masing-masing faktor risiko.
Metode penelitian. Desain penelitian menggunakan kasus dan kontrol. Data diperoleh melalui data primer hasil penilaian keterampilan motorik kasar yang divalidasi oleh pembimbing dan wawancara orang tua pasien yang ada di Poli Kiara RSUPN Cipto Mangunkusumo dan Pondok Pinang. Anak dengan keterampilan motorik kasar terlambat dimasukkan dalam kelompok kasus dan dilakukan matching usia untuk memperoleh kelompok kontrol. Pengambilan data dilakukan dari bulan Februari sampai Juli 2018. Faktor-faktor risiko dianalisis secara bivariat dan multivariat.
Hasil penelitian. Dilakukan analisis terhadap 63 anak dengan motorik kasar terlambat dan 63 anak dengan motorik kasar normal. Faktor risiko yang memiliki hubungan bermakna dengan keterlambatan motorik kasar pada anak, yaitu asfiksia perinatal (P=0,004 ; OR=5,714 ; IK 95%=1,553-21,026), prematuritas (P=0,009 ; OR=3,949 ; IK 95%=1,347-11,574), berat badan lahir rendah (P=0,011 ; OR=3,511 ; IK 95%=1,281-9,625), dan mikrosefali (P<0,001 ; OR=5,128 ; IK 95%=2,332-11,280). Setelah dilakukan analisis multivariat, mikrosefali (aOR=4,613 ; IK 95%=2,023-10,521) dan prematuritas (aOR=3,668 ; IK 95%=1,153-11,673) merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap keterlambatan motorik kasar pada anak.
Kesimpulan. Mikrosefali dan prematuritas (usia gestasi < 37 minggu) merupakan faktor prediktor keterlambatan motorik kasar pada anak usia 6-24 bulan.

Introduction. There are 5 domains of development that has to be accomplished by a child. If a child fails to master a skill according to his age group, he is said to have a delayed development. Gross motor is one of the domain with the highest parental concern as mastering gross motor is an important factor that determine the autonomy of a child. This study is made to arrange a strategic intervention on the prevention of delayed development.
Objectives. (1) To determine the significant risk factors for gross motor delay in children age 6-24 months old. (2) To determine the association between risk factors.
Methods. Case control study design was used. Data was obtained from direct assessment of gross motor skill (validated by supervisor) and parents’ interview in Cipto Mangunkusumo National Hospital and Pondok Pinang. Children with gross motor delay were categorized as the case group and age matching from this group was used to obtain the control group. Data was collected from February until July 2018. Bivariate and multivariate analysis on risk factors were done to find the significant risk factors and predictor factors for gross motor delay.
Results. 63 children with gross motor delay and 63 children with normal gross motor development were being analyzed. Significant risk factors for gross motor delay were perinatal asphyxia (P=0.004 ; OR=5.714 ; CI 95%=1.553-21.026), prematurity (P=0.009 ; OR=3.949 ; CI 95%=1.347-11.574), low birth weight (P=0.011 ; OR=3.511 ; CI 95%=1.281-9.625), and microcephaly (P<0.001 ; OR=5.128 ; CI 95%=2.332-11.280). After multivariate analysis, microcephaly (aOR=4.613 ; CI 95%=2.023-10.521) and prematurity (aOR=3.668 ; CI 95%=1.153-11.673) were the predictor factors for gross motor delay.
Conclusion. Microcephaly and prematurity (gestation age < 37 weeks) are the predictor factors for gross motor delay in children age 6-24 months old.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Multazam
"Penelitian ini bertujuan untuk untuk mendeteksi awal keterlambatan bahasa dan bicara menggunakan early language milestone scale 2 (ELMS2) pada anak usia 18-36 bulan dengan faktor yang memengaruhi dan hubungannya dengan riwayat lahir prematur. Jumlah subjek penelitian sebesar 96 subjek, dengan 48 subjek anak lahir prematur (kelompok studi) dan 48 subjek anak lahir cukup bulan (kelompok kontrol). Sebanyak 22 subjek (68,8%) anak dengan riwayat lahir prematur mengalami keterlambatan bahasa dan bicara dibandingkan anak cukup bulan, p = 0,017; OR 3,2 (1,3-7,9). Faktor riwayat perawatan NICU, p < 0,001; OR 5.4 (2.0 - 14.5), riwayat kuning (jaundice), p = 0,046; OR 2.8 (0.9 - 7.7), riwayat kelurga dengan gangguan bahasa dan bicara, p = 0,003; OR 3.4 (2.5 - 4.6), jumlah screen time ³ 2 jam, p= 0, 030; OR 2.6 (1.0 – 6.5), status ekonomi, p= 0,017, dan pendidikan ibu, p<0,001 merupakan faktor yang memengaruhi kejadian keterlambatan bahasa dan bicara, sedangkan jumlah anak, p = 0,378 dan bilingualisme, p= 0,204, tidak memengaruhi kejadian keterlambatan bahasa dan bicara.

This study aims to detect early language and speech delays using the early language milestone scale 2 (ELMS2) in children aged 18-36 months with influencing factors and their relationship with a history of premature birth. The number of study subjects was 96 subjects, with 48 subjects born prematurely (study group) and 48 subjects born at term (control group). A total of 22 subjects (68.8%) of children with a history of preterm birth had language and speech delays compared to full-term children, p = 0.017; OR 3.2 (1.3-7.9). Factors such as history of NICU care, p < 0.001; OR 5.4 (2.0 - 14.5), history of jaundice, p = 0.046; OR 2.8 (0.9 - 7.7), family history of language and speech disorders, p = 0.003; OR 3.4 (2.5 - 4.6), screen time ≥ 2 hours, p = 0, 030; OR 2.6 (1.0 - 6. 5), economic status, p = 0.017, and maternal education, p < 0.001 were factors that influenced the incidence of language and speech delay, while the number of children, p = 0.378 and bilingualism, p = 0.204, did not influence the incidence of language and speech delay."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Silva Audya Perdana
"Perkembangan bahasa anak dipengaruhi oleh banyak faktor. Sekitar 5-8 anak usia prasekolah di Indonesia mengalami keterlambatan bicara. Anak pada usia yang sangat muda butuh stimulasi yang cukup agar dapat berkembang dengan optimal. Oleh sebab itu, jika anak dibiarkan lama menonton TV, kesempatan untuk mendapatkan stimulasi yang baik menjadi terhambat. Kurangnya stimulasi yang disebabkan oleh anak yang terlalu lama menonton TV, dapat berpengaruh terhadap perkembangan bahasa anak.
Tujuan: Untuk mengetahui hubungan lama menonton TV dan perkembangan bahasa anak pada anak usia 18 bulan sampai 3 tahun.
Metode: Studi potong lintang digunakan pada studi ini dengan menggunakan data primer yang didapat melalui kuesoner. Adanya gangguan perkembangan bahasa anak ditentukan dengan menggunakan KPSP dan ELM Scale 2 Test.
Hasil: Durasi lama menonton TV pada anak dengan perkembangan bahasa normal dan keterlambatan perkembangan bahasa dibandingkan dan didapat p value senilai 0,002 dan OR = 4,4 95 CI . Bahasa yang digunakan pada tayangan TV Indonesia atau Indonesia dan Inggris berpengaruh secara signifikan p = 0,004 . Tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada umur pertama anak menonton TV, pemakaian gadget, dan kepemilikan TV di dalam kamar.
Kesimpulan: Studi ini menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna antara lama menonton TV dan perkembangan bahasa. Anak yang menonton TV lebih dari 4 jam sehari memiliki risiko 4 kali lebih tinggi mengalami keterlambatan bicara.

Background: There are many factors that contribute to child language development. About 5 8 children in Indonesia experience delayed language. Children at young age are still learning to develop and need stimulation so that they can process it and learn from it. When children watch TV for a long time they get less stimulation. Less stimulation in this case may contribute to child language development.
Aim: To know if there is an association of intensity of watching TV and child language development.
Methods: This was a cross sectional study using primary data collected from questionnaires. The child language development was tested using KPSP and ELM Scale 2 Test.
Results: Duration of watching TV from both children with normal and delayed language development was measured. Result showed in p value of 0.002 and OR 4.4 95 CI . The language used in TV program Indonesian or both Indonesian and English also showed a significant data p 0.004 . Other variables such as gender, first age exposed to TV, the use of gadget and TV in bedroom had no significant association with child language development.
Conclusion: This study demonstrates that there is an association between intensity of watching TV and child language development. Children who watch TV exceeding 4 hours a day had four times higher risk to develop language delay.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kristian Kurniawan
"ABSTRAK
Keterlambatan perkembangan merupakan suatu kondisi seorang anak dalam tidak mampu mencapai milestones perkembangan sesuai dengan tingkat perkembangan anak seusianya. Perkembangan anak ditandai dengan kemajuan perkembangan pada berbagai domain perkembangan, salah satunya adalah perkembangan motorik kasar. Perkembangan motorik kasar dapat memprediksi tingkat maturasi sistem saraf pusat fungsional sehingga keterlambatan perkembangan motorik kasar akan berdampak pada keterlambatan penguasaan domain perkembangan lainnya. Di Indonesia terhitung secara epidemiologis, presentasi anak yang tidak mencapai potensi perkembangan secara penuh mencapai angka 20,01-40,0% pada 2004. Oleh karena itu, penelitian mengenai faktor risiko dikerjakan untuk meningkatkan kewaspadaan dan sebagai bahan pertimbangan diagnosis terhadap keterlambatan motorik kasar.
Tujuan
(1) Mengidentifikasi faktor risiko eksternal yang memiliki signifikansi terhadap keterlambatan motorik kasar pada anak 6-24 bulan. (2) Mengidentifikasi pengaruh antar setiap faktor risiko terhadap keterlambatan motorik kasar.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan studi kasus-kontrol sebagai desain penelitian. Data yang digunakan berupa data primer yang diperoleh melalui hasil penilaian perkembangan motorik kasar yang divalidasi oleh dokter anak pembimbing serta wawancara orang tua/wali anak. Penelitian dilaksanakan di Poliklinik anak RSUPN Cipto Mangunkusumo Kiara, Jakarta Pusat sebagai rumah sakit rujukan nasional dan di Klinik Anakku, Jakarta Selatan
Hasil Penelitian
Selama kurun waktu penelitian diperoleh subjek sebesar 128 anak, dengan perbandingan kasus-kontrol 1:1 pada kelompok rentang usia yang sesuai. Dari hasil analisis pearson kai-kuardat diperoleh 2 faktor signifikan terhadap keterlambatan motorik kasar, yakni: status gizi kurang/buruk (p<0,001; OR=6,576; IK 95%=2,705-13,986) dan tidak diberikannya ASI eksklusif (p=0,032; OR=2,180; IK 95%=1,065-4,460). Di sisi lain, faktor urutan anak, usia ibu saat kehamilan, dan cara kelahiran menunjukan hasil tidak bermakna terhadap keterlambatan motorik kasar. Kemudian, dari analisis multivariat dengan regresi logistik biner, menunjukan bahwa status gizi kurang/buruk merupakan faktor paling berpengaruh terhadap kejadian keterlambatan motorik kasar pada anak (p<0,001; OR=6,159; IK 95%=2,512-15,099).
Kesimpulan.
Pada Penelitian ini, status gizi kurang/buruk pada anak dan tidak diberikannya ASI eksklusif merupakan faktor risiko signifikan terhadap keterlambatan anak usia 6-24 bulan. Dalam model multivariabel ini, status gizi kurang/buruk merupakan faktor prediktor keterlambatan motorik kasar yang paling berpengaruh.

ABSTRACT
Background
Developmental delay is defined as a condition which a child fails to achieve appropriate developmental milestone according to his age group development. Childhood development is indicated by developmental advancement ini several develompental domain, for instance, gross motor development. Gross motor development could predict certain functional central nervous system maturation, thus delay in this domain might inhibit mastering process of other domains development. In Indonesia according to epidimiological data in 2004, it is estimated thath around 20.01-40.0% children could not fully achieve their developmental potential. Therefore, this study related to risk factor identification was established in order to increase awareness to developmental delay and also as a consideration in diagnosing gross motor delay.
Objectives
(1) To determine significant external risk factor for gross motor delay in children aged 6-24 months.(2) To determine the association between risk factors for gross motor delay.
Method
This research used case-control study approach as its study design. Utilized data was a primary data which were obtained through assessing gross motor development validated by supervisiong pediatrician and through interviewing parent/legal guardian. The interview was held in pediatric polyclinic of RSUPN Cipto Mangunkusumo Kiara, Central Jakarta as a national referral hospital and in Klinik Anakku, South Jakarta.
Result
During the period of the study, 128 pediatric patients were found to be a subject, with case-control ratio 1:1 in corresponding age group range. According to pearson chi-square test, there are two significant factors for gross motor delay, which are wasting/severely wasting (p<0,001; OR=6,576; CI 95%=2,705-13,986) and not exclusive breastfeeding (p=0,032; OR=2,180; CI 95%=1,065-4,460). On the other hand, birth order, maternal age during gestation, and mode of delivery demonstrate insignificant result for gross motor delay. Furthermore, mutlivariate anylisis with binary logistic regression shows wasting/severely wasting to be the most influential external risk factor gross motor delay (p<0,001; OR=6,159; CI 95%=2,512-15,099).
Conclusion
In this study, wasting/severely wasting in children and not exclusive breastfeeding are significant risk factor for gross motor delay in children aged 6-24 months. In this multivariable model, wasting/severely wasting is proven to be the most influential predictior factor for gross motor delay."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tarnimatul Ummah
"Keterlambatan perkembangan motorik berdampak negatif pada seluruh aspek perkembangan di masa mendatang. Kemudahan dalam mengakses teknologi membuka peluang bagi anak untuk lebih beraktivitas sedentari yang meminimalisasi kesempatan mempelajari kemampuan motorik kasar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kekuatan hubungan aktivitas sedentari dengan perkembangan motorik kasar anak usia prasekolah.
Desain penelitian ini adalah studi cross sectional menggunakan 85 responden (orang tua dan anak prasekolah) di lembaga pendidikan anak usia dini Ujung Berung Bandung dengan teknik consecutive sampling. Modifikasi Children's Leisure Activities Study dan Kuesioner Pra Skrining Perkembangan digunakan untuk mengkaji aktivitas dan perkembangan motorik kasar anak. Penelitian ini menggunakan analisis point-biserial correlation. 85.53% anak memiliki perkembangan motorik kasar yang sesuai dan 16.47% lainnya tidak sesuai.
Hasil penelitian menunjukkan hubungan antara kedua variabel adalah sangat lemah (r = 0.007, α = 0.05). Aktivitas sedentari tidak secara langsung memengaruhi perkembangan motorik kasar, tetapi mengurangi anak untuk melakukan aktivitas fisik yang menstimulasi perkembangan motorik kasarnya. Akan tetapi, orang tua tetap perlu membatasi waktu aktivitas sedentari anak sehingga anak akan beraktivitas fisik untuk melatih perkembangan motoriknya. Selain itu, pelayanan kesehatan perlu melakukan skrining perkembangan pada lembaga pendidikan anak usia dini agar keterlambatan dapat ditangani sejak dini.

Delay in motor development have a negative impact on all aspects of development in the future. Technology opens up opportunitiy for the children to be more sedentary which will minimize the chance to learn gross motor abilities. This study aimed to determine the strength of relationship between sedentary activity and gross motor development of preschool age children.
The study design was a cross sectional study with 85 respondents (parents and preschool children) in early childhood education institutions Ujung Berung Bandung which were collected with consecutive sampling technique. A modification of Children's Leisure Activities Study and Kuesioner Pra Skrining Perkembangan was used to assess children activities and gross motor development. This study uses point-biserial correlation analysis. 85.53% of respondents had appropriate gross motor development and as many as 16.47% were not.
The result showed that the relationship between sedentary activity and gross motor development is very weak (r = 0.007, α = 0.05). Sedentary activity did not directly affect gross motor development, but it can reduce the children to perform physical activities that stimulate gross motor development. Therefore, parents still need to limit sedentary activity time of the children, so that they will physically active to develop their motor ability. In addition, health services need to screen on the children development in early childhood education institutions, so that delays can be treated earlier.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2016
S65565
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arif Anggoro
"Kita tentu memahami bahwa otak adalah pengendali dari segala hal yang superkompleks dalam aktivitas kita. Peran otak dalam bidang bahasa memang tidak lagi menjadi hal yang aneh bagi Para ahli bahasa, namun masih banyak hal yang belum diketahui, justru oleh mahasiswa bahasa sendiri. Inilah yang menjadi sebuah misteri yang menarik untuk diamati. dari berbagai bidang bahasa, mulai dari bunyi, bentuk kata, kalimat, nada kalimat, dan segala aspek bahasa, temyata memiliki tempat pengendalian masing-masing di otak. Hal inilah salah satu faktor yang sangat menarik untuk saya teliti. Saya memulainya dengan susunan bunyi, yaitu bagaimana bunyi-bunyi dipertukarkan oleh seseorang yang menderita luka pada otak mereka. Saya lebih memfokuskan penelitian ini pada orang-orang yang menderita afasia wernicke, yaitu salah satu jenis sindrom yang diakibatkan oleh adanya luka di bagian atas otak bagian belakang. Penelitian ini, tentu saja saya lakukan pada penderita afasia wemicke yang berbahasa Indonesia. Sumber informannya adalah pasien yang didiagnosis di Klinik Fungsi Luhur RSCM pada jangka waktu 2000-2002. Hasilnya, sangat jelas bahwa dari dua orang penderita yang saya teliti ternyata menunjukkan gejala yang sama, yaitu yang paling tampak adalah mereka sering mempertukarkan bunyi-bunyi konsonan lamino palatal dan vokal-vokal rendah."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2002
S10802
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rigen Herpramasanti
"ABSTRAK
Tujuan : Mengetahui angka kejadian keterlambatan bahasa dan kognisi pada anak riwayat prematur, mengetahui adakah perbedaan rerata kemampuan bahasa dan kognisi pada anak riwayat prematur Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) dan Berat Badan Lahir Sangat Rendah (BBLSR), dan melihat hubungannya dengan faktor-faktor ibu yaitu pendidikan ibu, ibu bekerja, jumlah anak dalam keluarga, riwayat pemberian ASI lebih dari 6 bulan, dan rentang waktu interaksi ibu dan anak.
Metode : Desain penelitian adalah potong lintang. Populasi terjangkau adalah anak riwayat lahir prematur yang terdata di Divisi Perinatologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak tahun 2009 sampai dengan 2010 dan anak riwayat prematur yang terdata di Poli Rawat Jalan Divisi Pediari Departemen Rehabilitasi Medik. Cara pengambilan sampel dengan consecutif sampling. Penilaian kemampuan bahasa dan kognisi dengan menggunakan Capute Scale CAT/CLAMS.
Hasil : Angka kejadian keterlambatan bahasa dan kognisi pada anak riwayat prematur usia 18-36 bulan adalah sebesar 25%. Terdapat kecenderungan nilai rerata kemampuan bahasa dan kognisi yang lebih rendah pada anak riwayat prematur BBSR dibandingkan BBLR, namun tidak signifikan (p>0,05). Faktor ibu yang memberikan hubungan yang bermakna adalah rentang waktu interaksi ibu dan anak, dimana didapatkan memiliki korelasi lemah terhadap kemampuan kognisi (r=0,275, p=0,04)
Kesimpulan : Kejadian keterlambatan bahasa dan kognisi pada anak riwayat prematur usia 18-36 bulan cukup besar, sehingga memerlukan perhatian khusus. Ibu dengan anak riwayat prematur hendaknya meningkatkan rentang waktu interaksi dengan anaknya untuk meningkatkan kemampuan kognisi pada anak.

ABSTRACT
The aim: To knew the prevalence of language and cognition problem in preterm children, to knew the difference in language and cognition acquitition between preterm children with low birth weight (LBW) and very low birth weight (VLBW), and to knew relationship with maternal factors are maternal education, working mother, number of chlidren, breast feeding for 6 months, dan length time of mother children interaction.
Methods: Study design was crosssectional. The population was preterm infant registered in Divisi Perinatologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak 2009 until 2010 and preterm children registered in Poli Rawat Jalan Divisi Pediari Departemen Rehabilitasi Medik. Cara pengambilan sampel dengan consecutif sampling. The tools used to measure language and cognition acquisition were Capute Scale CAT/CLAMS.
Results: The prevalence of language and cognition problem in premature children was 25%. There is a trend that language and cognition acquisition lower in premature children with VLBW than LBW, but not significant (p>0,05). Maternal factor that gave significant relationship only the length time of mother children interaction, with gave weak correlation with cognition acquisition (r=0,275, p=0,04)
Conclussion: The prevalence of language and cognition problem in preterm children was high, so should be gave close attention. Mother of preterm children shoould be increase the length time of interaction with her child to increase the child’s cognition"
[Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, ], 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>