Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 111641 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Astien Amalia Hidayah
"Latar Belakang: Sella turcica merupakan anatomi yang penting untuk diteliti dikarenakan deformitas bentuknya dapat menjadi petunjuk utama adanya kelainan skeletal. Hal ini dapat mempengaruhi fungsi fossa hipofisis dikarenakan letaknya yang berada di tengah fossa hipofisis dan dapat menghambat pertumbuhan tulang pada regio kraniofasial seperti maksila, mandibula, palatal dan frontonasal.
Tujuan: untuk mengetahui bentuk variasi morfologi sella turcica pada kelompok umur tertentu di RSKGM FKG UI.
Metode: Radiograf sefalometri lateral digital pada pasien dengan rentang usia 17 tahun ke atas sebesar 258 sampel ditracing dan bentuk morfologi sella turcica dinilai.
Hasil: Frekuensi morfologi sella turcica tertinggi yaitu morfologi normal sebesar 52,3%, diikuti dengan morfologi irregular sella turcica sebesar 13,2%, morfologi bridging sella turcica sebesar 10,9%, morfologi oblique dan pyramidal sebesar 9,7%, dan morfologi double contour sebesar 4,3%.
Kesimpulan: Bentuk variasi morfologi sella turcica di RSKGM FKG UI yang paling sering ditemukan adalah morfologi normal.

Background: Sella turcica is an anatomy that is important to study because its deformity form can be indication key of the presence of skeletal abnormalities. This may affect the  function of the pituitary fossa due to its location in the center of the pituitary fossa and can inhibit bone growth in the craniofacial region such as the maxilla, mandible, palatal, and frontonasal.
Objective: To determine the shape of the morphological variation of sella turcica in certain age groups in RSKGM FKG UI.
Methods: Lateral cephalometric digital radiographs in patients with an age range of 17 years and over by 258 samples traced and the morphological forms of sella turcica assessed.
Results: The most frequence morphology of sella turcica is the normal morphology which is 52,3%, followed by the irregular morphology of sella turcica is 13,2%, the morphology of sella turcica is 10,9%, oblique and pyramidal morphology is 9,7%, and the morphology of double contour is 4,3%.
Conclusion: The most shape of the morphological variation of sella turcica that can be found in RSKGM FKG UI is normal morphology.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ananda Nandita Dewana
"Latar Belakang : Anomali gigi dapat menyebabkan berbagai masalah fungsional seperti, maloklusi, meningkatkan resiko karies, dan mengganggu estetika. Tingkat kejadian anomali gigi di Indonesia, masih belum banyak diteliti. Berdasarkan hal tersebut, maka penting untuk melakukan identifikasi untuk memperoleh data frekuensi distribusi anomali gigi pada radiograf panoramik di RSKGM FKG UI. Tujuan : Mendapatkan data frekuensi distribusi anomali gigi berdasarkan usia dan jenis kelamin pada radiograf panoramik di RSKGM FKG UI. Metode : Penelitian ini merupakan studi cross-sectional dengan total sampel 367 radiograf panoramik. Radiograf dievaluasi dan diinterpretasi oleh dua orang observer untuk mengidentifikasi anomali gigi sesuai klasifikasi berdasarkan anomali jumlah (gigi supernumerari), ukuran (makrodonsia dan mikrodonsia), erupsi (transposisi), serta morfologi (fusi, concrescence, geminasi, taurodonsia, dilaserasi, dens invaginatus, dens evaginatus, molar incisor malformation (MIM) , amelogenesis imperfecta, dentinogenesis imperfecta, dentin dysplasia, regional odontodisplasia, enamel pearl, talon cusp, dan congenital sifilis). Data usia, jenis kelamin, dan hasil interpretasi radiograf panoramik dicatat. Selanjutnya, dilakukan uji reliabilitas menggunakan uji Kappa untuk data kategorik dan uji ICC untuk data numerik. Hasil : Dari total sampel 367 radiograf pada rentang usia 6-79 tahun ditemukan 133 (36,2%) radiograf panoramik dengan anomali gigi, sebanyak 1-4 kasus pada setiap radiograf. Jumlah seluruh anomali gigi yang ditemukan adalah 395 kasus. Anomali gigi terbanyak ditemukan pada rentang usia 16-25 tahun. Berdasarkan klasifikasi, frekuensi distribusi anomali gigi yang ditemukan, secara berurutan yaitu anomali morfologi (63,15%), ukuran (32,33%), jumlah (18,05%), dan erupsi (7,52%). Jenis anomali morfologi gigi yang paling banyak ditemukan adalah dilaserasi (33,83%), anomali ukuran adalah mikrodonsia (32,05%), dan anomali jumlah adalah gigi supernumerari (23,64%). Berdasarkan jenis kelamin, frekuensi distribusi anomali gigi ditemukan lebih banyak pada laki-laki (45,83%) dibanding perempuan (31,87%). Anomali gigi yang paling banyak ditemukan pada laki-laki adalah gigi supernumerari, concrescence, dens invaginatus dan enamel pearl. Sedangkan, anomali gigi yang paling banyak ditemukan pada perempuan adalah makrodonsia, mikrodonsia, transposisi, geminasi, taurodonsia, dilaserasi, dens evaginatus, molar-incisor malformation (MIM), dan talon cusp. Kesimpulan : Prevalensi anomali gigi pada radiograf panoramik yang ditemukan pada penelitian ini cukup tinggi. Proporsi anomali gigi lebih tinggi ditemukan pada laki-laki dibandingkan perempuan.

Background : Dental anomalies can affect various functional problems such as, malocclusion, increase the risk of caries, and aesthetics problem. Incidence rate of dental anomalies in Indonesia has not yet been widely studied. Based on this, it is important to identification to get data frequency distribution of dental anomalies on panoramic radiographs at RSKGM FKG UI. Objective : To get data frequency distribution of dental anomalies based on age and gender in panoramic radiograph at RSKGM FKG UI. Method : This study is a cross-sectional study with total sample 367 panoramic radiographs. Radiographs were evaluated and interpreted by two observers to identify dental anomalies according to classification anomaly by number (supernumerary teeth), size (macrodontia and microdontia), eruption (transposition), and morphology (fusion, concrescence, gemination, taurodontisme, dilaceration, dens invaginatus, dens evaginatus, molar incisor malformation (MIM) , amelogenesis imperfecta, dentinogenesis imperfecta, dentin dysplasia, regional odontodisplasia, enamel pearl, talon cusp, and congenital syphilis). Data on age, gender, and interpretation of panoramic radiographs result were recorded. Reliability test were performed using Kappa test for categoric data and ICC test for numeric data. Result : From a total sample of 367 radiographs in the age range 6-79 years, 133 (36.2%) panoramic radiographs with dental anomalies were found, 1-4 cases in each radiograph. The total of all dental anomalies in were 395 cases. Based on classification, frequency distribution of dental anomalies found, respectively, are anomaly of morphology (63,15%), size (32,33%), number (18,05%), and eruption (7,52%). The most common type of anomaly of morphology was dilaceration (33,83%), anomaly of number was microdontia (32,05%), and anomaly of number was supernumerary tooth (23,64%). Based on gender, frequency distribution of dental anomalies were found higher 45,83% in male than 31,87% in female. The most common dental anomalies found in men are supernumerary tooth, concrescence, dens invaginatus and enamel pearl. Meanwhile, the most common dental anomalies found in women are macrodontia, microdontia, transposition, gemination, taurodontisme, dilaceration, dens evaginatus, molar-incisor malformation (MIM), and talon cusp. Conclusions : The prevalence of dental anomalies on panoramic radiographs found in this study is quite high. A higher proportion of dental anomalies was found in men than women."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ananda Nandita Dewana
"Latar Belakang : Anomali gigi dapat menyebabkan berbagai masalah fungsional seperti, maloklusi, meningkatkan resiko karies, dan mengganggu estetika. Tingkat kejadian anomali gigi di Indonesia, masih belum banyak diteliti. Berdasarkan hal tersebut, maka penting untuk melakukan identifikasi untuk memperoleh data frekuensi distribusi anomali gigi pada radiograf panoramik di RSKGM FKG UI. Tujuan : Mendapatkan data frekuensi distribusi anomali gigi berdasarkan usia dan jenis kelamin pada radiograf panoramik di RSKGM FKG UI. Metode : Penelitian ini merupakan studi cross-sectional dengan total sampel 367 radiograf panoramik. Radiograf dievaluasi dan diinterpretasi oleh dua orang observer untuk mengidentifikasi anomali gigi sesuai klasifikasi berdasarkan anomali jumlah (gigi supernumerari), ukuran (makrodonsia dan mikrodonsia), erupsi (transposisi), serta morfologi (fusi, concrescence, geminasi, taurodonsia, dilaserasi, dens invaginatus, dens evaginatus, molar incisor malformation (MIM) , amelogenesis imperfecta, dentinogenesis imperfecta, dentin dysplasia, regional odontodisplasia, enamel pearl, talon cusp, dan congenital sifilis). Data usia, jenis kelamin, dan hasil interpretasi radiograf panoramik dicatat. Selanjutnya, dilakukan uji reliabilitas menggunakan uji Kappa untuk data kategorik dan uji ICC untuk data numerik. Hasil : Dari total sampel 367 radiograf pada rentang usia 6-79 tahun ditemukan 133 (36,2%) radiograf panoramik dengan anomali gigi, sebanyak 1-4 kasus pada setiap radiograf. Jumlah seluruh anomali gigi yang ditemukan adalah 395 kasus. Anomali gigi terbanyak ditemukan pada rentang usia 16-25 tahun. Berdasarkan klasifikasi, frekuensi distribusi anomali gigi yang ditemukan, secara berurutan yaitu anomali morfologi (63,15%), ukuran (32,33%), jumlah (18,05%), dan erupsi (7,52%). Jenis anomali morfologi gigi yang paling banyak ditemukan adalah dilaserasi (33,83%), anomali ukuran adalah mikrodonsia (32,05%), dan anomali jumlah adalah gigi supernumerari (23,64%). Berdasarkan jenis kelamin, frekuensi distribusi anomali gigi ditemukan lebih banyak pada laki-laki (45,83%) dibanding perempuan (31,87%). Anomali gigi yang paling banyak ditemukan pada laki-laki adalah gigi supernumerari, concrescence, dens invaginatus dan enamel pearl. Sedangkan, anomali gigi yang paling banyak ditemukan pada perempuan adalah makrodonsia, mikrodonsia, transposisi, geminasi, taurodonsia, dilaserasi, dens evaginatus, molar-incisor malformation (MIM), dan talon cusp. Kesimpulan : Prevalensi anomali gigi pada radiograf panoramik yang ditemukan pada penelitian ini cukup tinggi. Proporsi anomali gigi lebih tinggi ditemukan pada laki-laki dibandingkan perempuan.

Background : Dental anomalies can affect various functional problems such as, malocclusion, increase the risk of caries, and aesthetics problem. Incidence rate of dental anomalies in Indonesia has not yet been widely studied. Based on this, it is important to identification to get data frequency distribution of dental anomalies on panoramic radiographs at RSKGM FKG UI. Objective : To get data frequency distribution of dental anomalies based on age and gender in panoramic radiograph at RSKGM FKG UI. Method : This study is a cross-sectional study with total sample 367 panoramic radiographs. Radiographs were evaluated and interpreted by two observers to identify dental anomalies according to classification anomaly by number (supernumerary teeth), size (macrodontia and microdontia), eruption (transposition), and morphology (fusion, concrescence, gemination, taurodontisme, dilaceration, dens invaginatus, dens evaginatus, molar incisor malformation (MIM) , amelogenesis imperfecta, dentinogenesis imperfecta, dentin dysplasia, regional odontodisplasia, enamel pearl, talon cusp, and congenital syphilis). Data on age, gender, and interpretation of panoramic radiographs result were recorded. Reliability test were performed using Kappa test for categoric data and ICC test for numeric data. Result : From a total sample of 367 radiographs in the age range 6-79 years, 133 (36.2%) panoramic radiographs with dental anomalies were found, 1-4 cases in each radiograph. The total of all dental anomalies in were 395 cases. Based on classification, frequency distribution of dental anomalies found, respectively, are anomaly of morphology (63,15%), size (32,33%), number (18,05%), and eruption (7,52%). The most common type of anomaly of morphology was dilaceration (33,83%), anomaly of number was microdontia (32,05%), and anomaly of number was supernumerary tooth (23,64%). Based on gender, frequency distribution of dental anomalies were found higher 45,83% in male than 31,87% in female. The most common dental anomalies found in men are supernumerary tooth, concrescence, dens invaginatus and enamel pearl. Meanwhile, the most common dental anomalies found in women are macrodontia, microdontia, transposition, gemination, taurodontisme, dilaceration, dens evaginatus, molar-incisor malformation (MIM), and talon cusp. Conclusions : The prevalence of dental anomalies on panoramic radiographs found in this study is quite high. A higher proportion of dental anomalies was found in men than women."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vania Prima Amelinda
"ABSTRAK
Abstrak Berbahasa Indonesia/Berbahasa Lain (Selain Bahasa Inggris):
Pendahuluan: Kalsifikasi sella turcica (sella turcica bridge) dan kalsifikasi tulang atlas (ponticulus posticus) dapat digunakan untuk memprediksi terjadinya impaksi kaninus di palatal dan hipodonsia. Hal ini dapat terjadi karena sella turcica, tulang skeletal kepala dan leher, serta sel epitel dental memiliki keterlibatan gen dan berasal dari sel embriologi yang sama.Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat hubungan antara sella turcica bridge dengan ponticulus posticus serta hubungan kedua struktur anatomi tersebut dengan impaksi kaninus di palatal dan hipodonsia.
Metode: Penelitian dilakukan secara potong lintang, dengan subjek sejumlah 51 foto sefalometri lateral pasien dari ras Deutro Malayid. Usia subjek diatas 14 tahun yang dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu 17 foto sefalometri pada kelompok impaksi kaninus, 17 foto sefalometri pada kelompok hipodonsia dibandingkan dengan 17 foto sefalometri pada kelompok kontrol. Setiap foto sefalometri lateral dilihat klasifikasi sella turcica bridge dan ponticulus posticus (tidak ada kalsifikasi, kalsifikasi parsial, dan kalsifikasi lengkap). Hubungan antara sella turcica bridge dan ponticulus posticus dengan kelompok impaksi dan hipodonsia, serta antara sella turcica bridge dengan ponticulus posticus dianalisis dengan menggunakan uji independent chi square dan uji korelasi Kendall.
Hasil: Terdapat hubungan yang signifikan antara sella turcica bridge dengan impaksi kaninus dan hipodonsia, serta antara ponticulus posticus dengan impaksi dan hipodonsia masing-masing, dengan kekuatan korelasi sedang, namun tidak terdapat hubungan yang signifikan antara sella turcica bridge dengan ponticulus posticus.
Kesimpulan: Sella turcica bridge dan ponticulus posticus banyak ditemukan pada pasien dengan impaksi kaninus di palatal dan hipodonsia, sehingga adanya sella turcica bridge dan ponticulus posticus yang sudah terbentuk sejak awal dapat menjadi penanda adanya kemungkinan impaksi dan hipodonsia.

ABSTRACT
Introduction: Calcification of sella turcica known as sella turcica bridge and calcification of atlas vertebra known as ponticulus posticus might predict the occurance of palatally impacted canine and hypodontia. This might occur due to sella turcica, neck and shoulder skeletal development and dental epithelial cells share a common gene and embryologic origin. The purpose of this study was to investigate the association of sella turcica bridge and ponticulus posticus with palatally impacted canine and hypodontia and the association between sella turcica bridge and ponticulus posticus.
Methods: This cross sectional study was performed using lateral cephalogram of 51 Deutro malayid patients, age above 14, and devided into 3 groups. First group consist of 17 cephalograms palatally impacted canine patient, second group consist of 17 cephalograms hypodontia patient, compared with 17 cephalograms control patient. The type of sella turcica bridge and ponticulus posticus (no calcification, partial calcification and complete calcification) were evaluated on every lateral cephalogram. The association between sella turcica bridge with palatally impacted canine and hypodontia, ponticulus posticus with palatally impacted canine and hypodontia and the association between sella turcica bridge with ponticulus posticus was analyzed using independent Chi-Square and Kendall correlation.
Results: The calcification of sella turcica bridge and ponticulus posticus in palatally impacted canine and hypodontia patient is increased when compared to control patient. There is a significant association between sella turcica bridge with palatally impacted canine and hypodontia, ponticulus posticus with palatally impacted canine and hypodontia but there is no significant association between sella turcica bridge with ponticulus posticus.
Conclusion: Calcification of sella turcica bridge and ponticulus posticus is frequently found in patients with palatally impacted canine and hypodontia. The very early appearance during development of sella turcica bridge and ponticulus posticus should alert clinicians to possible impacted canine and hypodontia in life later.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gery Gilbert
"Latar Belakang : Distribusi frekuensi impaksi gigi molar tiga maksila berdasarkan klasifikasi Pell-Gregory, Winter, dan hubungan dengan sinus maksila dapat menunjukan variasi yang dapat berperan penting dalam mengantisipasi kesulitan pada saat odontektomi. Tujuan : Mengetahui frekuensi kasus impaksi molar tiga maksila pada radiograf panoramik berdasarkan klasifikasi Pell-Gregory dan Winter serta hubungan dengan sinus maksila di RSKGM FKG UI. Metode : Penelitian dilakukan dengan metode deskriptif kategorik menggunakan data sekunder berupa rekam medik pasien di RSKGM FKG UI. Hasil : Penelitian yang dilakukan pada 102 kasus impaksi molar tiga maksila menunjukkan kasus impaksi molar tiga maksila paling banyak pada wanita dengan persentase 62.7%, namun hasil uji statistik menunjukan tidak ada hubungan yang bermakna antara perbedaan gender dengan masing-masing klasifikasi impaksi. Frekuensi tertinggi dari masing-masing klasifikasi adalah Kelas C sebesar 46.08% pada klasifikasi Pell-Gregory, impaksi distoangular sebesar 35.3% pada klasifikasi Winter, dan impaksi tipe 4 sebesar 60.78% pada klasifikasi berdasarkan hubungan dengan sinus maksila. Kesimpulan : Penelitian ini mendapatkan hasil distribusi frekuensi impaksi molar tiga maksila yang dapat menjadi acuan dalam menentukan tingkat kesulitan perawatan odontektomi.

Background : A method of classification of third molar impaction is needed because the anatomical position of impacted third molars can show variations that will play an important role in anticipating difficulties during extraction. Objective : To determine the impaction frequency of maxillary third molar impaction cases, as seen on panoramic radiographs and classified based on Pell-Gregory and Winter classification and also the relationship with maxillary sinus in RSKGM FKG UI. Methods : The type of research conducted is categorical descriptive research, using secondary data in the form of patient medical records at RSKGM FKG UI. Results : From 102 cases of maxillary third molar impaction, it was found that maxillary third molar impaction was most common in women with a percentage of 60%, but the results of statistical tests show no significant relationship between gender differences with each classification. The highest frequency of each classification is Class C of 46.08%, distoangular impaction of 35.3%, and impaction of type 4 by 60.78%. Conclusion : Classification of maxillary third molar impact can be a reference in determining the difficulty level of odontectomy treatment."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nabila Puspita Dewi
"Periodontitis adalah penyakit inflamasi pada jaringan pendukung gigi yang disebabkan oleh mikroorganisme spesifik, sehingga menghasilkan kerusakan pada jaringan periodontal. Kondisi sistemik dan peningkatan usia akan memengaruhi jaringan periodontal karena adanya perubahan sistem pertahanan imun dan inflamasi tubuh. Klasifikasi penyakit periodontal terus mengalami perkembangan. Klasifikasi yang masih digunakan saat ini adalah klasifikasi dari American Academy of Periodontology (AAP) tahun 1999. Setelah hampir dua puluh tahun klasifikasi AAP 1999 digunakan di dunia, ternyata dalam penggunaannya di klinik banyak terdapat berbagai kekurangan. Pada 2017, AAP mempublikasikan klasifikasi terbaru mengenai penyakit serta kondisi periodontal dan periimplan. Periodontitis diklasifikasikan berdasarkan stage dan grade. Penelitian mengenai distribusi periodontitis berdasarkan penyakit periodontal dengan klasifikasi AAP tahun 2017 belum dilakukan di Indonesia, terutama distribusi berdasarkan kondisi dan penyakit sistemik pasien serta hubungannya dengan usia. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui distribusi periodontitis serta hubungannya dengan usia menurut klasifikasi penyakit periodontal berdasarkan AAP 2017 pada pasien dengan kondisi dan penyakit sistemik di RSKGM FKG UI. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif analitik cross sectional untuk distribusi penyakit periodontal pada pasien dengan kondisi dan penyakit sistemik serta hubungannya dengan usia menurut klasifikasi penyakit periodontal berdasarkan AAP 2017 yang didapat dari 331 rekam medis RSKGM FKG UI tahun kunjungan 2014-2019. Analisis data pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan SPSS dengan analisis univariat yang dilakukan untuk menggambarkan distribusi serta analisis bivariat Kendall untuk menggambarkan korelasi stage dan grade dengan usia. Berdasarkan hasil penelitian, persentase klasifikasi periodontitis tertinggi pada seluruh subjek penelitian adalah stage III grade C (39,9%), pada subjek dengan kondisi merokok adalah stage III grade C (52,7%), serta pada subjek penelitian dengan diabetes mellitus, hipertensi adalah stage III grade B, dengan persentase secara berurut 45,8% dan 45,7%. Pada pasien dengan kondisi dengan penyakit sistemik, peningkatan usia berbanding lurus dengan stage periodontitis dan berbanding terbalik dengan grade periodontitis. Kesimpulan yang bisa ditarik dari penelitian ini yakni klasifikasi AAP 2017 menjelaskan periodontitis lebih spesifik karena mempertimbangkan tingkat keparahan, riwayat progresi periodontitis, kemungkinan risiko progresi periodontitis di masa mendatang, serta penilaian risiko penyakit dapat mempengaruhi kondisi tubuh secara umum, klasifikasi ini dapat digunakan pada RSKGM FKG UI.

Periodontitis is an inflammatory disease caused by specific microorganisms, resulting in damage to the periodontal tissue. Systemic conditions and aging will affect the periodontal tissue due to changes in the immune defense system and inflammation of the body. Classification of periodontal disease continues to develop. The classification that is commonly used today is the classification from the American Academy of Periodontology (AAP) in 1999. After almost twenty years of AAP 1999 classification used worldwide, it turns out that there were many shortcomings in its use. In 2017, AAP published the latest classification of diseases and periodontal and periimplinary conditions. Periodontitis is classified by stage and grade. Research on the distribution of periodontitis based on periodontal disease with AAP classification in 2017 has not been conducted in Indonesia, especially distribution based on the condition and systemic disease of patients as well as its relationship with age. This study was conducted to determine the distribution of periodontitis and its relationship with age according to the classification of periodontal diseases based on AAP 2017 in patients with systemic conditions and diseases in the RSKGM FKG UI. This study uses descriptive analytic cross-sectional analysis for the distribution of periodontal disease and its correlation with aging in patients with systemic conditions and diseases based on AAP 2017 classification of periodontal diseases which obtained from 331 medical records of RSKGM FKG UI in the 2014-2019 visit. Data analysis in this study was carried out using SPSS with univariate analysis conducted to describe the distribution and bivariate analysis of Kendall to describe stage and grade correlation with age. Based on the results of the study, the highest percentage of periodontitis classification in all study subjects was stage III grade C (39.9%), in subjects with smoking conditions was stage III grade C (52.7%), and in research subjects with diabetes mellitus, hypertension is stage III grade B, with sequential percentages of 45.8% and 45.7%. In patients with systemic condition and disease, increases of age are directly proportional to stage periodontitis and inversely proportional to grade periodontitis. The conclusion that can be drawn from this research is that the 2017 AAP classification explains periodontitis more specifically because it considers the severity, history of periodontitis progression, possible risk of progression of periodontitis in the future, and assessment of disease risk can affect general body condition, this classification can be used in RSKGM FKG UI."
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Citra Esperanza Hudiyono
"Klasifikasi maloklusi yang banyak digunakan dokter gigi adalah maloklusi skeletal (klas I, klas II dan klas III), dental (neutroklusi, distoklusi dan mesioklusi) dan dentoskeletal (kombinasi skeletal-dental).
Tujuan: Mengetahui distribusi frekuensi maloklusi skeletal, dental dan dentoskeletal pasien klinik spesialis Ortodonti RSKGM FKG UI periode 2003-2009.
Metode: 367 rekam medis yang dikelompokkan ke dalam maloklusi skeletal, dental dan dentoskeletal.
Hasil dan kesimpulan: Maloklusi skeletal klas I (45,2%), klas II (39,8%) dan klas III (15%). Maloklusi dental neutroklusi (36,8%), distoklusi (35,1%) dan mesioklusi (28,1%). Maloklusi dentoskeletal klas I dengan neutroklusi (19,1%), klas II dengan distoklusi (19,3%) dan klas III dengan mesioklusi (10,1%).

Malocclusion classification mostly used by dentists are skeletal (class I, class II and class III), dental (neutrocclusion, distocclusion and mesiocclusion) and dentoskeletal malocclusion (combination of skeletal-dental).
Purpose: Describe the frequency distribution of skeletal, dental and dentoskeletal malocclusion of Orthodontic Clinic?s patients at RSKGM FKG UI 2003-2009.
Method: 367 medical records divided into skeletal, dental and dentoskeletal malocclusion.
Result and conclusion: Skeletal malocclusion class I (45.2%), class II (39.8%) and clas III (15%). Dental malocclusion neutrocclusion (36.%), distocclusion (35.1%) and mesiocclusion (28.1%). Dentoskeletal malocclusions: class I with neutrocclusion (19.1%), class II with distocclusion (19.3%) and class III with mesiocclusion (10.1%)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fibiandini Yustiana
"Latar Belakang: Pemeriksaan radiografis merupakan pemeriksaan lanjutan untuk mendapatkan informasi diagnostik dengan teknik radiografis yang mempunyai indikasi sesuai tujuan pemeriksaan. Dibutuhkan analisis kebutuhan pelayanan masyarakat berdasarkan distribusi penggunaan teknik radiografis gigi yang sering digunakan di RSKGM FKG UI (Rumah Sakit Gigi dan Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia). Belum ada penelitian mengenai gambaran jumlah radiografis yang digunakan sesuai data sosiodemografi di kota besar di Indonesia. Tujuan: Mengetahui jumlah distribusi sosiodemografi dan pemeriksaan radiografis pada surat konsul radiologi di RSKGM FKG UI bulan Januari 2016 - Desember 2017. Metode: Penelitian ini dilakukan dengan cara melihat data kunjungan pasien yaitu data yang ada pada register screening dan radiologi setiap harinya selama satu bulan dalam dua tahun terakhir yaitu dari bulan Januari 2016 – Desember 2017 di klinik Radiologi RSKGM FKGUI. Data sosiodemografi yang dicatat adalah jenis kelamin dan usia pasien. Asal surat rujukan dan jenis teknik radiografis disertakan dalam analisis. Hasil: Frekuensi terbanyak klinik adalah klinik Integrasi dengan rata-rata kunjungan yaitu 31,6%, diikuti oleh klinik Diagnostik dengan rata-rata 27,25%, kemudian diikuti oleh Klinik Pedodonti dengan rata-rata 14,35% setiap tahunnya. Frekuensi tertinggi pengunjung adalah wanita dengan rata-rata frekuensi 60,4% dan frekuensi lakilaki dengan rata-rata 39,6% setiap tahunnya. Frekuensi tertinggi teknik yang digunakan yaitu fotografi Periapikal dengan rata-rata penggunaan 1.378 kali , diikuti oleh teknik fotografi Panoramik dengan rata-rata penggunaan 523 kali, kemudian diikuti oleh teknik fotografi Sefalometri Lateral dengan rata-rata penggunaan 73 kali per tahun. Frekuensi umur terbanyak adalah kelompok umur 17-25 tahun yaitu masa remaja akhir dengan rata-rata pengunjung yaitu 29,25%, diikuti oleh kelompok umur 26-35 tahun yaitu masa dewasa awal dengan rata-rata 22,85%, kemudian diikuti oleh kelompok umur 6-11 tahun yaitu masa kanakkanak dengan rata-rata 12% per tahun. Kesimpulan: Pengunjung tertinggi klinik Radiografi RSKGM FKG UI pada tahun 2016 sampai 2017 memiliki jenis kelamin wanita dengan kelompok umur 17-25 tahun. Klinik yang paling sering merujuk untuk pemeriksaan radiografi adalah klinik Integrasi.Teknik yang paling sering digunakan untuk pemeriksaan radiografi adalah teknik radiografi Dental.

Background: Radiographic examination has many techniques that serves on different purposes and indication. An analysis of the community service needs is needed based on the distribution of radiographic techniques that is frequently used to give information about the amount and distribution of radiographic technique that is frequently used in RSKGM FKG UI. There has been no past studies conducted about radiographic technique usage and distributionn based on sociodemographic data in urban area in Indonesia. Objectives: To determine the frequency distribusi of sociodemographic and radiographic examination on refering letter in RSKGM FKG UI between January 2016 – December 2017. Methods: The study is conducted by observing the data of patients visiting the RSKGM FKG UI in Radiology clinic that has been noted by the register screening every day in the course of on month from January 2016 – December 2017. Results : The most frequent refering clinic are Integrated clinic with the average of 31,6%, followed by Diagnostic clinic with the average of 27,25%, and followed by Pedodontic department with the average of 14,35% every year. Frequency of patient doing the radiographic examination are women in the average of 60,4% and men in the average of 39,6% every year. The most frequently used radiographic techniques are Periapical radiograph in the average of 1.378 times, followed by Panoramic radiograph in the average of 523 times, and followed by Lateral Cephalometry in the average of 73 times per year. The most frequent patient age group that has been visiting are age group 17-25 years with the average of 29,25%, followed by age group 26-35 year with the average of 22,85%, and followed by age group 6-11 year with the average of 12% per year. Conclusion: The most frequent patient visiting Radograph clinic in RSKGM FKG UI in the year of 2016 to 2017 is female with age group 17-25%. The most frequent refering clinic is Integrated clinic. The most frequent radiograph technique is Dental radiograph."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2018
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Avi Aisyah Ramadini
"Latar Belakang: Perlu dilakukan penelitian untuk melihat perbedaan gambaran jaringan lunak wajah pria dan wanita khususnya ras Deutro-Melayu. Profil wajah lurus dipilih karena profil wajah lurus tidak mengindikasikan adanya disproporsi dental dan fasial sehingga individu dengan profil wajah lurus diindikasikan memiliki oklusi normal serta penampilan wajah dan dental yang dapat diterima. Tujuan: Mengetahui gambaran jaringan lunak wajah pasien pria dan wanita ras Deutro-Melayu dengan profil wajah lurus di RSKGM FKG UI beserta perbedaannya. Metode: Penelitian ini menggunakan 56 rekam medis dan sefalogram lateral pasien pria dan wanita berusia 18-25 tahun ras Deutro-Melayu sebelum perawatan ortodonsia. Analisis dilakukan menggunakan uji T tidak berpasangan dan uji Mann-Whitney. Hasil: 8 parameter pengukuran menunjukkan perbedaan bermakna antara pria dan wanita (p<0,05) yakni pada kecembungan fasial, kecembungan fasial total, sudut nasofrontal, sudut mentolabial, sudut servikomental, posisi hidung terhadap bidang fasial, posisi bibir atas terhadap bidang fasial, dan posisi bibir bawah terhadap bidang fasial. Pria menunjukkan hasil pengukuran yang lebih besar dibandingkan dengan wanita, kecuali pada sudut nasofrontal yang secara statistik menunjukkan nilai rerata wanita lebih besar dibandingkan pria. Kesimpulan: Terdapat perbedaan bermakna antara gambaran jaringan lunak wajah pria dan wanita ras Deutro-Melayu dengan profil wajah lurus.

Background: It is necessary to conduct research to see the difference of facial soft tissue profile in male and female especially Deutro-Malay race. Straight face profile is selected because it does not indicate any dental and facial disproportions, so that individuals with straight facial profiles are indicated to have normal occlusion and acceptable facial and dental appearance. Objective: To compare the difference of facial soft tissue image in Deutro-Malay male and female with straight facial profile. Method: This study used medical records and lateral cephalograms of 56 male and female patients aged 18-25 with Deutro-Malay race before orthodontic treatment. Measurement performed with independent sample T-test and Mann-Whitney test. Result: 8 measurement parameters showed significant difference (p<0,05) those are facial convexity, total facial convexity, nasofrontal angle, mentolabial angle, cervicomental angle, position of nose to facial plane, position of upper lip to facial plane, and position of lower lip to facial plane. Male showed larger measurements than female, except in nasofrontal angle that statistically showed that female's mean score was greater than male. Conclusion: There is a significant difference between facial soft tissue image in Deutro-Malay male and female with straight facial profile.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2017
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mochamad Prabu Alfarikhi
"Latar Belakang: Profil wajah lurus merupakan profil wajah yang dianggap ideal dan menarik secara estetika. Perlu diketahui gambaran skeletal wajah pria dan wanita yang memiliki profil wajah lurus sebagai acuan dalam perawatan ortodonti. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran skeletal wajah antara pria dan wanita ras Deutro-Melayu yang memiliki profil wajah lurus beserta perbedaanya. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional dengan desain potong lintang. Penelitian ini menggunakan 58 sefalogram lateral dari rekam medik pasien berusia 18-25 tahun, sebelum dilakukan perawatan ortodontik di RSKGM FKG UI. Dilakukan uji T tidak berpasangan dan uji Mann-Whitney Hasil: Pria menunjukan nilai rerata sudut Y-axis, FMIA, IMPA, dan sudut interinsisal lebih besar daripada wanita. Nilai rerata sudut SNA, SNB, ANB, sudut fasial, sudut kecembungan, FMA, dan I-SN pada pria lebih kecil daripada wanita. Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan bermakna antara gambaran skeletal wajah pria dan wanita ras Deutro-Melayu dengan profil wajah lurus.

Background: Straight facial profile is considered as a profile that ideal and aesthetically attractive. The facial skeletal image of male and female with straight facial profile is used as a reference in orthodontic treatment. Objective: This research’s aim is to understand the facial skeletal image of Deutro-Malay male and female with straight facial profile and its difference. Method: This research is an analytic observational research with cross sectional design. This research used 58 lateral cephalograms from medical records of patients within 18-25 years old, before the orthodontic treatment is applied in RSKGM FKG UI. Independent T test and Mann-Whitney test are conducted. Result: Male’s facial skeletal image shows the average point of Y-axis, FMIA, IMPA dan interincisal angle is bigger than female’s. The angle’s average point of SNA, SNB, ANB, facial angle and convexity angle, FMA and I-SN angle of male’s facial skeletal image are smaller than found in female. Conclusion: There is no significant differences between facial skeletal image of Deutro-Malay male and female race with straight facial profile.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2017
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>