Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 153150 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhammad Saiful Rizal
"Latar Belakang: Endometriosis adalah terdapatnya jaringan (kelenjar dan stroma) abnormal mirip endometrium di luar uterus yang menyebabkan proses reaksi inflamasi kronis. Penderita endometriosis mengalami gangguan yang bersifat siklik dan terus menerus.Masalah lain adalah keterlambatan diagnosis. Laparoskopi adalah baku emas endometriosis, namun sulit untuk mengenali endometriosis pada stadium minimal dan ringan. Penanda atau biomarker sangat berguna untuk menghindari tindakan invasif yang tidak diperlukan, belum ada biomarker dapat memberikan gambaran secara jelas pada penggunaan klinis sehari-hari. Calprotectin adalah penanda dari inflamasi akut dan kronis yang diekspresikan pada granulosit terutama pada neutrofil, dan juga pada monosit, dan makrofag.25,26 belum ada penelitian yang meneliti hubungan calprotectin dengan penderita endometriosis. CRP merupakan marker inflamasi sistemik dan secara rutin digunakan sebagai penanda infeksi, inflamasi, atau kerusakan jaringan.30,31 Data mengenai kadar CRP perifer pada endometriosis jarang dan kontroversial.31
Tujuan: Diketahui korelasi calprotectin dan hs-CRP serum sebagai penanda inflamasi kronis terhadap derajat endometriosis menurut klasifikasi rASRM, yaitu derajat minimal, ringan, sedang, dan berat
Metode: Analisis observasional dengan desain potong lintang pada bulan Juli 2017-April 2018 di RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta, RSUP Fatmawati dan RSUP Persahabatan, Jakarta. Empat puluh enam pasien endometriosis yang akan menjalani laparoskopi atau laparotomi yang memenuhi syarat penelitian direkrut consecutive sampling diperiksa kadar serum Calprotectin dan hs-CRP. Penelitian ini disetujui oleh Komite Etik dan Penelitian tahun 2017
Hasil: Tidak adanya korelasi antara Calprotectin dengan derajat endometriosis (r=-0,16, p=0,278). Adanya korelasi positif lemah antara HsCRP dengan derajat endometriosis (r=0,29, p=0,050)
Kesimpulan: Kadar Calprotectin serum tidak memiliki korelasi dengan derajat endometriosis. Kadar HsCRP serum memiliki korelasi positif lemah dengan derajat endometriosis, HsCRP dan Calprotectin serum tidak dapat membedakan derajat endometriosis

Background: Endometriosis is defined as the presence of endometrial-like tissue (gland and stroma) outside the uterus, which induces a chronic inflammatory reaction. Patients with endometriosis experience cyclic and continuous symptoms. Another problem is delays in diagnosis. Laparoscopy is gold standart in endometriosis, but it is difficult to recognize endometriosis at minimal and mild stage. Biomarkers are very useful to avoid invasive procedure that are not needed, none of these have been clearly shown to be of clinical use. Calprotectin is a marker of acute and chronic inflammation which is expressed on granulocytes, especially in neutrophils, and also in monocytes, and macrophages. There have been no studies examining the relationship between calprotectin and endometriosis. CRP is a systemic inflammatory marker and it routinely used as a marker of infection, inflammation, or tissue damage. Data regarding the CRP level in peripheral blood of endometriosis patients are relatively scarce and controversial. Purpose: The purpose of this research is to identify correlation between calprotectin and hs-CRP as a marker of chronic inflammation with the degree of endometriosis according to the rASRM classification, which is minimal, mild, moderate, and severe. Method: Analysis observational with cross sectional study design in July 2017-April 2018 at Cipto Mangunkusumo General Hospital Jakarta, Fatmawati General Hospital and Persahabatan Hospital, Jakarta. Forty-six endometriosis patients undergoing laparoscopy or laparotomy who met the study requirements were recruited by consecutive sampling to be examined for serum levels of Calprotectin and hs-CRP. This study was approved by Ethics and Research Committee in 2017 Results: No correlation between Calprotectin and the degree of endometriosis (r=-0.16, p=0.278). There was a weak positive correlation between HsCRP and the degree of endometriosis (r=0.29, p=0.050). Conclusion: Calprotectin levels uncorrelated with the degree of endometriosis. HsCRP levels have a weak positive correlation with the degree of endometriosis, HsCRP dan Calprotectin cannot distinguish the degree of endometriosis"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mutiara Ramadhiani
"Psoriasis vulgaris merupakan penyakit inflamasi kronik kulit yang didasari oleh proses imunologi. Derajat keparahan psoriasis vulgaris dinilai secara klinis dengan penilaian body surface area (BSA) dan psoriasis area and severity index (PASI). Inflamasi kulit pada psoriasis vulgaris diperankan oleh berbagai sitokin inflamasi yang dapat meningkatkan inflamasi sistemik dan aktivasi trombosit. High sensitivity c-reactive protein (hs-CRP) sebagai penanda inflamasi sistemik serta mean platelet volume (MPV) sebagai penanda aktivasi trombosit diduga dapat dijadikan prediktor derajat keparahan psoriasis vulgaris. Penelitian ini berdesain observasional analitik potong lintang. Setiap subjek penelitian (SP) dengan psoriasis vulgaris yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan perhitungan derajat keparahan psoriasis vulgaris dengan PASI dan BSA. Selanjutnya, dilakukan pemeriksaan kadar hs-CRP dan MPV. Dari 32 SP, didapatkan korelasi positif tidak bermakna antara hs-CRP dengan BSA (r=0,118; p=0,518) dan PASI (r=0,322; p=0,073). Korelasi negatif tidak bermakna ditunjukkan antara MPV terhadap BSA (r=-0,035; p=0,848)dan PASI (r=-0,035; p=0,848). Korelasi antara hs-CRP dengan MPV tidak bermakna (r=-0,178; p=0,329). Nilai hs-CRP dan MPV tidak memiliki korelasi bermakna terhadap PASI dan BSA sehingga tidak dapat digunakan sebagai prediktor yang spesifik untuk keparahan psoriasis vulgaris.

Psoriasis vulgaris is a chronic immunologic inflammatory skin disease. The severity of psoriasis vulgaris is clinically-assessed by using body surface area (BSA) and the psoriasis area and severity index (PASI). Skin inflammation in psoriasis vulgaris is played by various inflammatory cytokines that can perpetuate systemic inflammation and platelet activation. High sensitivity c-reactive protein (hs-CRP) as a marker of systemic inflammation and mean platelet volume (MPV) as a marker of platelet activation are thought to be predictors of psoriasis vulgaris severity.
This is a cross-sectional analytic observational study. Each subject with psoriasis vulgaris who met the inclusion and exclusion criteria underwent anamnesis, physical examination, and assessment of PASI and BSA, then examined for hs-CRP and MPV levels.
Among the 32 subjects, a weak insignificant positive correlation was found between hs-CRP and BSA (r=0.118; p=0.518)and PASI (r=0.322; p=0.073). A weak negative insignificant correlation was shown between MPV and BSA (r=-0.035; p=0.848) and PASI (r=-0.035; p=0.848). No significant correlation was found between hs-CRP and MPV (r=-0.178; p=0.329
The hs-CRP and MPV levels ​​do not have a significant correlation with PASI and BSA, therefore cannot be used as specific predictors of psoriasis vulgaris severity.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammad Haekal
"Pendahuluan : Infertilitas merupakan salah satu gejala pada endometriosis dengan prevalensi mencapai 40-50%. Endometriosis memiliki dampak merugikan terhadap kualitas oosit, sementara sampai saat ini belum ada biomarker baik dari serum ataupun cairan folikel yang dapat dijadikan acuan penilaian kualitas oosit untuk dapat digunakan pada pasien endometriosis yang menjalani fertilisasi in vitro (FIV). Telah ditemukan bahwa pada serum pasien endometriosis terjadi perubahan ekspresi microRNA dimana miRNA-125b memiliki peningkatan yang paling signifikan dengan sensitifitas dan spesifisitas yang paling tinggi. Pada cairan folikel, miRNA-125b berperan saat transisi fase folikular-luteal dengan mempengaruhi ekspresi leukemia inhibitory factor (LIF). LIF diketahui dapat menginduksi sel kumulus yang kemudian mempengaruhi maturasi oosit.
Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah untuk mencari apakah terdapat hubungan antara miRNA-125b serta LIF dengan kualitas oosit pada pasien infertil dengan endometriosis.
Desain: Studi Analitik korelatif dengan desain potong lintang.
Material dan Metode: Sampel penelitian didapatkan dari 31 pasien infertil dengan endometriosis yang menjalankan program FIV di Klinik Yasmin RSCM Kencana, dan Klinik Melati RSAB Harapan Kita. Sesaat sebelum petik ovum, sebanyak 5cc sampel darah dari setiap pasien akan diambil untuk penilaian ekspresi miRNA-125b. Pada saat petik ovum, sebanyak 10cc dari total cairan dari folikel yang didapat akan diambil untuk penilaian ekspresi miRNA-125b dan kadar LIF. Oosit yang didapat dinilai oleh embriolog. Pemeriksaan ekspresi miRNA dilakukan dengan RT-PCR, dan kadar LIF menggunakan metode sandwich ELISA.
Hasil:Terdapat korelasi negatif antara miRNA-125b serum dengan LIF cairan folikel (p=0,042; r=-0,34). Tidak terdapat korelasi antara miRNA-125b serum dengan miRNA-125b cairan folikel. Tidak terdapat korelasi antara miRNA-125b cairan folikel dengan LIF cairan folikel. Tidak terdapat korelasi antara miRNA-125b serum, miRNA-125b cairan folikel, dan LIF cairan folikel dengan kualitas oosit. Terdapat hubungan yang bermakna antara kadar ekspresi miRNA-125b cairan folikel dengan angka kehamilan biokimia.
Kesimpulan: Terdapat ekspresi miRNA-125b pada serum dan cairan folikel pada pasien endometriosis, namun miRNA-125b belum dapat dijadikan sebagai parameter yang kuat untuk pemeriksaan kualitas oosit pada pasien endometriosis yang menjalani FIV.

Introduction : Infertility is one of the symptoms in endometriosis with prevalence reaching 40-50%. Endometriosis is known to have detrimental effect on oocyte quality, yet until now there is no biomarker derived from either serum, or even follicular fluid, which can be used as reference for oocyte quality assessment in endometriosis patients going through in vitro fertilization (IVF) procedures. Changes of some microRNAs expression has been found in serum of endometriosis patients, with miRNA-125b showing the most significant increase with the highest sensitivy and specificity. In follicular fluid, miRNA-125b play role during follicular-lutheal phase transition by targeting the expression of Leukemia Inhibitory Factor (LIF). LIF has been studied to have the ability to induce cumulus cell expansion which in turn will affect the oocytes maturation.
Purpose: The purpose of this study is to observe the correlation between miRNA-125b, LIF, and oocyte quality in infertile patient with endometriosis.
Design: this is a cross-sectional study with correlation analysis method.
Materials and Methods: in this study, samples were collected from 31 infertile women with endometriosis undergoing in vitro fertilization procedure at Yasmin Clinic of Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital, and Melati Clinic of Harapan Kita Mother and Child Hospital. Shortly prior to ovum pick up (OPU) procedure, 5cc of blood sample from each patients was collected, and 10 cc of total follicular fluid was obtained during OPU. Harvested oocytes during the procedure were assessed and scored by embryologist. MiRNA-125b expressions from serum and follicular fluid samples were analyzed using RT-PCR, and LIF levels were analized using ELISA sandwich method.
Result: negative correlation was found between the expression of miRNA-125b serum and LIF follicular fluid (p=0,042; r=-0,34). No correlation was found between the expression of miRNA-125b in serum and in follicular fluid, as well as the expression of miRNA-125b in follicular fluid and LIF in follicular fluid. No correlation was found between the expression of miRNA-125b in serum, follicular fluid, also LIF in follicular fluid, with oocyte quality. Significant result was found between the expression of miRNA-125b in follicular fluid and biochemical pregnancy rate.
Conclusion: This study found miRNA-125 expression represented in serum and follicular fluid in endometriosis patient, but it still cannot be used as a strong parameter for assessing the oocyte quality in infertile women with endometriosis
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Patricia Amanda
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi antara asupan karbohidrat, protein dan lemak dengan kadar C-Reactive Protein pada pasien kanker paru stadium IIIB-IV. Progresivitas kanker paru dipengaruhi oleh sistem kekebalan tubuh, faktor genetik dan respon inflamasi. CRP sebagai salah satu marker inflamasi dapat diandalkan sebagai salah satu parameter untuk memprediksi perkembangan kanker. Subjek didapatkan melalui consecutive sampling yang melibatkan 49 subjek kanker paru stadium IIIB ndash; IV yang tidak sedang menjalani terapi di RS Kanker 'Dharmais'. Hasil penelitian didapatkan rerata usia 55,82 12,26 tahun, sebanyak 63,3 berjenis kelamin laki-laki. Nilai median CRP yaitu 23,82 0,30 - 207,29 mg/L. Pada penelitian ini tidak ditemukan adanya korelasi yang bermakna antara asupan karbohidrat dengan kadar CRP serum p = 0,919 , asupan protein dengan kadar CRP serum p = 0,257 dan asupan lemak dengan kadar CRP serum p = 0,986 . Kesimpulan: pada penelitian ini tidak didapatkan korelasi antara asupan karbohidrat, protein dan lemak dengan kadar CRP serum sebagai penanda perkembangan kanker.

The aim of the study was to determine the correlation between carbohydrate, fat and protein intake with the serum C Reactive Protein level in lung cancer patients stage IIIB ndash IV. The progression of lung cancer is influenced by immune system, genetic factors and inflammatory response, therefore CRP can be relied as one of the parameters for predicting cancer cell growth. Subjects were recruited by consecutive sampling, 49 subjects with lung cancer stage IIIB IV who currently not receving any treatment in Dharmais Cancer Hospital participating in this study. The mean age of subject was 55,82 12,26 years old and 63,3 were male. The median value of CRP was 23,82 0,30 207,29 mg L. This study did not showed significant correlation between carbohydate, protein and fat intake with serum CRP value p 0,919 p 0,257 p 0,986, respectively. In conclusion, there is no correlation between carbohydrate, protein and fat intake with serum CRP level in lung cancer stage IIIB ndash IV."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muningtya Philiyanisa Alam
"Proses inflamasi pada kanker kepala dan leher menyebabkan peningkatan sitokin proinflamasi dan sintesis protein fase akut c-reactive protein, CRP yang kemudian menyebabkan perubahan metabolisme dan anoreksia pada penderitanya. Seng merupakan zat gizi yang memiliki peran penting dalam menekan inflamasi, namun dilaporkan sekitar 65 pasien kanker kepala dan leher mengalami kekurangan seng. Penelitian potong lintang ini bertujuan mengetahui korelasi antara asupan seng dan kadar seng serum dengan kadar c-reactive protein CRP sebagai upaya menekan inflamasi sehingga dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas pasien kanker kepala leher. Dari 49 subyek yang dikumpulkan secara konsekutif di Poliklinik Onkologi RS Kanker Dharmais, 67,3 adalah laki-laki, rentang usia subyek 46 ndash;65 tahun. Frekuensi terbanyak 65,3 adalah kanker nasofaring dan 69,4 berada pada stadium IV. Seratus persen subyek memiliki asupan seng dibawah nilai angka kecukupan gizi. Rerata kadar seng serum subyek adalah 9,83 2,62 mol/L. Sebanyak 51 subyek memiliki kadar CRP yang meningkat. Terdapat korelasi negatif yang lemah antara kadar seng dengan kadar CRP subyek r =-0,292, p =0,042, namun tidak terdapat korelasi antara asupan seng dengan kadar CRP subyek p =0,86.

The inflammatory process of head and neck cancer leads to increase the proinflammatory cytokines and the synthesis of c reactive protein CRP , which then causes metabolic alteration and anorexia in the patients. Zinc is one of nutrient that has an important role in suppressing inflammation. It is reported that about 65 of head and neck cancer patients have zinc deficiency. The aim of this cross sectional study is to determine the correlation between zinc intake and serum zinc levels with CRP level as an effort to reduce inflammation to reduce the morbidity and mortality of head and neck cancer patients. Subjects were collected by consecutive sampling in the Oncology Polyclinic Dharmais Cancer Hospital, from 49 subjects 67,3 were men, most subjects were in the age range between 46 ndash 65 years. The highest frequency 65,3 is nasopharyngeal cancer and 69,4 are already in stage IV. All subjects in this study have a zinc intake below the recommended dietary allowance RDA in Indonesia. The mean serum zinc level of the subjects was 9.83 2.62 mol L. Most subjects have elevated CRP levels. There was a weak significant negative correlation between zinc concentration and CRP levels of subjects r 0.292, p 0.042, but there was no correlation between zinc intake and CRP levels of subjects p 0.86. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erna Parmawati
"Pendahuluan: C-reactive protein CRP dan procalcitonin PCT merupakan penanda diagnostik dan pemantauan sepsis neonatorum yang paling banyak digunakan. Saat ini terdapat penanda sepsis baru yaitu Soluble CD14 subtype sCD14-ST presepsin. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui manfaat pemeriksaan serial kadar presepsin, CRP dan PCT serta korelasi antara kadar presepsin dengan kadar CRP dan PCT sebagai penanda respons terapi dan prognosis pasien SNAL pada neonatus prematur.
Metode: Desain penelitian kohort prospektif. Subjek penelitian terdiri dari 40 neonatus prematur sehat dan 40 pasien neonatus prematur SNAL dan dilakukan pemeriksaan kadar presepsin, CRP dan PCT, selanjutnya dilakukan pemantauan kadar presepsin, CRP dan PCT pasien neonatus prematur SNAL hari ke-3 dan ke-6 setelah diterapi. Pasien neonatus prematur SNAL dikelompokkan menjadi 20 pasien respons terapi dan 20 pasien non respons. Mortalitas pasien neonatus prematur SNAL ditentukan pada pemantauan hari ke-30.
Hasil: Median kadar presepsin, CRP dan PCT pada neonatus prematur SNAL masing-masing adalah 1559 pg/mL 427 ndash; 4835 pg/mL, 16.35 mg/L 0.1 ndash; 245.6 dan 4.11 ng/mL 0.17 ndash; 54.18 lebih tinggi secara bermakna dibandingkan pada neonatus prematur sehat 406 pg/mL 195 ndash; 562 pg/mL, 1.22 mg/L 0.1 ndash; 3.69 dan 0.03 0.01 ndash; 0.04 dengan nilai p.

Introduction: C reactive protein CRP and procalcitonin PCT are marker of neonatal sepsis diagnostics and monitoring of the most widely used. Currently there is a new marker of sepsis that is Soluble CD14 subtype sCD14 ST presepsin. This study aims to determine the benefits of serial presepsin levels, CRP and PCT as well as the correlation between presepsin with CRP and PCT as a marker of response to therapy and prognosis of patients SNAL in premature neonates.
Methods. This was prospective cohort, from 20 healthy preterm neonates and 40 LOS preterm neonates patient. The concentration of presepsin, CRP and PCT were analysed. Presepsin, CRP and PCT measured in both group and in 3rd 6th day sepsis follow up after therapy. Therapeutic respons was done in 20 LOS preterm neonates patient and 20 preterm neonates patient was not. The mortality of LOS preterm neonates patient saw in 30th day observation.
Results: Median of presepsin, CRP and PCT in LOS preterm neonates are 1559 pg mL 427 ndash 4835 pg mL, 16.35 mg L 0.1 ndash 245.6 and 4.11 ng mL 0.17 ndash 54.18, respectively, are significantly higher than healty preterm neonates 406 pg mL 195 ndash 562 pg mL, 1.22 mg L 0.1 ndash 3.69 and 0.03 0.01 ndash 0.04, p value
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Cici Nuriah
"Hs-CRP adalah sebuah protein fase akut yang dihasilkan oleh hati yang berperan sebagai prediktor independen yang kuat dalam mengindikasikan risiko aterosklerosis. Sitokin adalah protein kecil yang diproduksi oleh sel T helper (Th) dan makrofag untuk memengaruhi respon imun. Sitokin yang diteliti dibedakan menjadi 2, yaitu sitokin pro-inflamasi (IL-6 dan IL-8) dan sitokin anti-inflamasi(IL-10). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan hs-CRP dan sitokin inflamasi pada pasien lansia usia di atas 60 tahun yang melakukan operasi bedah pintas arteri koroner di RS. Pusat Jantung Nasional Harapan Kita serta kaitannya dengan lama rawat di ICU, sehingga dapat menjadi indikator pengurangan risiko komplikasi pasca-operasi. Konsentrasi hs-CRP dan sitokin inflamasi dianalisis dari plasma darah dengan metode ELISA dan Luminex. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan bermakna kadar hs-CRP, IL-6, dan IL-8 antar kelompok pra-operasi dan pasca-operasi. Terdapat korelasi positif antar kadar plasma darah sitokin pro-inflamasi (IL-8) terhadap lama rawat di ICU, dengan koefisien korelasi= 0,459 dan nilai relative risk sebesar 2,7 artinya berindikasi 2,7 kali beresiko terhadap perpanjangan lama rawat di ICU.

Hs-CRP is an acute-phase protein produced by the liver and serving as a strong independent predictor of atherosclerosis risk. Cytokines are small proteins produced by helper T cells (Th) and macrophages to influence the immune response. The cytokines studied are divided into two categories: pro-inflammatory cytokines (IL-6 and IL-8) and anti-inflammatory cytokines (IL-10). This study aims to determine changes in hs-CRP and inflammatory cytokines in elderly patients over 60 years old undergoing coronary artery bypass surgery at the Pusat Jantung Nasional Harapan Kita Hospital and their relationship with ICU length of stay, thereby serving as indicators for reducing the risk of postoperative complications. The concentrations of hs-CRP and inflammatory cytokines were analyzed from blood plasma using ELISA and Luminex methods. The results showed significant differences in levels of hs-CRP, IL-6, and IL-8 between pre-operative and post-operative groups. There was a positive correlation between plasma levels of the pro-inflammatory cytokine IL-8 and the length of ICU stay, with a correlation coefficient of 0.459 and a relative risk value of 2.7, indicating a 2.7 times higher risk of prolonged ICU stay."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suhendiwijaya
"Perjalanan klinis IMA yang berupa kejadian kardiak seperti gagal jantung, angina paska infark, aritmi ventrikel dan kematian, dilaporkan cukup tinggi, termasuk yang dilaporkan di RSJHK. Banyak petanda-petanda laboratorium untuk mendeteksi dini terhadap komplikasi dari perjalanan klinis IMA diperiksa sebagai petanda prognostik. Kini ada beberapa peneliti menghubungkan petanda proses inflamasi sebagai nilai prognostik, karena mereka mempunyai pendapat bahwa patologi dari sindroma koroner akut termasuk infark miokard akut merupakan respons inflamasi dari suatu cidera sel. Akibat cidera sel ini tubuh memberikan respon sistemik dengan mengeluarkan protein-protein fase akut Dari protein-protein fase akut yang dikeluarkan tubuh yang paling terbanyak dan sensitif adalah CRP. Tujuan penelitian iní untuk mengetahui nilai CRP penderita IMA pada saat masuk di unit gawat darurat dan mengetahui hubungan peningkatan nilai CRP awal pada infark miokard akut terhadap perjalanan klinis selama perawatan rumahsakit, sehingga diharapkan dapat digunakan sebagai faktor prognosis terhadap perjalanan klinis IMA. Penelitian ini dikerjakan di RSJHK secara studi cross sectional terhadap 31 penderita IMA yang masuk ke unit gawat darurat berdasarkan kriteria yang telah ditentukan. Pemeriksaan nilai CRP dengan menggunakan metode turbidimetri alat Hitachi/BM 911, dengan nilai normal CRP < 0,5 mg/dl (Standard Internasional). Hasil penelitian didapatkan umur rerata penderita 53,2 8,64 tahun, dengan kelompok kelamin laki-laki 27 orang (87,1 %) dan perempuan 4 orang (12,9 %) dengan onset sakit dada 4,2 ± 2,7 jam. Diagnosa infark anterior 22 orang (71 %) dan diagnosa infark inferior 9 orang (29 %). Didapatkan rerata nilai CRP awal 0,7 ±0,79 mg/dl, CRPjam ke 12 rerata 1,7 ±2, 15 mg/dl dan CRP jam ke 72 rerata 6,8 ± 5,65 mg/dl. Terdapat korelasi yang kuat antara peningkatan nilai CRP awal dengan komplikasi klinis IMA (r-0,6; p-0,0004). CRP jam ke 12 dan jam ke 72 mempunyai korelasi lemah (masing-masing r0,4;p-0,03 dan r0,4; p-0,006) terhadap komplikasi klinis. Peningkatan nilai CRP mempunyai korelasi linier positif terhadap nilai puncak enzim jantung. Peningkatan nilai CRP awal mempunyai hubungan bermakna dengan nilai CK/CKMB puncak (P<0,05) dan berkorelasi positif sedang (r-0,5) Demikian juga dengan nilai CRP ke 72 (CRP puncak) mempunyai hubungan linier positif dengan enzim CK puncak dan CKMB puncak. Komplikasi klinis IMA seperti gagal jantung mempunyai hubungan bermakna dengan nilai CRP awal yang meningkat (87,5% vs 12,5%; p-0,009) dibandingkan nilai CRP awal normal, demikian juga dengan angina paska IMA berbeda bermakna antara nilai CRP yang meningkat dengan nilai CRP normal (85,7% vs 14,3%; p-0,02). Nilai CRP awal yang meningkat mempunyai rasio odd 30,8 (IK 95%: 3,1-303,4) terhadap perjalanan klinis IMA selama perawatan rumahsakit. Kesimpulan: Peningkatan nilai CRP pada saat masuk rumahsakit mempunyai hubungan terhadap perjalanan klinis IMA selama perawatan rumahsakit dan nilai CRP mempunyai nilai prognostik."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999
T57280
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Anastasya
"Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui korelasi antara penilaian risiko malnutrisi menggunakan skor PG-SGA dengan kadar CRP serum sehingga dapat digunakan untuk memprediksi tingkat inflamasi pada pasien kanker kepala dan leher stadium I_IV guna mencegah terjadinya kaheksia. Malnutrisi hingga kaheksia pada kanker terjadi karena interaksi faktor tumor, faktor pejamu dan faktor-faktor lainnya. Faktor tumor berupa sitokin pro-inflamasi akan memicu respons pejamu untuk memproduksi protein fase akut seperti CRP. Protein fase akut memerlukan sejumlah substrat yaitu asam amino yang berasal dari otot rangka. Otot rangka akan mengalami degradasi sehingga menyebabkan wasting otot rangka. Oleh karena itu, CRP selain dapat digunakan sebagai marker inflamasi sistemik juga dapat digunakan sebagai salah satu indikator faktor risiko yang berperan dalam terjadinya malnutrisi dan kaheksia. Efek wasting otot rangka yang ditimbulkan secara tidak langsung oleh CRP dapat dinilai dengan terdapatnya penurunan BB maupun berkurangnya massa otot yang juga merupakan komponen dalam penilaian PG-SGA. Penelitian ini merupakan studi potong lintang dengan menggunakan consecutive sampling yang melibatkan 51 subjek kanker kepala dan leher stadium I_IV yang belum mendapatkan terapi. Hasil penelitian didapatkan rerata usia 46,6 13,9 tahun, sebanyak 76,5 berjenis kelamin laki-laki. Kanker nasofaring merupakan kanker terbanyak 80,4 , dan stadium terbanyak yaitu stadium IVA. Rerata indeks massa tubuh IMT yaitu 20,6 4,0 kg/m2, dan sebanyak 37,3 subjek berada pada IMT normal. Berdasarkan skor PG-SGA sebanyak 64,7 subjek berisiko tinggi malnutrisi dengan rerata skor PG-SGA 11,7 6,2. Nilai median CRP yaitu 6,4 0,4_170,4 . Penelitian ini memperoleh korelasi positif yang signifikan antara skor PG-SGA dengan kadar CRP serum dengan kekuatan korelasi lemah r = 0,372; p = 0,007.

The purpose of this study was to determine the correlation between the malnutrition risk assessment using PG SGA score with serum CRP levels so that it can be used to predict the levels of inflammation in head and neck cancer patients stage I IV to prevent cachexia. Malnutrition and cancer cachexia occurs due to the interaction of tumor factors, host factors and other factors. Tumor factors such as pro inflammatory cytokines will trigger a response of the host to produce acute phase proteins such as CRP. Acute phase protein which require a number of amino acids derived from skeletal muscle. Skeletal muscles will be degraded, causing skeletal muscle wasting. Therefore, CRP can be used as a marker of systemic inflammation and can be used as one indicator of the risk factors also that contribute to malnutrition and cachexia. Effect of skeletal muscle wasting which caused indirectly by the CRP can be assessed by the weight loss and reduced muscle mass which is a component in the assessment of PG SGA also. This study is a cross sectional study using consecutive sampling, 51 subjects head and neck cancer stage I IV who had not received treatment participated in this study. Data showed the mean age of subjects was 46.6 13,9 years, and 76 were male. Most cancer sites were as nasopharyngeal 80,4, and mostly in stage IVA. The mean body mass index BMI is 20,6 40 kg m2, with most of the BMI is normal 37,3. Based on PG SGA score 64,7 of the subjects at high risk of malnutrition, and the PG SGA mean score is 11,7 6,2. The median value of CRP is 6,4 0,4 170,4. The result of this study showed a significant positive correlation between PG SGA score with serum CRP levels with the strength of correlation is weak r 0,372 p 0,007. "
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lubis, Andriamuri Primaputra
"Latar Belakang. Pasien yang mengalami sepsis dan syok sepsis akan mengalami disfungsi organ akibat reaksi radikal bebas dengan sel endotel mikrovaskular sehingga menyebabkan tingkat morbiditas dan mortalitas yang cukup tinggi. Kondisi difungsi organ dapat diukur melalui perubahan kadar Interleukin-6 (IL-6), C-Reactive Protein (CRP), dan skor Sequential Organ Failure Assessment (SOFA) yang terjadi pada pasien-pasien tersebut. Pemberian asam askorbat yang memiliki kemampuan sebagai free radical scavenging, diharapkan dapat menurunkan proses peradangan atau inflamasi sehingga terjadi perbaikan fungsi organ. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran pemberian asam askorbat 6 gram secara intravena terhadap perubahan kadar IL-6, CRP, dan skor SOFA pada pasien sepsis dan syok sepsis di ruang perawatan intensif.
Metodologi. Penelitian ini merupakan uji klinis dengan desain uji acak terkontrol, tersamar tunggal yang dilakukan terhadap pasien usia 18-65 tahun dengan diagnosis sepsis atau syok sepsis dalam perawatan 24 jam pertama masuk intensive care unit (ICU) RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo-Jakarta dan ICU RSUP H. Adam Malik-Medan sejak bulan Juli sampai dengan Desember 2019. Sebanyak 49 subyek dirandomisasi menjadi dua kelompok. Kelompok perlakuan (n=23), yang menerima vitamin C 1,5 gram per 6 jam selama 3 hari, dan kelompok kontrol (n=26), yang tidak menerima vitamin C tersebut. Pemeriksaan kadar IL-6, kadar CRP, dan skor SOFA dilakukan pada jam ke-24, 48, dan 72.
Hasil. Tidak terdapat perubahan bermakna pada kadar IL-6 (P=0,423), CRP (P=0,080), dan skor SOFA (P=0,809) antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan.
Kesimpulan. Pemberian asam askorbat 6 gram secara intravena tidak memberikan perubahan bermakna terhadap kadar IL-6, CRP, dan skor SOFA pada pasien sepsis dan syok sepsis di ruang perawatan intensif.

Background. Septic and septic shock patients will have organ dysfunctions due to free radical reaction with microvacular endothelial cells, thus morbidity and mortality rate will increase in these conditions. Those organ dysfunctions can be measured through the changes of Interleukin-6 (IL-6) levels, C-Reactive Protein (CRP) levels, and Sequential Organ Failure Assessment (SOFA) scores. The administration of ascorbic acid has a feature known as free radical scavenging. The feature is expected to reduce the inflammatory rate in the organs and to improve the functions. This study was aimed to analyze the intravenous administration effect of 6 grams of ascorbic acid towards the changes of Interleukin-6 levels, C-Reactive Protein levels, and SOFA scores in septic and septic shock patients in intensive care unit
Methods. This was a single blind randomized controlled clinical trial study on patients aged 18-65 years old with septic and septic shock conditions in the first 24 hour care in intensive care unit (ICU) Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital-Jakarta and H. Adam Malik Hospital-Medan from July to December 2019. In total, 49 subjects were included in the study and randomized into two groups. Intervetion group (n=23) received 1.5 gram/6 hours of vitamin C in three days consecutively, whereas the control group (n=26) did not receive the vitamin C. Measurements of IL-6 levels, CRP levels, and SOFA scores were performed in the 24th, 48th, and 72th hour.
Results. There were no significant changes of IL-6 levels (p=0.423), CRP levels (p=0.080), and SOFA scores (p=0.809) between the two groups.
Conclusion. The intravenous administration of 6 grams of ascorbic acid did not significantly affect the changes of Interleukin-6 levels, C-Reactive Protein levels, and SOFA scores in septic and septic shock patients in intensive care unit.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>