Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 145036 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mohammad Rizaldi Pratama
"Riset ini membahas mengenai kepentingan politik pemerintah pusat di wilayah otonom. Hong Kong adalah wilayah otonomi khusus Tiongkok yang memiliki hak otonomi eksklusif kecuali pada bidang keamanan nasional dan kebijakan luar negeri. Permasalahan berawal dari Keputusan National Peoples Congress Standing Committee (NPCSC) tahun 2014 mengenai pelaksanaan universal suffrage untuk pemilihan Chief Executive Hong Kong Keputusan tersebut dianggap tidak demokratis oleh kelompok pro-demokrasi. Kelompok pro-demokrasi menduga ada intervensi politik Pemerintah Tiongkok yang ingin membatasi perkembangan demokrasi melalui keputusan NPCSC. Permasalahan tersebut menimbulkan pertanyaan bagaimana Pemerintah Tiongkok menggunakan Keputusan NPCSC mengenai Reformasi Pemilihan Umum Hong Kong tahun 2014 sebagai alat dalam membatasi perkembangan Demokrasi di Hong Kong. Untuk menganalisa masalah tersebut, riset ini menggunakan metode kualitatif dengan studi literatur. Lebih lanjut, permasalahan dalam riset ini dianalisis menggunakan teori Terry M. Moe mengenai rational choice di dalam institusi.
Teori ini menjelaskan bagaimana pihak yang berkuasa mempertahankan status quo kekuasaannya. Terdapat dua temuan dari riset ini. Pertama, terdapat hubungan antara Pemerintah Tiongkok dan NPCSC yang keduanya dikontrol oleh Partai Komunis Tiongkok. Kedua, hubungan tersebut mempengaruhi keputusan NPCSC tahun 2014 untuk memberikan syarat-syarat yang sulit dilaksanakan oleh calon Chief Executive untuk maju di pemilihan umum. Syarat-syarat yang ada adalah bentuk electoral authoritarian regime dari Pemerintah Tiongkok yang ingin mempertahankan status quo. Status quo yang berjalan pada tahun 2014 adalah keunggulan kelompok loyalis pro-Beijing di pemerintahan Hong Kong. Konsekuensi dari diloloskannya Keputusan NPCSC tahun 2014 oleh parlemen Hong Kong adalah tetap berjalannya status quo sampai dengan tahun 2047, walaupun dengan adanya universal suffrage. Tahun 2047 adalah batas akhir perjanjian Sino-British Joint Declaration yang menjamin hak otonomi eksklusif Hong Kong.

This research discusses the central governments interests in autonomous region. Hong Kong is Chinas Special Administrative Region which has its own exclusive autonomy in many aspects of government except in national security and foreign affairs. The problem came from a decision made by National Peoples Congress Standing Committee in 2014 about the implementation of universal suffrage in Hong Kongs Chief Excecutive election. The decision was deemed undemocratic by pro-democracy groups. They assumed that Chinas government was trying to obstruct the growth of democracy in Hong Kong throught NPCSCs decision. This problem raises a question about how the Chinese government used NPCSCs decision about Hong Kongs electional reform 2014 as a tool to limit the development of democracy in Hong Kong. To analyze this problem, this research uses qualitative method with literature studies. Furthermore, the problem in this research is analyzed using Terry M. Moes theory on rational choice in an institution.
This theory explains how the dominant group defends the status quo under its rule. There are two findings in this research. First, there is a relationship between Chinese government and NPCSC in which both of them are controlled by Communist Party of China. Second, the previously mentioned correlation has an impact towards 2014 NPCSC decision in form of requirements which deter Chief Executive candidates to run for the office. Those requirements are form of electoral authoritarian regime from the Chinese government which wants to preserve the status quo. The status quo in 2014 the status quo gave advantages to pro-Beijing loyalists in Hong Kong government. The consequence of the passage of NPCSC decision by Hong Kong parliament in 2014 is the preservation of status quo until 2047, although with the existence of universal sudfrage. 2047 is the deadline of Sino-British Joint Declaration which guarantees autonomous rights of Hong Kong.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Regina Audria
"Penelitian ini membahas mengenai sikap pemerintah RRT terhadap Hong Kong sesudah Gerakan Payung 2014. Permasalahan ini dimulai dari National People’s Congress Standing Committee (NPCSC) mengeluarkan keputusan terkait dengan universal suffrage pada pemilihan kepala eksekutif Hong Kong tahun 2017, yang memicu terjadinya Gerakan Payung 2014. Melalui gerakan ini, para demonstran menuntut universal suffrage bagi masyarakat Hong Kong. Gerakan yang berlangsung selama 79 hari ini tidak menghasilkan apapun, bahkan pemerintah RRT juga tidak memperlihatkan sikap terbuka untuk berkompromi dengan para demonstran. Permasalahan ini menimbulkan pertanyaan bagaimana sikap pemerintah RRT sesudah Gerakan Payung . Untuk menganalisa masalah tersebut, penulis menggunakan metode kualitatif dengan studi literatur sehingga mampu menjelaskan permasalahan dengan jelas dan detil. Lebih lanjut, permasalahan dalam penelitian ini dianalisis menggunakan pendekatan sejarah. Penelitian ini menemukan bahwa sikap pemerintah RRT sesudah Gerakan Payung 2014 adalah menjadi lebih ketat terhadap demokrasi di Hong Kong, terutama dalam bidang bidang politik, media, dan ekonomi Hong Kong.

This research discusses the attitude of the PRC Governemt towards Hong Kong after the Umbrella Movement 2014. The issue begun when the National People’s Congress Standing Committee (NPCSC) issued a decision about the implementation of universal suffrage in Hong Kong’s Chief Executive election 2017, which triggered the Umbrella Movement 2014. Through this movement, the demonstrators demand universal suffrage for the people of Hong Kong. The movement that lasted for 79 days did not bring anything, and indeed the PRC Government did not show an open attitude to compromise with the demonstrators. This problem raises a question about the attitude of the PRC Government after this Umbrella Movement. To analyze this problem, this research uses qualitative method with literature studies to explain the problem clearly and in detail. Furthermore, the problem in this research is analyzed using historical approach. This study found that after the Umbrella Movement 2014 PRC Government’s attitude was become more stringent towards democracy in Hong Kong, especially in politics, media, and the economy of Hong Kong."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yahuda, Michael
London: Routledge, 1996
951.250 5 YAH h
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Yahuda, Michael
London: Routledge, 1996
951.250 5 YAH h
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Amarilly Dwi Putri
Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2008
T-pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rohelda Neptjun
"ABSTRAK
Dengan sudut pandang politik internasional, skripsi ini mencoba membahas masalah kepentingan Hong Kong atas Integrasi Politik RRCina- Hong Kong 1997 Periode 1984-1989. Hong Kong menjadi masalah yang menarik untuk dibicarakan karena keberadaannya sebagai salah satu pusat keuangan internasional di dunia, pusat perdagangan internasional dan berbagai reputasi lainnya. Beritanya menghangat kembali karena pecahnya peristiwa Tiananmen tanggal 3 dan 4 Juni 1989 di Beijing, yang dianggap mempunyai kaitan yang erat dengan kepentingan integrasi Hong Kong ke RRCina 1997. Peristiwa Tiananmen ternyata membawa dampak yang besar sekali terhadap perkembangan ekonomi dan politik Hong Kong, yaitu terjadi pelarian modal dan personil potensial Hong Kong ke luar Hong Kong. Sementara itu modal yang akan masuk ditangguhkan oleh pemiliknya. Sebelum peristiwa tersebut terjadi, keadaan Hong Kong telah stabi1, dengan dikeluarkannya Deklarasi Bersama Inggris-RRCina 1984. Deklarasi itu merupakan persetujuan mengenai nasib Hong Kong setelah 1997, yang menjelaskan bahwa Hong Kong akan tetap menjalankan sistem kapitalisme selama 50 tahun setelah 1997 dan menjadi Wilayah Administrasi Khusus dengan hak-hak otonomi tinggi. Peranan pemerintah dan para koalisi domestik Hong Kong sangat diperlukan untuk memulihkan kepercayaan masyarakatnya dan juga masyarakat luar. Untuk membahas mengenai peranan, kepentingan dan tindakan yang dilakukan oleh elit Hong Kong tersebut, penulis menggunakan teori Struktur Domestik dari Pete r Gourevitch dan Teori Pluralisme dari Paul Viotti dan Mark V-Kauppi. Selanjutnya dilihat pula peranan pemerintah Inggris dan pemerintah RRCina untuk memulihkan kestabi1an politik dan ekonomi Hong Kong."
1990
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kemenade, Willem Van
New York: Alfred A. Knopf, 1997
338.951 KEM c
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Yusmiati Vistamika Wangka
"Migrasi tenaga kerja internasional Indonesia dewasa ini direpresentasikan oleh tiga profil utama. Pertama, perempuan Pekerja Rumah Tangga PRT migran di Timur Tengah, yang jumlahnya berangsur-angsur berkurang. Kedua, pekerja rumah tangga migran di negara-negara maju di Asia seperti Hong Kong, Taiwan dan Singapura. Ketiga, laki-laki pekerja migran tidak berdokumen di Malaysia. Tesis ini difokuskan pada kategori kedua dari profil pekerja migran Indonesia, khususnya PRT migran di Hong Kong untuk memperlihatkan bagaimana migrasi tenaga kerja internasional Indonesia adalah migrasi berwajah perempuan akan tetapi akses keadilan perempuan PRT masih terbatas. Untuk melihat bagaimana akses keadilan perempuan PRT migran di Hong Kong, empat aspek dari Akses Keadilan, yaitu permasalahan hukum, literasi hukum, identitas hukum dan bantuan hukum dieksplor melalui penelitian kualitatif berperspektif feminis, menggunakan sudut pandang perempuan PRT migran yang sementara menghadapi permasalahan dengan agen dan/atau pemberi kerja di Hong Kong. Studi dokumen mengenai permasalahan hukum dilakukan terhadap Undang-Undang No. 18/2017 mengenai Perlindungan Pekerja Migran Indonesia dan Ordininansi Ketenagakerjaan serta Kontrak Kerja Standar Hong Kong, sedangkan studi lapangan mengenai literasi hukum, identitas hukum dan bantuan hukum dilakukan melalui wawancara mendalam terhadap lima subyek utama penelitian, FGD dan observasi. Hasil penelitian memperlihatkan perempuan masih terkendala akses keadilan karena instrumen hukum belum memperhitungkan pengalaman perempuan, terbatasnya literasi hukum, ketiadaan akses terhadap dokumen identitas hukum dan layanan bantuan hukum yang terbatas dari negara.

International labor migration of Indonesian migrant workers nowadays is represented by three main profiles that is female domestic workers in Middle East itself even though the number is less compare to previous years, migrant domestic worker in developing countries such as Hong Kong, Taiwan and Singapore, which increasing in number and the last category is undocumented male migrant workers in Malaysia who work on plantations. This thesis focuses on the second category, particularly Migrant Domestic Workers MDWs in Hong Kong to show how international labor migration has female face, but access to justice of female MDWs is still constrained. Access to justice here refers to four aspects that are legal problem, legal literacy, legal identity and legal aid. To explore these aspects, a qualitative feminist based research has been conducted using the life story of five Indonesian female MDWs who is now engage in legal proceedings due to disputes caused by both agencies and employers. At the same time, documentary study was also conducted toward the newest Indonesian The Law No.18 2017 on Protection of Indonesian Migrant Workers as well as Hong Kong law that are Employment Ordinance and Standard Working Contract of Foreign Domestic Helper. The research results show that women are restricted to access justice because legal instrument does not include women rsquo s experiences yet, the legal literacy of MDWs is limited, female MDWs do not have proper access to their legal identities as well as limited legal aid provided by the state. "
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2018
T51125
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raisha Adistya Pramita
"Gerakan sosial tidak hadir secara tiba-tiba; ia muncul sebagai respon atas ketidakadilan terkait permasalahan sosial dan politik yang dihadapi. Begitu pun yang dialami oleh jutaan masyarakat sipil pro-demokrasi Hong Kong di tahun 2019 hingga kemudian mereka bergerak melawan RUU Ekstradisi yang dapat mengizinkan Hong Kong untuk menyerahkan warganya ke daratan Tiongkok agar diadili. Intensitas kebertahanan gerakan ini pada akhirnya dapat secara efektif menekan pemerintah untuk melakukan tuntutan utama gerakan, yakni dibatalkannya RUU Ekstradisi. Penelitian ini akan melihat mengapa Gerakan Anti RUU Ekstradisi 2019 dapat menekan pemerintah untuk mengabulkan tuntutan utama gerakan dengan melihat kemunculan dan proses mobilisasi gerakan. Gerakan ini dapat muncul setidaknya karena kesempatan politik yang ada seperti sistem politik semi terbuka; adanya ketidakseimbangan relasi kuasa; sekaligus konflik elit politik Hong Kong. Struktur gerakan yang terdesentralisasi, serta cara partisipan gerakan mobilisasi sumber daya yang ada mampu memberikan efektifitas dalam mempertahankan gerakan dan memberikan dampak maksimal pada pemegang otoritas. Tidak adanya dukungan dari elit bisnis kepada pemerintah Hong Kong dan keterlibatan Internasional dalam mendukung gerakan juga menjadi kondisi kontekstual yang membuat RUU Ekstradisi berhasil dicabut.

Social movements do not appear suddenly; they emerged as a response to injustice related to the social and political problems that are faced. The same thing happened to millions of Hong Kong's pro-democracy civil society in 2019 when they moved against an extradition bill that would allow Hong Kong to turn its citizens over to mainland China for trial. The intensity of this movement's resilience can effectively pressure the government to annul the Extradition Bill. This study will analyze why the 2019 Anti Extradition Bill Movement can pressure the government to grant the movement's main demands by looking at the emergence and mobilization process of the movement. This movement could occur because of the existing political opportunities such as a semi-open political system; power relations imbalances; and conflicts between Hong Kong's political elites. The decentralized structure, as well as the way participants mobilize existing resources, are able to provide effectiveness in maintaining the movement and providing maximum impact. The absence of business elite support for the Hong Kong government and international involvement in supporting the movement also became a contextual condition that made the Extradition Bill successfully be annulled"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>