Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6083 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"As a primary trade route for more than half of the world's shipping, the location of potentially huge oil and gas reserves, and the main source of protein in maritime South- East Asia, the South China Sea is a governing determinant of security, prosperity and development in East Asia and the wider Indo-Pacific region. The disputes in the South China Sea have long been seen as a source of tension and instability in the region. Although peace has been maintained until now, the South China Sea is the epicentre of changes in the international balance of power which have the potential to trigger military conflict. The South China Sea sovereignty disputes are among the most complicated in the world and engage claims from Brunei, China, Malaysia, Philippines, Taiwan, and Vietnam. Given the complex convergence of national interests in the region, the prospect of settling the decades-old disputes completely is very slim"
New York: Cambridge University Press, 2016
341.4 SOU
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Ginting, Supriyanto
"Fokus dari skripsi ini adalah membahas mengenai kerja sama yang dilakukan oleh negara pantai dalam memberantas pembajakan di laut. Pembajakan di laut merupakan salah satu bentuk kejahatan yang cukup tua. Hukum internasional khususnya UNCLOS 1982, menyatakan bahwa pembajakan harus terjadi di laut lepas di luar yurisdiksi suatu negara. Namun demikian, saat ini berkembang bentuk pembajakan baru di mana pembajakan tidak terjadi di laut lepas melainkan di perairan pedalaman, laut teritorial, dan zona tambahan, contohnya yang ada di Selat Malaka. Selain di Selat Malaka pembajakan yang terjadi di Laut Cina Selatan sendiri masih terdapat perdebatan mengenai apakah pembajakan yang terjadi di Laut Cina Selatan masuk ke dalam pembajakan sebagaimana di maksud oleh UNCLOS 1982. Lebih lanjut, letak dari Selat Malaka dan Laut Cina Selatan yang berbatasan dengan beberapa negara pantai menimbulkan pertanyaan mengenai yurisdiksi negara manakah yang berwenang untuk menyelesaikan masalah tersebut. Upaya tunggal yang dilakukan oleh satu negara pantai tidak cukup untuk memberantas pembajakan dan luasnya lautan membutuhkan kerja sama dari negara-negara pantai untuk memberantas piracy dan armed robbery di Laut Cina Selatan dan Selat Malaka.

Focus of the research is explaining regional cooperation which conducted by littoral states to combat piracy and armed robbery. Piracy is an old time crime. International law, particularly UNCLOS 1982 emphasized that piracy shall occur in the high seas beyond jurisdiction of any states. However, in modern times, a new form of piracy appeared. New form of piracy that so called armed robbery occurred in internal water, teritorial water, contigous zone of state, for instance piracy in Malacca Strait. Meanwhile, in South China Sea itself contention still exist to determine whether piracy that occurred in South China Sea can be classified as piracy within scope of UNCLOS 1982 or not. Moreover, Location of Malacca Strait and South China Sea which adjacent to littoral states raised a question with regard to jurisdiction to solve this problem. Effort from single state is not sufficient to combat piracy in the area it goes beyond vast of the sea required littoral states to cooperate to combat piracy and armed robbery in South China Sea and Malacca Strait."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S43294
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Affan Maulana
"Penelitian ini membahas mengenai klaim kedaulatan Cina di Laut Cina Selatan dengan mengkaji perspektif Cina dan menganalisa bukti-bukti sejarah yang digunakan Cina sebagai basis legalitasnya. Cina mengklaim sebagian Laut Cina Selatan sebagai wilayah kedaulatan negaranya. Klaim tersebut didukung dengan adanya bukti-bukti sejarah. Penulis memulai penelitian dengan menginterpretasi latar belakang yang memicu konflik Laut Cina Selatan menggunakan pendekatan historis dan studi kualitatif, kemudian mengkaji pernyataan resmi pemerintah Cina dan menganalisa bukti-bukti sejarah yang digunakan Cina. Hasil penelitian menunjukkan bahwa klaim Cina tidak sesuai dengan data-data sejarah. Perspektif yang dimiliki oleh Cina merupakan hasil penafsiran data sejarah yang kurang akurat.

This study discusses China's sovereignty claims in the South China Sea by examining China's perspective and analyzing historical evidence that China uses as its legal basis. China claims part of the South China Sea as its sovereign territory. This claim is supported by historical evidence. The author begins the research by interpreting the background that triggers the South China Sea conflict using a historical approach and qualitative studies, then examines the official statements of the Chinese government and analyzes historical evidence used by China. The results shows that China's claims are not in accordance with historical data. China's perspective is the result of inaccurate interpretation of historical data."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Affan Maulana
"Penelitian ini membahas mengenai klaim kedaulatan Cina di Laut Cina Selatan dengan mengkaji perspektif Cina dan menganalisa bukti-bukti sejarah yang digunakan Cina sebagai basis legalitasnya. Cina mengklaim sebagian Laut Cina Selatan sebagai wilayah kedaulatan negaranya. Klaim tersebut didukung dengan adanya bukti-bukti sejarah. Penulis memulai penelitian dengan menginterpretasi latar belakang yang memicu konflik Laut Cina Selatan menggunakan pendekatan historis dan studi kualitatif, kemudian mengkaji pernyataan resmi pemerintah Cina dan menganalisa bukti-bukti sejarah yang digunakan Cina. Hasil penelitian menunjukkan bahwa klaim Cina tidak sesuai dengan data-data sejarah. Perspektif yang dimiliki oleh Cina merupakan hasil penafsiran data sejarah yang kurang akurat.

This study discusses China's sovereignty claims in the South China Sea by examining China's perspective and analyzing historical evidence that China uses as its legal basis. China claims part of the South China Sea as its sovereign territory. This claim is supported by historical evidence. The author begins the research by interpreting the background that triggers the South China Sea conflict using a historical approach and qualitative studies, then examines the official statements of the Chinese government and analyzes historical evidence used by China. The results shows that China's claims are not in accordance with historical data. China's perspective is the result of inaccurate interpretation of historical data."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
Koesrianti
"This article discusses the national sovereignty and regionalism in the context
of the membership of a state into regional economic organisations. It concludes
that in nowadays-shrinking world the traditional concept of sovereignty is less
relevant since states have suffered a loss in their sovereignty. It found that
member states of regional economic organisations have to cede a degree of
sovereignty, such as in the EU. This phenomenon however is not the case for
NAFTA and AFTA."
University of Indonesia, Faculty of Law, 2013
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Nadine Azahra Prasetyo
"Industri hiburan merupakan sebuah industri yang terlibat dalam penyediaan konten hiburan, seperti radio, film, televisi, dan teater. Di Tiongkok, industri hiburan berkembang dengan pesat sejak adanya kebijakan reformasi dan keterbukaan hingga dapat dikenal di mancanegara, salah satunya di Korea Selatan. Hubungan kerja sama dalam industri hiburan di antara Tiongkok dan Korea Selatan telah terjalin sejak lama, namun hubungan tersebut tidak selalu berjalan dengan lancar. Salah satunya adalah karena terjadinya THAAD pada tahun 2016, yang membuat Tiongkok memberikan sanksi ekonomi terhadap Korea Selatan. Kondisi hubungan dalam industri hiburan di antara Tiongkok dan Korea Selatan dengan adanya THAAD menjadi pokok bahasan dari penelitian ini. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif dengan pendekatan ilmu sejarah, yang mencakup beberapa tahapan, yaitu menentukan topik, heuristik, verifikasi, interpretasi, dan historiografi. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa dampak sanksi ekonomi yang diakibatkan oleh THAAD turut terasa dalam kerja sama di industri hiburan, terutama terkait dengan investasi, penayangan konten hiburan Korea Selatan di Tiongkok, dan kerja sama SDM.

The entertainment industry is an industry involved in providing entertainment content, such as radio, film, television, and theater. In China, since the reform and opening up policy, the entertainment industry has grown rapidly and has become recognized internationally, including in South Korea. The cooperative relationship in the entertainment industry between China and South Korea has existed for a long time, but the relationship has not always run smoothly. One of them is due to the deployment of THAAD in 2016, which made China impose economic sanctions on South Korea. The condition of the relationship in the entertainment industry between China and South Korea with the presence of THAAD is the subject of this research. The method used is a qualitative method with a historical approach, which includes several stages, namely determining the topic, heuristics, verification, interpretation, and historiography. The results of this study indicate that the impact of economic sanctions caused by THAAD is also felt in cooperation in the entertainment industry, especially related to investment, broadcasting South Korean entertainment content in China, and human resource cooperation."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Manila: Asian Development Bank, 2020
338.91 FUT
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>