Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 194890 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nathaniel Aditya
"Pendahuluan: Pada tahun 2050, jumlah populasi lansia yang berusia lebih dari 65 tahun diperkirakan akan mencapai 1,5 milyar. Untuk mengatasi hal ini, dibutuhkan pergeseran paradigma dari proses penuaan kronologis menjadi proses penuaan biologis. Proses penuaan (aging) merupakan sebuah proses multifaktorial yang memiliki kaitan erat dengan stres oksidatif, sebuah fenomena yang lajunya dapat diketahui melalui kadar senyawa metabolit sekundernya, malondialdehid (MDA).
Tujuan: Studi ini meneliti efek dari tanaman obat yang sering digunakan sebagai agen antiinflamasi, Centella asiatica (CA), terhadap kadar MDA pada otak tikus Sprague-Dawley tua dan kemampuan kognitifnya.
Metode: Tikus jantan tua dibagi ke dalam 3 kelompok: Kontrol Negatif, Kontrol Positif (vitamin E 6 IU), dan CA 300 (ekstrak etanol daun CA 300 mg/kg), ditambah 1 kelompok Kontrol Pembanding tikus jantan muda yang diberi perlakuan selama 28 hari. Setiap minggunya, dilakukan uji memori jangka panjang menggunakan metode Y-maze untuk menilai fungsi kognitif tikus. Pada hari terakhir, organ otak dari setiap tikus diambil dan kadar MDA-nya diteliti.
Hasil: Pada kelompok CA 300, ditemukan kadar MDA otak yang relatif lebih rendah dibandingkan Kontrol Negatif, meskipun tidak signifikan (P = 0,5683). Pada uji memori jangka panjang Y-maze, meskipun secara statistik tidak bermakna, penurunan kemampuan kognitif pada kelompok CA 300 tidak sebesar penurunan pada Kontrol Negatif (nilai P kedua kelompok sama; P = 0,5).
Kesimpulan: Pemberian ekstrak etanol CA tidak memiliki pengaruh terhadap kadar MDA otak dan kemampuan kognitif pada tikus Sprague-Dawley jantan yang sedang mengalami proses penuaan.

Introduction: It is estimated that in 2050, the number of elderly aged >65 years will reach 1.5 billion. To overcome this issue, a shift of paradigm, from chronological aging to biological aging, is urgently needed. Aging is a multifactorial process related to oxidative stress, a process in which its rate can be identified from its secondary metabolite level, malondialdehyde (MDA).
Objective: This research studied the effect of a medicinal plant known for its anti-inflammatory properties, Centella asiatica (CA), on the level of brain MDA and cognitive abilities in aged Sprague-Dawley rats.
Methods: The aged male rats were divided into three groups: Negative Control, Positive Control (vitamin E 6 IU), and CA 300 (CA leaves ethanolic extract 300 mg/kg), with one additional Comparison Group consisted of untreated young rats which were given corresponding treatments throughout 28 days. Each week, a Y-maze test assessing the long-term memory of each rats was conducted. In the last day, all rats brains were collected, and their MDA levels were measured.
Results: Compared to the Negative Control, a lower MDA level was found on the brains of the CA 300 group, although statistically not significant (P = 0.5683). In the Y-maze test, a relatively lower decline in cognitive abilities was seen in CA 300 group when compared to Negative Control, even if it was insignificant (same P value on both groups; P = 0.5).
Conclusions: CA ethanolic extract has no influence on both the brain MDA concentration and the cognitive abilities of aging Sprague-Dawley rats.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Fitriani
"Pendahuluan: Penuaan ditandai dengan banyak hal salah satunya penurunan fungsi kognisi akibat neurodegenerasi, proses yang berkaitan dengan penurunan kadar Brain-derived Neurotrophic Factor (BDNF) sebagai faktor pertumbuhan dalam regenerasi dan pemeliharaan sistem syaraf. Jumlah lansia yang akan meningkat di masa depan menuntut dunia kesehatan untuk mencari pencegahan proses neurodegenerasi ini.
Objektif: Meneliti efek Centella asiatica (CA) terhadap fungsi kognisi dan kadar BDNF pada jaringan otak tikus Sprague-Dawley tua.
Metode: Penelitian ini menggunakan Tikus Sprague-Dawley (SD) jantan berusia 20-24 bulan sebagai tikus tua dan 8-12 minggu sebagai kelompok tikus muda sebagai pembanding. Tikus-tikus tersebut dibagi menjadi 4 kelompok: kelompok kontrol negatif (diberikan akuades), kelompok kontrol positif (diberikan suplementasi Vitamin E 6 IU/pemberian), kelompok tikus muda berusia 8-12 minggu sebagai perbandingan (diberikan akuades), dan kelompok perlakuan yang diberikan ekstrak etanol daun CA yang diadministrasikan secara oral (300 mg/kg BB/hari) selama 28 hari, 2 kali perlakuan per hari. Selama penelitian, dilakukan pengujian memori jangka pendek menggunakan Y-maze. Pada akhir penelitian dilakukan terminasi dan pengukuran kadar BDNF otak tikus.
Hasil: Hasil analisis statistik menunjukkan konsentrasi rata-rata BDNF 44.09±3.854 pada kontrol negatif, 43.09±11.99 pada kontrol positif, 30.2±12.33 pada tikus muda, dan 65.88±13.46 pada kelompok perlakuan CA (mg/pg protein). Kelompok CA memiliki perbedaan yang signifikan dibanding kontrol negatif (p=0,0189). Sedangkan pada uji memori jangka pendek menggunakan Y-maze, tidak ditemukan perbedaan signifikan.
Kesimpulan: Hasil menunjukkan pemberian CA efektif dalam meningkatkan kadar BDNF otak tikus SD, sehingga diketahui memiliki efek neuroprotektif. Namun CA tidak ditemukan memiliki efek yang signifikan pada fungsi kognisi tikus SD yang mengalami penuaan.

Background: Functional decrease in learning and memory is one of the characteristics of the aging process. Studies showed that lower concentration of Brain-derived Neurotrophic Factor (BDNF) found on the brain, play a role in the phenomenon. BDNF is a growth factor that have a rol eon neuron regeneration and maintenance.
Objective: To determine whether a herbal, Centella asiatica (CA) would increase the BDNF level on the aging brain tissue neurodegeneration.
Methods: Male Sprague-Dawley rats aged 20-24 months as the aged rats and 8-12 weeks as the young rats that used in the study were divided into: negative control (given aquadest), positive control (supplementation of Vitamin E of 6 IU), young rats as a comparison (8-12 weeks old), and treatment groups, which were given ethanol extract of CA leaf administered orally (300 mg/kg BW) for 28 days with each days the treatment were given twice. The short term memory were analyzed by using Y-maze. The rats were terminated and the brain BDNF levels were assessed at the end of the study.
Results: The results showed mean ± SD concentration for BDNF were 44.09±3.854 (negative control), 43.09±11.99 (positive control group), 30.2±12.33 (young rats) and 65.88±13.46 (CA groups) mg/pg protein. The treatment group showed significantly higher tissue BDNF level compared to all group (p=0,0189). The Y-maze results show insignificant different between groups
Conclusion: In conclusion, this result showed that supplementation of CA was effective in increasing brain level of BDNF. However, it doesnt show any effect on Y-maze score.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Somalinggi, Chelsea Gracia
"Latar belakang: Dewasa ini manusia hidup lebih lama, diperkirakan bahwa 1 dari 6 orang di dunia akan berusia 60 tahun atau lebih pada tahun 2030. Proses penuaan dihubungkan dengan akumulasi radikal bebas yang diproduksi pada proses metabolisme dan menyebabkan kerusakan pada sel dan penurunan antioksidan. Kerusakan oksidatif ditandai salah satunya dengan peningkatan molekul berupa Malondialdehyde (MDA) sebagai penanda peroksidasi lipid. Penggunaan antioksidan bersifat krusial untuk menangkal kerusakan oksidatif dan mencegah penyakit yang disebabkan oleh penuaan. Centella asiatica adalah salah satu tanaman herbal yang memiliki potensi antioksidan. Tujuan: Studi ini dilakukan untuk mengetahui kemampuan Centella asiatica (CA) dalam menangkal stres oksidatif dengan mengukur kadar MDA pada jaringan otak tikus Rattus norvegicus usia 12, 24, dan 36 minggu. Metode: Studi eksperimental menggunakan sediaan homogenat otak dari tikus Rattus novergicus usia 12, 24, dan 36 minggu yang tidak diberi dan diberi ekstrak CA dengan dosis 300 mg/kgBB selama 30 hari. Pengukuran kadar MDA pada masing-masing kelompok dilakukan dengan menggunakan metode Will’s dan dikelola menggunakan SPSS. Hasil: Didapatkan penurunan kadar MDA otak bermakna pada kelompok tikus 12 minggu yang diberikan CA dibandingkan dengan kelompok tikus yang tidak diberi. Peningkatan kadar MDA otak yang bermakna didapatkan pada kelompok tikus usia 24 minggu yang diberikan CA dibandingkan dengan kelompok yang tidak diberi. a. Kesimpulan: Pemberian Centella asiatica 300 mg/kgBB selama 30 hari mampu menangkal stres oksidatif pada tikus berusia 12 minggu, namun tidak mampu menangkal stres oksidatif pada tikus berusia 24 dan 36 minggu.

Introduction: Nowadays, human live longer. It is estimated that by 2030, 1 in 6 people will be 60 years and older. The aging process is linked with accumulation of free radicals produced in the process of aerobic metabolism and cause damage to cell dan decline of antioxidant levels. Oxidative damage can be measured by the increase in MDA, a marker of lipid peroxidation. Antioxidant is crucial to combat oxidative damage and prevent diseases caused by aging. Centella asiatica is an herb plant known for its antioxidant potential. Objective: To assess the ability of Centella asiatica to combat oxidative stress which is measured by the brain Malondialdehyde levels of rats aged 12, 24, and 36 weeks Methods: Brain homogenate of Rattus norvegicus rats divided into 6 groups with 3 different age groups, 3 group were given Centella asiatica extract and 3 group were not. MDA levels was measured using Wills method and the data was analyzed using SPSS . Result: There was significant decrease in brain MDA levels in rats aged 12 weeks given CA compared with the group that was not. There was significant increase in brain MDA levels in rats aged 24 weeks given CA compared with the group that was not. There was no difference in brain MDA levels between 36 weeks old rats. Pemberian Centella asiatica 300 mg/kgBB selama 30 hari mampu menangkal stres oksidatif pada tikus berusia 12 minggu, namun tidak mampu menangkal stres oksidatif pada tikus berusia 24 dan 36 minggu. Conclusion:Administration of CA 300 mg/kg for 30 days can combat oxidative stress in rats aged 12 weeks, but was not able to do the same with rats aged 24 and 36 weeks."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Peter Adidharma
"Pendahuluan: Myasthenia gravis merupakan kelainan autoimmune terhadap reseptor asetilkolin pada taut saraf-otot, yang dapat berprogesi melumpuhkan otot pernafasan. Akan tetapi, pengobatan yang digunakan saat ini masih berjangka pendek, tidak efektif, memiliki efek samping dan sangat mahal. Eksperimen ini bertujuan untuk menggali efek prevensi ekstrak akar Acalypha indica pada tikus yang telah diinduksi rocuronium bromida.
Metode: Tikus jantan Sprague-Dawley dibagi mejadi 4 kelompok yang terdiri dari kelompok normal, kontrol negatif, kontrol positif dan ekstrak akar Acalypha indica. Variabel yang diukur dalam eksperimen ini adalah detak jantung dan ekspresi kuantitatif reseptor asetikolin menggunakan pemeriksaan imunohistokimia. Uji statistik yang digunakan adalah uji Wilcoxon untuk detak jantung, uji Kruskal Walis diikuti Mann-Whitney untuk perubahan detak jantung dan uji Kruskal Walis untuk hasil imunohistokimia.
Hasil: Tikus yang telah diberikan prevensi Acalypha indica dan kemudian diinduksi rocuronium, tidak menunjukan perubahan detak jantung yang bermakna (P>0.05). Kontrol positif menunjukan perubahan detak jantung yang berbeda bermakna (P<0.05) dibandingkan dengan kelompok normal pada pengukuran menit ke 10 di hari pertama. Tidak terdapat perbedaan yang bermakna (P>0.05) antara hasil imunohistokiima pada kelompok dengan kelompok lainnya.
Kesimpulan: Prevensi ekstrak akar Acalypha indica mempunyai efek menstabilkan detak jantung yang lebih baik dari neostigmine dan ekspresi kuantitatif reseptor asetilkolin yang tidak berbeda bermakna dengan pemberian neostigmine.

Introduction: Myasthenia gravis is an autoimmune disorder that targets acetylcholine receptors on the neuromuscular junction, which can progresively paralyze respiratory muscles. However, the current treatments are still short-term, ineffective, have side effects, and very expensive. This experiment aims to explore the preventive effect of Acalypha indica root extract on rocuronium bromide-induced mice.
Methods: Sprague-Dawley rats were divided into 4 groups, consisting of normal, negative control, positive control and Acalypha indica root extract. The variables measured in this experiment were heart rate and immunohistochemistry quantitative expression of acetylcholine receptors. The statistical tests used were Wilcoxon test for heart rate, Kruskal Walis followed by Mann-Whitney test for heart rate changes and Kruskal Walis test for immunohistochemistry results.
Results: Rats which were given preventive Acalypha indica root extract prior to induction with rocuronium, did not show significant heart rate changes (P> 0.05). The positive controls showed significantly different heart rate changes (P <0.05) compared to normal group at the 10 minute measurement on the first day. There was no significant difference of immunohistochemistry results (P> 0.05) between the Acalypha group with others.
Conclusion: Preventive Acalypha indica root extract has a better heart rate stabilizing effect when compared to neostigmine. However, quantitative expression of acetylcholine receptors did not differ significantly with neostigmine.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mochammad Kamal Nasser
"Radikal bebas merupakan molekul yang mengandung oksigen dan bersifat sangat reaktif. Peningkatan radikal bebas di dalam tubuh menyebabkan kerusakan oksidatif. Salah satu organ yang rentan terhadap kerusakan oksidatif adalah testis karena laju pembelahan sel yang cepat pada proses spermatogenesis. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak bekatul varietas IPB3S terhadap organ testis tikus yang diinduksi karbon tetraklorida CCl4 menggunakan parameter glutation GSH . Duapuluh empat ekor tikus Sprague-Dawley jantan berusia 6-8 minggu dibagi kedalam 6 kelompok perlakuan yaitu kontrol, CCl4 0,55 mg/KgBB, bekatul 150 mg/KgBB, bekatul 150 mg/KgBB CCl4 0,55 mg/KgBB, bekatul 300 mg/KgBB, bekatul 300 mg/KgBB CCl4 0,55 mg/KgBB. Setelah perlakuan dilakukan pengambilan organ testis tikus untuk dihitungan kadar GSH dengan menggunakan metode Ellman kemudian dianalisis menggunakan software SPSS. Hasil penelitian didapatkan peningkatan kadar GSH pada kelompok pemberian bekatul dan penurunan GSH pada kelompok yang diinduksi CCl4 bila dibandingkan dengan kelompok kontrol. Peningkatan tertinggi dimiliki kelompok dengan perlakuan bekatul dosis 300 mg/KgBB. Peningkatan kadar GSH pada kelompok perlakuan bekatul mengindikasikan potensi ekstrak bekatul sebagai antioksidan.

Free radical is a molecule containing oxygene which is very reactive. Increase in free radical in the body cause oxidative damage. One of the organs which at risk to have oxidative damage is testes due to high cell division rate in spermatogenesis process. The present study was aimed at evaluating the protective effects of IPB3S rice bran extract against carbon tetrachloride CCl4 induced oxidative stress and testes injury in male adult Sprague Dawley. The parameter used was glutathion GSH levels. Twenty four male Sprague Dawley were devided equally into 6 groups for the assesment. Rats of group I received no treatments. Rats of group II were treated with CCl4 0,55 mg KgBB. Rats of group III were treated with rice bran extract 150 mg KgBB. Rats of group IV were treated with rice bran extract 150 mg KgBB CCl4 0,55 mg KgBB. Rats of group V were treated with rice bran 300 mg KgBB, and rats of group VI were treated with rice bran 300 mg KgBB CCl4 0,55 mg KgBB. GSH levels in testes organ were measured using Ellman rsquo s method after the intervention. The results showed elevation of GSH levels in bekatul treated group and decrease of GSH levels in CCl4 treated group with respect to control group. Group of rice bran extract 300 mg KgBB showed the highest elevation of GSH levels. Those results indicates a potential rice bran extracts as antioxidants.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Risti Sifa Fadhillah
"Telah dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian fortifikan Fe fumarat dalam susu kedelai terhadap kadar zat besi plasma darah tikus (Rattus norvegicus L.) jantan galur Sprague-Dawley. Metode penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL), terdiri atas 25 ekor tikus putih jantan yang dibagi ke dalam 5 kelompok perlakuan, yaitu KK 1 yang diberi larutan CMC 0,5%; KK 2 yang diberi larutan CMC 0,5% dan susu kedelai tanpa fortifikan; dan KP 1, 2, dan 3 yang diberi larutan CMC 0,5% dan susu kedelai dengan fortifikan Fe fumarat dosis 1,35 mg Fe/ kgBB, 2,7 mg Fe/ kg BB, dan 5,4 mg Fe/ kgBB selama 21 hari berturut-turut. Pengambilan darah dilakukan pada hari ke-0 dan setelah pencekokan hari ke-21. Darah dipreparasi menggunakan destruksi basah lalu ditentukan kadar zat besinya dengan AAS (Atomic Absorption Spectrophotometer). Hasil uji ANAVA satu arah (P < 0,05) menunjukkan pengaruh nyata pemberian fortifikan Fe fumarat dalam susu kedelai terhadap kadar zat besi antar kelompok perlakuan. Peningkatan kadar zat besi tertinggi terjadi pada KP 1 yaitu sebesar 27,90% terhadap KK 1 dan 17,49% terhadap KK 2.

The effect of Fe fumarate fortificant addition in soy milk intake on plasma iron concentration of male Sprague-Dawley rats (Rattus norvegicus L.) had been studied. By using Complete Random Design (CRD), twenty five rats were divided into five groups, consist of normal control group (KK 1) which was administered with CMC 0.5% solution, treatment control group (KK 2) which was administered with CMC 0.5% solution and unfortified soy milk, and three treatment groups which were administered with soy milk added with fortificant Fe fumarate 1.35 mg Fe/kgbw (KP 1); 2.7 mg Fe/kgbw (KP 2); and 5.4 mg Fe/kgbw (KP 3). All of the five groups were treated for consecutive 21 days. The plasma iron concentration was measured by Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS). One way ANOVA test and post-hoc LSD test (P < 0.05) showed significant effect of fortificant Fe fumarate addition in soy milk intake on plasma iron concentration in all treatment groups. The highest increase of plasma iron concentration was detected on KP 1, which is 27.90% to KK 1 and 17.49% to KK 2."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2016
S65436
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dalimunthe, Rahmat Hidayat
"Hipoksia hipobarik merupakan kondisi ketika konsentrasi oksigen mengalami penurunan seiring bertambahnya ketinggian. Fenomena ini dapat memicu stres oksidatif melalui peningkatan produksi radikal bebas yang menyerang komponen molekuler. Pemaparan hipoksia hipobarik intermiten (HHI) disinyalir dapat melatih kemampuan adaptasi jaringan sehingga menjadi lebih toleran terhadap kondisi hipoksia. Penelitian eksperimental ini menggunakan 30 tikus Sprague-Dawley jantan yang dibagi menjadi 6 kelompok, yaitu kelompok kontrol dan kelompok yang mendapat perlakuan selama 1, 7, 14, 21, dan 28 hari. Pemberian pajanan hipoksia hipobarik setara 10.000 kaki (523 mmHg) dilakukan setiap hari selama satu jam dengan menggunakan hypobaric chamber. Kadar malondialdehid (MDA) setiap sampel kemudian diukur dengan melakukan metode Wills yang dibaca dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 530 nm. Rata-rata kadar MDA secara perlahan mengalami penurunan pada kelompok yang terpajan hipoksia hipobarik intermiten ketika dibandingkan dengan kelompok yang terpajan hipoksia hipobarik akut. Meskipun uji statistik menunjukkan bahwa perubahan ini tidak signifikan, pajanan hipoksia hipobarik intermiten setara 10.000 kaki selama satu jam per hari dapat memengaruhi kadar MDA di jaringan paru tikus Sprague-Dawley.

A condition known as hypobaric hypoxia occurs when the concentration of oxygen falls with increasing altitude. This phenomenon can trigger oxidative stress through increased production of free radicals, which damage molecules. It is believed that exposure to intermittent hypobaric hypoxia (IHH) can train tissue adaptation mechanisms, increasing the tissues' tolerance to hypoxic environments. Thirty male Sprague-Dawley rats were utilized in this experiment as they were split into six groups: the control group and the groups that were exposed to IHH for 1, 7, 14, 21, and 28 days. Using a hypobaric chamber, exposure to hypobaric hypoxia equal to 10,000 feet (523 mmHg) was done once a day for an hour. The malondialdehyde (MDA) levels of each sample were measured using the Wills method which was read using a spectrophotometer at a wavelength of 530 nm. Compared to the acutely exposed to hypobaric hypoxia group, the average MDA level gradually decreased in the group that was exposed to intermittent hypobaric hypoxia. Despite the insignificant result, exposure to intermittent hypobaric hypoxia equivalent to 10,000 feet for one hour per day can affect MDA levels in the lung tissue of Sprague-Dawley rats."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eric Ferdinand
"Iron overload disebabkan oleh transfusi darah jangka panjang pada penderita hemoglobinopati. Iron overload menyebabkan stress oksidatif yang meningkatkan produksi malondialdehid (MDA) yang dapat menyebabkan penyakit paru obstruktif kronis. Mangiferin yang terkandung dalam buah Phaleria macrocarpa memiliki potensi sebagai kelator besi dan antioksidan. Penelitian ini bertujuan untuk menguji efektivitas ekstrak etanol buah Phaleria macrocarpa dalam menurunkan kadar MDA paru tikus Sprague-Dawley. Sebanyak 30 tikus Sprague-Dawley menjadi kelompok normal, kontrol negatif, deferiprone 462,5 mg/kgBB, mangiferin 50 mg/kgBB, Phaleria macrocarpa 100 mg/kgBB (PM1) dan 200 mg/kgBB (PM2). Besi dekstran 15 mg diberikan dua kali seminggu secara intraperitoneal pada semua kelompok kecuali normal. Pada minggu ke-7, organ paru sampel diambil untuk dibuatkan homogenat. Homogenat direaksikan dengan TBA dan TCA untuk mengukur kadar MDA dan direaksikan dengan reagen Bradford untuk mengukur protein jaringan yang kemudian diukur dengan spektrofotometer. Hasil yang didapatkan adalah kadar MDA dibagi dengan protein jaringan dan kemudian dilakukan analisis dengan One-Way ANOVA. Kadar MDA paru pada seluruh kelompok yang diinduksi besi cenderung meningkat dibandingkan normal. Kadar MDA pada kelompok PM1 dan mangiferin lebih rendah (p < 0,05) dari deferiprone, sedangkan PM2 dan deferiprone cenderung lebih tinggi dari kontrol negatif. Kelompok PM1 menurunkan kadar MDA lebih baik dibandingkan PM2 dan deferiprone.

Iron overload is caused by long-term blood transfusion in hemoglobinopathies patients. Iron overload causes oxidative stress that increases malondialdehyde (MDA) production, which cause chronic obstructive pulmonary disease. Mangiferin contained in Phaleria macrocarpa fruit have potential as iron chelator and antioxidant. This study aimed to evaluate the effectiveness of Phaleria macrocarpa fruit ethanol extract in reducing lung MDA levels in Sprague-Dawley rats. Thirty Sprague-Dawley rats were divided into normal group, negative control, deferiprone 462.5 mg/kgBW, mangiferin 50 mg/kgBW, Phaleria macrocarpa 100 mg/kgBW (PM1) and 200 mg/kgBW (PM2). Iron dextran 15 mg was administered intraperitoneally twice a week in all groups except normal. At week 7, lung organs samples were taken to make homogenates. Homogenates were reacted with TBA and TCA to measure MDA levels and reacted with Bradford's reagent to measure tissue protein which was measured by spectrophotometer. Results obtained were MDA levels divided by tissue protein and then analyzed using One-Way ANOVA. Lung MDA levels in all iron-induced groups tended to increase compared to normal. MDA levels in the PM1 and mangiferin were lower (p < 0.05) than deferiprone, while PM2 and deferiprone tended to be higher than negative controls. PM1 group reduced MDA levels better than PM2 and deferiprone."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Salsabiila Maryam
"ABSTRAK
Pendahuluan: Penuaan merupakan fenomena biologis dan universal yang tidak dapat dihindari. Stres oksidatif merupakan salah satu faktor yang berperan dalam penuaan. Salah satu penanda stres oksidatif dalam tubuh adalah peningkatan kadar malondialdehid (MDA). Acalypha indica dan Centella asiatica mengandung antioksidan yang berpotensi mengurangi stres oksidatif. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh pemberian Acalypha indica dan Centella asiatica dalam menurunkan kadar MDA pada otak tikus tua. Metode: Penelitian eksperimental ini menggunakan sampel homogenat jaringan otak Sprague Dawley yang disimpan di Laboratorium Departemen Biokimia dan Biologi Molekuler Fakultas Kedokteran. Homogenat otak berasal dari 5 kelompok tikus yaitu tikus kontrol tua, tikus tua diberi ekstrak Acalypha indica 250mg/kgBB, tikus tua diberi ekstrak pegagan 300mg/kgBB, tikus tua diberi Vitamin E 15U dan tikus kontrol muda. Kadar MDA dalam homogenat jaringan otak tikus diukur menggunakan metode Will. Hasil: Median kadar MDA otak kelompok tikus tua yang diberi Acalypha indica adalah 4,76 nmol/ml, tidak lebih tinggi secara bermakna dibandingkan kelompok kontrol tikus tua dan lebih tinggi secara bermakna dibandingkan kelompok tikus tua yang diberi vitamin E dan kelompok kontrol tikus muda. . Median kadar MDA otak tikus kelompok tua yang diberi pegagan adalah 2,67 nmol/ml, jauh lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol tikus tua dan tidak jauh lebih rendah dibandingkan kelompok tikus tua yang diberi vitamin E dan kelompok kontrol muda. tikus. Kesimpulan: Pemberian ekstrak pegagan mampu menurunkan kadar MDA pada otak mencit tua, sebaliknya pemberian ekstrak Acalypha indica tidak mampu menurunkan kadar MDA pada otak mencit tua.
ABSTRACT
Introduction: Aging is a biological and universal phenomenon that cannot be avoided. Oxidative stress is one of the factors that play a role in aging. One of the markers of oxidative stress in the body is increased levels of malondialdehyde (MDA). Acalypha indica and Centella asiatica contain antioxidants that have the potential to reduce oxidative stress. This study aimed to examine the effect of giving Acalypha indica and Centella asiatica in reducing MDA levels in the brains of old rats. Methods: This experimental study used a homogenate sample of Sprague Dawley brain tissue stored in the Laboratory of the Department of Biochemistry and Molecular Biology, Faculty of Medicine. Brain homogenates were derived from 5 groups of rats, namely old control rats, old rats given Acalypha indica extract 250mg/kgBW, old rats given gotu kola extract 300mg/kgBW, old rats given Vitamin E 15U and young control rats. MDA levels in the rat brain tissue homogenate were measured using the Will method. Results: Median brain MDA levels in the old group of rats given Acalypha indica was 4.76 nmol/ml, not significantly higher than the control group of old rats and significantly higher than the group of old rats given vitamin E and the control group of young rats. . Median brain MDA levels of the old group of rats given gotu kola was 2.67 nmol/ml, much lower than the control group of old rats and not much lower than that of the old group of rats given vitamin E and the young control group. rat. Conclusion: Giving gotu kola extract was able to reduce MDA levels in the brains of old mice, on the contrary giving Acalypha indica extract was not able to reduce MDA levels in the brains of old mice."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rustadi Sosrosumihardjo
"ABSTRAK
Bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) dan retardasi perkembangan
intrauterin (IUGR) masih merupakan masalah, khususnya di Indonesia, karena
menunjukkan angka kejadian yang tinggi dan pertu diturunkan. Malnutrisi pada
anak kurang dan 1 tahun terbanyak pada bayi BBLR. Penyebab gagal tumbuh
terbanyak pada bayi adalah masalah saluran cerna, terutama maldigesti,
malabsorpsi, dan diare kronik.
Pada penelitian dengan menggunakan hewan coba, didapatkan mukosa
usus halus hipotrofi dan normoplasi pada tikus malnutrisi. Keadaan normoplasi
tercermin dari kandungan DNA mukosa usus halus yang menetap pada
malnutrisi. Keadaan ini selain memperlihatkan bahwa usus halus dapat
mempertahankan jumlah selnya dalam menghadapi pembatasan nutrien, juga
memberi petunjuk bahwa akan dapat berkembang apabila mendapatkan
masukan nutrien yang cukup.
Apakah reatimentasi dapat memulihkan mukosa yang hipotrofi normoplasi
menjadi normotroti normoplasi? Apabila keadaan tersebut terjadi, apakah respon
pemulihan itu berbeda antara tikus yang diinduksi pada masa pranatal dan yang
diinduksi malnutrisi pada masa pascasapih? Penelitian ini berusaha menjawab
pertanyaan tersebut.
Metodologi
Penelitian eksperimental dengan desain post test-control group dilakukan
dengan menggunakan anak tikus jantan jenis Sprague-Dawley, dalam kurun
waktu April 2003 - Desember 2004. Delapan puluh ekor anak tikus jantan yang
dilahirkan dari 10 induk tikus berumur 8 minggu dengan berat badan antara 250-
300 gram, diberikan makanan baku yang lazim digunakan untuk penelitian.
Penelitian dibagi dalam 2 tahap : (1) induksi malnutrisi pranatal yaitu 3 minggu
pada masa gestasi, 3 minggu masa laktasi dan 3 minggu pascalaktasi, dan
induksi malnutrisi pascasapih selama 9 minggu dimulai segra setelah disapih;
dilanjutkan dengan tahap (2) Realimentasi selama 8 minggu. Pada setiap akhir
tahapan dilakukan nekropsi untuk memperoteh data. Data tersebut adalah (1)
kadar albumin serum, (2) ukuran badan (berat badan, panjang badan, Iingkar
dada), (3) ukuran usus (berat usus, panjang usus, diameter usus dan berat
mukosa), (4) morfologi usus halus (tebat mukosa, tinggi vilus, kedalaman kripta,
nisbah vitus/kripta, jumlah virus, kandungan protein, kandungan DNA, dan nisbah
protein/DNA), dan (5) aktivitas disakaridase (laktase, maltase, sukrase).
Hasil Penelitian
Berat badan tikus malnutrisi pranatal dan pascasapih yang direalimentasi lebih
tinggi dari tikus malnutrisi yang tidak direalimentasi, tetapi Iebih rendah dari tikus
kontrol. Semua parameter yang digunakan untuk menilai morfologi pada tikus
malnutrisi pranatal dan pascasapih yang direalimentasi lebih tinggi dari tikus
malnutrisi yang tidak direalimentasi, tetapi lebih rendah dibandingkan tikus
kontrol. Aktivitas spesifik disakaridase pada tikus malnutrisi pranatal yang
direalimentasi lebih tinggi dari tikus malnutrisi yang tidak direalimentasi, tetapi
lebih rendah dari nilai kontro. Sedangkan aktivitas spesifik disakaridase pada
tlkus malnutrisi pascasapih yang direalimentasi lebih rendah dari tikus malnutrisi
yang tidak direalimentasi, tetapi lebih tinggi dari nilai kontrol. Persentase
peningkatan beberapa parameter terhadap kontrol yaitu berat usus, berat
mukosa, dan kandungan protein mukosa usus halus tikus malnutrisi pascasapih
yang direalimentasi lebih tinggi dari tikus malnutrisi pranatal yang direalimentasi.
Kesimpulan
Malnutrisi tidak mengurangi populasi enterosit usus halus tikus. Realimentasi
dapat meningkatkan berat badan tikus malnutrisi pranatal dan pascasapih, tetapi
tidak mencapai berat badan tikus normal. Realimentasi pada tikus malnutrisi
pranatal dan pascasapih dapat memperbaiki hipotrotl mukosa usus halus tetapi
tidak mencapai nonnotroti Realimentasi pada tikus malnutrisi pranatal dapat
meningkatkan aktivitas disakaridase tetapi tidak mencapai nilai normal.
Realimentasi pada tikus malnutrisi pascasapin dapat me-ngaklbatkan perubahan
aktivitas disakaridase tetapi tldak mencapai nilai normal. Realimentasi pada tikus
malnutrisi pranatal dan pascasapih dapat memperbaiki maturitas mukosa usus
halus, tetapi tidak mencapai normal. Realimentasi pada tikus malnutrisi
pascasapih memberikan respon yang lebih baik daripada tikus malnutrisi
pranatal.

Abstract
Background
Low birth-weight infant and intrauterine growth retardation (lUGR) are still a
health problem, especially in Indonesia due to high prevalence and need to be
reduced. Malnutrition in infants are most common occur in low birth-weight
infants. The most common etiology of failure to thrive in infants is due to
gastrointestinal origin, particularly nutrient maldigestion and malabsorption, and
chronic diarrhea.
Malnutrition in rats resulted in hypotrophic and norrnoplastic mucosa of the
small intestine. The nomioplasia was reflected from persistent DNA content of
the intestinal mucosa in malnutrition. The finding was not only showed that small
intestine was able to maintain its cell number in condition with restriction nutrient,
however also suggested the posibility of epithelial regeneration if given the
adequate nutrient intake.
Did realimentation recover the hypotrophic normoplastic mucosa to
nonnotrophic normoplastic? lf so, will the recovery response be different between
rats with malnutrition induced in prenatal period and post-weaning period. The
study aim to answer the above question.
Methodology
Experimental animal study with post test-control group design was perfomied
using male litter of Sprague-Dawley rats, from April 2003 to December 2004.
Eighty male Sprague-Dawley rats bom from 10 female rats which were 8 week
old and body weight of 250-300 grams, was fed standard chow. The study was
divided into 2 phases: (1) prenatally-induced malnutrition, i.e. 3 weeks gestation
period, 3 weeks lactation period, and 3 weeks post-weaning period, and post-
weaning-induced malnutrition for 9 weeks starting right after weaning, continued
with phases (2) realimentation for 8 weeks. At the end of each phase, the rats
were sacrilied to obtain data. The data include (1) serum albumin level, (2)
physical parameters (body weight, body length, chest cirouimstance), (3) small
intestinal parameters (intestinal weight, length, diameter, and mucosal weight),
(4) small intestinal morphology (mucosal thickness, villus height, cryptus depth,
ratio of villus/crypt, number of villi, protein content, DNA content, ratio of
protein/DNA), and (5) disaocharidases (lactase, maltase, sucrase) activities.
Results
Both in pranatally and postweaning-induced malnutrition, the body weight of rats
in realimentation group was higher than non-realimentation group, but lower than
control group. All parameters to evaluate the morphology of rats with prenatally
and postweanlng-induced malnutrition in realimentation group were higher than
those of non-realimentation, but lower than control group. Specihc activity of
disaocharidases in rats with prenatally-induced malnutrition in realimentation
group was higher than those without realimentation, but lower than control. While
specific activity of disaccharidases in postweaning-induced malnutrition rats in
realimentation group was lower than those without realimentation, but higher
than control. After relimentation, percentage of increase from control values in
some parameters in realimentation rats (intestinal and mucosal weight, protein
content of intestinal mucosa) in postweaning-induced malnutrition rats was
higher compared to prenatally-induced malnutrition rats.
Conclusions
Malnutrition did not reduced the population of small intestinal enterocytes.
Realimentation was able to increase the body weight of rats in prenatally and
post-weaning-induced malnutrition, but the increase did not reach the nom1al
body weight. Realimentation in rats in prenatally and postweaning-induced
malnutrition was able to improve the hypotrophy of small intestinal mucosa but
not fully recover to nomiotrophic state. Realimentation in rats in prenatally-
induced malnutrition was able to increase the disacxsharidases activities but not
to the nom'|al values. Realimentation in rats of postweaning-induced malnutrition
was able to decrease the disaccharidases activities, but not to nom1al values.
Realimentation was able to improve the maturity of small intestinal mucosa of
rats in prenatally and postweaning-induced malnutrition, but did not reach the
nomtal values. Realimentation in rats of postweaning-induced malnutrition
showed better responses than rats of prenatally-induced malnutrition."
2005
D715
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>