Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 112368 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dicky Soehardiman
"Background: Although combipack has high effectivity in tuberculosis treatment but it has lower compliance, The unst.iccessfull problems might be caused by number of pills taken by patients. Therefore, World Health Organization (WHO) decided to make new preparation which consist of more than two antituberculosis agent in one pill which is called fixed dose combination (FDC).
Methods: The efficacy of 2 antituberculosis agent (FDC and combipack) were compared after 6 months therapy of positive acid fast bacilli (AFB) pulmonary tuberculosis (PTB) patients in directly observed treatment, short course (DOTS) in Lung Clinics Persahabatan Hospital -Dep􀀛rtment Pulmonology and Respiratory Medicine, Faculty of Medicine University of Indonesia, with design randomized clinical trial.
Results: FDC group consist of 52 patients, 32 male (mean of age 28.56 ± 10.74) is compared to 58 patients, 33 male in combipack group (mean of age 29.53 ± 10.1 ). Sputum conversion is 98% in FDC g,roup and combipack 94. 7% in the early evaluation, the results almost similar to the end of.evaluation 97 .3% in FDC group and combipack 97.7%, and both of them are not statistically significant (p>0.005). Cure rate in FDC group is 69.2% and combipack 72.4%, and success rate in FDC group is 97.3% and combipack 97.7%, both of them are not statisticallly significant (p>0.005). FDC causing less itchy skin (1.9% in FDC and 6.9% in combipack) and musculoskeletal pain (0% in FDC and 5.2% in combipack) than combipack although it has no statiscal significant (p>0.005).
Conclusion: FDC has the same efficacy as combipack which can be used to treat PTB in DOTS strategy. Conversion rate, cure rate and success rate are almost the same in both groups."
Jakarta: [Publisher not identified], 2008
MK-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Hasto Nugroho
"Latar belakang: WHO merekomendasikan penggunaan obat TB dalam bentuk kombinasi dosis tetap (Fixed Dose Combinations=FDC) berisi 4 obat dalam strategi DOTS bertujuan meningkatkan mutu hasil pengobatan .Obat FDC memudahkan pengobatan, dan penatalaksanaan pengadaan obat serta mencegah bahaya resistensi obat. Sejak tahun 1999 Indonesia mulai menggunakan paduan OAT - FDC yang berisi 4 obat di Propinsi Sulawesi Selatan dengan basil memuaskan.
Tujuan menilai angka keberhasilan pengobatan TB paru dengan OAT kombinasi dosis tetap (FDC) di Surakarta.
Bahan dan cara: penelitian bersifat prospective study menggunakan uji klinik terbuka. Pemilihan sampel dilakukan secara acak sederhana. Perlakuan berupa pemberian OAT FDC untuk kelompok pertama dan pemberian OAT Kombipak untuk kelompok kedua. Kedua kelompok diikuti selama enam bulan. Subyek penelitian berjumlah 180 prang, masing-masing 90 orang kelompok FDC dan 90 orang ketompok Kombipak. Uji Chi square digunakan untuk menilai kemaknaan perbedaan pada variabel babas maupun variabel efek dengan skala nominal. Perhitungan beda rerata karakteristik subyek penelitian menggunakan uji-T. Data diolah dengan menggunakan program komputer SPSS versi 10.05.
Hasil: Angka keberhasilan pengobatan dengan OAT FDC 98,9% dan 96,7% untuk kelompok Kombipak. Tidak terdapat perbedaan bermakna angka keberhasilan FDC dibanding Kombipak (p>0,05)). Angka kesembuhan OAT FDC 97,8%. Tidak terdapat perbedaan bermakna keseluruhan gejala efek samping obat antara kelompok FDC dan Kombipak (p>0,05). Gejala gastrointestinal kelompok FDC lebih sedikit dibanding dan Kombipak,secara statistik bermakna (p<0,05).
Simpulan: Angka keberhasilan OAT FDC lebih besar dibanding Kombipak, secara statistik tidak berbeda bermakna. Angka kesembuhan OAT FDC 97,8%. Gejala gastrointestinal kelompok FDC lebih sedikit dibanding kelompok Kombipak, secara statistik berbeda bermakna.

Background: To improve tuberculosis treatment, a 4-drug FDC were recommended by the World Health Organization (WHO) as part of the DOTS strategy. FDCs TB drugs could simplifies both treatment and management of drug supply, and may prevent the emergence of drug resistance. Since 1999 Indonesia was taken a 4- drug FDCs to treatment the tuberculosis patient in the South Sulawesi province , treatment results are excellent.
Objectives: To asses success rate and treatment outcome in new smearpositif patient treated by FDCs drug.
Design: A prospective study, open clinical trial in which patient are simple randomly allocated to the FDC regimen or Kombipak.
Result : FDCs treatment success rate was 98.9% and 96.7% in patient treated by Kombipak, differences at the 5% level (p> 0.05 ) are regarded as no statistically significant. FDCs cure rate was 97,8%. Gastrointestinal complaint in patient treated with FDC lower than Kombipak (p<0,05), are regarded as statistically significant.
Conclusion: FDCs treatment success higher than Kombipak. FDC cure rate 97,8%. Gastrointestinal complaints in patient treated FDC lower than Kombipak."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T58470
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Menurut laporan WHO (1999) diperkirakan di Indonesia setiap tahunnya ditemukan
583.000 penderita tuberkulosis paru dengan kematian sekitar 140.000 penderita. Tujuan
penelitian ini untuk mengetahui gambaran hasil pengobatan pada penderita tuberkulosis
paru dengan menggunakan strategi Directly Observed Treatment Short Cause (DOTS)
di Puskesmas Beji Kota Depok pada tahun 2005. Desain yang digunakan dalam
penelitian adalah deskriptif sederhana, cross sectional dan melihat distribusi iiekuensi
angka kesembuhan dengan menggunakan kuisioner. Hasil dari penelitian ini pengobatan
pada 26 orang penderita tuberkulosis paru dengan menggunakan strategi DOTS di
Puskesmas Beji Kota Depok tahun 2005 adalah angka kesembuhan 22 orang atau
84,62%. Penderita yang meninggal 2 orang atau 7,69%, sedangkan yang pengobatan
lengkap ada 2 orang atau 7,69%. Penelitian ini merekomendasikan penelitian dengan
menggunakan analisa bivariat atau multivariat untuk mengetahui keterkaitan faktor
internal dan eksternal dari penderita tuberkulosis paru dengan angka kesembuhan."
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2006
TA5530
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Manuhutu, Victor Paulus
"Latar belakang : Diantara pasien TB paru resisten OAT terdapat cukup banyak pasien yang memiliki riwayat pengobatan sebelumnya.
Tujuan : Tujuan utama penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi hubungan antara riwayat pengobatan TB paru sebelumnya dengan pola resistensi OAT di RS Persahabatan. Tujuan lain penelitian ini adalah untuk mendapatkan data mengenai riwayat pengobatan sebelumnya pasien TB paru resisten OAT, menilai peranan pasien dalam menyebabkan terjadinya TB paru resisten OAT dan menilai secara tidak langsung peranan tenaga kesehatan dalam menyebabkan terjadinya TB paru resisten OAT.
Hasil : Hasil penelitan ini menunjukkan terdapat 60 subjek yang terdiri dari 38 subjek laki - laki dan 22 subjek perempuan, sebagian besar subjek berasal dari kelompok umur 30 - 39 tahun (33,3%) dengan rata - rata umur 36,8 tahun. Sebanyak 81,7% mempunyai lebih dari 1 kali riwayat pengobatan TB paru sebelumnya, 28 subjek (46,7%) mempunyai 2 kali riwayat pengobatan TB paru sebelumnya dan terdapat 2 subjek (3,3%) dengan 5 kali riwayat pengobatan TB paru sebelumnya. Pada pengobatan pertama sampai pengobatan ketiga, lalai merupakan hasil pengobatan yang terbanyak (31,7%, 26,5% dan 33,3%) dan gagal konversi kategori II merupakan kriteria suspek TB paru resisten OAT yang terbanyak (46,7%). Sebanyak 71,7% subjek pernah mendapatkan pengobatan TB paru di fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah. Dokter umum praktek swasta merupakan fasilitas kesehatan yang paling banyak tidak melakukan pemeriksaan BTA baik untuk diagnosis maupun untuk evaluasi pengobatan TB paru (66,7%, 60% dan 100%). Terdapat persentase pemberian rejimen pengobatan tidak sesuai yang lebih besar pada riwayat pengobatan kedua 32,7% apabila dibandingkan dengan pengobatan pertama 10%. Pola resistensi terhadap H - R - S - E adalah pola resistensi terbanyak (51,7%). Tidak terdapat hubungan antara jumlah riwayat pengobatan TB paru dengan pola resistensi, odds ratio pola resistensi H-R-S-E dengan jumlah riwayat pengobatan TB 1- 2 kali terhadap jumlah riwayat pengobatan TB 3 - 5 kali adalah 0,731 (CI 95% 0,245 - 2,074; p = 0,533).
Kesimpulan : Pola resistensi H - R - S - E adalah pola resistensi terbanyak. Tidak terdapat hubungan antara jumlah riwayat pengobatan TB paru dengan pola resistensi di RSUP Persahabatan.

Background : Most of anti tuberculosis drug resistant patients had previous history of pulmonary TB treatment.
Purpose : This study is primarily aimed to see the relationship between anti TB drug resistant patients previous history of TB treatment and patients resistance patterns at Persahabatan hospital. The other aims are to collect patient’s previous history of TB treament, see patient’s role in TB drug resistance and see the health worker’s role in TB drug resistance.
Method : This study uses cross sectional. Data collected by interview with questionnaire and from medical record.ving TB treatment and evaluation (66,7%, 44% and 100%).
Result : In this study there are 60 subjects that consist of 38 males and 22 females whose ages are around 30 to 39 (33,3%) and their mean age is 36,8. Around 81,7% of those subjects had more than 1 previous history of pulmonary TB treatment, 28 (46,7%) had twice and 2 (3,3%) had five times. Default from treatement mostly happened to the 1st up to 3rd of previous TB treatment (31,7%, 26,5% and 33,3%). Failure category 2 mostly happened to the drug resistant suspected criteria (46,7%). Around 71,7% subjects have been treated at the goverment healthcare facilities. Private clinics are the healthcare facilities that often don’t perform sputum smear before giving TB treatment. There are higher mistakes ATD regiment in 2nd previous previous TB treatment 32,7% if compared to 1st previous TB treatment 10%. Resistance to Isoniazid, rifampicin, ethambutol dan streptomycin is the the most frequent resistance patterns (51,7%). There is no correlation between the numbers of previous history of TB treatment and resistance patterns at Persahabatan hospital, the odds ratio resistance patterns H - R - S - E of 1- 2 times previous history of TB treatments to 3 - 5 times is 0,731 (CI 95% 0,245 - 2,074; p = 0,533).
Conclution : Resistance to H - R - S - E is the the most frequent resistance patterns. There is no correlation between the numbers of previous history of TB treatment and resistance patterns at Persahabatan hospital."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
M. Ali Hanafiah
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1998
T57285
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vika Endria
"Penyakit tuberkulosis paru dapat menimbulkan penurunan terhadap aspek kualitas hidup pasien TB Paru. Beberapa faktor yang mempengaruhi kondisi tersebut adanya depresi dan stigma negatif terhadap penyakit. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan depresi dan stigma dengan kualitas hidup pasien tuberkulosis paru yang menjalani pengobatan OAT.
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan desain cross sectional dan teknik yang digunakan adalah concecutive sampling. Populasi target dalam penelitian ini adalah pasien tuberkulosis paru yang menjalani pengobatan OAT di poli paru RSUP Persahabatan yang berjumlah 96 responden. Data dianalisis dengan uji analisa univariat dan bivariat, hasil uji bivariat menggunakan pearson menunjukan hasil p = 0,000 p < 0,05. Berdasarkan hasil tersebut menunjukan adanya hubungan antara depresi dan kualitas hidup serta stigma dan kualitas hidup pasien tuberkulosis paru. Diharapkan hasil penelitian ini dapat menunjukan perlunya deteksi dini depresi dan stigma dilakukan oleh perawat pada saat merawat pasien TB paru.

Treatment pulmonary tuberculosis disease may lead to a decrease in the quality of life of patients with pulmonary tuberculosis. Several factors that affect the existence of depression and negative stigma against the disease.The study aimed to identify relation of depression and stigma and quality of life of patients with tuberculosis who were undergoing anti tuberculosis regimen.
This quantitative study used cross sectional approach and used consecutive sampling technic. Target population of this study was patients with tuberculosis who have undertaking anti tuberculosis medication in polyclinic of pulmonary of RSUP Persahabatan with total sample of 96 respondents.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2017
S69265
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Ryan Fadillah
"Latar belakang: Tuberkulosis (TB) dapat menimbulkan komplikasi yang disebabkan oleh infeksi Aspergillus spp, yaitu Aspergillosis Paru Kronik (APK) pada kavitasi di paru. Enzyme-linked Immunosorbent Assay (ELISA) otomatis dan Uji Imunokromatografi (ICT) adalah dua dari metode-metode yang menunjang diagnosis klinis APK. Kedua metode tersebut mendeteksi antibodi Aspergillus spp. Keduanya memiliki keunggulan dan kekurangan masing-masing, namun belum ada studi yang membandingkan hasil dari performa diagnosis APK kedua uji tersebut pada pasien akhir pengobatan TB.
Metode: Penelitian ini bersifat deskriptif analitik dengan desain potong lintang. Pemeriksaan ELISA otomatis subjek memiliki ambang > 11,5 sebagai hasil positif. Pemeriksaan ICT subjek memiliki hasil positif jika terlihat garis pada masing-masing kolom T dan C, sedangkan hasil positif hanya terlihat satu garis pada kolom C.
Hasil: Jumlah subjek keseluruhan adalah 62 subjek dan diperoleh 20 (32,3%) subjek terdiagnosis APK. Hasil positif pemeriksaan ELISA otomatis adalah 27 (43,5%) subjek, sedangkan pemeriksaan ICT adalah 2 (3,2%) subjek. Sensitivitas dan spesifisitas ELISA otomatis masing-masing adalah 75% dan 71,43%, sedangkan ICT adalah 10% dan 100%.
Simpulan: ELISA otomatis memiliki performa diagnosis yang lebih baik dibandingkan ICT untuk diagnosis APK, namun ELISA otomatis masih belum tersedia secara adekuat di wilayah Indonesia sehingga penggunaan ICT tetap digunakan sebagai pemeriksaan APK.

Introduction: Tuberculosis (TB) can cause complications caused by Aspergillus spp infection, namely Chronic Pulmonary Aspergillosis (CPA) in cavitation of the lungs. Automated Enzyme-linked Immunosorbent Assay (ELISA) and Immunochromatography Test (ICT) are two of the methods that support the clinical diagnosis of CPA. Both methods detect Aspergillus spp. antibodies. Both have their advantages and disadvantages, but there is no study that compares the results of the diagnostic performance of the CPA of the two tests in patients at the end of TB treatment.
Methods: This research was analytic descriptive with a cross-sectional design. Automated ELISA examination of subjects had a threshold > 11.5 as a positive result. ICT examination of subjects had positive results if there was a line in each T and C columns, while positive results only showed one line in C column.
Results: The total number of subjects were 62 subjects and 20 (32.3%) subjects diagnosed with CPA. Subjects showed positive results of automated ELISA examination were 27 (43.5%) subjects, while ICT examinations were 2 (3.2%) subjects. The sensitivity and specificity of the automated ELISA were 75% and 71.43%, respectively, while the ICT was 10% and 100%.
Conclusion: Automated ELISA has better diagnostic performance than ICT for CPA diagnosis, but automated ELISA was not adequately available in the Indonesian region so ICT was still used as CPA examination.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sumarman
"Penderita TB yang telah selesai pengobatan namun tidak melaksanakan periksa ulang dahak pada fase akhir pengobatan jumlahnya mencapai 117 orang (20% dari total penderita). PMO mempunyai tugas untuk mengingatkan penderita agar melaksanakan periksa ulang dahak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan peran PMO dengan kepatuhan periksa ulang dahak pada fase akhir pengobatan.
Desain penelitian yang digunakan adalah kasus kontrol. Kasus adalah penderita TB Paru BTA positif, berumur > 15 tahun yang telah selesai mendapatkan pengobatan kategori 1 dan tidak melakukan periksa ulang dahak pada bulan ke-5 atau akhir pengobatan (104 kasus).
Hasil penelitian menunjukan bahwa peran PMO yang kurang baik mempunyai berisiko sebesar 3,013 kali untuk menyebabkan penderita tidak patuh periksa ulang dahak pada fase akhir pengobatan dibandingkan dengan penderita yang peran PMOnya baik (95% CI 1,615 ? 5,621) setelah dikontrol variabel penyuluhan petugas dan pengetahuan penderita.
Peran PMO yang baik berhubungan bermakna dengan kepatuhan penderita melaksanakan periksa ulang dahak. Untuk itu PMO hendaknya mengingatkan dan memotivasi penderita untuk periksa uang dahak, PMO dibekali buku saku/ pintar TB, PMO hendaknya melakukan kunjungan rumah pada penderita yang mangkir. Selain itu petugas hendaknya dibekali pengetahuan untuk meyakinkan penderita melakukan periksa ulang dahak. Penderita yang sudah sembuh dapat dijadikan pilihan alternatif sebagai PMO.

Patients with TB who had completed treatment but did not perform recheck sputum at the end of treatment phase the number reached 117 people (20% of total patients). PMO has a duty to remind the patient to carry out recheck the sputum. This study aims to determine the assosiation role of the PMO with the compliance recheck sputum at the end of treatment phase.
The design study is a case-control. Cases are smear positive pulmonary TB atients, aged > 15 years who had completed a treatment category 1 and did not recheck the sputum at month 5 or the end of treatment (104 cases).
The results showed that the PMO's role is less well having 3.013 times the risk of causing the patient is not adherent to recheck the phlegm in the final phase of treatment compared with patients who either PMO role (95% CI 1.615 to 5.621) after the controlled variable extension officers and the knowledge of the patient.
PMO role of good patient compliance associated with implementing meaningful recheck the sputum. For that PMO should remind and motivate patients to recheck sputum, PMO provided a pocket book/ smart TB, the PMO should conduct home visits to patients who defaulted. Additionally the officer should be equipped with the knowledge to convince patients to check the sputum. Patients who had recovered can be used as an alternative choice as the PMO."
Depok: Universitas Indonesia, 2011
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurhadi Raharjo
"Penyakit tuberkulosis (TBC) masih merupakan masalah kesehatan dan pembangunan dimana Indonesia merupakan negara dengan jumlah kasus terbesar ke tiga di dunia. Cakupan program penanggulangan TBC di Kabupaten Cianjur masih rendah, sehingga Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru (BP4) Cianjur sebagai unit pelaksana di bidang kesehatan pare hares mampu bekerja sama dengan Dinas Kesehatan Kabupaten Cianjur dalam menanggulangi masalah TBC paru di Kabupaten Cianjur. Agar penerapan DOTS di masa yang akan datang dapat berlangsung baik, perlu diketahui penerapan strategi DOTS di BP4 Cianjur saat ini. Penelitian bertujuan mengetahui penerapan strategi DOTS di BP4 Cianjur.
Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif yang dibantu dengan analisis data sekunder. Penelitian ini memiliki keterbatasan yaitu hasilnya tergantung pada sejauh mana informan memiliki pemahaman dan keterlibatan terhadap pelaksanaan penerapan strategi DOTS di BP4 Cianjur.
Dari basil penelitian diketahui penerapan dengan strategi DOTS di BP4 Cianjur belum optimal dan masih banyak permasalahan yang harus diperbaiki. Apabila dengan segera diperbaiki, BP4 Cianjur dapat menjadi unit pelayanan kesehatan paru yang baik di Kabupaten Cianjur karena BP4 Cianjur mempunyai peluang yang besar dalam penanganan TBC paru.
Dalam rangka perbaikan penerapan program di masa yang akan datang, peneliti menyarankan sebaiknya diagnosis disesuaikan dengan Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis yaitu dengan pemeriksaan dahak SPS. Dilakukan penambahan tenaga pelaksana yang jumlah dan jenisnya memerlukan kajian lebih lanjut. Dilakukan upaya peningkatan kemampuan manajemen BP4 Cianjur melalui pelatihan maupun pelimpahan wewenang yang lebih besar disertai dengan pembinaan teknis dan pengawasan yang memadai.. Penyuluhan sebaiknya dikelola dengan baik, perlu disiapkan tenaga khusus yang bertanggung jawab melaksanakan penyuluhan. Apabila memi-ingkinkan segera dibentuk Komite DOTS Kabupaten Cianjur sehingga diharapkan program penanggulangan TBC dapat terkoordinasi dengan baik dalam satu sistem yang terintegrasi.

Analysis on Implementation of Introduction DOTS Strategy in Cianjur Lung Clinic (BP4 Cianjur) to Fight Against Lung Tuberculosis in Cianjur District, 2003-2004 Tuberculosis still remains a major problem of health and development in Indonesia, which placed Indonesia in the third rank of lung tuberculosis cases in the world. Tuberculosis reduction program coverage in Cianjur district is still low, so the Cianjur Lung Clinic (BP4 Cianjur) should be able to collaborate with the Cianjur District Health Office to cope with the lung tuberculosis problem. To ensure the DOTS implementation could be working well, it needs to know how the DOTS implementation in BP4 Cianjur is carried out.
This is a qualitative approach study and supported by secondary data. This study has limitation on how the informan has the understanding and involvement on the execution of the DOTS strategy in BP4 Cianjur.
The result of this study show that implementation of the lung tuberculosis following the DOTS strategy is not optimal yet and still has a lot of problems that should be taken care. BP4 Cianjur could become the best lung clinic in Cianjur district because BP4 Cianjur has great potential in handling lung tuberculosis.
In order to enhance program implementation in the future based on this study, it recommend that the diagnostic of tuberculosis cases should be in compliance with the National Tuberculosis Handbook which uses sputum smear microscopy.. Recruiting more human resources with the numbers and types needs should be studied further. Any effort to improve the management ability of BP4 Cianjur through training and delegation of authority, including technical assistance and appropriate monitoring. Quality training for patients is therefore critical to success, it is important to assign a person who has the responsibility to train people. When it is possible, directly establish DOTS Committee in the Cianjur District, so the lung tuberculosis reduction program could be well organized and coordinated in one integrated system.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T13112
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Juhandi
"Salah satu indikator yang digunakan untuk rnengukur tingkat kemajuan fase awal pengobatan penyakit tuberkulosis, adalah kejadian konversi dimana seseorang yang semula terdeteksi sebagai penderita dengan BTA positif berubah setelah diobati menjadi BTA negatif. Kejadian konversi diharapkan terjadi tepat waktu sesuai dengan standar program untuk masing-masing kategori pengobatan, karena keterlambatan ditemukannya seorang penderita mencapai konversi pada fase awal pengobatan akan berpengaruh kepada keadaan penderita dan pola pengobatan selanjutnya.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perilaku berobat terhadap keterlambatan ditemukannya konversi pada akhir fase awal pengobatan penderita TB paru di Kota Tasikmalaya tahun 2001.
Rancangan penelitian yang dipergunakan yaitu kasus kontrol dengan jumlah sampel sebanyak 164 yang menurut perbandingan 1:1 terdiri dari 82 kasus dan 82 kontrol. Sampel adalah penderita TB paru berumur 15 tahun atau lebih yang mendapat pengobatan dengan strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shartcourse) kategori 1 dan 2, yang berobat ke puskesrnas di Wilayah Kota Tasikmalaya sejak 1 Januari 2001 sampai 31 Desember 2001 telah menyelesaikan fase awal pengobatan.
Kasus adalah sampel yang terlambat ditemukan konversi pada batas waktu fase awal pengobatan yaitu lebih dari 60 hari untuk kategori atau lebih dari 90 hari untuk kategori 2. Sedangkan kontrol adalah sampel yang mencapai konversi sesuai batas waktu fase awal pengobatan yaitu antara hari ke 53 - 60 untuk kategori 1 atau antara hari ke 83 - 90 untuk kategori 2.
Hasil penelitian dengan uji statistik multivariat regresi logistik, menunjukkan bahwa perilaku berobat penderita berpengaruh terhadap keterlambatan ditemukannya konversi pada akhir fase awal pengobatan TB paru dengan nilai rasio odds 3,75 dan 95%C1=1,83 ; 7,68. Artinya penderita TB paru yang berperilaku berobat kurang baik memiliki risiko 3,75 kali untuk mengalami keterlambatan ditemukannya konversi pada akhir fase awal pengobatannya dibanding dengan penderita TB paru yang berperilaku berobat baik. Pada penelitian ini tidak ditemukan variabel lain yang berinteraksi hanya ada satu variabel yang berpotensi sebagai pengganggu yaitu pelayanan petugas. Dengan demikian maka variabel-variabel covariat berpengaruh secara bebas terhadap keterlambatan ditemukannya konversi pada fase awal pengobatan penderita TB paru.
Untuk lebih efektifnya pengobatan TB paru, perlu pendekatan yang lebih baik melalui pengembangan komunikasi, informasi dan edukasi di antara petugas kesehatan, penderita dan Pengawas Makanan Obat (PMO), yang mengarah kepada pemberian motivasi kepada penderita agar memiliki perilaku berobat yang baik sesuai program.
Daftar Pustaka : 24 (1980 - 2001)

Influence of Treatment Behaviour to Late Have Been Met of Conversion at the End of the Intensive Phase of Pulmonary Tuberculosis Treatment in Tasikmalaya City, 2001One of indicator to determine the treatment response among sputum smear positive cases is sputum conversion, after initial phase. Sputum conversion event be hope not late but still remain in the range of normal time of treatment standard program. A late sputum conversion time during the intensive phase of treatment will affect the patients treatment.
The objective of the study is to know the influence of treatment behavior of the tuberculosis patient to late have been met of conversion at the end of the intensive phase of pulmonary tuberculosis treatment in Tasikmalaya City, 2001.
The research design used is case-control study where the total samples taken was 164. The comparison of cases and control is 1:1 where total cases 82 and total control 82. Samples were the Pulmonary Tuberculosis of 15 years old or more who obtained the therapy on DOTS strategy using the first and second category of tuberculosis drugs they took treatment at the Community Health Center since January 1 - December 31, 2001 untill conversion of the intensive phase of treatment.
A case is the sample who attended the sputum conversion more than 60 days for the intensive phase who took the first category of treatment and 90 days of the second category. The control is the sample who has the sputum conversion happened at the normal range of time of conversion which varies from 53 to 60 days for category I and 83 to 90 days for category II.
The result of the research after using logistic regression multivariate statistic test shown that treatment behavior will tend to the lateness of sputum conversion during the intensive phase with the odds ratio 3,75 and 95%CI=1,83 ; 7,68. It means that these who attend not good treatment behavior has 3,75 times the risk of the late sputum conversion than these who take a good treatment behavior. There was no interaction or confounding variables, therefore covariate variables have independently influences to the lateness of sputum conversion in the intensive phase of pulmonary tuberculosis treatment.
To make more effective of the pulmonary tuberculosis treatment, it is still needed for better approach like the best communication, information and education, between medical ability, tuberculosis patient and treatment observer, and a good motivation approach in order to have a good treatment behavior.
References : 24 (1980 - 2001)
"
Depok: Universitas Indonesia, 2003
T12736
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>