Di akhir abad ke-20, Uni Eropa mulai menyusun kerangka kerja sama energi terbarukan guna menjawab masalah kolektif terkait suplai energi dan perubahan iklim. Berbagai literatur kemudian muncul beriringan dengan perkembangan kerja sama energi terbarukan di Uni Eropa tersebut. Tulisan ini bertujuan untuk meninjau perkembangan literatur kerja sama energi terbarukan di Uni Eropa dengan menggunakan 83 literatur yang terakreditasi secara internasional. Dengan menggunakan metode taksonomi, literatur-literatur tersebut dibagi ke dalam empat tema umum, yakni (1) konseptualisasi kerja sama energi terbarukan di Uni Eropa, (2) ragam kepentingan kerja sama energi terbarukan di Uni Eropa, (3) aktor berpengaruh dalam kerja sama energi terbarukan di Uni Eropa, dan (4) persepsi aktor eksternal terkait kerja sama energi terbarukan di Uni Eropa. Tinjauan pustaka ini berupaya untuk menganalisis konsensus, perdebatan, dan kesenjangan literatur dari literatur-literatur yang dibahas. Tulisan ini menyingkap fakta bahwa kerja sama energi terbarukan di Uni Eropa menggambarkan kuatnya preskripsi intergovernmentalism dalam proses integrasi Eropa karena masih sentralnya peran negara dalam membentuk dan melaksanakan kerja sama energi terbarukan. Oleh sebab itu, kerja sama energi terbarukan akan memberikan tantangan bagi integrasi Eropa untuk dapat menyeimbangkan kepentingan negara anggota Uni Eropa dan solusi teknokratik terkait masalah suplai energi dan perubahan iklim.
At the end of the 20th century, the European Union has begun to develop frameworks for renewable energy cooperation to address collective problems related to energy supply and climate change. Various literatures then emerged along with the development of renewable energy cooperation in the European Union. This paper aims to review literature development regarding the renewable energy cooperation in the European Union by using 83 international accredited literatures. Using taxonomy method, the literatures are divided into four general themes, which are (1) conceptualization of renewable energy cooperation in the European Union, (2) variety of interests of renewable energy cooperation in the European Union, (3) influential actors within renewable energy cooperation in the European Union, and (4) the perception of external actors regarding renewable energy cooperation in the European Union. This literature review seeks to analyze the consensus, debates, and literature gap from the literatures that are being reviewed. This paper found that renewable energy cooperation in the European Union illustrates the strength of intergovernmental prescriptions in the European integration process because of state’s centrality in creating and implementing renewable energy cooperation. Accordingly, renewable energy cooperation will present a challenge for European integration in order to balance the interests of European Union’s member states and technocratic solutions related to the problem of energy supply and climate change.
"Skripsi ini membahas bentuk diskriminasi yang dilakukan oleh Uni Eropa melalui kebijakan Renewable Energy Directive (RED) terhadap komoditi sawit yang berdampak pada negara produsen sawit diantaranya Indonesia dan Malaysia. Uni Eropa melakukan bentuk diskriminasi melalui skema Indirect Land Use Change (ILUC) dan sertifikasi sebagai syarat diberlakukannya RED. Skema ILUC memberikan hambatan non-tarif dan hambatan tarif. Komoditi sawit dikategorikan sebagai komoditi High Risk karena memiliki nilai ILUC yang tinggi, hal ini bedampak pada penurunan nilai jual sawit di Uni Eropa. Selain skema ILUC, sertifikasi Certification of Sustainable Palm Oil (CSPO) RED juga memberikan hambatan non-tarif yang membatasi masuknya komoditi sawit ke pasar Uni Eropa, hal ini dikarenakan sertifikasi CSPO-RED bersifat wajib bagi komoditi yang akan masuk kedalam pasar Uni Eropa. Kedua hambatan tersebut merugikan Malaysia dan Indonesia sebagai eksportir terbesar sawit ke Uni Eropa. Indonesia dan Malaysia dirugikan karena terkena dampak tarif biaya dari skema ILUC sehingga menurunkan harga jual minyak sawit, selain itu Malaysia dan Indonesia juga dirugikan dengan tidak diakuinya sertifikasi lokal MSPO dan ISPO yang tidak berbeda jauh dari CSPO-RED. Diskriminasi yang dilakukan oleh RED Uni Eropa dalam skripsi ini penulis jelaskan menggunakan analisis teori proteksionisme oleh Levy dan mengaitkannya langsung dengan prinsip Non-diskriminasi World Trade Organization (WTO). Bentuk proteksionisme RED Uni Eropa dianalisa berdasarkan tingkat transparansinya (Intentional), Incidental, dan Instrumental Protectionism.