Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 83464 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dwi Novianingtyas
"Kanker kolorektal adalah salah satu kanker dengan prevalensi yang cukup tinggi di dunia. Kanker kolorektal terkait dengan reaksi inflamasi lokal akut dan dapat tergambarkan melalui neutrofil. Kalprotektin merupakan petanda spesifik yang stabil, dapat diperiksa pada sampel feses, mudah dan memiliki presisi yang tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui titik potong kadar kalprotektin fekal pada pasien terduga kanker kolorektal dan mengetahui peran diagnostik kalprotektin fekal dibandingkan dengan gambaran histopatologik sebagai baku emas. Desain penelitian adalah potong lintang dengan penyajian data secara deskriptif analitik. Penelitian melibatkan 84 pasien dewasa yang menjalankan kolonoskopi dan kadar kalprotektin fekal diperiksa menggunakan kit Calprest® Eurospital metode ELISA. Akurasi diagnostik kadar kalprotektin fekal berdasarkan analisis kurva ROC pada penelitian ini didapatkan sebesar 0,617 (95%CI: 0,483-0,75). Titik potong kadar kalprotektin fekal didapatkan 125 mg/kg dengan sensitivitas 60,71%, spesivisitas 60,71%, NPP 43,58% dan NPN 75,55%. Berdasarkan hasil uji diagnostik, kadar kalprotektin fekal dapat dipertimbangkan dalam penegakkan diagnosis pasien terduga kanker kolorektal sehingga pemeriksaannya dalam panel pemeriksaan pasien dengan terduga kanker kolorektal perlu dilakukan.

Cancer colorectal has high prevalence worldwide. Colorectal cancer is associated with local acute inflammatory reaction so that in some cases it can be visualized by white cell neutrophil scanning. Calportectine is a stable neutrophil specific marker which can be easily evaluated in stool with a high precision. This study aims to find out fecal calprotectine cut off on suspected colorectal cancer and to establish its diagnostic role with histopathologic findings as a gold standart. The study design was cross sectional with descriptive analytic data presentation. The study involved 84 adult patients who performed colonoscopy and fecal calprotectine consentration was examined with ELISA kit Calprest® Eurospital. Diagnostic accuracy of fecal calprotectine based on ROC curve analysis in this study was 0,617 (95% CI: 0,483-0,75). Cut off fecal calprotectine was 125 mg/kg with sensitivity 60,71%, spesivicity 60,71%, PPV 43,58% and NPV 75,55%. Based on diagnostic accuracy, fecal calprotectine was considered in diagnosting suspected colorectal cancer and that should be tested on the panel of suspected colorectal cancer.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T57605
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cynthia Ariani
"ABSTRAK
Latar belakang: Berdasarkan Jakarta Cancer Registry tahun 2012, kanker kolorektal merupakan kanker terbanyak keempat pada wanita dan kedua pada pria di Indonesia. Penelitian menggunakan mRNA fekal sebagai penanda kanker kolorektal bersifat non invasif namun cukup representatif menggambarkan kelainan pada usus. Tujuan: Mengevaluasi peran pemeriksaan mRNA CEA feses pada pasien terduga keganasan kolorektal menggunakan nested RT-PCR. Metode: Uji diagnostik ini melibatkan 93 pasien terduga keganasan kolorektal yang ditentukan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik oleh klinisi. Ekstraksi mRNA CEA fekal menggunakan metode Kanaoka dan sintesis DNA menggunakan metode cyclic temperature reverse transcription 2 CTRT-2 . Pemeriksaan mRNA CEA menggunakan metode nested RT-PCR. Hasil: mRNA CEA fekal positif ditemukan pada 22 pasien 23,7 . Penelitian ini mendapatkan sensitivitas 51,61 , spesifisitas 90,32 , nilai prediksi positif 72,73 dan nilai prediksi negatif 78,87 . Meskipun sensitivitas yang diperoleh rendah tetapi spesifisitas mRNA CEA fekal yang tinggi dapat mengkonfirmasi diagnosis lesi neoplastik pada pasien terduga keganasan kolorektal. Kesimpulan: Pemeriksaan mRNA CEA fekal tidak dapat digunakan sebagai penanda tunggal dalam skrining keganasan kolorektal. Pemeriksaan mRNA CEA fekal perlu dikombinasikan bersama penanda diagnostik lainnya agar dapat meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan. Kata kunci: carcinoembryonic antigen; penanda fekal; nested
Background Based on the 2012 Jakarta Cancer Registry, colorectal cancer is the fourth of most common cancer in women and the second in men. Fecal carcinoembryonic antigen mRNA assay is a non invasive method, yet representatively describes abnormalities of the intestine. Objective To evaluate the role of fecal mRNA CEA assay in suspected colorectal cancer patients using nested RT PCR. Methods The diagnostic study included 93 suspected colorectal cancer patients which were determined by anamnesis and physical examination from the clinician. The fecal mRNA were extracted by Kanaoka method and cDNA were synthesized with cyclic temperature reverse transcription 2 CTRT 2 method. The fecal mRNA CEA assay used nested RT PCR method. Results Positive fecal mRNA CEA was detected in 22 patients 23.7 . Sensitivity, specificity, positive predictive value, and negative predictive value were 51.61 , 90.32 , 72.73 , and 78.87 respectively. This study had low sensitivity but with high specificity. Therefore, fecal mRNA CEA could be used as a confirmatory assay. Conclusions It was not recommended to use fecal mRNA CEA as a single marker in colorectal cancer screening. A fecal mRNA CEA assay should be combined with other diagnostic markers in order to improve the sensitivity and specificity of the assay. Keywords carcinoembryonic antigen fecal marker nested "
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Latifah Anandari
"Kanker kolorektal adalah salah satu kanker dengan prevalensi yang cukup tinggi di dunia. Protein KRAS adalah salah satu protein yang berada di jalur persinyalan epithelial growth factor receptor EGFR dan status mutasinya disarankan untuk diperiksa pada pasien karsinoma kolorektal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proporsi mutasi KRAS dari sampel feses pasien tersangka keganasan kolorektal menggunakan nested-allele specific primer dan amplifikasi COLD-PCR, dan mengetahui peran diagnostik status mutasi tersebut dibandingkan dengan gambaran histopatologik sebagai baku emas. Proporsi mutasi KRAS fekal dengan protokol yang sudah ditetapkan sebesar 45. Tidak terdapat hubungan bermakna antara status mutasi KRAS dengan gambaran histopatologik p > 0,05. Dari uji diagnostik didapatkan sensitivitas, spesifisitas, nilai prediksi positif, dan nilai prediksi negatif adalah 46,9, 55,9, 33,3, dan 69,1 sehingga tidak disarankan untuk menggunakan status mutasi KRAS fekal secara tunggal sebagai uji penapisan maupun konfirmasi.

Colorectal cancer has high prevalence worldwide. KRAS is one protein involved in epithelial growth factor receptor EGFR and its mutational status recommended to be determined on colorectal cancer patients. This study aims to find out proportion of fecal KRAS mutation on suspected colorectal cancer patients with nested allele specific primer and COLD PCR amplification, and to establish its diagnostic role with histopathologic findings as a gold standard. Proportion of fecal KRAS mutation with the assigned protocol was 45. There is no significant correlation between mutation status and histopathologic findings p 0,05. Sensitivity, specificity, positive prediction value, and negative prediction value results were 46,9, 55,9, 33,3, and 69,1 respectively. It is not recommended to use fecal KRAS mutation status as a single parameter in screening or confirmatory test."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T55611
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Venny Beauty
"ABSTRAK
Menurut Jakarta Cancer Registry tahun 2012, kanker kolorektal merupakan kanker terbanyak kedua pada laki-laki dan terbanyak keempat pada perempuan di Indonesia. Pemeriksaan skrining kanker kolorektal yang saat ini tersedia memiliki berbagai keterbatasan. Matrix metalloproteinase-9 (MMP-9) adalah endopeptidase yang berperan dalam degradasi matriks ekstraseluler, dan disekresi oleh berbagai sel seperti sel tumor, sel radang, dan fibroblas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran diagnostik MMP-9 feses dibandingkan dengan gambaran histopatologi sebagai baku emas. Desain penelitian adalah potong lintang. Penelitian dilakukan terhadap 52 subjek terduga kanker kolorektal yang menjalani kolonoskopi. Kadar MMP-9 feses diperiksa menggunakan kit MMP-9 dari R&D Systems dengan metode ELISA. Akurasi diagnostik kadar MMP-9 feses sebesar 0,855. Titik potong kadar MMP-9 feses didapatkan 1,237 ng/ml dengan sensitivitas 88,9%, spesifisitas 76,7%, nilai prediksi positif 44,4%, dan nilai prediksi negatif 97,1%. Pemeriksaan kadar MMP-9 feses dapat dipertimbangkan dalam skrining kanker kolorektal.

ABSTRACT
According to Jakarta Cancer Registry 2012, colorectal cancer is the second most common cancer in men and fourth in women in Indonesia. Colorectal cancer screening tests currently available, have various limitations. Matrix metalloproteinase-9 (MMP-9) is endopeptidase which plays a role in the degradation of the extracellular matrix, and is secreted by various cells such as tumor cells, inflammatory cells, and fibroblasts. This is a cross sectional study aims to determine the diagnostic role of faecal MMP-9 compared to histopathological features as gold standard. The study was conducted on 52 subjects with suspected colorectal cancers who underwent colonoscopy. The levels of faecal MMP-9 were examined using MMP-9 kit from R&D Systems using ELISA method. Diagnostic accuracy of faecal MMP-9 levels is 0.855. The cutoff point was 1.237 ng/ml with sensitivity of 88.9%, specificity of 76.7%, positive predictive value of 44.4%, and negative predictive value of 97.1%. Faecal MMP-9 can be considered as a screening test in colorectal cancer.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Ricka Christiani
"Karsinoma Kolorektal (KKR) merupakan keganasan keempat terbanyak dan penyebab kematian ketiga di dunia. Gejala awal KKR yang tidak jelas mengakibatkan sebagian besar pasien datang dalam stadium lanjut. Kolonoskopi sebagai standar diagnostik bersifat invasif, mahal, membutuhkan banyak persiapan, dan tidak dimiliki oleh semua rumah sakit di Indonesia. Pemeriksaan CEA serum saat ini hanya digunakan untuk menilai prognosis. Pemeriksaan CEA feses memberikan harapan dalam deteksi KKR dan terdapat peningkatan sensitivitas dan spesifisitas apabila dikombinasikan dengan parameter lain. Sistem skoring Asia Pacific Colorectal Cancer Screening (APCS) berdasarkan data umur, jenis kelamin, riwayat keluarga menderita KKR dan riwayat merokok dapat meningkatkan efisiensi penapisan pasien KKR. Penelitian ini menganalisis kombinasi pemeriksaan CEA feses dan serum serta skor APCS dibandingkan dengan histopatologi sebagai baku emas. Desain penelitian potong lintang terhadap 60 pasien terduga KKR yang diperiksa CEA feses dan serum, dihitung skor APCS dan dilakukan biopsi kolonoskopi. Pada penelitian ini didapatkan perbedaan bermakna kadar CEA feses, CEA serum dan skor APCS pada kelompok KKR dan non-KKR. Median kadar CEA feses kelompok KKR dan non-KKR adalah 10726 ng/mL (32,9 – 30000 ng/mL) dan 3671,8 ng/mL (35,9 – 29454,8 ng/mL), median kadar CEA serum kelompok KKR dan non-KKR adalah 8,95 ng/mL (0,5 – 7757,9 ng/mL) dan 1,75 ng/mL (0,5 – 5,8 ng/mL), dan skor APCS kelompok KKR dan non-KKR adalah 3 dan 2. Berdasarkan hasil analisis multivariat variabel yang memiliki kemaknaan secara statistik dalam probabilitas terjadinya KKR adalah CEA feses dan CEA serum dengan rumus y = 1/ (1 + Exp (0,93 –1,56*CEA feses – 1,87*CEA serum)).

Colorectal Cancer (CRC) is the fourth most common malignancy and third most deadly cancer in the world. The early nonspecific symptoms of CRC resulting most patients come in an advanced stage. Colonoscopy as a diagnostic standard is invasive, expensive, requires some preparation, and not available in all hospitals in Indonesia. Serum CEA is currently used only for prognostic purposes. Fecal CEA has advantage in detection of CRC and sensitivity and specificity increased as combined with the other parameters. The Asia Pacific Colorectal Cancer Screening (APCS) scoring system based on data of age, sex, family history of CRC and smoking history improve screening efficiency of CRC patients. This study analyzed combination of fecal and serum CEA, and APCS scores with histopathology as the gold standard. This is a cross sectional study in 60 suspected CRC who were examined for fecal and serum CEA, calculated APCS scores and performed colonoscopic biopsies. In this study, there were significant differences of fecal CEA, serum CEA and APCS scores in CRC and non-CRC groups. The median fecal CEA levels in CRC and non-CRC groups were 10726 ng/mL (32.9 – 30000 ng/mL) and 3671.8 ng/mL (35.9 – 29454.8 ng/mL), the median serum CEA levels in CRC and non-CRC groups were 8.95 ng/mL (0.5 – 7757.9 ng/mL) and 1.75 ng/mL (0.5 – 5.8 ng/mL), and APCS scores of CRC and non-CRC groups were 3 and 2. Based on the multivariate analysis, fecal and serum CEA were variables statistically significance in probability of CRC with formula y = 1/ (1 + Exp (0.93 – 1.56*fecal CEA – 1.87*serum CEA))."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dayu Satriani
"Karsinoma kolorektal (KKR) merupakan tumor ganas saluran cerna dan menjadi penyebab kematian keempat terbanyak akibat penyakit keganasan di seluruh dunia. Gejala klinik KKR sering tidak spesifik mengakibatkan sebagian besar kasus terdiagnosis pada stadium lanjut. Kolonoskopi masih digunakan sebagai baku emas penegakan diagnosis KKR, namun terdapat kendala akses pasien untuk kolonoskopi akibat keterbatasan fasilitas. Pemeriksaan darah samar merupakan metode penapisan awal KKR yang relatif murah dan tidak invasif. Pemeriksaan darah samar yang sering dilakukan menggunakan metode guaiac-based FOBT (gFOBT) atau Fecal Immunochemical Tes (FIT). Sistem skoring Asia Pasific Colorectal Cancer Screening (APCS) merupakan suatu cara untuk meningkatkan efisiensi penapisan pasien berdasarkan data umur, jenis kelamin, riwayat keluarga menderita neoplasma kolorektal, dan riwayat merokok. Saat ini di Indonesia belum diketahui peran kombinasi sistem skoring APCS dan pemeriksaan darah samar feses untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi penapisan karsinoma kolorektal di Indonesia. Penelitian ini menganalisis kombinasi pemeriksaan darah samar feses dan skor APCS dibandingkan dengan histopatologi sebagai baku emas. Penelitian ini memeriksa 78 pasien tersangka KKR yang diperiksa darah samar feses metode gFOBT dan FIT, dihitung skor APCS dan dilakukan biopsi kolonoskopi. Pemeriksaan FIT memiliki nilai prediktif yang lebih tinggi dibandingkan metode gFOBT. Hasil uji diagnostik kombinasi pemeriksaan darah samar feses dengan skor APCS ≥ 2 menunjukkan kombinasi skor APCS dengan metode FIT memiliki nilai spesifisitas, prediksi positif, prediksi negatif yang lebih tinggi dibandingkan kombinasi metode gFOBT dan skor APCS ≥ 2.

Colorectal carcinoma (CRC) is a malignant tumor of the digestive tract and the fourth cause of death due to malignancy throughout the world. The clinical symptoms of CRC are not specific resulting in advanced stage when first diagnosed. Colonoscopy is used as the gold standard for the diagnosis of CRC, but there are difficulties for patient to access colonoscopy due to limited facilities. Occult blood test is relatively cheap and non-invasive initial screening methods. Occult blood test is often done using the guaiac-based (gFOBT) or Fecal Immunochemical Test (FIT) methods. The Asia-Pacific Colorectal Cancer Screening (APCS) scoring system is a tool to increase patient screening efficiency based on risks factor developed in the Asia-Pacific region, including age, sex, family history of colorectal neoplasm, and smoking history. At present the role of the APCS scoring system and fecal occult blood test to increase effectiveness and efficiency of colorectal carcinoma screening in Indonesia is still unknown. This study was aimed to analyze the combination of feccal occult blood test with APCS score showed in accordance with histopatology results. FIT has better predictive value compared to gFOBT. Combination of APCS score ≥ 2 and FIT is also gives higher specificity, positive predictive value, and negative predictive value compared when combined with gFOBT."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Jeri Indrawan
"[Latar belakang : Angka ketahanan hidup dalam 5 tahun pasien penderita
keganasan kanker ovaeium rendah, karena > 70% kasus terlambat didiagnosis.
CA125 asites merupakan metode untuk memprediksi kanker ovarium pra bedah
sebelum dilakukan tindakan atau tatalaksanha selanjutnya.
Tujuan : Penelitian ini bertujuan untuk menurunkan angka kematian akibat
kanker ovarium stadium lanjut.
Metode : Uji ini adalah uji diagnostik dengan desain potong lintang. Penelitian
berlangsung dari Juli 2014 sampai Juni 2015 di Poli onkologi Departemen
Obstetri dan Ginekologi RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo sampel sebanyak 41
kasus. Sampel diambil langsung dari pasien kanker ovarium dengan asites masif.
Selanjutnya sampel di analisa nilai sensitivitas dan spesifitasnya.
Hasil : Dari 41 orang subjek penelitian didapatkan nilai sensitivitas dan spesifitas
yang cukup baik dalam mendiagnosis kanker ovarium, berturut ? turut niali
sensitivitas dan spesifitasnya adalah 96% dan 100%. Pemeriksaan kadar CA125
asites dapat dipertimbangkan untuk digunakan sebagai salah satu tumor marker
untuk mendiagnosis kanker ovarium dengan asites masif.
Kesimpulan : Kadar CA125 asites memiliki nilai sensitivitas dan spesifitas 96% dan 100% untuk mendiagnosa kanker ovarium jenis sel epitel.;Background : Overall five-year survival rate of ovarian cancer is the lowest of
amongst gynecological malignancies, as it diagnosed in late stage diseases.
Preoperative CA125 level in ascites fluid is one of the method to guide the
subsequent management. This research aimed to improve ovarian cancer survival
rate.
Method :This study was a diagnostic study with cross-sectional review of CA125
level in ascites fluid of 41 ovarian malignancy patients in Obstetrics and
Gynecology Department of RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo to analyze its
sensitivity and specificity.
Results :This research showed a good sensitivity and specificity of CA125 level,
96 % and 100 % respectively. CA125 level in ascites fluid may consider as one of
the tumour marker to diagnose ovarian malignancy with massive ascited fluid.
Conclusion: CA125 level in ascites fluid had a good sensitivity and specificity to diagnose epithelial ovarian malignancy., Background : Overall five-year survival rate of ovarian cancer is the lowest of
amongst gynecological malignancies, as it diagnosed in late stage diseases.
Preoperative CA125 level in ascites fluid is one of the method to guide the
subsequent management. This research aimed to improve ovarian cancer survival
rate.
Method :This study was a diagnostic study with cross-sectional review of CA125
level in ascites fluid of 41 ovarian malignancy patients in Obstetrics and
Gynecology Department of RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo to analyze its
sensitivity and specificity.
Results :This research showed a good sensitivity and specificity of CA125 level,
96 % and 100 % respectively. CA125 level in ascites fluid may consider as one of
the tumour marker to diagnose ovarian malignancy with massive ascited fluid.
Conclusion: CA125 level in ascites fluid had a good sensitivity and specificity to diagnose epithelial ovarian malignancy.]"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Saskia Aziza Nursyirwan
"Latar Belakang: Kanker kolorektal (KKR) adalah salah satu penyebab utama morbiditas dan mortalitas terkait kanker. Pemeriksaan baku emas yang dilakukan untuk mendiagnosis kanker kolorektal hingga saat ini adalah histopatologi, yang didapat dari biopsi saat kolonoskopi. Oleh karena tidak semua pasien mau untuk menjalani pemeriksaan invasif di awal rencana diagnosis, maka pendekatan non-invasif baru yang dapat melengkapi dan meningkatkan strategi untuk diagnosis non invasif dan manajemen kanker kolorektal sangat dibutuhkan. Circulating tumor cell (CTC) dalam darah diharapkan dapat digunakan sebagai penanda diagnostik yang non-invasif pada pasien dengan KKR.
Tujuan: Penelitian ini merupakan uji diagnostik CTC pada KKR menggunakan metode isolasi dan analisis CTC imunomagnetik seleksi negatif menggunakan Easysep™ dan marker mesenkimal kanker CD44.
Metode: potong lintang dengan populasi terjangkau pasien dewasa yang diduga kanker kolorektal di RSCM selama bulan September 2020 hingga September 2021. Analisis uji diagnostik digunakan untuk mencari titik potong beserta nilai sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif (NDP), nilai duga negatif (NDN), rasio kemungkinan positif (RKP), dan rasio kemungkinan negatif (RKN) CTC dalam mendeteksi KKR.
Hasil: Sebanyak total 80 subjek penelitian, didapatkan mean umur 56 ± 11 tahun. Proporsi subjek berdasarkan jenis kelamin yaitu 46,3% pasien perempuan dan 53,8% pasien lelaki. Sebanyak 77,5% subjek mengalami kanker kolorektal, 7,5% polip adenoma, dan 15% polip inflamasi/ hiperplastik. Uji diagnostik CTC untuk mendeteksi KKR (KKR dibandingkan dengan polip inflamasi/hiperplastik + polip adenoma), dengan titik potong CTC >1,5 sel/mL, didapatkan hasil sensitivitas, spesifisitas, NDP, NDN, RKP, RKN berturut-turut sebesar 50%; 88,89%; 93,94%; 34,04%; 4,5; dan 0,56. Selain itu didapatkan variabel diferensiasi kanker memiliki hubungan yang signifikan (p<0,05) dengan jumlah CTC.
Simpulan: Pemeriksaan CTC memiliki sensitifitas yang rendah dan spesifisitas yang tinggi untuk mendiagnosis KKR. Pemeriksaan ini dapat dipertimbangkan menjadi pemeriksaan penunjang diagnostik non-invasif kanker kolorektal sebelum menjalani pemeriksaan yang lebih invasif yaitu kolonoskopi dan biopsi histopatologi.

Background: Colorectal cancer (CRC) is one of the leading causes of cancer-related morbidity and mortality. The gold standard for diagnosing colorectal cancer is histopathology, which is obtained from a biopsy during colonoscopy. Since not all patients are willing to undergo invasive testing at the outset of the first diagnotic plan, new non-invasive approaches that can complement and enhance strategies for non-invasive diagnosis and management of colorectal cancer are urgently needed. Circulating tumor cells (CTC) in the blood are expected to be used as a non-invasive diagnostic marker in patients with CRC.
Purpose: This research is a diagnostic test of CTC on CRC using the isolation and analysis of negative selection immunomagnetic method with Easysep™ and CD44 cancer mesenchymal marker.
Method: Cross-sectional study of adult patients with suspected colorectal cancer at RSCM during September 2020 to September 2021. Diagnostic study analysis was used to find the cut-off point along with sensitivity, specificity, positive predictive value (PPV), negative predictive value (NPV), positive likelihood ratio (PLR), and negative likelihood ratio (NLR) of CTC in detecting CRC.
Results: A total of 80 research subjects, the mean age was 56 ± 11 years. The proportion of subjects by gender was 46.3% female and 53.8% male patients. A total of 77.5% of the subjects had colorectal cancer, 7.5% adenoma polyps, and 15% inflammatory/ hyperplastic polyps. The CTC diagnostic analysis to detect CRC (CRC compared with inflammatory/hyperplastic polyps + adenoma polyps), with a CTC cut-off point of  > 1.5 cells/mL, showed that the sensitivity, specificity, PPV, NPV, PLR, NLR were 50%; 88.89%; 93.94%; 34.04%; 4.5; and 0.56, respectively. In addition, it was found that the cancer differentiation variable had a significant relationship (p<0.05) with the number of CTCs.
Conclusion: CTC examination has low sensitivity and high specificity for diagnosing CRC. This examination can be considered as a non-invasive diagnostic support for colorectal cancer before undergoing more invasive examinations, which are colonoscopy and histopathological biopsy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nabila Mutiarani
"Kanker kolorektal merupakan salah satu kanker yang memiliki angka penderita yang tinggi di dunia. EPCAM adalah salah satu gen yang diekspresikan pada karsinoma dan ditemukan dalam circulating tumour cell (CTC) yang umum digunakan sebagai penanda kanker. Peripheral blood mononuclear cell (PBMC) adalah sel darah perifer yang juga diduga mengekspresikan gen EPCAM, dan perlu diteliti lebih lanjut sebab kelimpahan PBMC di dalam tubuh lebih banyak dibandingkan CTC. Penelitian dilakukan dengan tujuan untuk mendeteksi ekspresi gen EPCAM pada CTC dan PBMC kanker kolorektal menggunakan metode semi-quantitative RT-PCR dan direct immunofluorescence sehingga potensi EPCAM sebagai biomarker untuk diagnosis kanker kolorektal diketahui. Isolat CTC dan PBMC yang berasal dari delapan sampel darah penderita kanker kolorektal diteliti melalui isolasi dan kuantifikasi RNA, kemudian dilanjutkan dengan amplifikasi cDNA, dan pewarnaan antibodi. Hasil penelitian menunjukkan tidak adanya ekspresi gen EPCAM pada CTC dan PBMC menggunakan metode semi-quantitative RT-PCR. Hasil pengamatan dengan metode direct immunofluorescence menunjukkan pada salah satu sampel PBMC terdapat protein yang belum dapat dipastikan sebagai EpCAM, namun pada CTC ekspresi gen EPCAM tidak terdeteksi. Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa ekspresi gen EPCAM tidak terdeteksi pada CTC dan PBMC dengan metode semi-quantitative RT-PCR. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengkonfirmasi protein yang terdeteksi pada PBMC adalah EpCAM.

Colorectal cancer is one of the most common cancers in the world. EPCAM is one of the genes expressed in carcinoma and found in circulating tumor cells (CTC) which is commonly used as a cancer marker. Peripheral blood mononuclear cell (PBMC) is a peripheral blood cell that is also thought to express the EPCAM gene and needs to be investigated further because PBMC is more abundant in the body than CTC. The research was conducted to detect the expression of the EPCAM gene in CTC and PBMC of colorectal cancer using semi-quantitative RT-PCR and direct immunofluorescence methods so that EPCAM potential as a biomarker for colorectal cancer diagnosis is known. CTC and PBMC isolated from eight blood samples of colorectal cancer patients were evaluated through RNA isolation and quantification, followed by cDNA amplification, and antibody staining. The results showed that EPCAM gene expression was not detected both in CTC and PBMC using the semi-quantitative RT-PCR method. Furthermore, the direct immunofluorescence method showed that EPCAM gene expression was not detected in CTC. However, a protein that has not been confirmed as EpCAM was detected in PBMC. Based on the results of the study, it can be concluded that the EPCAM gene expression was not detected both in CTC as well as in PBMC by semi-quantitative RT-PCR method. Further research is required to confirm that the protein detected in PBMC is EpCAM.CTC, direct immunofluorescence, ekspresi gen, EPCAM, kanker kolorektal, PBMC, semi-quantitative RT-PCR."
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2021
S-Pdf
UI - Dokumentasi  Universitas Indonesia Library
cover
Lubis, Muhammad Yamin
"Latar Belakang : Kanker Kolorektal (KKR) masih menjadi masalah besar di dunia pada umumnya dan di Indonesia pada khususnya. Kolonoskopi dapat melihat lesi di kolon tetapi biayanya mahal bila dilakukan pada semua pasien asimtomatik. Memakai komponen unsur-unsur APCS dapat memprediksi KKR pada pasien simtomatik sehingga kolonoskopi hanya merupakan modalitas untuk menstratifikasi KKR.
Tujuan : Mengetahui probabilitas kanker kolorektal menggunakan unsur-unsur APCS pada penderita simtomatik.
Metode : Penelitian kasus-kontrol retrospektif dilakukan di RS Cipto Mangunkusumo Jakarta, sejak bulan Februari 2014 hingga Mei 2014. Data dikumpulkan dari catatan rekam medis pasien di RSCM. Kelompok kasus adalah subjek dengan kanker kolorektal, kelompok kontrol adalah subjek non-kanker kolorektal. Analisis bivariat dilakukan pada 4 variabel bebas dari unsur-unsur APCS yaitu usia, jenis kelamin, riwayat keluarga menderita KKR dan merokok. Semua variabel yang mempunyai nilai p<0,25 pada analisis bivariat dimasukkan ke dalam analisis multivariat dengan regresi logistik.
Hasil : Pada 246 subjek, didapatkan wanita 127 (51,6 %), laki-laki 119 (48,4 %). Rerata usia 53 tahun, rentang usia 17 sampai 90 tahun. Berdasarkan hasil analisis multivariat terdapat dua variabel probabilitas terjadinya KKR berdasarkan unsurunsur APCS yang memiliki kemaknaan secara statistik, yaitu usia ≥50 tahun (OR 1,682; IK 95% 1,002-2,823; p=0,049) dan riwayat keluarga menderita KKR (OR 4,865; IK 95% 1,340-17,665; p=0,016). Probabilitas terjadinya KKR usia ≥ 50 tahun : 53,33%, penderita yang ada riwayat keluarga menderita KKR: 76,49%, usia ≥ 50 tahun serta ada riwayat keluarga menderita KKR : 84,74%. Probabilitas terjadinya KKR penderita simtomatik pada jenis kelamin dan merokok tidak bisa digunakan pada penelitian ini.
Kesimpulan : Probabilitas terjadinya KKR pada populasi simtomatik paling tinggi pada usia diatas 50 tahun disertai dengan riwayat keluarga KKR.

Background : Colorectal cancer (CRC) is still a major problem in the world in general and Indonesia in particular. Colonoscopy can see lesions in the colon but it is expensive if done at all asymptomatic patients. Wearing component elements of APCS can predicted CRC in symptomatic patients that colonoscopy is the only modality for stratifying CRC.
Objective: To determine the probability of colorectal cancer in patients with symptomatic use APCS.
Methods : The study uses a retrospective case-control study. Data were collected from patient medical record in RSCM. Group of cases is subject to the colorectal cancer, the control group is the subject of non-crc. Bivariate analyzes performed on 4 independent variables are age, gender, family history and smoking suffer crc. All variables that have a value of p <0.25 on bivariate analysis included in the multivariate analysis with logistic regression.
Results: In 246 subjects, found 127 women (51.6 %), 119 men (48.4%). Mean age 53 years, age range 17 to 90 years. Based on the results of the multivariat analysis, there are two variables that had a statistically significance, ie age ≥ 50 years (OR 1.682; CI 95% 1.002 to 2.823, p = 0.049) and family history suffer from CRC(OR 4.865; CI 95% 1.340 to 17.665 p = 0.016). The probability of CRC patients with symptomatic at age ≥ 50 years is 53.33%, patients who have a family history of suffering from the CRC was 76.49%, while patients aged ≥ 50 years and had family history of the CRC is at 84.74 %. The probability of the occurrence of symptomatic patients CRC on sex and smoking can not be used in this study.
Conclusion: The probability of colorectal cancer finding was highest among patient with age above 50 years and family history of CRC.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>