Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 100361 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rizky Amaliah
"Pendahuluan. Cedera iskemia reperfusi CI/R merupakan fenomena kerusakan selular akibat hipoksia yang terjadi lebih hebat saat restorasi oksigen. Strangulasi usus merupakan kasus bedah tersering yang dapat menimbulkan CI/R pada hati sebagai organ yang langsung mendapatkan aliran darah dari usus. Tindakan destrangulasi dalam mengembalikan perfusi oksigen dan menilai viabilitas usus yang dilakukan intraoperatif dapat menimbulkan CI/R terutama pada kasus dimana kemungkinan besar usus akan dilakukan reseksi. Studi ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh destrangulasi usus pada kasus strangulasi usus terhadap hati. Metode. Studi eksperimental pada tikus Sprague ndash;Dawley dengan membandingkan kadar Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase SGOT , Serum Glutamic Pyruvic Transaminase SGPT , malondialdehyde MDA serum dan hati serta histopatologi derajat kerusakan hati pada kelompok perlakuan reseksi usus dengan destrangulasi D dan tanpa destrangulasi TD setelah dilakukan strangulasi usus selama 4 jam. Hasil. Tidak terdapat perbedaan kadar SGOT p=0.234 , SGPT p=0.458 , MDA serum p=0.646 dan MDA hati p=0.237 antara kontrol, kelompok D dan TD. Pada histopatologi derajat kerusakan hati terdapat perbedaan bermakna antara kontrol dengan kedua kelompok perlakuan p=0.006 , namun tidak didapatkan perbedaan bermakna antara kelompok D dan TD p=0.902. Kesimpulan. Tindakan destrangulasi sebelum reseksi pada kasus strangulasi usus tidak menimbulkan perbedaan kadar biomarker stress oksidatif dan derajat kerusakan hati dibandingkan dengan tanpa destrangulasi.
Introduction. Ischaemia-reperfusion injury IRI is cellular injury due to hypoxia with greater impact when oxygen restored. Intestinal strangulation are often in surgical emergency that cause IRI on liver that directly get blood from intestine. Destrangulation that performed intraoperatively as purposes to restored oxygen and to evaluate viability of intestine tissue, can cause IRI particularly on case with partly of intestine will be resected. This study is to investigate intestinal destrangulation effects on liver following intestinal IRI. Method. This is an experimental study using Sprague-Dawley to compare Aspartate Aminotransferase AST, Alanine Aminotransferase ALT, serum and liver malondialdehyde MDA, and histopathology of degree liver injury between group of resection following destrangulation D and without destrangulation WD after 4 hours strangulation of one loop intestine. Results. There were no significant difference on AST p=0.234, ALT p=0.458, serum MDA p=0.646 and liver MDA p=0.237 between control, D and WD group. Histopathology examination showed significant difference between control and both of treatment group p=0.006, but there was no significant difference between D and WD group p=0.902. Conclusion. Destrangulation before resection on the intestinal strangulation cases doesn rsquo;t cause different of oxidative stress biomarker level and degree of liver injury, compare to intestinal resection without destrangulation."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dorothy
"Pendahuluan. Pada usus yang mengalami iskemia, maka tindakan reperfusi akan dapat membuat kerusakan yang lebih besar pada usus dan juga organ lain. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh destrangulasi intestinal terhadap organ yang dekat dengan organ yang mengalami iskemia yaitu usus halus, dan pada organ yang letaknya berjauhan yaitu gaster dan paru-paru, dibandingkan dengan subyek yang tidak mengalami destrangulasi sebelum reseksi usus.
Metode. Studi eksperimental yang bersifat deskriptif analitik pada 14 ekor tikus Sprague-Dawley jantan. Pada kelompok perlakuan destrangulasi-reseksi DR dilakukan strangulasi dengan meligasi satu loop usus selama 4 jam, kemudian dilakukan destrangulasi dan reseksi segmen usus yang iskemia. Pada kelompok perlakuan reseksi R dilakukan strangulasi usus selama 4 jam, kemudian segmen usus yang iskemia direseksi tanpa melakukan destrangulasi terlebih dahulu. Pada kelompok kontrol dilakukan laparotomi tanpa strangulasi maupun reseksi. Empat jam setelah intervensi kedua, tikus dimatikan, dan dilakukan pengambilan sampel dari usus halus, gaster, dan paru-paru untuk pemeriksaan histomorfologi dan biokimia dengan menggunakan malondialdehyde MDA.
Hasil. Pada pemeriksaan histomorfologi dan MDA, terdapat peningkatan kerusakan jaringan serta kadar MDA pada jaringan usus halus, namun perbedaannya tidak bermakna. Pada jaringan gaster dan paru-paru tidak ditemukan peningkatan kelainan histomorfologi maupun MDA.
Kesimpulan. Destrangulasi intestinal sebelum dilakukan reseksi menimbulkan peningkatan kerusakan jaringan dan stress oksidatif pada usus yang berada di luar batas strangulasi, namun perbedaan yang didapatkan tidak bermakna secara statistik. Strangulasi terbatas pada satu segmen usus halus tidak selalu menimbulkan cedera iskemia-reperfusi pada organ gaster dan paru-paru.

Introduction. On the intestinal ischemia events, reperfusion towards the injured intestine can cause further damage to the bowel and other organ as well. This study aims to understand the influence of intestinal destrangulation before bowel resection towards organs that are near and far from the ischemic bowel, compared with subjects without intestinal destrangulation. The studied subject's organ was small bowel outside margin of strangulation, stomach, and lung.
Methods. Fourteen male Sprague-Dawley rats were randomized either to destrangulation-resection DR, resection R, or control group. One bowel loop was ligated for 4 hours. On the DR group the strangulated bowel was released for 5 minutes and then resected. On the R group the strangulated bowel was immediately resected without destrangulation. The control group received sham laparotomy. After four hours the animals were euthanasized and samples were drawn from small bowel, stomach, and lung for histologic analysis and biochemical analysis of malondialdehyde MDA level.
Results. The histologic injury and MDA level on the small bowel tissue is unsignificantly higher on the DR group compared to the R group p>0,05 . There was no significant injury to the stomach and lung tissue, or elevation of MDA level in both groups.
Conclusion. Intestinal destrangulation before resection of the bowel cause more tissue injury and oxidative stress on the bowel outside the limit of strangulation, but the difference is not statistically significant. Limited strangulation of one bowel loop do not always cause ischemia-reperfusion injury to stomach and lung.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dalimunthe, Rahmat Hidayat
"Hipoksia hipobarik merupakan kondisi ketika konsentrasi oksigen mengalami penurunan seiring bertambahnya ketinggian. Fenomena ini dapat memicu stres oksidatif melalui peningkatan produksi radikal bebas yang menyerang komponen molekuler. Pemaparan hipoksia hipobarik intermiten (HHI) disinyalir dapat melatih kemampuan adaptasi jaringan sehingga menjadi lebih toleran terhadap kondisi hipoksia. Penelitian eksperimental ini menggunakan 30 tikus Sprague-Dawley jantan yang dibagi menjadi 6 kelompok, yaitu kelompok kontrol dan kelompok yang mendapat perlakuan selama 1, 7, 14, 21, dan 28 hari. Pemberian pajanan hipoksia hipobarik setara 10.000 kaki (523 mmHg) dilakukan setiap hari selama satu jam dengan menggunakan hypobaric chamber. Kadar malondialdehid (MDA) setiap sampel kemudian diukur dengan melakukan metode Wills yang dibaca dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 530 nm. Rata-rata kadar MDA secara perlahan mengalami penurunan pada kelompok yang terpajan hipoksia hipobarik intermiten ketika dibandingkan dengan kelompok yang terpajan hipoksia hipobarik akut. Meskipun uji statistik menunjukkan bahwa perubahan ini tidak signifikan, pajanan hipoksia hipobarik intermiten setara 10.000 kaki selama satu jam per hari dapat memengaruhi kadar MDA di jaringan paru tikus Sprague-Dawley.

A condition known as hypobaric hypoxia occurs when the concentration of oxygen falls with increasing altitude. This phenomenon can trigger oxidative stress through increased production of free radicals, which damage molecules. It is believed that exposure to intermittent hypobaric hypoxia (IHH) can train tissue adaptation mechanisms, increasing the tissues' tolerance to hypoxic environments. Thirty male Sprague-Dawley rats were utilized in this experiment as they were split into six groups: the control group and the groups that were exposed to IHH for 1, 7, 14, 21, and 28 days. Using a hypobaric chamber, exposure to hypobaric hypoxia equal to 10,000 feet (523 mmHg) was done once a day for an hour. The malondialdehyde (MDA) levels of each sample were measured using the Wills method which was read using a spectrophotometer at a wavelength of 530 nm. Compared to the acutely exposed to hypobaric hypoxia group, the average MDA level gradually decreased in the group that was exposed to intermittent hypobaric hypoxia. Despite the insignificant result, exposure to intermittent hypobaric hypoxia equivalent to 10,000 feet for one hour per day can affect MDA levels in the lung tissue of Sprague-Dawley rats."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alexander Rafael Satyadharma
"Latar belakang: Tekanan udara rendah pada dataran tinggi berdampak buruk bagi tubuh pendaki gunung dan pilot. Salah satu dampaknya adalah terjadi hipoksia jaringan yang dapat mencetuskan stres oksidatif. Kondisi tersebut dapat merusak struktur penting sel seperti protein, lipid, dan asam nukleat. Di otot, stres oksidatif dapat menyebabkan atrofi dan gangguan kontraktilitas. Di sisi lain, pajanan hipoksia hipobarik berulang diketahui mampu memicu proses adaptasi di berbagai organ. Penelitian ini bertujuan untuk menelusuri pengaruh paparan hipoksia hipobarik intermiten terhadap kadar malondialdehid, yang merupakan marker stres oksidatif, di otot gastrocnemius tikus Sprague-Dawley. Metode: Sebanyak 25 tikus Sprague-Dawley dibagi ke dalam kelompok kontrol dan empat kelompok uji. Kelompok uji mendapat perlakuan berupa dimasukkan ke dalam hypobaric chamber yang mensimulasikan ketinggian 25.000 kaki selama 5 menit. Kelompok uji 1 mendapat 1x perlakuan, kelompok uji 2 mendapat 2x perlakuan, kelompok uji 3 mendapat 3x perlakuan, dan kelompok uji 4 mendapat 4x perlakuan. Pada kelompok uji 2,3, dan 4, terdapat jeda 1 minggu antarperlakuan. Setelah mendapat perlakuan, jaringan otot gastrocnemius diambil dari tikus. Kadar malondialdehid pada otot gastrocnemius selanjutnya diukur menggunakan metode Wills. Hasil: Pada uji one-way ANOVA, rata-rata kadar malondialdehid meningkat secara bermakna (p = 0.008) pada kelompok yang mendapat paparan hipoksia hipobarik satu kali dibandingkan kelompok kontrol. Rata-rata kadar malondialdehid pada kelompok yang mendapat tiga paparan dan empat paparan mengalami penurunan yang bermakna secara statistik (p < 0,05) dibandingkan kelompok yang terpapar satu kali dan dua kali. Kesimpulan: Paparan hipoksia hipobarik sebanyak satu kali meningkatkan kadar malondialdehid pada otot gastrocnemius tikus yang menandakan terjadinya kondisi stres oksidatif. Paparan hipoksia hipobarik yang dilakukan berulang secara intermiten (tiga kali dan empat kali) mampu menciptakan adaptasi jaringan otot gastrocnemius terhadap stres oksidatif sehingga kadar malondialdehid lebih rendah dibandingkan kelompok yang lebih sedikit mendapat perlakuan hipoksia hipobarik

Introduction: Low barometric pressure in high altitude has detrimental effects on hikers and pilots. One of which is inducing tissue hypoxia that can instigate oxidative stress. Oxidative stress can damage important cellular structures such as protein, lipid, and nucleic acid. Oxidative stress can cause muscle atrophy and contractile dysfunction in skeletal muscle. On the other hand, repeated hypobaric hypoxia exposure is known for its effect to induce adaptation in various organs. This study aims to assess intermittent hypobaric hypoxia effects on malondialdehyde level, a marker of oxidative stress, in gastrocnemius muscle of Sprague-Dawley rat. Method: Twenty-five Sprague-Dawley rats were divided to a control group and four experimental group. The experimental group were then exposed to hypobaric environment by being placed on hypobaric chamber that simulated altitude of 25,000 ft for 5 minutes. Experimental group 1 got one exposure, experimental group 2 got two exposures, experimental group 3 got three exposures, and experimental group 4 got four exposures. There was a week interval between each exposure for experimental group that got more than one exposure (experimental group 2, 3, and 4). After getting the treatment, gastrocnemius muscle was taken from each rat as sample. Malondialdehyde level in the tissue was then measured by Wills method. Result: Mean malondialdehyde level in the group of rats subject to one hypobaric hypoxia exposure was significantly higher than that of control group (p = 0.008). Mean malondialdehyde level in the group of rats subject to three and four hypobaric hypoxia exposures were significantly (p < 0,05) lower than that of groups of rats subject to one and two exposures. Conclusion: One-time hypobaric hypoxia exposure increased malondialdehyde level in rat gastrocnemius muscle, implying stress oxidative had occurred. Three and four times of intermittent hypobaric hypoxia exposures induced adaptive response against oxidative stress in gastrocnemius muscle tissue, as seen by lower level of malondialdehyde in those groups compared to the groups exposed to fewer intermittent hypobaric hypoxia."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Uly Alfi Nikmah
"Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari perubahan ekspresi dan aktivitas spesifik karbamoil fosfat sintetase 1 (Carbamoyl Phosphate Synthetase 1/CPS 1) dan protein HIF-1α (hypoxia-inducible factor) pada hati tikus (Rattus norvegicus) selama hipoksia sistemik kronik.
Disain: Disain penelitian ini adalah eksperimen in vivo dengan menggunakan tikus sebagai hewan coba.
Metode: Ada lima perlakukan tikus; tikus kontrol, hipoksia 1 hari, hipoksia 3 hari, hipoksia 5 hari dan hipoksia 7 hari. Ekspresi gen karbamoil fosfat sintetase 1 (CPS1) diukur menggunakan real time RT-PCR dan menggunakan 18s rRNA sebagai gen referensi. Aktivitas spesifik CPS1 diukur menggunakan hidroksiurea sebagai larutan standar. Metode ELISA digunakan untuk mengukur protein HIF-1α.
Hasil : Ekspresi gen karbamoil Fosfat Sintetase 1 meningkat secara signifikan dan menunjukkan ekspresi tertinggi daripada perlakuan lain pada satu hari hipoksia dibandingkan dengan kelompok control. Pada hipoksia hari berikutnya, ekspresi CPS1 menurun secara signifikan dibandingkan kelompok control (ANOVA, p<0,05). Aktivitas spesifik CPS1 meningkat secara signifikan pada satu hari dan tiga hari hipoksia dibanding kelompok control (ANOVA, p<0,05). Protein HIF-1α juga dipengaruhi oleh induksi hipoksia (ANOVA, p<0,05). Hubungan antara ekspresi dan aktivitas CPS1 menunjukkan hubungan positif kuat dan hubungan protein HIF-1α dan ekspresi CPS1 menunjukkan hubungan positif sedang (Pearson, p<0,05). Sedangkan hubungan antara protein HIF-1α dan aktifitas spesifik menunjukkan tidak ada hubungan secara statistik.
Kesimpulan: Kondisi hipoksia berperan penting dalam pengaturan ekspresi gen dan aktivitas spesifik CPS1 serta protein HIF-1α. Regulasi ekspresi gen CPS1 oleh HIF-1α belum diketahui.

Background: The aim of this research is to study the changeover of expression and specific activity of Carbamoyl Phosphate Synthetase 1 (CPS 1) and HIF-1α protein of rat (Rattus norvegicus) liver during systemic chronic hypoxia.
Design: Design of this research is an in vivo experimental study using rat as laboratory animal.
Method: There are five treatment of rats; control, 1 day of hypoxia, 3 days of hypoxia, 5 days of hypoxia and 7 days of hypoxia. Carbamoyl phosphate synthetase 1 gene expression was measured using real time RT-PCR and using 18s RNA gene as housekeeping gene. The specific activity of CPS1 was measured using hydroxyurea as standard solution. ELISA was performing in order to measure HIF-1α protein.
Result: Carbamoyl phosphate synthetase 1 gene expression was increased significantly and shows the highest expression than other treatment in one day of systemic chronic hypoxia treatment of rat liver compared with control group. And the following days of hypoxia CPS1 gene expression were decreased significantly than control group (ANOVA, p<0,05). The specific activity of CPS1 was increased significantly in one day and three days of systemic chronic hypoxia than control group (ANOVA, p<0,05). The HIF-1α protein was decreased in one day and increased in three days of systemic chronic hypoxia than control group (ANOVA, p<0,05). The correlation between expression and specific activity of CPS1 shows strong positive correlation and between HIF-1α protein and CPS1 expression shows moderate positive correlation (Pearson, p<0,05). The HIF-1α protein and specific activity of CPS1 shows no correlation statistically.
Conclusion: Hypoxic condition plays an important role in the regulation of gene expression and specific activity of CPS1 and HIF-1α protein. Regulation of CPS1 gene expression by HIF-1α is not known yet.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andriani
"Hipoksia sistemik kronik dapat menyebabkan kekurangan oksigen pada otak sehingga metabolisme sel menjadi metabolisme anaerob. Konsekuensi metabolisme anaerob ini adalah kekurangan energi dalam bentuk ATP mengingat otak adalah organ yang sangat aktif. Akibat penurunan energi ini terjadi stimulasi yang berlebihan terhadap kanal Ca2+ sehingga terjadi influks Ca2+ yang berlebihan ke dalam sel memicu berbagai macam efek antara lain peningkatan penglepasan neurotransmiter ACh. Hipoksia sendiri memicu pembentukan radikal bebas dengan hasil akhir MDA. Pada kerusakan otak akibat hipoksia GFAP yang merupakan protein spesifik pada astrosit dapat mengalami peningkatan sintesis.
Penelitian ini merupakan penelitian ekperimental dengan desain rancang acak lengkap menggunakan hewan coba tikus Spraque Dawley yang diinduksi dengan hipoksia sistemik kronik. Sampel penelitian ini menggunakan jaringan otak bagian korteks dan plasma tikus sebanyak 5 ekor pada tiap kelompok terdiri atas 1 kelompok kontrol dan 4 kelompok perlakuan yang terdiri atas tikus yang diinduksi hipoksia 1 hari, 3 hari, 5 hari dan 7 hari. Parameter yang diperiksa adalah konsentrasi MDA otak dan plasma, aktivitas spesifik enzim AChE jaringan otak serta kadar GFAP jaringan otak.
Hipoksia sistemik kronik tidak menimbulkan peningkatan konsentrasi MDA otak sementara dalam plasma terjadi peningkatan yang tidak bermakna konsentrasi MDA plasma. Induksi hipoksia sistemik meningkatkan aktivitas spesifik enzim AChE pada jaringan otak dan meningkatkan kadar GFAP jaringan otak secara bermakna. Sedangkan pada plasma tidak terjadi peningkatan kadar GFAP. Pada induksi hipoksia sistemik ini belum terjadi kerusakan oksidatif. Peningkatan aktivitas spesifik AChE dan kadar GFAP merupakan mekanisme adaptasi otak untuk mencegah terjadinya kerusakan karena hipoksia.

Chronic systemic hypoxia induced hypoxia in the brain region thus brain cells produce energy by anaerobic metabolism. Anaerobic metabolism cause depletion in ATP synthesis. ATP depletion stimulates alterations on calcium ion in the sitoplasma of neuronal cells through the overstimulation of glutamate receptor. Alterations in intracellular calcium ions stimulates ACh release in neuronal cells. Hypoxia increased free radicals level in the cell, thus increased MDA as the final product of lipid peroxidation by free radicals. Due to respond the brain damage, astrocyte produces more spesific sitosceletal protein called GFAP.
The aim of the study was to analyze the effects of chronic systemic hypoxia in brain damage by measuring the MDA level in brain tissue compared to plasma, spesific activity of AChE in the brain tissue and GFAP level in the brain tissue compared to plasma. Twenty-five male Spraque Dawley rats were subjected to systemic hypoxia by placing them in the hypoxic chamber supplied 8-10% of O2 for 0, 1, 3, 5, and 7 days, respectively. Cortex and hipocampus of brain tissue and blood plasma were used as the sample. MDA levels were measured using Will?s methode. AChE spesific activity was measured using RANDOX Butyrylcholinesterase Colorimetric Methode. GFAP was analyzed using Rat GFAP ELISA kit by CUSABIO.
This study demonstrates that MDA level didn't increase during induced hypoxic systemic in the brain tissue, meanwhile there's no significance increased of MDA levels in plasma. There's significance increased of AChE spesific activity during induced hypoxic systemic in the brain tissue. This study also demonstrates significance increased in brain tissue's GFAP level but not in the plasma during induced systemic hypoxia. We conclude that there?s no oxydative damage in the brain tissue during this induced systemic hypoxia. The increased in AChE spesific activity and GFAP levels showed an adaptive mechanism to protect the brain tissue from hypoxic insult.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T59154
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Naela Himayati Afifah
"Pada kondisi hipoksia, untuk tetap mencukupi jumlah adenosine trifosfat (ATP), sel akan melakukan adaptasi dengan mengubah metabolisme dari proses aerob menjadi anaerob. Sebagai enzim glikolisis anaerob, jumlah laktat dehidrogenase (LDH) pun akan meningkat di dalam sel. Paru, sebagai organ vital penyedia oksigenasi adekuat bagi tubuh, juga memiliki respon terhadap kondisi hipoksia.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran adaptasi metabolisme jaringan paru melalui aktivitas spesifik LDH, pada tikus yang telah diinduksi hipoksia sistemik dibandingkan dengan normoksia (kontrol). Sejumlah tikus ditempatkan pada kandang hipoksia (kandungan O2 10%) selama 1, 3, 7, dan 14 hari. Pada akhir periode, bersama dengan kelompok tikus normoksia, semua tikus percobaan dieuthanasia, dan organ parunya dianalisis untuk pengukuran aktivitas spesifik LDH.
Hasil penelitian menunjukkan aktivitas LDH paru menurun pada kondisi hipoksia dibandingkan dengan normoksia. Penurunan glikolisis anaerob pada sel paru menggambarkan kegagalan mekanisme adaptasi sel yang berujung pada apoptosis. Perhitungan One-Way ANOVA menunjukkan perbedaan bermakna antara kelompok normoksia dan kelompok-kelompok hipoksia (p=0,015). Pada Uji Post-Hoc diketahui bahwa aktivits LDH pada kelompok hipoksia 1 hari, 7 hari, dan 14 hari, berbeda bermakna dibandingkan normoksia.
Disimpulkan bahwa pada jaringan paru tikus hipoksia sistemik terdapat penurunan bermakna aktivitas spesifik LDH dibandingkan kontrol normoksia.

In hypoxia, to maintain adenosine triphosphate (ATP) production, cell conducts an adaptation mechanism by shifting metabolism from aerobic into anaerobic. As an anaerobic glycolytic enzyme, the amount of lactate dehydrogenase (LDH) is increasing intracellularly regarding hypoxia condition. Lung, as a vital organ regulating adequate oxygenation to systemic, has a response to hypoxia.
This research aims to get a display of metabolism adaptation on lung tissue in systemic hypoxia induced rats compared to normoxia. Some amount of rats are divided into groups and placed inside hypoxic cage (O2 10%) in 1, 3, 7, and 14 days. In the end, together with normoxia group, they were euthanized, and the lung organ was analyzed for specific LDH activity.
The result shows a declining on LDH activity in hypoxia compared to normoxia. The decreasing of anaerobic glycolytic process in lung tissue portrays a failure of lung cell adaptation mechanism, and this condicition leads to cell apoptosis. One-way ANOVA test shows significant difference on LDH specific activity between normoxia and hypoxia groups (p=0,015). Post-Hoc test then shows the significant difference is between 1 day, 7 days, and 14 days hypoxia compared to normoxia.
In conclusion, there is significant decreasing of specific LDH activity on hypoxia compared to normoxia in lung tissue.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizka Ramadhani
"Hipoksia adalah defisiensi oksigen setingkat jaringan.Otak merupakan organ yang mutlak memerlukan oksigen. Hipoksia akan mengganggu integritas otak, dan bermanifestasi menjadi berbagai penyakit. Untuk itu, tubuh memiliki sistem penginderaan oksigen.Pada saat perfusi oksigen jaringan kurang, muncul mekanisme adaptasi.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas enzim alanin aminotransferase (ALT) pada jaringan otak saat keadaan hipoksia sistemik.Penelitian ini merupakan studi eksperimental yang dilakukan kepada 25 tikus Sprague Dawley yang dibagi rata ke dalam 5 kelompok. Kelompok pertama merupakan kelompok kontrol, dipelihara dalam keadaan normoksia. Sisanya dipelihara dalam keadaan hipoksia (10% O2 dan 90% N2) masing-masing selama 1, 3, 7, dan 14 hari.Otak tikus diambil, dan dijadikan homogenat. Dilakukan pengukuran kadar protein jaringan otak untuk setiap sampel. Kemudian, dilakukan pengukuran aktivitas ALT menggunakan spektrofotometer.
Hasilnya dibagi dengan kadar protein untuk mengetahui aktivitas spesifik. Data kadarprotein dianalisis menggunakan ujione-way ANOVA. Diperoleh nilai p>0,05, artinya kadar protein di jaringan otak normoksia dan hipoksia tidak berbeda bermakna. Hasilnya,nilai p>0,05 yang berarti aktivitas enzim ALT di jaringan otak tikus pada keadaan normoksia tidak berbeda bermakna dengan keadaan hipoksia sistemik semua kelompok. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan signifikan dari kadar protein dan aktivitas ALT pada keadaan hipoksia.

Hypoxia is a deficiency of O2 at tissue level. Brain is an organ that absolutely requires O2. Hypoxia will disrupt brain's integrity, and manifests as various diseases. Therefore, the body has oxygen sensing system. When oxygen perfusion level decreases, there will be some adaptive mechanisms to cope with the situation.
This study intends to ascertain the activity of ALT in brain tissue induced by systemic hypoxia. This is an experimental based study. Twenty five rats were divided into 5 groups. First group was placed in the normoxic condition. Four other groups were placed in hypoxic chamber (O2 10% and N2 90%), each group were placed for 1, 3, 7, 14 days. Their brains were extracted. Tissues? protein level was measured for sample. Subsequently, the measurement of ALT activity was done by using reagent in assay kit.
The results were divided by tissues protein level. Data of tissues protein level were analyzed using one-way ANOVA parametric test. This test obtained p value > 0.05, meaning there were no significant difference between the control and hypoxic groups. Data of specific ALT activity were analyzed using Kruskal-Wallis non-parametric test.The test obtained p value > 0.05, meaning there were no significant difference between the control and the hypoxic groups. Hence, it can be concluded that there were no significant difference of protein level and ALT activity in hypoxic brain.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elisa Noor
"Stroke merupakan manifestasi klinis berupa defisit neurologis yang bertahan selama minimal 24 jam, menunjukkan keterlibatan fokal sistem saraf pusat, yang disebabkan oleh gangguan aliran darah otak. Prevalensi stroke di Indonesia mencapai 0,8% dan menjadi salah satu penyebab kematian terbanyak. Stroke juga dapat menimbulkan kecacatan permanen, namun pengobatan untuk kesembuhan sempurna belum ditemukan. Oleh karena itu, perlu dicari strategi untuk mencegah dampak yang ditimbulkan oleh stroke. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi efek neuroprotektif ekstrak akar Acalypha indica Linn dalam mencegah kerusakan inti sel saraf hipokampus tikus pascahipoksia.
Penelitian ini merupakan studi eksperimental menggunakan ekstrak akar A. indica Linn, diberikan kepada tikus Sprague Dawley yang dibagi menjadi tiga kelompok perlakuan, yaitu kontrol negatif yang mendapat akuades, kelompok ekstrak akar A. indica Linn dosis 400 mg/kgBB dan kelompok ekstrak dosis 500 mg/kgBB. Setelah diberi perlakuan selama 7 hari, tikus diberi perlakuan hipoksia dengan oklusi arteri karotis komunis bilateral selama satu jam. Jaringan hipokampus tikus kemudian diambil dan diamati perubahan inti selnya.
Hasil analisis dengan uji statistik One Way Anova dilanjutkan dengan uji Post Hoc menunjukkan ekstrak akar A. indica Linn dosis 400 mg/kgBB (p=0,029) dan 500 mg/kgBB (p=0,035) memiliki efek neuroprotektif terhadap inti sel saraf area CA3 hipokampus dibandingkan dengan kontrol negatif. Namun, efek neuroprotektif dosis 500 mg/kgBB tidak berbeda bermakna dibandingkan dengan dosis 400 mg/kgBB.

Stroke is a syndrome characterized by acute onset of neurologic deficit that persists for at least 24 hours, reflects focal involvement of the central nervous system, and is the result of disturbance of the cerebral circulation. Stroke prevalence in Indonesia is 0,8% and it becomes one of the leading cause of death.
Stroke can also cause permanent disability, but cure for complete recovery hasn?t been found. Therefore, a strategy to prevent the damage caused by stroke becomes focus of today?s research. Aim of this study is to identify the neuroprotective effect of Acalypha indica Linn root extract to prevent hypoxia-induced damage on nucleus of hippocampal neuron in rats.
This research is an experimental study performed on fifteen rats (Sprague-Dawley) that divided into three groups receiving three different treatments for 7 days, i.e. negative control group receiving aquades, group receiving extracts 400 mg/kgBW/day, and group receiving extract 500 mg/kgBW/day. Then, rats underwent hypoxia by occlusion of the bilateral common carotid arteries for one hour. The hippocampus tissue was obtained and was observed to be identified its structural changes.
Results from one-way ANOVA and Post Hoc analysis showed that root extract of A. indica Linn dose of 400 mg/kgBW (p=0,029) and 500 mg/kbBW (p=0,035) have neuroprotective effect on neuron of CA3 hippocampus compared with negative control. However, the analysis showed that root extract of A. indica Linn dose 500 mg/kgBW has no significant difference with dose 400 mg/kgBW.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aleida Nugraha
"Latar Belakang: Walaupun pesawat terbang telah dilengkapi dengan perangkat oksigen dan kabin bertekanan, kemungkinan hipoksia masih ada apabila terjadi kegagalan dari kedua sistem tersebut. Pengetahuan mengenai rentang waktu terjadinya hipoksia awal dan faktor-faktor kardiorespirasi yang berkorelasi dengan rentang waktu hipoksia awal perlu diketahui dan diteliti.
Metodologi: Studi eksperimental dilakukan pada 130 calon siswa Sekolah Penerbang TNI AU berusia 21-26 tahun; pada keadaan permukaan bumi diukur kadar hemoglobin, saturasi oksigen, fungsi faali kardiorespirasi dan kadar gula darah. Dalam ruang udara bertekanan rendah subyek dipajankan pada kondisi hipobarik dengan ketinggian setara 18.000 kaki. Diukur rentang waktu mulai saat pemajanan sampai terjadi saturasi oksigen 85 % dengan alat pulse oksimeter.
Hasil: Pada penelitian ini ditemukan rerata waktu terjadinya hipoksia awal 199,65 detik ; (95 % CI:192,64 - 206,66 detik). Faktor-faktor yang berkorelasi positif secara bermakna adalah kadar hemoglobin (r = 0,3396 ; p = 0,000) dan kadar gula darah (r = 0,4108 p = 0,000). Sedangkan frekuensi denyut nadi mempunyai korelasi negatif kuat (r = -0,4324 ; p=0,000). Model regresi yang sesuai untuk prediksi rentang waktu hipoksia awal terdiri dari faktor-faktor kadar hemoglobin frekuensi denyut nadi dan kadar gula darah.
Kesimpulan: Dengan mengetahui kadar hemoglobin, frekuensi denyut nadi dan kadar gula darah dapat diprediksi rentang waktu terjadinya hipoksia awal.

Elapsed Time To Early Hypoxia At Simulated Altitude 18.000 Feet In Hypobaric Chamber Indicated By 85% Oxyhaemoglobin Saturation And Its Influencing Factors Among Indonesian Air Force Flight Cadets.Background. Although aeroplanes are equipped with oxygen equipment and cabin pressurization, possibilities of hypoxia incidence still exists if there are system's failure. Information on elapsed time to early hypoxia should be available, and its correlation with cardiorespiratory factors should be investigated.
Methods. An experimental study on 130 Indonesian Air Force Flight Cadets age 21-26 years was conducted. Haemoglobin, oxyhaemoglobin saturation, cardiorespiratory function and blood sugar at ground level was measured In hypobaric chamber subjects were exposed to simulated altitude 18.000 feet environment. Elapsed time between the beginning of hypobaric exposure to early sign of hypoxia indicated by 85% oxyhaemoglobin satin-lion was measured.
Result. Average elapsed time to early hypoxia was 199, 65 seconds; (95 % CI:192,64 - 206,66 seconds). Significant positive correlation was found to haemoglobin (r = 0,3396 ; p = 0,000) and blood sugar levels (r = 0,4108 ; p = 0,000). Pulse rate showed negative correlation with elapsed time to early hypoxia (r = -0,4324 ; p = 0,000). The suitable regression model for estimating elapsed time to early hypoxia include haemoglobin,pulse rate, and blood sugar levels.
Conclusion. Predicted elapsed time to early hypoxia could be estimated by using haemoglobin, pulse rate, and blood sugar levels.
"
Depok: Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>