Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 77103 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Evelsha Azzahra
"Latar belakang dan tujuan: Sindrom metabolik merupakan penyakit komorbid yang sering ditemui pada pasien PPOK. Keadaan inflamasi sistemik diperkirakan mempengaruhi keadaan PPOK dan sindrom metabolik. Keterbatasan aktivitas, disfungsi otot rangka, dan penggunaan steroid juga merupakan penyebab penting sindrom metabolik pada PPOK. Sindrom metabolik pada PPOK dapat meningkatkan angka kematian dan kesakitan yang disebabkan oleh penyakit kardiovaskular. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalens sindrom metabolik pada PPOK stabil.
Metode : Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang yang dilakukan di poliklinik asma ndash; PPOK Rumah sakit umum pusat Persahabatan pada bulan Mei - November 2017 untuk melihat kejadian sindrom metabolik pada pasien PPOK. Enam puluh empat pasien PPOK di ambil untuk ikut dalam penelitian ini secara consecutive sampling. Pada semua pasien dilakukan wawancara, pemeriksaan antopometri, pemeriksaan fisis dan pemeriksaan laboratorium.
Hasil : Sebanyak 64 pasien ikut serta dalam penelitian ini dengan subjek terbanyak laki-laki 95,3 . Usia rerata subjek adalah 65,81 9,38. Prevalens sindrom metabolik pada pasien PPOK sebesar 15,6 dengan GOLD 1 sebesar 20 , GOLD 2 sebesar 30 , GOLD 3 sebesar 40 dan GOLD 4 sebesar 10 . Ditemukan hubungan bermakna antara status gizi dengan kejadian sindrom metabolik pada PPOK stabil. Tidak ditemukan hubungan bermakna antara jenis kelamin, usia, status merokok, hambatan aliran udara dan penggunaan kortikosteroid inhalasi dengan kejadian sindrom metabolik pada pasien PPOK stabil.
Kesimpulan : Prevalens sindrom metabolik pada pasien PPOK dalam penelitian ini adalah sebesar 15,6 terutama ditemukan pada GOLD 3.

Background: Metabolic syndrome is a common comorbid disease in COPD patients. Systemic inflammatory conditions can affect the condition of COPD and metabolic syndrome. Activity limitations, skeletal muscle dysfunction, and steroid use are also important causes of metabolic syndrome in COPD. The metabolic syndrome in COPD can increase mortality and morbidity caused by cardiovascular disease. The aim of this study is to reveal the prevalence of metabolic syndrome in stable COPD patients.
Methods: This study is a cross sectional study among stable COPD who visit asthma - PPOK clinic in Persahabatan Hospital from May to November 2017 to get the incidence rate of metabolic syndrome in stable COPD patients. Sixty-four COPD patients were taken to participate in the study on a consecutive sampling basis. All patients were interviewed, antropometric, physical and laboratory examination were done.
Results: A total of 64 patients participated in this study Males = 61, Female = 3 with mean age of the subjects was 65.81 9.38. Prevalence of metabolic syndrome in COPD patients was 15.6 with GOLD 1 by 20 , GOLD 2 by 30 , GOLD 3 by 40 and GOLD 4 by 10 . There was a significant association between nutritional status and the incidence of metabolic syndrome in stable COPD. There was no significant association between sex, age, smoking status, airflow resistance and the use of inhaled corticosteroid with the incidence of metabolic syndrome in stable COPD patients.
Conclusion: The prevalence of metabolic syndrome in COPD patients in this study is 15.6 especially in GOLD 3."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
Sp-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Handoko
"ABSTRAK
Latar belakang: Penyakit paru obstruktif kronik merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di dunia. Penyakit komorbid pada PPOK berkontribusi terhadap rendahnya status kesehatan, mempengaruhi lama perawatan bahkan kematian. Osteoporosis merupakan komorbid yang cukup sering ditemukan pada PPOK. Di Indonesia khususnya di RSUP Persahabatan belum ada data prevalens osteoporosis pasien PPOK stabil.
Objektif: Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan angka prevalens osteoporosis pada pasien PPOK stabil di RSUP Persahabatan Jakarta.
Metode: Disain penelitian ini adalah potong lintang. Pasien PPOK stabil yang berkunjung di poliklinik Asma/PPOK RSUP Persahabatan yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Subjek diperiksa densitas mineral tulang menggunakan dual energy x-ray absorptiometry (DXA) dan diperiksa kadar vitamin D darah. Saat pasien berkunjung, dilakukan anamnesis gejala, eksaserbasi, riwayat merokok, penggunaan kortikosteroid (oral atau inhalasi), komorbid, penilaian status gizi. Selanjutnya dilakukan analisis dengan uji statistik.
Hasil: Subjek terbanyak adalah laki-laki (90,6%) dengan kelompok usia 65-75 tahun (53,1%), riwayat merokok terbanyak (84,4%). Berdasarkan derajat PPOK terbanyak adalah GOLD II (46,9%) dan grup B (50%) dengan menggunakan kortikosteroid sebanyak (65,7%). Pada penelitian ini didapatkan prevalens osteoporosis sebesar 37,5%, artinya lebih dari sepertiga pasien mengalami osteoporosis. Dalam Penelitian ini tidak terdapat hubungan bermakna secara statistik antara grup PPOK, derajat PPOK, jenis kelamin, riwayat merokok, riwayat kortikosteroid, usia, kadar 25-OHD, faal paru dengan terjadinya osteoporosis pada pasien PPOK stabil (p>0,05). Pada penelitian ini didapatkan hubungan bermakna pada IMT yang rendah sebagai faktor risiko osteoporosis pada PPOK stabil (p<0,001).
Kesimpulan: Prevalens osteoporosis pada pasien PPOK stabil di RSUP Persahabatan Jakarta adalah 37,5%. Terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara IMT dengan osteoporosis pada pasien PPOK stabil (p<0,001).

ABSTRACT
Background: Chronic obstructive pulmonary disease (COPD) is a major cause of morbidity and mortality in the world. Comorbid diseases in COPD contributing to low health status, affecting the duration of treatment and even death. Osteoporosis is a quite often comorbid that found in COPD. In Indonesia, particularly in Persahabatan Hospital there are no data of prevalence on osteoporosis in patient with stable COPD.
Objective: The purpose of this research is to get the prevalence?s data of osteoporosis in patients with stable COPD at Persahabatan Hospital-Jakarta.
Method: The studie?s design was cross-sectional. Patients with stable COPD who came to the Asthma/COPD policlinic at Persahabatan Hospital-Jakarta who meet the criteria of inclusion and exclusion. Subjects had an examined of bone mineral density using dual energy x-ray absorptiometry (DXA) and had an examined of vitamin D blood level. At the time of visit, conducted anamnesis of symptoms, exacerbations, history of smoking, used of corticosteroid (oral or inhaled), comorbid, assessment of nutritional status. Then we did statistical test for analysis.
Results: Subjects were dominated with male (90.6%) in the age group 65-75 years old (53.1%), and smoking history (84.4%). The most degree of COPD of the subject were GOLD II (46.9%) and group B (50%) that using corticosteroid (65.7%). In this study we found prevalence of osteoporosis was 37.5%, meaning that approximately more than one third of the patients have had osteoporosis. There were no statistically significant relationship between COPD group, the degree of COPD, sex, smoking history, history of corticosteroid, age, levels of 25-OHD, pulmonary function with the occurrence of osteoporosis in patients with stable COPD (p>0.05). We found a significant relationship on low BMI as a risk factor for osteoporosis in stable COPD (p<0.001).
Conclusion: The prevalence of osteoporosis in patients with stable COPD in Persahabatan Hospital-Jakarta is 37.5%. There are a statistically significant relationship between BMI with osteoporosis in patients with stable COPD (p <0.001).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Achmad Gozali
"Latar Belakang: Beban penyakit paru obstruktif kronik PPOK terus menunjukkan peningkatan di seluruh dunia. Penyakit komorbid yang biasa muncul pada PPOK salah satunya adalah penyakit kardiovaskular contohnya aritmia. Prevalens aritmia pada PPOK berkisar antara 12-14 . Terdapat kesamaan faktor antara PPOK dan aritmia, antara lain usia tua dan perokok. Aritmia yang disebabkan oleh obat-obatan bronkodilator juga banyak menyita perhatian. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalens aritmia pada pasien PPOK stabil.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang yang dilakukan di Poliklinik Asma- PPOK Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan pada bulan Januari-April 2018 untuk melihat prevalens aritmia pada pasien PPOK stabil. Delapan puluh tiga pasien PPOK stabil di ambil untuk ikut dalam penelitian ini secara consecutive sampling. Pada semua pasien dilakukan anamnesis, pemeriksaan tekanan darah, pemeriksaan tekanan darah, elektrokardiografi EKG dan laboratorium.
Hasil: Sebanyak 83 pasien ikut serta dalam penelitian ini dengan subjek terbanyak laki-laki 95,2 . Usia rerata subjek adalah 66,58. Prevalens aritmia pada pasien PPOK stabil sebesar 24,1 dengan distribusi sinus takikardia sebesar 9,64 , PVCs sebesar 8,43 , PACs sebesar 3,61 dan sinus bradikardia sebesar 2,41 . Ditemukan hubungan bermakna antara kadar klorida dengan kejadian aritmia pada pasien PPOK stabil. Tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara usia, jenis kelamin, kelompok PPOK, penggunaan obat-obat bronkodilator, kadar pO2 dan pCO2 dengan kejadian aritmia pada pasien PPOK stabil.
Kesimpulan: Prevalens aritmia pada pasien PPOK stabil dalam penelitian ini adalah sebesar 24,1 . Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui dengan lebih baik hubungan aritmia dengan faktor-faktor yang mempengaruhi.

Background:Chronic obstructive pulmonary disease COPD represents an increasing burden worldwide. One of the major comorbodities in COPD is cardiovascular events such as arrhythmias. The estimated prevalence of arrhythmias in COPD patients is 12-14 . Chronic obstructive pulmonary disease and arrhtyhmias have common risk factors, such as older age and smoking. Arrhythmias caused by bronchodilators have received considerable attentions. The aim of this study is to reveal the prevalence of arrhythmias in stable COPD patients.
Method: This study is a cross sectional study among stable COPD patients who visit asthma ndash; COPD clinic in Persahabatan Hospital on January to April 2018 to explore the prevalence of arrhythmias in COPD patients. Eighty three COPD patients were participating in the study on a consecutive sampling basis. All patients were interviewed, doing blood pressure, electrocardiography ECG and laboratory examination. Result: A total of 83 patients participated in this study with almost all of the subjects were males 95,2 . The mean age of the subjects was 66,58. The prevalence of arrhythmias in stable COPD patients was 24,1 with sinus tachycardia by 9,64 , PVCs by 8,43 , PACs by 3,61 , and sinus bradycardia by 2,41 . There was a significant association between chloride level and arrhythmias events in stable COPD patients. There was no significant association between sex, age, bronchodilator use, pO2 dan pCO2 levels with arrhythmias events in stable COPD patients. Conclusion: The prevalence of arrhythmias in stable COPD patients in this study is 24,1. Further study is needed to determine the association between arrhythmia and the affecting factors.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T57619
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wahyu Antono
"Latar Belakang: PPOK adalah penyakit yang penting di seluruh dunia baik di negara maju maupun berkembang. Penyapu jalan raya terpajan oleh partikel debu, bioaerosol dan berbagai gas berbahaya. Penelitian ini mengevaluasi prevalens PPOK pada penyapu jalan raya di Jakarta.
Metode : Penelitian potong lintang pada 153 subjek penyapu jalan raya di Jakarta, berusia lebih dari 40 tahun dengan masa kerja lebih dari 2 tahun. Pengumpulan subjek menggunakan metode cluster sampling berdasarkan lokasi kerja daerah kotamadya di Jakarta. Diagnosis PPOK berdasarkan kuesioner COPD Assessment Test CAT, The Modified British Medical Research Council mMRC, pemeriksaan spirometri berdasarkan Pneumobile Project Indonesia dan dilakukan uji bronkodilator bila didapatkan hasil obstruktif.
Hasil : Prevalens PPOK pada penyapu jalan raya di Jakarta adalah 10 dari 153 subjek 6,5 . Enam subjek laki-laki 60 , tidak menggunakan masker 80 , bekerja lebih dari 10 tahun 70 , perokok 60 dan indeks massa tubuh le;25 kg/m2 80. Terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara usia dan PPOK.

Background: Chronic obstructive pulmonary disease COPD is an important disease worldwide in both high income and low income countries. Dust has been known to increase COPD risk. During sweeping activity, sweepers are exposed to dust. The street sweepers are exposed to dust particles, bioaerosols, and various harmful gases. In this study we evaluates the prevalence of COPD among street sweepers in Jakarta.
Method: This is a cross sectional study among 153 street sweepers in Jakarta, Indonesia with age more than 40 years old with working period more than 2 years. Subjects were collected by cluster sampling method based on working location correlated with Jakarta regional district area. COPD was diagnosed by using questionnaires of COPD Assessment Test CAT, The Modified British Medical Research Council mMRC, spirometry examination based on Pneumobile Project Indonesia, and bronchodilator test if there was obstructive results.
Results A total of 153 subjects was selected for spirometry examination. The prevalence of COPD among street sweepers in Jakarta, Indonesia was 10 of 153 subject 6.5. Six of them were males 60, do not use face mask 80 , working years 10 years 70, smokers 60, and BMI le 25 kg m2 80 .There was a statistically significant relationship between age and COPD p 0,05.
Conclusion Prevalence of COPD among street sweepers in Jakarta is 6.5 . Factor related to the occurrence of COPD is age.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T55593
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alyanisa Ulfathinah
"Penyakit paru obstruktif kronik dapat menyebabkan seseorang mengalami keluhan pernapasan seperti sesak napas, batuk, sputum berlebih. Keluhan pernapasan dan berbagai faktor dapat mempengaruhi kualitas tidur. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran kualitas tidur pada pasien PPOK. Desain penelitian menggunakan cross sectional dengan purposive sampling. Sebanyak 200 sampel diambil di tiga rumah sakit daerah jakarta pada Mei-Juni 2018. Kuesioner menggunakan COPD Assesment Test dan Pittsburgh Sleep Quality Index.
Hasil penelitan menunjukkan 66 pasien PPOK memiliki kualitas tidur buruk dengan masalah tertinggi yaitu durasi tidur. Kualitas tidur buruk ditemukan rata-rata pada usia 62 tahun, berjenis kelamin laki-laki, tingkat pendidikan SD/SMP, pendapatan kurang lebih Rp.2.000.000, menikah, IMT normal, memiliki >1 penyakit penyerta, terdiagnosis PPOK 12 bulan. Pasien PPOK yang mengalami kualitas tidur buruk mayoritas memiliki keluhan pernapasan sedang-berat. Tingkat keluhan pernapasan memiliki hubungan dengan kualitas tidur p = 0,016;OR:2,28. Perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan diharapkan dapat memperbaiki atau meningkatkan kualitas tidur pasien PPOK.

Chronic obstructive pulmonary disease can cause someone experience respiratory complaints such as shortness breath, coughing, excessive sputum. Respiratory complaints and many factors can influence sleep quality. This study purpose to describe sleep quality in COPD. Design used cross sectional purposive sampling in May June 2018. Respondents was 200 at three hospitals in Jakarta. Questionnaire used COPD Assesment Test and the PSQI.
Results showed that 66 COPD had poor sleep quality, the highest problems was sleep duration. Poor sleep quality was found average at 62 years old, male, education level in elementary junior high school, income Rp.2.000.000, married, had normal BMI and 1 comorbidities, diagnosed COPD for 12 months. Most of COPD who experience poor sleep had moderate severe respiratory complaints. There was relationship between respiratory complaints and poor sleep quality in COPD p 0.016 OR 2,28 . Nurses as caregivers is expected to correct or improve sleep quality in COPD.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yusuf Musafir Kolewora
"ABSTRAK
Latar belakang: Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) merupakan penyebab utama angka kesakitan dan kematian di seluruh dunia termasuk di Indonesia. Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2013 menunjukkan bahwa prevalens PPOK di Indonesia sebanyak 3,7% dan menduduki peringkat ke-6 dari 10 penyebab kematian di Indonesia. Penelitian ini merupakan studi awal untuk mengetahui prevalens PPOK di RSUP Persahabatan.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain studi potong lintang dengan metode consecutive sampling pada pasien PPOK yang berkunjung di RSUP Persahabatan Jakarta pada bulan April-September 2018. Diagnosis PPOK dilakukan dengan menggunakan COPD Diagnostic Questionnaire (CDQ) dan pemeriksaan spirometri.
Hasil: Subjek penelitian sebanyak 875 subjek. Sampel akan dilakukan penapisan awal menggunakan CDQ dengan skor nilai ≥19,5 sebanyak 332 subjek. Hasil pemeriksaan spirometri pada 332 subjek sebelum pemberian bronkodilator inhalasi menunjukkan bahwa sebanyak 83 subjek (25%) memiliki hasil VEP1/KVP <70% dan 249 subjek (75%) memiliki hasil VEP1/KVP ≥70%. Hasil pemeriksaan spirometri setelah pemberian bronkodilator inhalasi menunjukkan bahwa sebanyak 78 subjek (94%) memiliki hasil VEP1/KVP <70% yang berarti menderita PPOK dan 5 subjek (6%) memiliki hasil VEP1/KVP ≥70% yang berarti tidak menderita PPOK sehingga prevalens PPOK adalah 8,9% dari keseluruhan sampel. Gejala klinis pada pasien PPOK antara lain batuk (43,6%), terdapat dahak (50%), dan sesak (39,7%). Hasil uji statistik menunjukkan bahwa faktor yang berhubungan dengan PPOK dalam penelitian ini adalah umur (nilai-p = 0,040), lama merokok (nilai-p = 0,012), jumlah rokok yang dihisap per hari (nilai-p = 0,000) dan derajat berat merokok (nilai-p = 0,000) sedangkan faktor yang tidak berhubungan adalah jenis kelamin (nilai-p = 0,585) dan indeks massa tubuh (nilai- p = 0,953).
Kesimpulan: Prevalens PPOK di rumah sakit Persahabatan Jakarta adalah 8,9%. Gejala klinis pada pasien PPOK antara lain batuk, terdapat dahak dan sesak. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa faktor yang berhubungan dengan PPOK dalam penelitian ini adalah umur, lama merokok, jumlah rokok yang dihisap per hari dan derajat berat merokok sedangkan faktor yang tidak berhubungan adalah jenis kelamin dan indeks massa tubuh.

ABSTRACT
Background: Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) is the main cause of morbidity and mortality rates in the world including in Indonesia. The result of Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) in 2013 showed the prevalence of COPD in Indonesia was 3.7% and was ranked 6th from 10 causes of death in Indonesia. This study is the preliminary study to determine of prevalence of COPD in Persahabatan Hospital.
Method: This is a cross sectional study design with consecutive sampling method in COPD patient who visited to the Persahabatan Hospital Jakarta in April- September 2018. COPD diagnosed by using COPD Diagnostic Questionnare (CDQ) and spirometry examination.
Result: Study subject were 875 subject. The sample will be screened preliminary by using CDQ whom get score ≥ 19.5 only 332 subject. The results of spirometry tests on 332 subject before inhaled bronchodilators showed that 83 subject (25%) had results VEP1/KVP <70% which meant diagnose COPD and 249 subject (75%) had results VEP1/KVP ≥70% which means not diagnose COPD. The results of spirometry after inhaled bronchodilators showed that as many as 78 subject (94%) had results VEP1/KVP <70% which meant diagnose COPD and 5 subject (6%) had results VEP1/KVP ≥70%, which means not diagnose COPD so that the prevalence of COPD is 8.9% from all the sample. There were some of symptoms of COPD patients reported such as daily coughing (43,6%), coughing with phlegm (50%), and wheezing (39,7%). Statistical test results indicate that factors associated with COPD in this study are age, duration of smoking, number of cigarettes smoked per day and the degree of smoking-free while the unrelated factors are gender and Body Mass Index."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rania Imaniar
"Latar belakang: Asma dan PPOK merupakan dua penyakit berbeda. Beberapa kelompok pasien, terutama perokok dan usia tua seringkali memiliki gambaran klinis yang mirip dengan asma dan PPOK sehingga diagnosis sulit ditegakkan. Hal ini telah memunculkan suatu entitas klinis baru yang disebut STAP.
Tujuan: Mengetahui prevalens dan karakteristik STAP pada pasien asma dan PPOK di RSUP Persahabatan.
Metode: Penelitian menggunakan studi potong lintang, dilakukan di Poli Asma-PPOK RSUP Persahabatan Jakarta pada Maret-Agustus 2018. Kriteria GINA/GOLD 2017 yang dimodifikasi digunakan untuk mendiagnosis STAP.Pasien didiagnosis STAP apabila memiliki minimal tiga karakteristik klinis yang mendukung asma dan PPOK.
Hasil:Penelitian melibatkan 60 subjek. Prevalens STAP didapatkan 58,3%. Sebanyak 51,4% pasien STAP memiliki jenis kelamin perempuan, 65,7% tidak bekerja, 65,7% berpendidikan tinggi, 54,3% memiliki riwayat merokok dengan median indeks Brinkman 0,5 (0-1536) dan memiliki rerata IMT 24,9±3,8 kg/m2. Satu tahun terakhir, median eksaserbasi kelompok STAP adalah 1 (0-10) kali dan median rawat inap di RS adalah 0 (0-1) kali.Uji provokasi bronkus positif ditemukan pada 97,1% pasien STAP.
Kesimpulan: Prevalens STAP pada penelitian ini sebesar 58,3%. Kebanyakan pasien STAP adalah perempuan, tidak bekerja, berpendidikan tinggi, memiliki riwayat merokok, indeks Brinkmann yang rendah, IMT normaldan memiliki uji bronkodilator yang positif.

Asthma and COPD are two different diseases. Some patients, in particular smokers and elderly patients, often have overlapping clinical features of asthma and COPD so that the diagnosis is difficult to establish. This has led to a new clinical entity called ACOS.
Objectives: To determine the prevalence and characteristics of ACOS in patients with asthma and COPD.
Methods: This study was a cross sectional study conducted at Asthma-COPD Polyclinic of Persahabatan Hospital, Jakarta in March-August 2018. ACOS diagnosis was made using the modified 2017 GINA / GOLD criteria. Patients are diagnosed with ACOS if they have at least three clinical characteristics that support asthma and COPD.
Results: The study involved 60 subjects. ACOS prevalence was 58.3%.51.4% of ACOS patients were female, 65,7% did not work, 65,7% were highly educated, 54,3% had a history of smoking with  median Brinkman index 0.5 (0-1536) and had mean BMI of 24,9±3.8 kg/m2.In the past year, median exacerbation of the ACOS group was 1 (0-10) time and median hospitalization was 0 (0-1) times. Positive bronchial challenge test found in 97,1% ACOS patients.
Conclusion: ACOS prevalence in this study was 58,3%. Most of ACOS patients are female, unemployed, highly educated, had history of smoking, low Brinkmann index, normal BMI, had complaint of shortness of breath and had positive bronchial challenge test.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mohamed Ismail
"Latar belakang: Eksaserbasi PPOK berhubungan dengan dampak yang cukup besar pada kualitas hidup dan aktivitas sehari-hari. Mayoritas pasien mengalami setidaknya satu eksaserbasi per tahun dan eksaserbasi telah dikaitkan dengan penurunan progresif dalam VEP1 dan dengan laporan yang berbeda-bedaada ketidakpastian apakah eksaserbasi meningkatkan tingkat penurunan fungsi paru.
Metode: Penelitian ini penelitian deskriptif dengan metode potong lintang yang menganalisis hasil spirometri pada pasien PPOK dan membandingkan dengan data spirometri tahun sebelumnya dan melihat perubahan VEP1. Jumlah sampel keseluruhan penelitian ini adalah 100 pasien yang sudah terdiagnosis PPOK dan rutin kontrol ke poli asma/PPOK RS persahabatan dari tahun 2011sampai 2013.
Hasil: Sebanyak 100 subjek diambil untuk penilitian ini. Sebagian besar pasien adalah laki-laki , 96 % ( n = 96 ) . Usia rata-rata adalah 66,5 tahun ( SD ± 7 tahun dan 95 % CI ) BMI subjek adalah 22.88 ( SD ± 3,95 & 95% CI ). Status merokok adalah; bekasperokok ( 89 %, 95 % CI ), merokok 3 %, dan 8 % yang tidak pernah merokok. Keparahan penyakit berdasarkan GOLD adalah; Derajat ringan 7 %, Sedang 45 %, berat 41% dan sangat berat 7 %. Penurunan VEP1terlihat pada 73 % subjek ( n = 73 ) dan penurunan VEP1 rata-rata 117mL per tahun. Subjek dalam penelitian kami ditemukan eksaserbasi tingkat tahunan rata-rata 2,4 per tahun. Kami idak menemukan korelasi yang bermakna dengan jumlah eksaserbasi dengan jumlah eksesabasi( p = 0,005) dan terdapat korelasi yang bermakna dengan jumlah eksaserbasi dan tingkat keparahan penyakit (p = 0,005 ). Kami tidak menemukan korelasi penurunan VEP1 dengan BMI (p = 0,602 ), Indeks Brinkman (p = 0,462) atau komorbiditi.
Kesimpulan: Penilitian ini terdapat hubungan yang bermakna dengan penurunan VEP1 dan tingkat keparahan penyakit dengan frekuensi eksaserbasi. Kami tidak menemukan hubungan yang bermakna dengan jumlah eksesabasi dengan BMI, Brinkman Index atau komorbiditi.

Introduction: Exacerbations of COPD are associated with considerable impact on quality of life and daily activities. The rate at which exacerbations varies greatly between patients. Majority of patients experience at least one exacerbation per year and exacerbations have been linked to a progressive decline in FEV1and with varying reports there is uncertainty as to whether exacerbations increase the rate of decline in lung function.
Method: We conducted a descriptive, cross-sectional study on COPD patients who were on regular follow up at our hospital since 2011. Spirometry at enrollment was compared with previous year’s spirometry and event-based exacerbations were inquired from the patient and from inpatient and outpatient hospital medical records.
Result: A total of 100 patients were included in the study. Majority of patients were males, 96% (n= 96). The mean age was 66.5 years (SD ±7 years and 95% CI) The BMI of the subjects was 22.88 (SD± 3.95 & at 95% CI). Smoking status of the subjects were; past smokers (89%, 95% CI), current smokers, 3%, and 8% who never smoked. Disease severity per GOLD were; Mild disease 7%, Moderate 45%, Severe 41% and very Severe 7%. Decline in FEV1 was observed in 73% subjects (n=73) and a mean decline of 117mL/year. Subjects in our study reported 288 exacerbations during the study with a mean annual exacerbations rate of 2.4 per year. FEV1 decline hada significant correlation with number of exacerbations (p=.0005) and also there was significant relationship with disease severity (p=0.005). We did not find a correlation of decline in FEV1 with BMI (p=.602), Index Brinkman (p=.462) or comorbidities.
Conclusion: There was a significant correlation with decline in FEV1 and disease severity with the total number of exacerbations. We also found a significant correlation with disease severity as per GOLD stage,however, we did not find a significant correlation between BMI, Brinkman Index or the comorbidities of the subjects with number of exacerbations.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T59124
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Astari Pranindya Sari
"Pendahuluan: Neutrofil merupakan sel inflamasi yang diyakini berperan pada patogenesis Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK). Telah terdapat bukti korelasi antara hambatan aliran udara pada pasien PPOK dengan kadar neutrofil sputum. Penelitian beberapa tahun terakhir membuktikan nilai rasio neutrofillimfosit (RNL) dan protein C-reaktif (CRP) dari darah perifer berpotensi menjadi petanda inflamasi sistemik, tidak terkecuali PPOK. Beberapa penelitian membuktikan nilai RNL dan CRP lebih tinggi pada pasien dengan PPOK dibanding orang normal. Begitu pula saat kondisi eksaserbasi, nilai RNL dan CRP lebih tinggi daripada kondisi stabil. Selain itu terdapat bukti korelasi antara hasil spirometri dengan nilai RNL dan CRP. Hasil beberapa penelitian yang telah dilakukan sejauh ini menunjukkan bahwa nilai RNL dan CRP dapat menjadi suatu penilaian yang layak diperhatikan dalam PPOK.
Tujuan: Memperoleh data mengenai nilai RNL dan CRP pada pasien PPOK eksaserbasi dan stabil di Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan.
Metode: Analisis observasional kohort prospektif di RS Persahabatan, Jakarta Indonesia sebanyak 31 sampel dari Juli 2018 hingga Desember 2018. Kami mengikutsertakan 31 pasien PPOK eksaserbasi untuk dilakukan pemeriksaan spirometri dan pemeriksaan darah dan membandingkan hasil pemeriksaan pasien yang sama pada kondisi stabil.
Hasil: Petanda inflamasi yang diperiksa pada penelitian ini RNL dan CRP keduanya menunjukkan penurunan kadar pada kondisi stabil, bertutut-turut dari 7,95 ± 6,8 menjadi 4,6 ± 5,5 dan 43,4 ± 71 menjadi 12,2 ± 18,5 dengan nilai p < 0,01. Didapatkan pula korelasi negatif yang bermakna antara RNL dan nilai VEP1/KVP pada kondisi eksaserbasi. Nilai CRP menunjukkan korelasi negatif hanya dengan VEP1 pada saat eksaserbasi. Di samping itu, terdapat pula subjek penelitian dengan nilai CRP yang sangat tinggi pada saat eksaserbasi, meninggal dunia dalam kurun waktu dua bulan setelah eksaserbasi.
Kesimpulan: Nilai RNL dan CRP pada subjek dengan PPOK lebih tinggi pada kondisi eksaserbasi dan mungkin dapat menggambarkan status eksaserbasi pada pasien PPOK.

Introductions: Although COPD has been believed to be characterized by respiratory disease, currently limited study conducted to evaluate inflammation markers and exacerbation rate in COPD by noninvasive method. We observed the COPD severity, future exacerbation by using peripheral blood test. We did a prospective cohort study to observe the alteration of Neutrophyl-Lymphocyte Ratio (NLR) and C-reactive protein (CRP) in COPD patients to find any possible correlation with COPD exacerbation status.
Aims: To study the value of NLR and CRP of COPD patients during exacerbation and stable in Persahabatan Hospital, Jakarta.
Methods: Starting from July to December 2019, a prospective cohort study was performed with blood and pulmonary function test in 31 COPD patients in two different conditions: during exacerbation and stable. The mean of both inflammation markers was compared and correlated them with pulmonary function test.
Results: Both inflammation markers NLR and CRP value decreased during stable condition (from 7,95 ± 6,8 to 4,6 ± 5,5 and 43,4 ± 71 to 12,2 ± 18,5) with p < 0,01 respectively. In addition, we also found a significant inverse correlation between NLR and FEV1/FVC during exacerbation but not during the stable condition, and CRP showed inverse correlation only with FEV1 during exacerbation. Another interesting finding was subject with very high CRP whose value remained above nomal limit during stable, died within 2 month after exacerbation.
Conclusions: NLR and CRP in COPD patients increased during exacerbation and may reflect lung function and exacerbation status in COPD patient.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dina Oktavia
"Latar belakang: Disfungsi ventrikel kanan merupakan salah satu komplikasi penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Penilaian fungsi ventrikel kanan penting, karena berkaitan dengan keterbatasan kemampuan kerja pasien serta prognosis yang buruk.
Tujuan: Untuk mengetahui proporsi disfungsi sistolik dan diastolik ventrikel kanan pada PPOK stabil, serta untuk mengetahui korelasi forced expiratory volume in one second (FEV1) % prediksi dengan nilai Tricuspid annular plane systolic excursion (TAPSE) dan nilai titik potong kedua variabel tersebut.
Metode: Dilakukan pemeriksaan spirometri terhadap 30 pasien PPOK stabil (rerata usia: 65 ± 6 tahun). Kemudian semua pasien menjalani pemeriksaan ekokardiografi standar, TAPSE, mengukuran dimensi ruang jantung kanan dan inflow trikuspid.
Hasil: Rerata nilai rerata FEV1 28 ± 8% prediksi. Tidak terdapat pasien dengan derajat obstruksi yang ringan, 57% subjek mengalami derajat obstruksi yang sangat berat. Semua pasien menunjukan pola spirometri campuran obstruktif dan restriktif. Rerata dimensi ruang jantung kanan pasien dalam batas normal. Terdapat 40% pasien yang mengalami disfungsi diastolik. Rerata nilai TAPSE 16, 96 ± 96 mm. Terdapat 60% pasien yang mengalami penurunan nilai TAPSE. Tidak terdapat beda rerata nilai TAPSE antara kelompok dengan derajat obstruksi sedang-berat dengan derajat obstruksi sangat berat. Tidak terdapat korelasi yang signifikan antara FEV1 % prediksi dengan TAPSE, sehingga titik potong kedua variabel tidak dapat ditentukan.
Simpulan: Proporsi disfungsi sistolik ventrikel kanan 60% dan disfungsi diastolik 40%. Tidak terdapat korelasi nilai FEV1 % prediksi dengan nilai TAPSE, sehingga nilai titik potong kedua variabel tidak dapat ditentukan pada PPOK stabil.

Background: Right ventricular dysfunction is one of the common complication of chronic obstructive pulmonary disease (COPD). Right ventricular assessment is importance, since it related with exercise intolerance and poor prognosis.
Objective: To determine the proportion of systolic and diastolic dysfunction of right ventricle in stable COPD patients and to determine the correlation between forced expiratory volume in one second (FEV1) % prediction and Tricuspid annular plane systolic excursion (TAPSE) and also to determine the cut-off value between the two variables.
Methods: Thirty stable COPD men (mean age: 65 ± 6 yr) underwent spirometry. In addition to conventional echocardiographic parameters, TAPSE, right heart chambers, and trans tricuspid inflow were determined.
Results: The mean value of FEV1 was 28 ± 8% of the predicted value. There was no subject with mild airflow limitation, 57% subjects were with very severe airflow obstruction. All of pulmonary function test showed mixed restrictive-obstructive pattern. Mean of right chamber was in normal limit. Forty percent of the patients suffered right ventricular diastolic dysfunction. Means of TAPSE was 16.96 ± 96 mm. Sixty percent of the patients suffered right ventricular systolic dysfunction. There was no significant difference in TAPSE between groups with moderate-severe flow obstruction and very severe airflow obstruction. There was no significant correlation between FEV1 % prediction and TAPSE, so the cut-off value between the two variables cannot be determined.
Conclusions: The proportion of right ventricular systolic dysfunction was 60% and diastolic dysfunction was 40%. There was no correlation between FEV1 % prediction and TAPSE. The cut-off value between the two variable in stable COPD patients cannot be determined.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>