Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 184617 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Maria Chitra Likita
"ABSTRAK
Berkembangnya hukum internasional telah merubah prinsip kedaulatan, ia tidak dapat dijadikan alasan bagi suatu pemerintah negara untuk tidak memberikan perlindungan hak asasi manusia kepada penduduknya. Doktrin intervensi humaniter yang ada, masih menimbulkan keresahan di kalangan komunitas masyarakat internasional. Berangkat dari hal tersebut timbulah gagasan doktrin Responsibiliy to Protect R2P untuk memberikan justifikasi baru terhadap intervensi kepada suatu negara yang telah nyata gagal untuk melindungi penduduknya dari 4 empat kejahatan, yakni: genosida, war crimes, crimes against humanity, dan ethnic cleansing. Penelitian ini lantas menganilis mengenai tindakan kejahatan berat yang terjadi pada etnis Rohingya di Myanmar serta kemungkinan ASEAN untuk menerapkan doktrin R2P tersebut. Metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah dimungkinkannya ASEAN untuk menerapkan R2P kepada pemerintah Myanmar, sebab pemerintah Myanmar telah terbukti melakukan dan memenuhi unsur ndash; unsur dari tindakan kejahatan berat genosida dan crimes against humanity yang diatur pada hukum internasional yang merupakan syarat ndash; syarat untuk diadakannya R2P. Pemerintah Myanmar juga dinilai tidak mampu memenuhi tanggung jawabnya untuk melindungi dan menjadi pelaku kejahatan itu sendiri, maka tanggung jawab tersebut dapat berpindah kepada komunitas internasional dalam hal ini ialah ASEAN.ABSTRACT
As the international law develops, sovereignty now cannot be deemed as granting impunity for the government to not protect their citizen s human rights. Humanitarian intervention doctrine is still lacks of support from the international community. Departing from that, the Responsibiliy to Protect R2P comes to serve a new justification for a State who is failed to protect its citizen from 4 four violations, such as genocide, war crimes, crimes against humanity, and ethnic cleansing. This study thus seeks to analyse gross violation that happen to ethnic Rohingya in Myanmar along with possibility of implementing R2P by ASEAN. The method used in this study is normative method study. This study then found the possibility of ASEAN to implement R2P for Myanmar s government, due to its action and fulfilment of the elements of gross violation genocide and crimes against humanity that stipulated in international law as the requirements of R2P implementation. Myanmar s government might be judged for has no capability to comply its responsibility to protect and becomes the perpetrator itself. Subsequently, the responsibility may devolve to international community especially ASEAN for this case."
Depok: Universitas Indonesia, 2018
T50348
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tamia Dian Ayu Faniati
"Skripsi ini membahas perlindungan dalam hukum internasional terhadap etnis yang tidak memiliki kewarganegaraan. Perlindungan terhadap kelompok etnis dan hak atas bekewarganegaraan sudah cukup banyak pengaturannya dalam hukum internasional. Tetapi dalam prakteknya masih terdapat banyak pelanggaran. Etnis Rohingya adalah salah satu contoh kelompok etnis yang tidak diakui kewarganegaraanya sehingga hak-haknya sering dilanggar, bahkan mereka sering mendapat penganiayaan. Hal ini menyebabkan sebagian etnis Rohingya melarikan diri ke negara lain untuk mencari perlindungan. Negara asal, negara transit, negara tujuan, dan UNHCR berperan dalam menanggulangi arus pengungsi Rohingya ini. Peran yang diambil tersebut didasarkan pertimbangan kemanusiaan terhadap penderitaan pengungsi Rohingya dan perlindungan HAM.

This paper discusses the protection according to international law on ethnic groups who have no nationality. Protection of ethnic groups and the right to nationality have regulate in international law. But in practice there are still many violations to these rights. Ethnic Rohingya is one of examples for ethnic groups that is not recognized on their nationality. It caused their rights are often violated, even they often get abuse. Some ethnic Rohingyas fled to other countries to seek protection. Country of origin, transit countries, destination countries, and UNHCR's role in tackling these Rohingya refugee flows. The role taken by humanitarian considerations were based on the suffering of the Rohingya refugees and protection of human rights."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S1264
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Sherley Mega Sandiori
"ABSTRAK
Seiring dengan berkembangnya hukum internasional, prinsip kedaulatan kini tidak lagi dipandang dapat memberikan impunitas kepada pemerintah negara untuk tidak memberikan perlindungan kepada hak asasi manusia penduduknya. Doktrin intervensi humaniter kemudian hadir namun masih banyak meresahkan komunitas internasional sebab hal tersebut dirasa melanggar hukum internasional. Berangkat dari gagasan tersebutlah doktrin responsibility to protect R2P hadir untuk memberikan justifikasi baru bagi komunitas internasional melalui Dewan Keamanan untuk melakukan intervensi kepada suatu negara yang telah nyata gagal melindungi penduduknya dari empat kejahatan, yakni genosida, kejahatan perang, pembersihan etnis, dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Doktrin ini dengan intervensi militernya pada praktiknya telah diterapkan di Libya dan Pantai Gading, namun pada kenyataannya keberhasilan penerapan doktrin R2P tersebut belum kembali terulang pada kasus Suriah. Penelitian ini lantas mencoba untuk menganalisis kemungkinan penerapan doktrin R2P di Suriah berdasarkan kriteria penerapan doktrin R2P pada kasus-kasus terdahulu. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis-normatif dengan data sekunder. Adapun penelitian ini kemudian menemukan bahwa kemungkinan penerapan doktrin R2P dengan intervensi militernya pada kasus perang sipil Suriah adalah sangat kecil oleh karena adanya faktor-faktor di luar kriteria doktrin R2P yang ternyata menjadi faktor penentu penerapan doktrin R2P. Pada akhirnya, penelitian ini menyarankan bahwa terlepas dari sulitnya penerapan doktrin R2P oleh Dewan Keamanan pada kasus Suriah dan juga kasus-kasus serupa lainnya di masa yang akan datang, hendaknya negara-negara tidak lantas mengambil tindakan sepihak untuk melaksanakan intervensi militer kepada negara lain namun tetap berpegang teguh untuk selalu mencoba menerapkan doktrin R2P dengan lebih baik lagi.

ABSTRACT
As the international law develops, sovereignty now cannot be deemed as granting impunity for the government to not protect their citizens rsquo human rights. Humanitarian intervention doctrine then came but still lacks of support from the international community as it is deemed as a violation of international law. Departing from that, the responsibility to protect R2P doctrine came to serve as the new justification for international community through the United Nations Security Council to intervene in countries who manifestly fail to protect their citizens from four specific crimes, namely genocide, ethnic cleansing and crimes against humanity. In practice, R2P doctrine with its military intervention had been implemented in Libya and C te d rsquo Ivoire, but the aforementioned success is still far from being implemented in Syria. This study thus seeks to analyze the possibility of implementing R2P in Syria based on the criteria used in the previous cases. The method used in this study is juridical normative by using secondary data. This study then found that the possibility to implement R2P with its military intervention in Syria is very little for there are other factors that do not fall to the doctrine rsquo s criteria but are determining factors to its implementation. At the end, this study advises that despite the difficulty to implement R2P through the Security Council in Syria, individual countries shall refrain from taking unilateral military intervention to deal with the case at hand and shall rather always try to strengthen the doctrine rsquo s implementation for the better. "
2017
S68374
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Rizky Julyansyah
"Penelitian ini membahas bagaimana peran FFM (Fact Finding Mission) UNHRC dalam upaya menerapkan Responsibility to Protect. Badan investigasi tersebut dibentuk oleh PBB melalui Dewan Hak Asasi Manusia untuk melihat fakta – fakta yang terjadi terkait dengan krisis kemanusiaan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang telah berlangsung lama terhadap etnis Rohingya di negara bagian Rakhine. Upaya Dewan Hak Asasi Manusia merupakan upaya pencegahan langsung. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan masalah yang digunakan adalah Live-Case Study, yaitu pendekatan studi kasus pada peristiwa hukum yang masing berlangsung atau belum selesai atau belum berakhir. Hasil dari penelitian adalah adanya bentuk pelanggaran hukum dalam lingkup hukum intenasional yang dilakukan pemerintah Myanmar terhadap etnis Rohingya, sehingga perlu diambil tindakan untuk mengadili pelanggaran hukum yang terjadi dan perlu dilakukan investigasi lebih lanjut oleh badan investigasi yang dibentuk PBB dengan metode yang tepat untuk memperbaiki krisis kemanusiaan yang terjadi terhadap etnis Rohingya.

This Research explains the role of the UNHRC’s FFM (Fact Finding Mission) in the effort to implement the Responsibility to Protect.The investigative body was formed by the United Nations through the Human Rights Council to look at the facts related to the long running humanitarian crisis and human rights against the Rohingya ethnicities in Rakhine State.This research uses a normative legal research method with approach used is Live-Case Study, which is a case study approach to legal events that ae ongoing or have not been completed or have not ended. Theresult of the research is that there are forms of legal violations within the scope of international law committed by the Myanmar government against the Rohingya ethnicity, so that action needs to be taken to prosecute the violations of the law that have occurred and further investigations need to be carried out by an investigative agency established by the United Nations with the right method to solve the humanitarian crisis and human rights against the Rohingya ethinicity."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Singh, Bilveer, 1956-
"On violence against Muslim Rohingya, a minority ethnic in Burma"
Bulaksumur, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 2014
305.8 SIN t
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
"This paper aims to analyse the concept of the "responsibility to prptect (R2P)" which was advanced in response to the request of a robust international legal order dealing with a failing or failed state...."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
""The Role of Business in the Responsibility to Protect closes the gap between research on the Responsibility to Protect and the private sector, as previous research has focused only on state responsibilities and state actors. This book examines in detail the developing research on the significant role that private sector actors can play in promoting peace and stability. Contributors to this volume explore the key arguments for where, why, and how private sector actors can contribute to the prevention and cessation of mass atrocity crimes; and how this can inform and extend the UN policy discussion around Responsibility to Protect. The contributors include lead voices in the Responsibility to Protect discourse as well as central voices in business and peace literature"--"
Cambridge: Cambridge University Press, 2016
341.48 ROL
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Pohan, Aleksandra M.
"Prinsip non-intervensi merupakan prinsip yang secara universal diterima dalam hukum internasional. Prinsip tersebut dijamin oleh Piagam PBB yang menyebutkan tidak adanya campur tangan (non-interference) dalam urusan domestik negara yang berdaulat. Prinsip non-intervensi merupakan prinsip fundamental dalam mengadakan hubungan internasional dewasa ini. Khususnya di kawasan Asia Tenggara prinsip ini sangat dijunjung tinggi mengingat sejarah pembentukannya pada saat sedang terjadinya Perang Dingin. Seiring dengan berjalannya waktu penerapan prinsip non-intervensi yang terlalu kaku kerap di kritik oleh dunia internasional. Akhirnya mendorong munculnya gagasan untuk melakukan pelembutan terhadap prinsip tersebut, dengan konsep alternatif seperti ?constructive intervention?, ?flexible engagement, atau ?enhanced interaction?. Berbagai teori, dokumen-dokumen ASEAN serta kasus-kasus yang terjadi akan dibahas untuk menjelaskan prinsip non-intervensi dalam perspektif ASEAN dan berbagai macam permasalahan yang timbul dalam pelaksanaannya.

The principle of non-intervention is one of the common universally accepted principles in international law. This principle is guaranteed by the UN charter, in which the principle of non-interference in internal affairs of sovereign states is mentioned. This principle happens to be a fundamental basis in the creation of international relations as of late. In particular, this principle is highly respected upon in the South East Asia region, regarding the establishment of ASEAN during the Cold War. As time goes by, application of the non-interference principle has been reputed as rigid, and it has come across many criticisms by the international community. In concern of said criticism, there have been talks about toning down the principle through alternative concepts such as ?constructive intervention?, ?flexible engagement? or ?enhanced interaction?. Numerous theories, related ASEAN documents and recent cases will be laid out to further explain the principle of non-intervention through the ASEAN perspective and the many problems that might appear in the application."
Depok: Universitas Indonesia, 2009
S26223
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Badescu, Cristina G.
London : Routledge, 2012
341.584 BAD h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Arief Indrawan Syamsoeddin
"

Pada tahun 2015, Arab Saudi dan negara-negara Arab lainnya melancarkan serangan kepada kelompok pemberontak Houthi yang berada di wilayah kedaulatan Yaman. Serangan tersebut menimbulkan permasalahan-permasalahan yang harus dicari jawabannya melalui penelitian ini. Mengapa Arab Saudi melakukan intervensi militer semacam itu, Bagaimana Pengiriman pasukan bersenjata atau intervensi militer kepada negara lain menurut prinsip non intervensi dan Piagam PBB, dan bagaimana legalitas intervensi militer Arab Saudi dan koalisinya di Yaman menurut prinsip non intervensi dan Piagam PBB. Penelitian ini akan menjawab 3 (tiga) pertanyaan atau permasalahan di atas. Tindakan Arab Saudi dan koalisinya yang melancarkan serangan militer ke wilayah Yaman pada dasarnya merupakan penggunaan kekerasan dan campur tangan terhadap urusan domestik atau dalam negeri dari Yaman. Campur tangan atau intervensi semacam ini melanggar Pasal 2 (4) dan 2 (7) Piagam PBB yang mengandung prinsip non intervensi. Namun, pelarangan campur tangan atau intervensi khususnya intervensi militer bukan pelarangan yang mutlak. Piagam PBB sendiri memberikan pengecualian terhadap dua pasal pelarangan intervensi tersebut sehingga negara dapat melakukan intervensi khususnya intervensi militer. Intervensi-intervensi yang dikecualikan tersebut ialah intervensi atas mandat Dewan Keamanan PBB dan intervensi atas dasar self-defence. Intervensi militer Arab Saudi dan koalisinya di Yaman merupakan intervensi atas dasar self-defence yang telah memenuhi persyaratan-persyaratannya menurut Piagam PBB.

 


On 2015, Saudi Arabia Led-Coalition launched a military operation targeted to Houthi Rebel in Yemen. The operation problems that the author of this paper must seek the answers in this paper. Why did the Saudi Led-Coalition launch a military operation in Yemen?, How is the legality of sending an armed force to another state according to the principle of non intervention and the UN Charter?, and How is the legality of military intervention done by Saudi Led-Coalition  in Yemen according to the principle of non intervention and the UN Charter?.This paper will seek the answers of those three problems. That Saudi and its coalition launched a military operation in Yemen is a use of force and an interference against the domestic affair of Yemen. This kind of interference is a violation to article 2 (4) and 2(7) of UN Charter. However, the Charter itself constitutes articles that could be a discretion to intervention prohibition in the Charter. The Charter allows states to counduct two kinds of intervention . Those are intervention under the authorization of the Security Council and intervention based on the right of self-defence. The act that Saudi and its coalition did in Yemen is based on the right of self-defence and they have fulfilled the conditions governed in the Charter.

 

"
2020
T54745
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>