Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 160274 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Gebby Putri Suwardi
"Perjanjian perkawinan bukanlah hal yang popular dalam masyarakat, karena dalam masyarakat terdapat pemikiran bahwa suami-istri yang membuat perjanjian perkawinan dianggap tidak mencintai pasangannya sepenuh hati, karena tidak mau membagi harta yang diperolehnya. Hal ini disebabkan dengan adanya perjanjian perkawinan maka dengan sendirinya dalam perkawinan tersebut tidak terdapat harta bersama dan yang ada hanya harta pribadi masing-masing dari suami atau istri. Mengenai perjanjian perkawinan ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pada Pasal 29 yang kemudian dirubah dengan lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015. Permasalahan yang dikemukakan pada tesis ini adalah akibat hukum perjanjian kawin yang tidak disahkan sebelum dan sesudah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 serta akibat hukum perjanjian kawin yang tidak disahkan pasca terjadinya perceraian terhadap harta bersama dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 598/PK/Pdt/2016.
Jenis penelitian dalam tesis ini adalah normatif yaitu penelitian yang dilakukan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Sifat penelitian yang digunakan yakni deskriptif analitis. Akibat hukum akta perjanjian kawin yang tidak disahkan sebelum adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 adalah hanya mengikat kedua pihak dan pasca putusan tersebut akibat hukum akta perjanjian kawin yang tidak disahkan adalah perjanjian kawin tersebut sah dan mengikat kedua pihak dan dapat mengikat pihak ketiga setelah disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan yang dapat dilakukan selama perkawinan dilangsungkan. Sementara akibat hukum akta perjanjian kawin yang tidak disahkan pasca perceraian terhadap harta bersama adalah harta kekayaan yang diperoleh masing-masing pihak tetap menjadi milik masing-masing.

Marital agreement deed is not popular in the community, because the community there is the idea that a husband and wife who made marital agreement is considered not wholeheartedly love their partner, because they do not want to divide the wealth obtained. This is due to the existence of the marriage covenant itself in the marriage there is no joint property and that there are only personal property of each of the husband and wife. Regarding the marital agreement is regulated in Law No. 1 of 1974 on Marriage, Article 29 which has been changed with The Decision of Constitutional Court Number 69 PUU XIII 2015.The problems presented in this thesis are what is legal effect of illegalized marital agreement deed before and after The Decision of Constitutional Court Number 69 PUU XIII 2015 also legal effect illegalized marital agreement deed after the divorce toward joint property.
The research in this thesis is the type of normative, the study of primary legal materials and secondary law. The type of research that used in this thesis is descriptive analytical by taking problems or focusing on issues as they were when the research was conducted, which was then processed and analyzed for conclusion. The legal effect of the illegalized marital agreement deed before The Decision of Constitutional Court Number 69 PUU XIII 2015 is only binds both parties husband and wife and the legal effect of illegalized marital agreement deed after that decision is binding both parties huband and wife and applies a third party after being legalized by marriage registrar. The legal effect of illegalized marital agreement deed after the divorce toward joint property is the property acquired during the marriage by each party shall remain the property of each."
Depok: Universitas Indonesia, 2018
T50664
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yedia Dini
"Perjanjian perkawinan merupakan persetujuan antara calon suami atau istri, untuk mengatur akibat perkawinan terhadap harta kekayaan mereka, yang menyimpang dari persatuan harta kekayaan. Perjanjian Perkawinan bukanlah hal yang popular dalam masyarakat, karena dalam masyarakat terdapat pemikiran bahwa suami-istri yang membuat perjanjian perkawinan dianggap tidak mencintai pasangannya sepenuh hati, karena tidak mau membagi harta yang diperolehnya. Hal ini disebabkan dengan adanya perjanjian perkawinan maka dengan sendirinya dalam perkawinan tersebut tidak terdapat harta bersama dan yang ada hanya harta pribadi masing-masing dari suami atau istri. Mengenai perjanjian perkawinan ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pada Pasal 29. Permasalahan yang dikemukakan pada tesis ini adalah apakah dimungkinkan pengesahan perjanjian perkawinan setelah perkawinan berlangsung serta apakah konsekuensi dari perjanjian perkawinan terhadap pihak ketiga yang tidak didaftarkan pada pencatat perkawinan. Penelitian yang digunakan dalam tesis ini adalah tipe penelitian normatif, yaitu penelitian yang dilakukan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
Dari hasil penelitian ini disimpulkan persyaratan yang harus dipenuhi agar sebuah perjanjian perkawinan mempunyai kekuatan mengikat terhadap pihak ketiga adalah dengan cara mensahkan perjanjian perkawinan tersebut kepada pegawai pencatatan perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Akibat hukum apabila perjanjian perkawinan tidak didaftarkan untuk suami-istri tidak mempunyai akibat hukum yang signifikan, karena perjanjian tersebut tetap mengikat kepada kedua belah pihak, sedangkan untuk pihak ketiga, apabila perjanjian perkawinan tidak didaftarkan maka akibat hukumnya perjanjian perkawinan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat terhadap pihak ketiga.

Marital agreement is an agreement between a husband or wife, to arrange a marriage due to their property, which deviates from unity wealth. The marriage agreement is not popular in the community, because the community there is the idea that a husband and wife who made a marriage agreement is considered not wholeheartedly love their partner, because they do not want to divide the wealth obtained. This is due to the existence of the marriage covenant itself in the marriage there is no joint property and that there are only personal property of each of the husband or wife. Regarding the marriage agreement is regulated in Law No. 1 of 1974 on Marriage, Article 29. The problem presented in this thesis is whether the possible ratification of the treaty of marriage after the marriage took place and whether the consequences of the marriage covenant against third parties who are not registered with the registration of marriage, the research in this thesis is the type of normative research, the study of primary legal materials and secondary law.
From the results of this study concluded the requirements that must be met in order for a marriage agreement has binding force on the third party is to ratify the marital agreement to the employee registration of marriage as set out in Article 29 paragraph (1) of Law No. 1 of 1974 on Marriage. The legal consequences if the marriage covenant are not registered to the husband and wife have no legal consequences are significant, because the agreement remains binding to both parties, while for a third party, if the marriage covenant are not registered then the legal consequences of the marriage covenant does not have binding legal force to third parties."
Depok: Universitas Indonesia, 2016
T44897
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aya Sofia
"Harta benda dalam perkawinan dibagi menjadi dua bagian yaitu harta bersama dan harta pribadi. Apabila terdapat pihak yang ingin melakukan tindakan hukum atas harta bersama tersebut, baik oleh suami maupun istri, maka ia haruslah mendapatkan persetujuan dari pasangannya sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU 1/1974”). Tidak terdapat ketentuan lebih rinci yang mengatur sejauh apa persetujuan pasangan harus disyaratkan. Tidak adanya ketentuan tersebut membuat praktik yang dilakukan oleh notaris terkadang berbeda-beda dalam mengklasifikasikan transaksi yang membutuhkan persetujuan pasangan dan mana yang dianggap tidak perlu membutuhkan persetujuan, khususnya mengenai transaksi yang tidak mengakibatkan peralihan kepemilikan atas harta bersama. Berdasarkan latar belakang tersebut, dibuatlah penelitian ini yang bertujuan untuk mengetahui bagaimana akibat akta sewa menyewa terhadap objek yang merupakan harta bersama yang dibuat tanpa persetujuan pasangan, dengan studi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1111/K/Pdt/2018. Dalam melakukan penelitian, penulis menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan menggunakan data sekunder. Berdasarkan hasil penelitian, dalam melaksanakan ketentuan Pasal 36 UU 1/1974, hakim mensyaratkan adanya persetujuan pasangan bagi suami atau istri yang ingin menyewakan harta bersamanya berupa tanah dan bangunan kepada pihak lain. Persetujuan pasangan ini tetap diperlukan walaupun transaksi tersebut tidak disertai dengan beralihnya kepemilikan harta bersama tersebut. Apabila akta sewa menyewa dibuat tanpa disertai dengan persetujuan pasangan, maka tindakan tersebut merupakan perbuatan melawan hukum karena bertentangan dengan Pasal 36 ayat (1) UU 1/1974 sehingga akta perjanjian sewa menjadi batal demi hukum dan notaris yang membuat akta tersebut dapat dimintakan pertanggungjawaban secara perdata berupa pembayaran ganti rugi.

Marital property is divided into joint assets and seperate assets. The definition of joint assets is refered to an asset acquired during the course of a marriage. The consequences as the joint assets, both husband and wife who bring the joint assets as the object of any transaction are obliged to obtain the consent of their spouse as regulated under Article 36 paragraph (1) Law Number 1 Year 1974 regarding Marital Law (“Law 1/1974”). However, there is no definitif regulation which specifically explain to what extend the spousal consent is required. The absent of such regulation resulting different practices by notaries. As the result, we can find for a similar transaction, one notary required a spousal consent while another notary does not. In accordance to those background, the writer makes this research with the aim is to find the legality of deed of lease upon marital property which executed without spousal consent and the responsibility of the notary who made the deed (Case Study: Verdict of Supreme Court Number: 1111/K/Pdt/2018). In this study, the author uses the normative juridical research method using secondary data. Based on the results of the study, the judge required a spousal consent for lease transaction of land and bulding under joint assets conducted by husband or wife. This spousal consent is still required even though there are no transfer ownership in such transaction. In the event that the deed was executed without spousal consent, the deed is become null and void due to the breach of Article 36 paragraph (1) Law 1/1974 and the notary who made the deed may be responsible for indemnity payment."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Lenggo Sari
"Tesis ini membahas mengenai perjanjian kawin yang dibuat sepasang suami istri sepanjang perkawinan saat Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 69/PUU-XIII/2015 (Putusan MK) belum diputuskan. Perjanjian kawin yang tujuan utamanya untuk mengatur harta benda perkawinan wajib dibuat secara tertulis oleh suami istri sebelum atau saat dilangsungkannya perkawinan serta disahkan ke Pegawai Pencatat Perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU 1/1974). Perihal inilah yang dibahas dalam penelitian ini, dengan berdasarkan pada kasus dalam Putusan Pengadilan Tinggi Jawa Tengah Nomor 534/PDT/2019/PT SMG, dengan permasalahan yang ditemukan yaitu keabsahan dan pertanggungjawaban Notaris terkait dengan legalisasi perjanjian kawin bawah tangan, keabsahan perjanjian kawin yang dibuat sepanjang masa perkawinan dan tidak disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, dan keabsahan pembagian hutang bersama dan harta bersama oleh Majelis Hakim dengan berdasarkan pada perjanjian kawin yang tidak memenuhi ketentuan dalam Pasal 29 ayat (1) UU 1/1974. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, Penulis melakukan penelitian dengan bahan pustaka berupa peraturan dan literatur terkait. Dan setelah dilakukan penelitian tersebut, Penulis menyimpulkan bahwa perjanjian kawin dapat berupa akta bawah tangan yang dilegalisasi Notaris, karena Pasal 29 ayat (1) UU 1/1974 hanya mensyaratkan perjanjian kawin dibuat secara tertulis. Penulis menyimpulkan bahwa membuat perjanjian kawin sepanjang masa perkawinan bertentangan dengan Pasal 29 ayat (1) UU 1/1974 dan mengakibatkan perjanjian kawin menjadi batal demi hukum, sedangkan ketidakpatuhan untuk mengesahkannya ke Pegawai Pencatat Perkawinan mengakibatkan perjanjian kawin hanya mengikat diantara para pihak dan tidak kepada pihak ketiga. Lebih lanjut, penggunaan perjanjian kawin yang bertentangan dengan Pasal 29 ayat (1) UU 1/1974 sebagai dasar membagi harta dan hutang bersama dirasa kurang tepat, sekalipun perjanjian kawin tersebut dapat dibuat pada masa perkawinan sebagaimana tafsir Putusan MK, suatu perjanjian kawin tidaklah diperbolehkan untuk merugikan pihak ketiga. 

This thesis analyzes marriage agreement between husband and wife during the marriage in times where the Verdict of the Constitutional Court of Republic of Indonesia Number 69/PUU-XIII/2015 have not been sentenced yet. Objective of marriage agreement is to regulate wealth and property between husband and wife during their marriage. Marriage agreement can only be made before or while marriage and must be registered to Marriage Registrar Official as regulated by Article 29 Law Number 1 Year 1974 regarding to Marriage (UU 1/1974). In a case in Central Java as documented in Central Java’s High Court Verdict Number 534/PDT/2019/PT SMG, several issues were found which are the validity of the notary regarding authorization of marriage agreement, validity of marriage agreement which did not authorized by Marriage Registrar Official and validity of  joint wealth and debt sharing which did not comply with Article 29  paragraph (1) Law 1/1974. Using normative juridical method, the writer did this research using reference to related regulations and literature. After conducting the research, the writer concluded that a marriage agreement can be authorized through legalization in front of a notary because Article 29 paragraph (1) Law 1/1974 only requires a marriage agreement to be made in written form. The writer also concluded that a marriage agreement which was made during the times of marriage did not comply with Article 29 paragraph (1) UU 1/1974 hence null and void in front of the law. Meanwhile, marriage agreement that had not been authorized by Marriage Registrar Official will only binding between the parties, not binding the third party.  Lastly, the use of unlawful agreement as the base of wealth and debt sharing between husband and wife is not rightly did by Council of the Judges, because although the marriage agreement can be made during the marriage as interpreted in the Verdict of the Constitutional Court of Republic of Indonesia Number 69/PUUXIII/2015, a marriage agreement made is not allowed to harm the third party. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alisa Ardiyati
"Pemisahan dan pembagian harta bersama terikat baik dari harta warisan maupun harta perkawinan menurut hukum positif Indonesia adalah suatu perbuatan hukum untuk mengakhiri keadaan tidak terbagi yang mengakibatkan kepada masingmasing orang akan memperoleh kewenangan penuh atas benda tersebut untuk melakukan tindakan hukum. Pemisahan dan pembagian pada pemilihan bersama terikat bersifat deklaratif dan mempunyai daya berlaku surut. Bentuk Akta Pemisahan dan Pembagian sangat tergantung pada jenis obyek kebendaan apa yang akan dibagi. Notaris harus dapat dengan tepat mengonstantir kehendak penghadap, dan menjalankan prinsip kehati-hatian dalam menjalankan jabatan, sehingga tidak terdapat kekeliruan dalan menerapkan hukum dalam pembuatan akta yang berimplikasi pada batalnya produk akta, sebagaimana dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 697 PK/Pdt/2012.

The separation and division of co-related property to either of the inheritance or the marital property according to the Indonesian positive law is a legal act to end the state of joint ownership that resulted to each person will get full authority to take legal action over the object. Separation and division of the co-related property is bound to be declarative and which has retroactive effect. The form of deed of separation and division depends on the type of object material. Notary must be able to precisely interpreted the client`s will and obediently follow the prudential principal in carrying his position, there for there will be no mistake in applying the law on the notary deed, which implicate the annulment of the deed as in the Indonesian Supreme Court Decision No.697 PK/Pdt/2012."
Depok: Universitas Indonesia, 2016
T46356
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cynthia Paramita Johan
"Guna menjamin suatu kredit, jaminan kebendaan memiliki posisi yang lebih kuat dan strategis bagi penyaluran kredit Bank, khususnya tanah, karena selain memberikan kedudukan sebagai kreditur preferen, secara ekonomis tanah juga mempunyai prospek yang menguntungkan karena harganya yang terus meningkat. Dalam penjaminan suatu benda, harus diperhatikan kewenangan bertindak yang dimiliki penjamin atas benda tersebut, maka dalam pembuatan perjanjian penjaminan, Notaris harus memperhatikan status perkawinan penghadap terkait dengan pemilikan benda agar terjamin keabsahan akta perjanjian penjaminan tersebut sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif yang menghasilkan data deskriptif analitis.
Simpulan penelitian menyatakan bahwa penjaminan atas harta bersama harus dilakukan dengan persetujuan pasangan nikah untuk sahnya perjanjian tersebut dan Notaris yang membuat akta perjanjian penjaminan harta bersama tanpa persetujuan pasangan nikah penghadap dapat dikenakan sanksi sebagai pertanggung jawabannya. Hasil penelitian menyarankan bahwa Notaris harus bertindak cermat dan profesional agar pembuatan aktanya dapat dipertanggung jawabkan kepada semua pihak yang berkepentingan.

In order to guarantee a credit, collateral has a stronger and strategic position for Bank as the creditor, particularly in the form of land, because aside from giving the title of creditor as a preferred creditor, land economically also has profitable prospects because the price tends to increase over time. Making an object as collateral must consider the authority of guarantor, then for the making of mortgage agreement deed, a Notary must consider the appearer’s marital status associated with the ownership in order to be assured of the validity of the mortgage agreement deed according to the applicable legislation. This research uses the juridical normative method. The data obtained were analyzed using qualitative methods that produce descriptive analytical data.
A summary of the research states that the guarantee of joint marital property must be done with spouse consent to legitimate that agreement and the Notary who made mortgage agreement deed of joint marital property without appearer’s spouse consent could be penalized as a form of responsibility. Results of the study suggests that the Notary must act meticulously and professionally in order to make accountable deeds to all parties concerned.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T41643
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aditya Wahyu Febriyantoro
"Penelitian dalam Tesis ini ini secara obyektif bertujuan untuk menganalisis mengenai tanggung jawab Notaris dalam membuat Surat Keterangan Waris yang cacat hukum karena tidak mencantumkan ahli waris secara lengkap dan akibat hukum dari Surat Keterangan Waris tersebut, kemudian untuk mengetahui dampak terhadap akta-akta Notaris yang berkaitan dengan harta warisan yang memakai dasar Surat Keterangan Waris yang cacat hukum tersebut. Penelitian ini merupakan penelitian hukum berpendekatan yuridis normatif, dengan tipologi deskriptif eksplanatoris yang dilakukan dengan studi pustaka. Data yang dipakai dalam penelitian ini adalah data sekunder, yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Untuk menganalisis data-data tersebut, penulis menggunakan metode analisis kualitatif, dengan bentuk hasil penelitian dalam penelitian ini adalah deskriptif eksplanatoris. Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh kesimpulan. Pertama, pertanggungjawaban hukum melekat pada Notaris terhadap akta-akta yang dibuatnya. Dalam hal Notaris telah melakukan segala prosedur dalam membuat Surat Keterangan Waris, namun terdapat cacat hukum di kemudian hari, maka dirinya tidak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Akibat hukum Surat Keterangan Waris yang cacat hukum menyebabkan ahli waris yang tidak dicantumkan dalam Surat tersebut tidak dapat melakukan tindakan kepemilikan dan tindakan kepengurusan terhadap harta peninggalan Pewaris, oleh karenanya Surat Keterangan Waris tersebut harus dinyatakan batal demi hukum agar proses pewarisan kembali seperti awal Pewaris meninggal. Kedua, dampak hukum terhadap akta-akta yang dibuat dengan dasar Surat Keterangan Waris tersebut menyebabkan tidak terjadinya perikatan diantara para pihak dalam akta dan akta-akta tersebut batal demi hukum karena terdapat kausa yang terlarang.

The research in this thesis is objectively aims to analyse about Notary Responsibility in drafting Deed of Inheritance which is legally flawed because does not listing the heir completely and legal consequences of the Deed of Inheritance itself. The next objective is to find out the legal impact on Notary Deeds related to Inheritance that has been drafted based on the legally flawed Deed of Inheritance.
This research is juridical normative legal research with descriptive explanatory tipology that conducted by literature study, which mean the data used in this research is from secondary data. The secondary data can be described into three kinds of resource, namely primary, secondary, and tertiary resource. Analytic method in this thesis is using quality analysis method, with result of this research indicated in descriptive explanatory. Based on the results of the research, obtained two conclusions.
First, legal responsibility of Notary is always adhered on The Notary itself related to its drafted deeds.
If Notary has followed procedures before drafting Deed of Inheritance, yet a legal flaw is issued in
future, then Notary is not legally responsible to it.
Legal cosequences on the legally flawed Deed of Inheritance is causing the unlisted heir cannot be able to commencing management act and ownership act to the inheritance, therefore that legally flawed Deed of Inheritance must be avowed null and void, so the inheriting process start from beginning. Second, the legal impact on Notary Deeds that has been drafted based on the legally flawed Deed of Inheritance is causing the agreement between the parties canceled and those deeds must be considered null and void because consisting forbidden clause inside.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adlina Annisa
"ABSTRAK
Kepastian hukum dapat diartikan sebagai perlindungan hukum. Artinya, tiap masyarakat yang melakukan perbuatan yang sesuai dengan hukum yang berlaku akan mendapat perlindungan apabila haknya diganggu. Salah satu perbuatan hukum yang amat rawan dengan terjadinya sengketa adalah masalah harta bersama dalam perkawinan, yang biasanya bermasalah saat terjadi perceraian, terutama bila harta bersama berbentuk hak atas tanah dan berhubungan dengan pihak ketiga sebagai pembeli. Karena terkadang pembeli-lah yang akan mengalami kerugian akibat sengketa tersebut, penelitian ini akan berusaha menemukan bentuk perlindungan bagi pembeli harta bersama berupa hak atas tanah yang disengketakan tersebut dan menganalisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 2301 K/Pdt/2007, yang kasusnya sesuai dengan uraian tersebut di atas. Penelitian ini akan berbentuk yuridis normatif, dengan tipologi penelitian deskriptif-preskriptif. Jenis data yang digunakan, terdiri dari Bahan Hukum Primer, Sekunder dan Tersier, yang akan didapat dengan cara studi dokumen dan wawancara dengan nara sumber yang berkaitan. Dan dalam menganalisis, penulis menggunakan metode analisis kualitatif. Inti dari objek penelitian ini adalah terjadinya jual beli atas tanah harta bersama milik pasangan suami istri yang telah bercerai, yang dilakukan tanpa sepengetahuan dan persetujuan pihak istri. Kemudian hak atas tanah tersebut dibebankan Hak Tanggungan oleh pemilik barunya, yang ternyata lalai menjalankan kewajibannya, sehingga Pemegang Hak Tanggungan bermaksud melelang tanah tersebut. Pada saat pengumuman lelang, pihak (mantan) istri mengajukan gugatannya. Majelis Hakim memenangkan gugatan pihak istri dengan mengembalikan status tanah tersebut menjadi harta bersama. Sebagai perlindungan hukum, pemilik baru hak atas tanah tersebut dapat mengajukan gugatan serta merta kepada pihak suami/penjual, yang akan menghasilkan putusan serta merta, sehingga pembeli mendapat ganti rugi berupa pengembalian uang sejumlah yang dibayarnya dulu. Walaupun menurut penulis Majelis Hakim dapat memberikan putusan yang lebih menguntungkan semua pihak, dengan penggunaan ketentuan Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yang mengharuskan pihak suami membayar ganti rugi kepada pihak mantan istri sebesar setengah dari harga yang diterimanya saat ia menjual hak atas tanah tersebut.

ABSTRACT
Legal certainty can be interpreted as law protection. This means, each society which does an action in accordance with the prevailing law will be protected when its rights disturbed. One of the legal act that are particularly vulnerable to dispute is a matter of joint matrimonial property, which is usually troubled when there is a divorced, especially when the joint matrimonial property shaped land rights and associated with third parties as a buyer. Because sometimes the buyer who will suffer losses due to the dispute, this research will attempt to find a form of protection for the joint matrimonial property buyers shaped as land rights which be disputed and analyzing The Supreme Court Verdict Number 2301 K/Pdt/2007, which has case appropriate with the description above. This research will be shaped as Juridical Normative, with the Descriptive-Prescriptive research typology. The kind of data used, consisting of a Primary Law, Secondary and Tertiary, that will be obtained by the study of documents and interviews with informants related. And in analyzing, the writer uses the method of qualitative analysis. The core of the object of this research is the purchase of land which are joint matrimonial property belongs to a married couple who have divorced, which carried out without the knowledge and approval of the wife. Then the land rights are charged with Priority Security Rights/Mortgage by its new owner, who apparently negligent to fulfill her obligations, so the Priority Security Rights/Mortgage holder intends to auction off the land. At the time of announcement of the auction the (ex) wife filed the lawsuit. The Panel of Judges won the lawsuit of the wife by restoring the status of the land became the joint matrimonial property. For the legal protection, the new owner of the land could file a necessarily suit to the husband/sellers, which will produce the necessarily verdict, so the buyers receive a compensation a refund as much as she spent before. Altough by the writer, The Panel of Judges can made a decision which more beneficial to all parties, with using the provisions of Article 1365 of Kitab Undang-undang Hukum Perdata (The Code of Civil Law), which requiring the husband to pay a compensation to his ex-wife for half of the price he received when he sold the rights of the land before."
2013
T35300
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mukti Hidayat
"Perkawinan, merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri yang bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan sah akan menimbulkan akibat Perkawinan. Salah satunya akibat Perkaiwnan terhadap harta benda. Akibat perkawinan terhadap harta benda diatur di dalam KUHPerdata yang mengatur percampuran harta. Pada saat ini harta benda perkawinan diatur dalam Undang-Undang Perkawinan yang mengatur adanya harta bawaan dan harta bersama. Setelah terjadi perceraian, harta bersama dibagi menurut hukum para pihak. Sepanjang belum ada putusan Pengadilan mengenai pembagian harta bersama, maka suami istri tidak berhak melakukan perbuatan hukum terhadap harta bersama tanpa persetujuan suami atau istri. Dalam hal suami atau sitri telah meninggal dunia dan telah terjadi perceraian, namun belum ada pembagian harta bersama, maka suami atau istri harus meminta persetujuan ahli waris untuk melakukan perbuatan hukum terhadap harta bersama. Jika tidak, maka perbuatan hukum tersebut dapat batal demi hukum dan suami atau istri tersebut dapat digugat perbuatan melawan hukum. Hal ini yang terjadi dalam kasus Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 96/K/Pdt/2016 dimana istri telah menjual harta bersama yang dimiliki bersama dengan suaminya yang telah meninggal dunia (Pewaris). Dalam kasus tersebut istri telah menjual obyek harta bersama berupa tanah tanpa persetujuan ahli waris lain. Dalam hal ini istri memang berhak atas harta bersama tersebut, namun dalam hal ini belum ada putusan Pengadilan Negeri terkait pembagian harta bersama. Namun, walupun isteri masih berhak atas obyek harta bersama tersebut, obyek tersebut merupakan harta peninggalan yang diwariskan kepada ahli warisnya. Jadi perbuatan menjual tanah tersebut tanpa persetujuan ahli waris lain dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum dan jual beli batal demi hukum. Metode penulisan yang dipakai adalah normative dengan tipologi eskplanatoris.

Marriage, an inner and outer bond between a man and a woman as husband and wife which is to form a happy family and eternal based on God. Legal marriage would lead to a result of marriage. One of them is a result to marriage property. As a result of marrige property set out in the Civil Code that regulates marital property. At this time, the regulation against marriage property has been regulated in the regulation of marriage that governs their personal property and marital property. After the divorce, marital property is divided according to the law of the parties. Throughout there has been no court decision on the division of marital property, the husband and wife are not entitled to take legal actions against the marital property without the consent of the husband or wife. In the case of a husband or wife had died and there has been a divorce, but there is no division of marital property, the husband or wife must seek approval heirs to take legal actions against the marital property. If not, then legal action can be null and void and the husband or wife may be sued a tort. This happened in the case of Decision No. 96 / K / Pdt / 2016 in which, the wife has been selling property that is owned jointly with her husband who had died (Heir). In such cases the wife had to sell an object of common property such as land without the consent of other heirs. In this case the wife is entitled due to the marital property, but in this case there has been no decision of the District Court related to the division of marital property .. However, even though the wife was still entitled to the marital property of the object, the object is a legacy bequeathed to his heir. So the act of selling the land without the consent of other heirs can be categorized as an act against the law and selling can be null and void. Writing method used is normative with explanatory typology.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
T45906
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erik Eka Putra
"ABSTRAK
Nama : Erik Eka PutraProgram Studi : Magister KenotariatanJudul : Implikasi Hukum Wanprestasi Pihak Terhadap Akta Notaris Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2294 K/Pdt/2015 Untuk mengurangi risiko wanprestasi, para pihak biasanya menuangkan perjanjian dalam suatu akta Notaris. Hal ini dikarenakan akta Notaris merupakan akta autentik yang memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna. Permasalahan dalam tesis ini adalah membahas peran Notaris sebagai pejabat umum dalam penyusunan akta perjanjian dan menganalisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 2294 K/Pdt/2015, akibat hukum wanprestasi pihak terhadap Akta yang dibuat oleh Notaris. Metode penelitian yang digunakan ialah yuridis normatif yang bersifat deskriptif analitis dengan pendekatan kualitatif . Hasil dari penelitian ini antara lain Notaris sebagai pejabat umum diberikan kewenangan oleh Undang-Undang untuk membuat akta autentik dan kewenangan lainnya, namun dalam menjalankan tugas jabatannya itu Notaris harus juga menerapkan asas kecermatan untuk menjaga keautentikan aktanya dan mencegah masalah di kemudian hari. Akibat hukum akta Notaris dalam wanprestasi Pihak adalah akta tersebut tetap mengikat para pihak namun dapat dimohonkan pembatalan di Pengadilan.Kata Kunci: Pembuktian Sempurna, Pejabat Umum, Wanprestasi, Asas Kecermatan.

ABSTRACT
ABSTRACTName Erik Eka PutraMajor Master of Notarial LawTitle Legal Implication In Relation With Breach Of Contract by a party In Notarial Deed Review Of Supreme Court Stipulation Number 2294 K Pdt 2016 To mitigate the risk of breach of contract, the parties usually put the agreement in the form of notarial deed. Because the notarial deed is an authentic deed which is categorized as conclusive evidence. This thesis analyzes the role of notary as public official in agreement drafting, also analyzes supreme court stipulation number 2294 K Pdt 2016, and the legal effect of a party rsquo s breach of contract in a notarial deed. This thesis uses juridical normative methods by literature study, also uses secondary data including primary, secondary and tertiary legal sources. The result of this study are, inter alia notary as public official is given the authority by the law to draw authentic deed and other authorities, however the notary shall apply meticulous principle to keep the authenticity of the deed and to prevent upcoming problem. The Legal impact of Notary deed with breach the contract among the parties is remind binding. However the deed might be subject to annualment to the court. Keywords conclusive evidence, public official, breach of contract, meticulous principle "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
T50849
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>