Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 174817 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhammad Anggawiyatna
"Pendahuluan: Berkurangnya kekuatan otot seiring usia sudah dianggap sebagai suatu penyakit degeneratif. Penyebab tersering adalah defisiensi vitamin D. Sebagian besar studi yang ada menunjukkan efek menguntungkan dari supplementasi vitamin D. Namun masih terdapat kontroversi. Tujuan studi ini adalah untuk meninjau secara sistematis tentang efek supplementasi vitamin D terhadap kekuatan otot, berdasarkan hasil dari studi terdahulu.Metode: Penelitian ini merupakan metaanalisis. Dilakukan penelusuran literatur melalui Pubmed, ScienceDirect, dan CENTRAL pada Desember 2017. Studi yang diambil adalah studi RCT, meneliti pengaruh pemberian suplementasi vitamin D dengan luaran klinis kekuatan otot, subjek usia di atas 65 tahun. Qualitas tiap studi dihitung dengan Jadad scale, risiko bias dihitung sesuai Cochrane guideline. Parameter HG, KE, CRT, TUG, dan SPPB diekstraksi dan dilakukan metaanalisis dengan menghitung beda rerata untuk menghitung besar efek.Hasil: 17 studi RCT diikutsertakan dalam penelitian. Qualitas tiap studi berkisar antara sedang-baik. Rentang usia 68,8-86,6 tahun. Lama follow up 3-12 bulan. Dosis vitamin D yang diberikan bervariasi 400-2000 IU/hari, atau 150.000 IU/3 bulan. Didapatkan hasil beda rerata 6.96 1.33, 12.60 untuk parameter KE p 0.02 , beda rerata -5.03 -25.04, 14.98 untuk parameter CRT p 0.62 , beda rerata -2.72 -6.90, 1.45 untuk parameter TUG 0.20 , beda rerata 0.11 -7.94, 8.17 untuk parameter SPPB p 0.98 , dan beda rerata 3.24 0.81, 5.66 untuk parameter HG p 0.009 .Pembahasan: Pemberian suplementasi vitamin D dapat meningkatkan kekuatan otot yang diukur dengan parameter KE dan parameter HG. Namun tidak ditemukan perbedaan bermakna pada penghitungan parameter CRT, TUG, dan SPPB.

Introduction Decreased muscle strength with age is considered a degenerative disease. The most common causes is vitamin D deficiency. Most studies have shown beneficial effects of vitamin D supplementation. However, there are still controversies. This study was aimed to systematically review the effects of vitamin D on muscle strength, based on results from previous studies.Methods This is a metaanalysis study. Literature searches performed through Pubmed, ScienceDirect and CENTRAL in December 2017. Included in the studies were RCTs, which measured the effect of vitamin D supplementation with clinical outcomes of muscle strength, in subjects over 65 years of age. The quality of each study was calculated with Jadad scale, the risk of bias calculated according to Cochrane guideline. Parameters HG, KE, CRT, TUG, and SPPB were extracted and calculating the mean difference to analyse the effect.Result Seventeen RCTs were included. The quality ranged from moderate good. Age range 68.8 86.6 years. Length of follow up 3 12 months. The vitamin D dose varies from 400 2000 IU day, or 150,000 IU 3months. The mean difference was 6.96 1.33, 12.60 for KE p 0.02 5.03 25.04, 14.98 for CRT p 0.62 2.72 6.90, 1.45 for the TUG 0.20 0.11 7.94, 8.17 for the SPPB p 0.98 and 3.24 0.81, 5.66 for HG p 0.009 .Discussion Vitamin D supplementation can increase muscle strength measured by measuring KE and HG. However, there were no significant difference was found in CRT, TUG, and SPPB. "
2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dyah Saptarini
"

Akne vulgaris (AV) adalah penyakit inflamasi yang kronis pada bagian pilosebasea.  Pada umumnya akne terjadi pada masa pubertas, dewasa muda, dan banyak terjadi pada remaja. AV mempengaruhi 85% dewasa muda usia 12-25 tahun dan secara konsisten menduduki “the top three most prevalence skin condition“ dalam populasi umum Salah satu faktor yang mempengaruhi timbulnya akne vulgaris dan yang masih menjadi perebatan adalah faktor nutrisi. Dengan menggunakan cut-off <20 ng/mL, prevalensi defisiensi vitamin D bervariasi antara 6-70% di Asia Tenggara, hasil penelitian di Malaysia lebih dari setengah (58%) jumlah remaja memiliki 25(OH)D <50 nmol/L. Penelitian ini merupakan studi potong lintang yang membandingkan nilai rerata kadar vitamin D serum antara dua kelompok derajat akne pada remaja siswa sekolah menengah atas usia 15-18 tahun di kota Depok. Jumlah subjek total 60 orang terbagi dalam 2 kelompok, 30 orang kelompok akne vulgaris ringan (AVR) dan 30 orang akne vulgaris sedang-berat (AVS). Rerata kadar vitamin D serum subjek adalah 17,29±6,77 ng/ml. Sebanyak 21 subjek (35%) berada pada kondisi sufisiensi vitamin D dan 39 subjek (65%) berada dalam kondisi insufisiensi-defisiensi (terdiri dari 43,3% insufisiensi, 21,7% defisiensi). Kadar rerata vitamin D serum pada kelompok AVR 15,45±6,7 ng/ml dan pada AVS 19,13±6,8 ng/ml dengan p=0,034.

Kesimpulan : hasil penelitian ini menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara kadar vitamin D serum dengan akne vulgaris. vitamin D serum.

 


Acne vulgaris is a chronic inflammatory disease as a part of pilosebaceus. In general acne occurs during puberty, but it can also occur in young adults, and many occur in adolescents. Acne vulgaris affects 85% of young adults aged 12-25 years and consistently occupies "the top three most prevalence skin conditions" in the general population. One of the factors that influence acne vulgaris and which is still a debate pro and contra are nutritional factors. This study aims to find a relationship between vitamin D serum level and the degree of acne in adolescents. Previous researches that linked vitamin D levels with acne was not conclusive, especially in adolescents. This is a cross-sectional study that compares the mean values of serum vitamin D levels between two groups of acne levels in adolescents of high school students aged 15-18 years in the city of Depok. The total number of subjects was 60 people divided into 2 groups, 30 people in the group of mild acne vulgaris and 30 people with moderate-severe acne vulgaris. The mean of vitamin D level of the subject serum was 17.29 ± 6.77 ng / ml. The mean of vitamin D serum level in the mild group was 15.45 ± 6.7 ng / ml and moderate group was 19.13 ± 6.8 ng / ml with p = 0.034. A significant association was found between serum vitamin D levels and the degrees of acne vulgaris.

Conclusion: there is a significant relationship between serum vitamin D levels and degree of acne vulgaris. The mean of vitamin D level are lower in mild acne group than in moderate group

"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ade Gautama
"Latar belakang: Masyarakat kawasan urban kampung di Indonesia memiliki risiko lingkungan berupa gorong-gorong yang gelap dan ventilasi yang tidak adekuat. Hal ini menjadi risiko kadar vitamin D yang tidak optimal (serum 25OHD <20 ng/mL dan >100 ng/mL). Kadar vitamin D yang tidak optimal juga bisa menjadi risiko penurunan fungsi ginjal. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk mengetahui korelasi antara kadar vitamin D dan penanda fungsi ginjal pada masyarakat kawasan urban kampung Jakarta dan Tangerang.
Metode: Studi potong lintang pada subjek dewasa kawasan urban kampung Jakarta dan Tangerang di tahun 2019-2020. Kemudian dilakukan penyesuaian dengan kriteria inklusi dan eksklusi. Lalu, dilakukan pengambilan darah untuk pengukuran kadar vitamin D juga nilai penanda fungsi ginjal.
Hasil: Pada 161 subjek dewasa di urban kampung Jakarta dan Tangerang diperoleh nilai median kadar vitamin D 24,46 ng/mL (10,04 – 52,55 ng/mL), kadar kreatinin serum 0,7 mg/dL (0,5 – 6,7 mg/dL), kadar ureum 20,6 mg/dL (11,9 – 50,5 mg/dL), dan nilai eGFR (CKD-EPI) 97,854 ml/min/1,73m2 (5,52 – 121,92 ml/min/1,73 m2). Hasil analisis menggunakan uji Spearman menunjukkan tidak terdapat korelasi antara kadar vitamin dengan kadar ureum, kreatinin, dan nilai eGFR.
Kesimpulan: Tidak terdapat korelasi antara kadar vitamin D dan penanda fungsi ginjal baik dengan eGFR, kadar kreatinin serum, maupun kadar ureum pada masyarakat yang tinggal di kawasan urban kampung Jakarta dan Tangerang.

Background: Individuals who live in urban kampung have the environmental risk factors of dark alleyways and inadequate ventilations. These increase the risk of subjects in developing vitamin D deficiency and later may decrease the kidney function. Therefore, this study is performed to identify the correlation between vitamin D serum levels and kidney function markers in adults of urban kampung area around Jakarta and Tangerang.
Methods: Cross-sectional study performed in adults of urban kampung areas around Jakarta and Tangerang in 2019-2020. We recruited participants using predetermined inclusion and exclusion criteria. Afterward, blood sample were drawn to quantify vitamin D serum level and kidney function markers of the subjects.
Results: From 161 adult subjects in urban kampung around Jakarta and Tangerang, the vitamin D serum level median is 24,46 (10,04 – 52,55) ng/mL, the serum creatinine median is 0,7 (0,5 – 6,7) mg/dL, the urea serum level median is 20,6 (11,9 – 50,5) mg/dL, and the median of eGFR score (CKD-EPI), is 97,854 (5,52 – 121,92) ml/min/1,73 m2. Analysis using Spearman shows that there is no correlation between vitamin D serum level with urea serum level, serum creatinine, and eGFR score.
Conclusion: There are no correlation between vitamin D serum level and kidney function markers in individuals who live in urban kampung area around Jakarta and Tangerang.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Winda Kusumadewi
"Latar Belakang. Defisiensi vitamin-D dapat terjadi pada sklerosis multipel MS dan neuromielitis optik (NMO), dan dapat berpengaruh terhadap proses imunologi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kadar serum vitamin-D-25 (OH) pada orang dengan penyakit demielinisasi sistem saraf pusat dibandingkan dengan kontrol sehat.
Metode. Penelitian potong lintang ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo Jakarta pada November 2016 sampai Mei 2017. Pada sampel dikumpulkan data kebiasaan makan, suplementasi vitamin-D, paparan sinar matahari, terapi medikamentosa, jumlah relaps per tahun, dan expanded disability status scale (EDSS). Kadar serum vitamin-D-25(OH) diukur menggunakan metode direct competitive chemiluminescence immunoassay (CLIA).
Hasil. Tiga puluh dua pasien (18 MS dan 14 NMO) dan 33 kontrol diikutsertakan dalam penelitian ini. Jumlah laki-laki pada kelompok studi dan kontol adalah 12,5% dan 15,2%. Insufisiensi dan defisiensi vitamin-D-25(OH) (<30ng/mL) didapatkan pada 90,6% pasien di kelompok studi. Tidak didapatkan perbedaan kadar vitamin-D-25(OH) yang bermakna antara kelompok studi dan kontrol dengan median rentang adalah 17(5.2-71.6)ng/ml dan 15.7(5.5-34.4)ng/ml. Hasil tersebut tidak diduga, karena 50 pasien mendapatkan suplementasi vitamin D lebih dari 400IU. Terapi kortikosteroid juga ditemukan berpengaruh terhadap kadar vitamin-D-25(OH). Kadar vitamin-D-25(OH) tidak berhubungan dengan EDSS.
Kesimpulan. Insufisiensi dan defisiensi vitamin-D didapatkan pada orang dengan MS dan NMO di Jakarta, namun kadarnya tidak berhubungan dengan EDSS. Tenaga kesehatan juga perlu mewaspadai rendahnya kadar vitamin-D pada pasien yang menggunakan kortikosteroid. Kontrol normal juga memiliki kadar vitamin-D yang rendah walaupun tinggal di negara dengan paparan sinar matahari yang cukup. Temuan ini menunjukkan risiko kekurangan vitamin-D pada masyarakat yang tinggal di Jakarta.

Introduction. Vitamin-D-25(OH) deficiency is common in Multiple Sclerosis (MS) and Neuromyelitis Optic (NMO) patients and can affect the immunological process. We performed study to evaluate serum vitamin-D-25(OH) levels in MS and NMO patients compared to healthy control.
Methods. This is a cross sectional study done in Cipto Mangunkusumo Hospital Jakarta from November 2016 May 2017. We reviewed dietary recall, vitamin-D supplementation, sun exposure, medication, annual relapse rate and expanded disability status scale (EDSS). Vitamin-D-25(OH) level was measured using direct competitive chemiluminescence immunoassay (CLIA).
Results. Thirty two patients (18 MS and 14 NMO) and 33 controls were enrolled. Male patients and controls were 12,5% and 15,2%, respectively. Vitamin-D insufficiency and deficiency (<30ng mL) among patients reached 90,6% and not associated with EDSS. It was not significantly different between patients and control, with median (range) 17(5.2-71.6)ng/ml and 15.7(5.5-34.4)ng/ml respectively. The result was unexpected because 50 patients received vitamin-D supplementation. Corticosteroid used also influenced the vitamin-D levels.
Conclusion. Vitamin-D insufficiency and deficiency was common in MS and NMO patients in Jakarta but not associated with EDSS. Practitioners need to be alert to vitamin-D low level particularly in patients using corticosteroid. Healthy control also had low vitamin-D concentrations though they lived in a sufficient sun exposure country. This finding suggests a risk of vitamin-D deficiency among community living in Jakarta.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Naura Assyifa
"

Vitamin D dapat mempengaruhi pertumbuhan tulang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi kadar vitamin D dengan panjang badan bayi di Jakarta Pusat. Studi cross-sectional dilakukan terhadap 75 subjek yang memenuhi kriteria penelitian. Kadar vitamin D dalam serum diukur dengan metode CLIA (Chemiluminescence Immunoassay), dan panjang badan bayi diukur dengan teknik terstandarisasi dengan ketelitian 1mm oleh tenaga terlatih. Data dianalisis dengan uji Kolmogorov-Smirnov dan uji korelasi Pearson (korelasi bermakna jika p<0,05). Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas subjek penelitian (80%) tidak memiliki asupan vitamin D yang cukup. Nilai tengah kadar vitamin D bayi berusia 8-10 bulan di Jakarta Pusat sebesar 26,4 ng/dL, sedangkan nilai tengah panjang badan bayi 70,63 cm. Hasil penelitian menunjukkan tidak terdapat korelasi bermakna antara kadar vitamin D dengan panjang badan bayi 8-10 bulan di Jakarta Pusat (p=0,563).

 


 

Vitamin D can influence bone growth. This study aims to determine the correlation between vitamin D levels and body length on 8 to 10 months old infants in Central Jakarta. Cross-sectional study was conducted on 75 infants which met the criteria. Serum vitamin D levels were measured with CLIA (Chemiluminescence Immunoassasy), while body length was measures by antropometric standardized technique by trained personnel. The data was analyzed with Kolmogorov-Smirnov test and Pearson test (significant correlation if p<0,05). The result shows that the majority of subjects (80%) do not have adequate vitamin D intake. The median value of vitamin D levels on 8 to 10 months old infants in Central Jakarta is 26.4 ng/dL, while the median value of body length is 70.63 cm. The result shows that there are no significant correlation between vitamin D levels and body length on 8 to 10 months old infants in Central Jakarta (p=0,563).

 

"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yusi Deviana Nawawi
"Usia lanjut berisiko tinggi mengalami defisiensi vitamin D, sedangkan vitamin D memiliki efek protektif terhadap massa otot. Penurunan massa otot dan fungsinya disebut dengan sarkopenia. Prevalensi sarkopenia sangat tinggi pada usia lanjut yang tinggal di panti wreda, kondisi ini disebabkan gaya hidup sedentari pada penghuni panti wreda. Deteksi dini sarkopenia dapat dilakukan dengan mengukur fungsi otot, salah satunya adalah mengukur performa fisik dengan tes short physical performance battery (SPPB). Penelitian potong lintang ini bertujuan untuk melihat korelasi antara kadar vitamin D serum dengan performa fisik pada usia lanjut di lima panti wreda yang terdaftar di Kota Tangerang Selatan. Pengambilan subjek dilakukan dengan cara proportional random sampling, didapatkan 100 usila yang memenuhi kriteria penelitian. Pemeriksaan kadar vitamin D menggunakan kadar kalsidiol serum dengan metode chemiluminescence immunoassay (CLIA). Pemeriksaan massa otot menggunakan bioelectric impedance analysis Tanita SC-330. Analisis korelasi menggunakan uji nonparametrik. Didapatkan nilai tengah usia subjek adalah 74,89 tahun dan 72% subjek adalah perempuan. Terdapat  85% subjek memiliki asupan vitamin D yang kurang dan  94% subjek memiliki skor pajanan sinar matahari yang rendah, serta seluruh subjek masih memiliki massa otot yang normal. Nilai tengah kadar vitamin D serum  adalah 15,50(4-32) ng/mL, dengan 72% subjek mengalami defisiensi vitamin D. Nilai tengah performa fisik adalah 9(3-12) dan sebanyak 47% subjek mengalami performa fisik yang buruk. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat korelasi antara kadar vitamin D serum dengan performa fisik pada usia lanjut di panti wreda (r=0,130; p=0,196).

Elderly individuals have a risk of vitamin D deficiency, whereas vitamin D has a protective effect on muscle mass. Decrease in muscle mass and function is called sarcopenia. The prevalence of sarcopenia is very high in the elderly who live in nursing homes, this condition is due to the sedentary lifestyle. Early detection of sarcopenia can be done by measuring physical performance with short physical performance battery (SPPB) test. This cross-sectional study aimed to explore the correlation between vitamin D serum levels with physical performance among elderly individuals in five nursing homes registered in South Tangerang. A hundred subjects who fulfilled study criteria gathered using proportional random sampling method. Examination of vitamin D levels using calcidiol serum with the chemiluminescence immunoassay (CLIA) method. Muscle mass was measured using bioelectric impedance analysis Tanita type SC-330. Nonparametric correlation was used for correlation analysis. Median age of subjects was 74.89 years old and 72% were female. Eighty-five percent of subjects had low vitamin D intake, 94% of subjects had low sun exposure score, and all subjects had normal muscle mass. Mean level of vitamin D serum was 15.50 (4-32) ng/mL, with 72% of subjects had vitamin D deficiency. Mean score of physical performance was 9(3-12) and 47% of subjects had low physical performance. This study showed that there was no correlation found between vitamin D serum levels with physical performance among elderly individuals in nursing homes (r=0.130; p=0.196)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58914
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Utami Ningsih
"Kadar vitamin D dapat menurun pada penggunaan OAE lebih dari 6 bulan karena mengaktivasi pregnane x receptor (PXR) yang selanjutnya akan meningkatkan regulasi 24-hydroxylase. Hal ini dapat memicu perubahan vitamin D menjadi metabolit inaktif. Karbamazepin (CBZ), fenitoin (PHT), fenobarbital (PHB) dan asam valproat (VPA) merupakan jenis OAE generasi pertama yang banyak digunakan di RSCM. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui gambaran kadar vitamin D dan faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan OAE generasi tunggal
Metode. Desain penelitian berupa studi potong lintang dengan pengambilan sampel secara konsekutif. Subyek penelitian adalah orang dengan epilepsi yang mengkonsumsi CBZ, PHT, PHB dan VPA minimal 6 bulan dan memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Pada subyek dilakukan wawancara, pengisian kuesioner, pemeriksaan fisik, recall makanan dan pengambilan darah vena untuk pemeriksaan kadar vitamin D.
Hasil. Dari 59 subyek diperoleh subyek lelaki : perempuan (1,4:1). Sebagian besar subyek menggunakan karbamazepin (45,8%) dengan durasi penggunaan OAE berkisar 6 bulan – 35 tahun. Lebih banyak subyek yang mendapatkan paparan sinar matahari yang cukup lebih banyak dibandingkan yang kurang. Prevalensi kadar vitamin D rendah, yaitu, 30,5%. Median vitamin D yaitu, 36,9 ng/ml.
Kesimpulan. Kadar vitamin D pada penggunaan OAE generasi pertama tunggal lebih dari 6 bulan adalah normal. Kadar vitamin D tidak dipengaruhi oleh jenis OAE, durasi penggunaan OAE dan asupan vitamin D. Namun kadar vitamin D pada orang dengan epilpesi dipengaruhi oleh jumlah paparan sinar matahari.

Level of vitamin D can be decreased by first generation anti epileptic anti epileptic drugs (AEDs) due to pregnane x receptor (PXR) activated and increase of 24-hydroxylase regulation. Carbamazepine (CBZ), phenytoin (PHT), phenobarbital (PHB) or valproic acid (VPA) are first generation AEDs that are common used at Cipto Mangunkusumo Hospital. Therefore, the aim of this study is knowing vitamin D level in patients that have been treated by those AEDs more than 6 months.
Method. This was a cross-sectional study with consecutive sampling. Subjects were people with epilepsy taking CBZ, PHT, PHB, or VPA for at least 6 months and fulfilled both inclusion and exclusion criteria. All subjects were interviewed, food recalled and underwent physical examination and measurements of vitamin D level.
Result. Among 59 subjects, male:female ratio is 1.4:1. Most subjects using carbamazepine (45.8%) with duration of OAE therapy is 6 months - 35 years. Prevalence of hipovitaminosis D is 30.5%. Median of vitamin D is 36.1 ng / ml.
Conclusion. Vitamin D level is normal among people with epilepsy (PWE) and not influenced by AEDs type, duration of medication and food intake. However, vitamin D level is influenced by sun exposure in PWE.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Isa Rosalia Ruslim
"Hipovitaminosis D selama masa kehamilan dapat menimbulkan komplikasi selama kehamilan dan pada janin. Selain itu data mengenai status vitamin D pada ibu hamil terutama trimester 1 di Indonesia masih terbatas. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kadar kalsidiol serum pada ibu hamil trimester 1 dan korelasinya dengan asupan vitamin D dan skor paparan sinar matahari.
Penelitian ini menggunakan metode studi potong lintang pada ibu hamil sehat usia 20-35 tahun dengan usia kehamilan <12 minggu. Hasil penelitian menunjukkan rerata usia subyek 27,36+3,91 tahun dengan median usia kehamilan 9 minggu. Sebagian besar subyek berpendidikan tinggi (68,1%), status bekerja (70,2%) dengan pendapatan >UMP (59,6%) dan rerata IMT 23,74+3,83 kg/m2. Asupan lemak, protein, dan kalsium subyek
Median skor paparan sinar matahari adalah 14 (0-42) dengan median lama paparan 17,41 (0-85,71) menit. Terdapat perbedaan bermakna antara kadar kalsidiol serum dengan kelompok lama paparan sinar matahari 5-30 menit dan >30 menit (p=0,033). Rerata kadar kalsidiol serum 39,26+10,25 nmol/mL (insufisiensi) dengan 100% subyek memiliki kadar kalsidiol serum < 80 nmol/L yang menggambarkan keadaan hipovitaminosis D.
Tidak terdapat korelasi antara kadar kalsidiol serum dengan skor paparan sinar matahari (r=0,087; p=0,562), dan asupan vitamin D (r=-0,049; p=0,745). Kesimpulan yang didapatkan dari penelitian adalah seluruh ibu hamil trimester 1 di Jakarta mengalami hipovitaminosis D sehingga perlu segera diatasi melalui konseling dan edukasi gizi.

Vitamin D deficiency could be related to several complications to pregnancy`s outcomes, both for mother and fetus. Besides, there is limited data regarding to vitamin D status among pregnant women in Indonesia especially during the first trimester. Therefore this study was performed to determine serum calcidiol on the first trimester of pregnancy and its correlation to vitamin D intake and sun exposure score.
The methode in this study was cross-sectional study among healthy pregnant women aged 20-35 years old on their first trimester of pregnancy. Average age of the subjects was 27.36±3.91 years old with median gestational age of 9 weeks. Most of the subjects was well educated (68.1%), working (70.2%) with monthly income equal and more than the province minimum salary (59.6%), and with BMI average of 23.74±3.83 kg/m2. Mostly the subjects had fat, protein, and calcium intake below its RDA with the average intake of 44.49±22.22 g/day; 45.07±19.35 g/day; 661.93±405.91 mg/day, respectively. Vitamin D intake was mostly below its RDA with a median of 2.9 mcg/day and ranged from 0.3 to 15.6 mcg/day.
The median score of sun exposure score was 14 that ranged from zerro to 42, with a median for its duration of 17.41 minutes that ranged from zerro to 85.71 minutes. In this study, there was significant differences between serum calcidiol and sun exposure duration in 5-30 minutes and more than 30 minutes groups (p=0,033). As the main finding, it reveals that the average of serum calcidiol was 39.26±10.25 nmoL/mL or classified as insufficient where all of the subjects (100%) had serum calcidiol less than 80 nmol/L (hypovitaminosis D).
However, there were no significant correlations between serum calcidiol with sun exposure score and vitamin D intake (r=0.087 and p=0.562; r=-0,049 and p=0.745, respectively). In conclusion, all of the pregnant women in Jakarta, especially in their first trimester had low vitamin D status. Therefore, intervention is needed, i.e. through prenatal counselling and nutrition education regarding to natural sources of vitamin D.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rina Pratiwi
"Latar Belakang: Insufisiensi vitamin D mengenai hampir 50% populasi seluruh dunia. Dua penyebab paling utama defisiensi adalah kurangnya paparan sinar matahari dan asupan nutrisi vitamin D tidak adekuat. Mulai usia 6 bulan, ASI tidak dapat memenuhi seluruh kebutuhan makronutrien dan mikronutrien bayi termasuk juga vitamin D. Penelitian yang mendukung angka kejadian defisiensi dan insufisiensi vitamin D serta mengetahui paparan sinar matahari yang adekuat untuk mencukupi kebutuhan vitamin D harian belum banyak dilakukan di Indonesia, terutama usia 7-12 bulan.
Tujuan: Membuktikan pengaruh paparan sinar matahari terhadap kadar vitamin D bayi usia 7-12 bulan.
Metode: Uji acak terkontrol dilakukan terhadap 109 subjek berusia 7-12 bulan di Puskesmas wilayah Semarang pada bulan Februari sampai Mei 2019. Dibagi menjadi kelompok intervensi (54 subjek) dan kontrol (55 subjek) dengan kriteria inklusi: tidak memiliki kelainan kongenital maupun penyakit kronik dan orangtua bersedia mengikuti penelitian. Kriteria eksklusi: memiliki status gizi kurang dan gizi buruk, warna kulit selain kuning langsat dan sawo matang, defisiensi vitamin D berat dengan gejala klinis dan mendapat suplementasi vitamin D. Intervensi: paparan sinar matahari selama 5 menit pada pukul 10.00-14.00 tiga kali seminggu selama 2 bulan. Dilakukan pemeriksaan kadar vitamin D awal dan akhir serta food recall.
Hasil: Didapatkan hasil angka defisiensi vitamin D sebesar 8,9%. Tidak terdapat perbedaan bermakna untuk kadar vitamin D awal pada kedua kelompok dengan rerata kadar vitamin D 39,1±14,9 ng/ml pada kelompok intervensi dan 38,6±15,4 ng/ml pada kontrol. Setelah 2 bulan, terdapat perbedaan bermakna dengan p=0,005 pada kadar vitamin D kedua kelompok dengan rerata kelompok intervensi 47,9±21,9 ng/ml dan 36,6±13,7 ng/ml pada kontrol. Tidak terdapat perbedaan bermakna untuk asupan vitamin D pada kedua kelompok.
Kesimpulan: Paparan sinar matahari pukul 10.00-14.00 selama 5 menit pada 50% luas permukaan badan berpengaruh terhadap peningkatan kadar vitamin D bayi berusia 7-12 bulan.

Background: Vitamin D insufficiency found in almost 50% of world population. Two main causes of deficiency were less sun exposure and inadequate vitamin D intake. Since 6 months, breastmilk couldnt fulfilled infant s nutrient need including vitamin D. Study supported vitamin D deficiency and insufficiency prevalence and also information about adequate sun exposure needed to maintain daily vitamin D had not been done much in Indonesia, especially aged 7-12 months.
Objective: To prove effect of sun exposure on vitamin D levels of infants aged 7-12 months
Method: Randomised controlled trial was done to 109 subjects aged 7-12 months in Primary Health care around Semarang city on February until May 2019. Divided to intervention group (54 subjects) and control (55 subjects) with inclusion criteria: no congenital or chronic disease, parents agreed to join the study. Exclusion criteria: moderate or severe malnutrition, skin tone other than yellow or brown, severe vitamin D deficiency with clinical manifestation and received vitamin D supplementation. Intervention : sun exposure for 5 minutes from 10.00-14.00 three times a week for 2 months. Vitamin D level measurement and food recall were done before and after.
Results: It is shown that prevalence of deficiency was 8.9%. No significant difference on pre vitamin D levels for intervention group (mean 39.1±14.9 ng/ml) and control (mean 38.6±15.4 ng/ml). After 2 months, there was significant difference between intervention group (mean 47.9±21.9 ng/ml) and control (mean 36.6±13.7 ng/ml) with p=0.005. There was no significant difference for vitamin D intake between two groups.
Conclusion: Sun exposure of 50% body surface area at 10.00-14.00 for 5 minutes has an effect to increase vitamin D level of infants aged 7-12 months."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T59151
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Bachti Setyarini
"Kadar vitamin D darah diketahui berhubungan dengan perbaikan disregulasi imunitas dengan menekan badai sitokin, sehingga mencegah perburukan klinis pasien COVID-19. Namun, uji klinis terkait efek suplementasi vitamin D terhadap pasien COVID-19 masih belum konsisten. Tujuan penelitian ini adalah menggabungkan secara sistematis temuan terkait suplementasi vitamin D terhadap derajat keparahan dan mortalitas pasien COVID-
19. Penelusuran literatur dilakukan di pangkalan data Pubmed, Cochrane, Science Direct, ProQuest, MedXriv, WileyOnline Library, dan Scopus pada 27 September 2020. Studi yang menilai efek suplementasi vitamin D terhadap derajat keparahan dan mortalitas pasien COVID-19, tanpa adanya restriksi desain studi, diinklusi dalam penelitian ini. Penilaian kualitas studi dilakukan oleh tiga panelis. Empat studi dengan kualitas rendah hingga sedang diikutsertakan dalam penelitian. Seluruh studi melaporkan risiko mortalitas, dan tiga di antaranya yang melaporkan derajat keparahan. Dua dari tiga studi ini sepakat bahwa pasien dengan suplementasi vitamin D mengalami risiko keparahan penyakit yang signifikan lebih rendah dibandingkan dengan tanpa suplementasi. Satu studi lainnya menemukan tidak adanya perbedaan bermakna, meskipun proporsi terjadinya COVID-19 derajat berat lebih tinggi ditemukan pada kelompok tanpa suplementasi. Berkaitan dengan mortalitas, tiga dari empat studi melaporkan suplementasi vitamin D merupakan faktor protektif dari risiko mortalitas pasien COVID-19. Satu studi lainnya, dengan validitas yang rendah dan risiko bias yang tinggi, melaporkan bahwa pasien dengan suplementasi vitamin D lebih banyak mengalami kematian dibandingkan dengan pasien tanpa suplementasi. Peneliti menyimpulkan bahwa terdapat perbedaan derajat keparahan dan risiko mortalitas antara pasien COVID-19 yang mendapatkan suplementasi vitamin D dengan tanpa suplementasi vitamin D. Suplementasi vitamin D menjadi faktor protektif terjadinya keparahan kondisi dan mortalitas pasien COVID-19.

Vitamin D levels are known to be associated with improved immunity dysregulation by suppressing cytokine storms to prevent clinical worsening of COVID-19 patients. However, clinical trials regarding the effects of vitamin D supplementation on COVID-19 patients are still inconsistent. This study aimed to systematically analyze the vitamin D supplementation’s effect on the severity and mortality risk of COVID-19 patients. A literature search was conducted in Pubmed, Cochrane, Science Direct, ProQuest, MedXriv, WileyOnline Library, and Scopus on 27 September 2020. Studies assessing the effect of vitamin D supplementation on the severity and mortality of COVID-19 patients were included without any study design restrictions. Three authors carried out the study quality assessment. Four studies of low to moderate quality were included in the study. All studies reported a risk of mortality, and three of them reported the degree of severity. Two of the three studies agreed that patients with vitamin D supplementation had a significantly lower risk of disease severity than those without supplementation. One other study found no significant difference, although a higher proportion of severe COVID-19 was recorded in the group without supplementation. Three of the four studies reported vitamin D supplementation as a protective factor for mortality in COVID-19 patients. With low validity and a high risk of bias, one of the studies reported that a group of vitamin D supplements had a higher death rate than the group without supplementation. Researchers concluded that there were differences in the degree of severity and risk of mortality between COVID-19 patients given vitamin D supplementation and COVID-19 patients without vitamin D supplementation. Vitamin D supplementation was a protective factor in the severity and mortality risk of COVID-19 patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>