Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 135392 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nared Aji Utami Widita
"Sertipikat tanah seringkali menjadi persengketaan, tidak terkecuali dengan Sertipikat Hak Tanggungan. Terlebih lagi Hak Tanggungan berkaitan erat dengan hutang piutang. Salah satu permasalahan yang seringkali timbul pada saat proses roya adalah hilangnya Sertipikat Hak Tanggungan. Pada prakteknya, sebagian Kantor Pertanahan mewajibkan adanya Akta Konsen Roya sebagai pengganti Sertipikat Hak Tanggungan yang hilang. Mengenai bentuk dan penggunaan Akta Konsen Roya itu sendiri belum diatur secara jelas dan spesifik dalam peraturan perundang-undangan terkait Hak Tanggungan, sehingga perlu dikaji siapa yang berwenang untuk membuat Akta Konsen Roya dan penggunaannya dalam praktek Roya di Kantor Pertanahan. Pokok masalah dalam penelitian: 1 Standar Operasional Prosedur Roya dalam hal Sertipikat Hak Tanggungan hilang, 2 pertimbangan penggunaan Akta Konsen Roya oleh Kantor Pertanahan dalam hal hilangnya Sertipikat Hak Tanggungan dan 3 Penerapan prinsip kehati-hatian oleh Notaris dalam pembuatan Akta Konsen Roya. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan metode yuridis-normatif dan menggunakan tipologi penelitian deskriptif analitis. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa secara umum perbedaan Standar Operasional Prosedur Roya dalam hal Sertipikat Hak Tanggungan hilang adalah penggunaan Akta Konsen Roya sebagai pengganti Sertipikat Hak Tanggungan yang hilang. Dasar penggunaan Akta Konsen Roya adalah pelaksanaan PERKABAN 1/2010 sebagai wujud prinsip kehati-hatian oleh Kantor Pertanahan, namun tidak semua Kantor Pertanahan mewajibkan penggunaan Akta Konsen Roya. Notaris dalam praktek pembuatan Akta Konsen Roya harus menentukan penghadap Akta Konsen Roya dengan benar dan memeriksa kebenaran formil dokumen dasar pembuatan Akta Konsen Roya.

Land certificates are often disputes, not least with a Certificate of Mortgage. Moreover, Mortgage Rights is closely related to debts and receivables. One of the problems that often arise during the process of Roya is the loss of Certificate of Mortgages . In practice, some Land Office requires a Deed of Consent Roya in lieu of the Lost of Certificate of Mortgage. Regarding the form and use of the Deed of Consent Roya itself has not been clearly regulated and specific in the legislation concerning Mortgage Rights, so it is necessary to review who is authorized to make the Deed of Consent Roya and how it is used in the Roya practice at the Land Office. The subject matter of the research 1 Standard Operational Procedure of Roya in case of the loss of Certificate of Mortgages is to be implemented, 2 Consideration of the use of the deed of consent Roya by the Land Office in case of the loss of Certificate of Mortgages is to be calculated and 3 Precautionary principle apply by Notary in making the Deed of Consent Roya. This research is qualitative research with juridical normative method and using analytical descriptive typology. Based on the result of the research, it can be concluded that in general the difference of Standard Operational Procedure of Roya in case of the loss of Certificate of Mortgages is on the use of the deed of consent Roya as a substitute for the certificate. The use of the Deed of Consent Roya is based on the implementation of the BPN head regulation PERKABAN No. 1 2010 as a form of precautionary principle by the Land Office, but not all the Land Offices require the use of the deed of consent Roya. Notary, in making the deed of consent Roya, must assign the appearer of the deed properly and check the truth of formal document of making Deed of Consent Roya.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
T50847
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jesvit Justin
"Peran Bank semakin dibutuhkan dalam kehidupan masyarakat, salah satunya untuk memperoleh memberikan pinjaman uang. Dalam memberikan pinjaman uang atau fasilitas kredit, Bank biasanya meminta adanya jaminan. Jaminan ini berfungsi untuk memastikan kelancaran pembayaran utang debitur kepada Bank. Mengingat nilainya, Bank biasanya meminta jaminan berupa hak atas tanah atau disebut juga Hak Tanggungan. Sertipikat Hak Tanggungan merupakan tanda bukti adanya Hak Tanggungan yang diterbitkan oleh Kantor Pertanahan. Selain sebagai tanda bukti adanya Hak Tanggungan, Sertipikat Hak Tanggungan juga diperlukan pada saat pencoretan Hak Tanggungan. Pencoretan Hak Tanggungan atau disebut juga roya merupakan suatu tindakan yang dilakukan oleh Kantor Pertanahan ketika Hak Tanggungan yang bersangkutan telah hapus, dengan cara mencoret catatan Hak Tanggungan pada buku tanah dan sertipikat hak atas tanah yang bersangkutan. Permohonan roya diajukan oleh pihak yang berkepentingan kepada Kantor Pertanahan dengan melampirkan Sertipikat Hak Tanggungan yang telah diberi catatan atau dengan pernyataan tertulis oleh kreditur bahwa Hak Tanggungan yang bersangkutan telah hapus. Dengan hapusnya Hak Tanggungan, Sertipikat Hak Tanggungan yang bersangkutan ditarik dan bersama-sama dengan buku tanah Hak Tanggungan dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Kantor Pertanahan. Masalah muncul ketika Sertipikat Hak Tanggungan hilang dan karenanya tidak dapat dilampirkan untuk permohonan pencoretan Hak Tanggungan.
Tulisan ini membahas bagaimanakah perlindungan hukum bagi pemberi Hak Tanggungan yang Sertipikat Hak Tanggungannya hilang. Kemudian penulis membahas mengenai kenyataan yang ada dalam praktek ketika pemberi Hak Tanggungan hendak mengajukan permohonan pencoretan Hak Tanggungan namun Sertipikat Hak Tanggungan hilang. Menurut penulis, terdapat ketidakpastian dalam proses pencoretan Hak Tanggungan yang Sertipikat Hak Tanggungannya hilang. Peraturan mengatur bahwa untuk Sertipikat Hak Tanggungan yang hilang, hal tersebut cukup ditulis pada buku tanah Hak Tanggungan. Namun dalam praktek, Kantor Pertanahan mensyaratkan adanya akta Konsen Roya untuk pencoretan Hak Tanggungan yang Sertipikat Hak Tanggungannya hilang. Selanjutnya penulis juga membahas mengenai kewenangan Notaris dalam membuat akta Konsen Roya.

The needs for the role of Bank in society is increasing, one of which is to obtain loan. In giving loan or credit facility, Bank usually requires a security. The function of this security is to ensure the swiftness of the debtor's debt payment to the Bank. Given its value, Banks usually ask for security such as land rights or also called Land Mortgage. Land Mortgage Certificate is a proof of the Land Mortgage's existence, issued by the Land Office. In addition to being the proof of Land Mortgage's existence, Land Mortgage certificate is also required at the time of Land Mortgage's write-off. Land Mortgage's write-off or also called Roya is an action taken by the Land Office as the related Mortgage has been cleared, by writing off the Land Mortgage's note on the related land's book and right of land's certificate. Roya request is filed by the concerned party to the Land Office by attaching the Certificate of Land Mortgage that has been given notes or a written statement by the creditor that the related Land Mortgage has been cleared. With the Land Mortgage being cleared, the related Certificate of Land Mortgage is pulled and together with land's book of Land Mortgage shall be declared invalid by the Land Office. The problem arises when the Certificate of Land Mortgage is lost and therefore can not be attached to the Mortgage Write-off request.
This paper discusses about the legal protection for the giver of Land Mortgage whose Land Mortgage Certificate is lost. Then the writer discusses the fact when the giver of Land Mortgage intends to apply for a Land Mortgage write-off request, but lost the related Land Mortgage Certificate. According to the writer, there are uncertainties in the process of writing-off the Land Mortgage which Land Mortgage Certificate is lost. Regulation stipulates that for a Land Mortgage Certificate that is lost, it shall be written in the land's book of Land Mortgage. But in practice, the Land Office requires a deed of Konsen Roya in order to write-off the Land Mortgage whose Certificate of Land Mortgage is lost. Furthermore, the writer also discuss the authority of notary in making the deed of Konsen Roya.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T35205
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nabila
"Skripsi ini membahas tentang pelaksanaan Roya Partial Hak Tanggungan di Kantor Pertanahan Kota Jakarta Timur. Roya Partial diatur dalam pasal 2 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan dengan Tanah. Dimana untuk dapat diadakan Roya Partial harus diperjanjikan terlebih dahulu dalam APHT. Namun, terdapat permasalahan yakni adanya ketentuan yang bertentangan yaitu dalam Pasal 124 ayat (2) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksana Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah terdapat ketentuan yang menyatakan bahwa Roya Partial tidak perlu diperjanjikan terlebih dahulu dalam APHT. Dalam skripsi ini akan dibahas mengenai pelaksanaan Roya Partial di Kantor Pertanahan Kota Jakarta Timur dengan adanya perbedaan dasar hukum dalam Undang-Undang Hak Tanggungan dan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksana Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.

This thesis discusses the implementation of Mortgage Partial Deletion at Land Office of East Jakarta. Partial Deletion is regulated in article 2 Law Number 4 of 1996 about Mortgage Right Over Land and Land-Related Objects. Partial deletion must be promised before in Deed of Mortgage (APHT). However, there are problem about contradictory regulations in article 124 Paragraph (2) the Agrarian State Minister Regulation/Head of National Land Agency Number 3 of 1997 on the Implementation of Government Regulation Number 24 of 1997 on Land Registration (`Agrarian State Minister Regulation No. 3/1997`), there are provisions stating that Partial deletion does not need to be promised before in deed of Mortgage (APHT). This thesis will be discussed about the implementation of partial deletion at Land Office of East Jakarta with differences in legal basis in the Law Number 4 of 1996 about Mortgage Right Over Land and Land-Related Objects and the Agrarian State Minister Regulation/Head of National Land Agency Number 3 of 1997 on the Implementation of Government Regulation Number 24 of 1997 on Land Registration.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Christina Octavia
"Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara ganti kerugian kepada yang berhak atas tanah tersebut. Prosedur yang harus ditempuh dalam pengadaan tanah adalah dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah. Pengadaan tanah selain cara tersebut adalah dengan cara jual-beli, tukar-menukar, atau cara lain yang disepakati secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Substansi ketentuan ini bersifat keperdataan yang meliputi ketentuan pasal 1320 jo. 1338 KUH Perdata, yang berarti harus memenuhi syarat-syarat sahnya kesepakatan dan persetujuan dan dilaksanakan oleh para pihak dengan itikad baik. Pengadaan tanah ini biasanya diperuntukan bagi proyek pembangunan untuk kepentingan umum. Sedangkan pengadaan tanah diperuntukan bagi proyek pembangunan untuk kepentingan umum oleh pihak swasta dikenal dengan perolehan tanah. Perolehan tanah dapat dilakukan dengan cara pencabutan, pembebasan dan pelepasan hak-hak atas tanah. Pemerintah melaksanakan pembebasan, untuk proyek pemerintah atau proyek fasilitas umum seperti kantor pemerintah, jalan raya, pelabuhan laut/udara dan sebagainya. Sedangkan tujuan pembebasan dilakukan oleh pihak swasta dipergunakan untuk pembangunan berbagai fasilitas umum yang bersifat komersil misalnya, pembangunan perumahan/real estate, pusat-pusat perbelanjaan/shoping center, pembangunan jalan bebas hambatan dan lain-lain. Proses pelepasan atau penyerahan hak atas tanah adalah kegiatan melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya dengan memberikan ganti kerugian atas dasar musyawarah. Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam praktek pelaksanaan pelepasan atau penyerahan hak atas tanah selalu menimbulkan masalah hukum. Jika terjadi sengketa biasanya antara rakyat dan pemerintah atau rakyat dan pihak swasta adalah berkisar tentang bentuk dan besarnya ganti rugi atau terjadinya manipulasi harga tanah serta proses musyawarah yang dilakukan perubahan menjadi intimidasi baik secara fisik dan psikis terhadap pemilik tanah. Ketentuan-ketentuan mengenai pelepasan hak-hak atas tanah masyarakat harus sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah atau Rencana Pembangunan Daerah serta disinkronisasikan dengan Undang-undang Lingkungan Hidup, Undang-undang Perumahan dan Pemukiman, dan lain-lain. Proses pelepasan atau peyerahan hak atas tanah memang dirasa sulit pelaksanaannya, dan akan menjadi lebih kacau lagi apabila ditangani secara sembrono dan tidak dialasi dengan etika pertanggung-jawaban yang semestinya. Maka, diharapkan dalam hal ini semua pihak menyadari, bahwa lembaga hukum penyerahan atau pelepasan hak atas tanah adalah diciptakan untuk mendukung pemerintah dalam usahanya menyelenggarakan pembangunan Negara dan bangsa.

Procurement of land is any activity to gain ground by way compensation to those entitle to the land. Procedures to be followed in the procurement of land is by way of of release or transfer of land rights. Other than land acquisition is by way of sale, exchange, or otherwise voluntary agreed by the parties concerned. The substance of this provision is covering the civil provisions of article 1320 jo. 1338 Civil Code, which means it must meet the terms of legitimacy and consent agreement and execute by the parties in good faith. This land acquisition for development projects are usually intended for public use, while the procurement of land intended for development projects in public interest by the private parties with the acquisition of land know. Land acquisition can be done by way of revocation, redemption and release of rights to land. For government projects or public facilities project such as government offices, road, sea/airport and so on. While the goal of liberation conducted by private parties are used for for the construction of public facilities of a commercial character, for example, housing construction/real estate, shopping malls/shopping centers, highway construction and others. The process of release or transfer of land rights is an activity of releasing the legal relationship between the holders of land rights to the land under his rule, by providing indemnification on the basis of deliberation. It is inevitable that in practice the implementation of the release or transfer of land rights laws are always causing trouble. If a dispute is usually between people and their government or the people and private parties are ranged about the form and amount of indemnification or manipulation of land prices and deliberative process that was change into intimidation both physical and psychic to the landowner. The provisions regarding the release of rights of public land shall be in accordance with the Spatial Plan or Local Development Plan and is synchronized with the Environmental Law, Law of Housing and Settlements, and others. The process of release or transfer of land rights are considered difficult implementation, and will become more chaotic again when handle carelessly and not covered by ethics proper accountability. Thus, it is expected in this case all parties recognize, that the legal institutions surrender or waiver of land was created to support the government in an attempt to hold the state and nation building."
Depok: Universitas Indonesia, 2012
T29441
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Hanna Yustianna Yusuf
"ABSTRAK
Adanya pengecualian kewajiban Notaris dalam membacakan akta
sebagaimana diatur dalam pasal 16 ayat (7) Undang-Undang Jabatan Notaris
melatar belakangi penelitian ini, karena pengaturan kewajiban pembacaan akta
oleh Notaris dalam Undang-Undang Jabatan Notaris malah menyebabkan
timbulnya persepsi seakan-akan membacakan akta sudah menjadi tidak wajib lagi
sifatnya, yaitu dalam praktek berubah dari wajib menjadi fakultatif karena adanya
aturan tersebut. Permasalahan yang diangkat ialah bagaimana pelaksanaan pasal
16 ayat (7) Undang-Undang Jabatan Notaris, kewajiban Notaris dalam
membacakan akta, dan apakah tanggung jawab Notaris terhadap akta yang
dibuatnya apabila akta tersebut tidak dibacakan. Tujuan penelitian ini adalah
untuk mengkaji peraturan perundang-undangan yang berkaitan dalam bidang
Kenotariatan yang sama-sama mengatur tentang kewajiban pembacaan akta yang
berkaitan erat dengan otentisitas akta yang dibuat. Dalam penulisan tesis ini,
digunakan metode penelitian yuridis normatif yang bertujuan untuk menelaah
asas-asas hukum dalam peraturan perundang-undangan yang bersifat preskriptif.
Selain itu, pendekatan penelitian menggunakan penelitian kepustakaan,
dikarenakan pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan yang lebih
banyak dilakukan pada data sekunder yang terdapat di perpustakaan. Analisa
dilakukan terhadap suatu contoh kasus yang berhubungan dengan suatu akta yang
tidak dibacakan, untuk menemukan dimana letak pelanggaran yang dilakukan
oleh Notaris dan selanjutnya dikaji sesuai Undang-Undang terkait yang menjadi
dasar hukumnya. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan jika kelalaian
Notaris dalam hal tidak membacakan akta akan berakibat hilangnya
keotentisitasan akta. Akta yang tidak memiliki otentisitas hanya akan menjadi
akta bawah tangan yang tentu saja akan merugikan para pihak yang terikat di
dalamnya. Oleh sebab itu, fungsi Notaris yang sangat penting dalam kaitannya
pada kekuatan hukum akta, mengharuskan adanya pengawasan lebih dari Dewan
Kehormatan ataupun para pihak terkait untuk menghindari adanya cacat atau
dibatalkannya akta di kemudian hari.

Abstract
Notary in the presence of duty exemption deed reads as stipulated in
article 16 paragraph (7) Notary Law background of this research, for setting
liability in the reading of the deed by the Notary Law Notary in fact led to the
perception as if reading the deed was to be no longer mandatory in nature which
in practice changed from mandatory to facultative because of the rule. The issue
raised is how the implementation of Article 16, paragraph (7) Notary Law, Notary
obligation in the deed read, and whether the responsibility of the notary deed
made when the deed was not read. The purpose of this research is to review the
legislation relating to the Notary in the field are equally set on reading the deed
obligations which are closely related to the authenticity of the deed made. It used
research method aimed at normative juridical examines of the legal principles in
the legislation that is prescriptive. Instead of use of literature research, due to Data
collected with a more literary study conducted on secondary data contained in the
library. Analysis conducted on a sample of cases related to a deed that is not read,
to discover where the location of offenses committed by a notary and then
assessed according to the Act related to the legal basis. Based on the results of
research can be summed up if negligence of in cases not reading the Notary deed
will result in the loss of authentically deed. Deed whom has not only the
authenticity of the deed will be under the hand which of course would be
detrimental to the parties concerned in it. Therefore, the notary function is very
important in relation to the force of law act, requires more supervision of the
Honorary Board or the parties concerned to avoid any defects or cancellation of
the deed at a later date."
2012
T30771
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nadya Tahsya Rachmasari Ham
"Notaris dapat memberikan jasanya kepada bank sebagai pihak terafiliasi didasarkan pada ketentuan Pasal 1 angka (22) huruf c Undang-undang Perbankan. Salah satu jasa yang diberikan kepada perbankan adalah dalam pembuatan perjanjian kredit. Suatu perjanjian kredit mengakibatkan resiko yang besar. Resiko kerugian dapat diatasi dengan memerhatikan asas prekreditan yang sehat. Asas kepercayaan merupakan salah satu asas dalam hal menggunakan jasa Notaris. Diantaranya dengan penerbitan Covernote. Covernote yang dikeluarkan oleh Notaris sebagai jaminan bahwa Notaris akan menjamin seluruh proses pengurusan baik suratsurat maupun dokumen hukum atas jaminan debitur ke kreditur dapat terlaksana. Namun, covernote sebagai dasar permberian kredit kredit memiliki resiko yang cukup tinggi, Undang- Undang Jabatan Notaris sendiri tidak menjelaskan tentang wewenang dan tugas seorang Notaris/PPAT untuk membuat covernote. Sebagaimana yang terjadi pada PT Bank Rakyat Indonesia (Persero)Tbk.yang telah“mencairkan kreditnya sebagai dasar covernote yang diterbitkan oleh Notaris/PPAT NTA dimana terjadinya kesalahan bahwa objek jaminan hak tanggungan tidak dapat diikat secara penuh dikarenakan Pihak Notaris/PPAT tidak memenuhi kewajban sesuai covernote yang dikeluarkan oleh Notaris/PPAT tersebut. Penelitian ini berbentuk yuridis normatif. Yaitu penelitian hukum kepustakaan. Jenis data menggunakan data sekunder berbentuk wawancara dengan narasumber atau Informan mengenai Covernote. Selain itu, data didapat berdasarkan studi kepustakaan. Covernote hanyalah perikatan yang lahir dari kontrak atau perjanjian. Perjanjian tersebut termasuk kedalam perjanjian garansi sebagaimana pasal 1316 KUHPerdata. Covernote hanyalah layaknya persuratan biasa yang diterbitkan atau dikeluarkan oleh suatu instansi atau lembaga yang menerangkan suatu hal berkaitan dengan pelaksanaan fungsinya. bentuk pertanggungjawaban yang dapat dituntut akibat kelalaian Notaris/PPAT dalam penerbitan covernote adalah pertanggungjawaban perdata berdasarkan wanprestasi atau pertanggungjawaban perbuatan melawan hukum. Di dalam penerbitan covernote seorang Notaris diharapkan menetapkan standar khusus mengenai hal-hal yang harus dipenuhi. Saat pihak bank meminta Notaris untuk menerbitkan covernote, Notaris dapat memastikan kelengkapan dokumen dan meyesuaikannya dengan standar yang telah ditetapkan Notaris tersebut sehingga dalam penerbitannya dapat dipastikan tidak terjadi masalah di belakang hari.

Notaries may provide services to banks as affiliated parties based on the provisions of Article 1 number (22) letter c of the Banking Law. One of the services provided to banks is in making credit agreements. A credit agreement creates a big risk so that banks in managing credit risk can minimize potential losses by observing sound precredit principles, including the principle of trust. One of the principles of banking trust in using notary services is the issuance of Covernote. Covernote issued by the notary as a guarantee for creditors that the notary will guarantee that the entire process of processing both letters and legal documents for debtor to creditor guarantees can be carried out. However, covernote as the basis for granting credit credit has a high enough risk, Law Number 2 of 2014 concerning amendments to Law Number 30 of 2004 concerning the Position of Notary (UUJN) itself does not explain the authority and duties of a Notary / PPAT to make covernote. As happened to PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. Which has "disbursed its credit as the basis for the covernote issued by the Notary / PPAT NTA where an error occurred that the guarantee object of the mortgage could not be fully tied because the Notary Party / PPAT did not meet the appropriate obligations. covernote issued by the Notary / PPAT. This research takes the form of juridical normative. Namely, literature law research. This type of data uses secondary data in the form of interviews with informants or informants about Covernote. In addition, the data was obtained based on literature study. Covernote is simply an engagement born out of a contract or agreement. The agreement is included in the guarantee agreement as referred to in article 1316 of the Civil Code. Covernote can be said to be an ordinary administrative act carried out by a notary like an ordinary correspondent. Covernote is just like an ordinary correspondence issued or issued by an agency or institution that explains something related to the implementation of its function. As a result of the covernote, general legal provisions apply, both civil and criminal. Therefore, the form of accountability that can be prosecuted due to the negligence of the notary / PPAT in the covernote issuance is civil liability based on default or accountability for illegal acts. In the covernote publication, a notary is expected to set specific standards regarding things that must be met. When the bank asks the notary to issue a covernote, the notary can ensure the completeness of the document and adjust it to the standards set by the notary so that the issuance can be ascertained that there will be no problems later."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amanda Willy
"Tulisan ini menganalisis bagaimana akibat hukum tidak didaftarkannya Hak Tanggungan sebagaimana yang dimuat dalam Perjanjian Kredit Nomor 16 yang membebankan hak tanggungan sebagai jaminan dan kedudukan Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang dijadikan sebagai jaminan oleh debitor Nona EF dan akibat hukumnya bagi Bank ABC sebagai kreditor. Tulisan ini disusun dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif. Pemberian jaminan hak tanggungan merupakan syarat penting dari sebuah perjanjian Kredit Pemilikan Apartemen (KPA) untuk melindungi kepentingan Bank. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah sebagai instrumen hukum nasional yang mengatur mengenai Hak Tanggungan menyebut pengikatan jaminan tersebut sebagai langkah terpenting, karena pendaftaran hak tanggungan merupakan syarat mutlak lahirnya dari hak tanggungan. Namun dalam praktiknya terdapat perjanjian kredit yang tidak diikuti dengan pembuatan Surat Kuasa Memberikan Hak Tanggungan (SKMHT) dan/atau Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) yang kemudian didaftarkan ke kantor pertanahan setempat untuk dikeluarkan sertipikat hak tanggungan dan dituliskan hak tanggungannya dalam buku tanah hak tanggungan. Tidak didaftarkannya hak tanggungan, berarti hak tanggungan belum lahir dan menyebabkan kedudukan bank hanya sebagai kreditor konkuren yang tidak memegang jaminan kebendaan. Selain itu, dalam perkembangannya, praktik penggunaan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) sebagai dasar peralihan hak atas tanah yang digunakan sebagai jaminan hak tanggungan dalam perjanjian kredit sering terjadi. Hak yang timbul dari PPJB adalah hak perorangan, bukan hak kebendaan sehingga belum terjadi peralihan hak sampai dilakukan Akta Jual Beli (AJB), maka debitor belum memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan hukum seperti pemberian hak tanggungan sebagai jaminan kepada Bank untuk kreditnya dan bank tidak mempunyai hak untuk didahulukan dari kreditor lain atas penjualan jaminan.

This article examines the legal implications arising from the failure to register mortgage rights, as stipulated in Credit Agreement Number 16, where mortgage rights serves as collateral. The validity of the Sale and Purchase Agreement used as collateral by debitor, Miss EF and its legal ramifications for Bank ABC as a creditor are assessed using normative juridical research methods. The provision of mortgage rights as collateral is a crucial aspect of credit agreements to safeguard the interests of the Bank. Undang- Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, serving as the national legal framework for mortgage rights, deems the registration of collateral as the pivotal step. Registration is an absolute prerequisite for the validity of mortgage rights. However, certain credit agreements lack a subsequent creation of a Power of Attorney to Grant Mortgage Rights (SKMHT) and/or a Deed of Granting Mortgage Rights (APHT). These omissions, if not rectified through registration at the local land office to issue a Mortgage Rights certificate, mean the Mortgage Rights remains unestablished. Consequently, the bank assumes a position solely as a unsecured creditor without tangible collateral. Furthermore, in practice, the use of a Sale and Purchase Agreement (PPJB) as the foundation for transferring land rights to be utilized as collateral for mortgage rights in credit agreements is prevalent. The rights arising from the PPJB are individual, not material, until the execution of the Deed of Sale and Purchase (AJB). Consequently, debtors lack the authority to take legal actions such as granting mortgage rights as collateral to the Bank for credit, and the bank does not possess the right to prioritize over other creditors in collateral sales. This dual lapse underscores potential legal consequences for both parties involved in credit agreements."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alexander Ariyanto
"Memasuki abad 21 khususnya setelah masa resesi, Indonesia memasuki era transisi di bidang perokonomian terutama dalam aspek moneter, dimana pasar keuangan menjadi fondasi utama untuk menyehatkan kembali perekonomian nasional. Unsur utama pasar keuangan tersebut adalah pasar modal yang berfungsi sebagai media penyalur modal kepada pelaku-pelaku ekonomi yang membutuhkan dana untuk menjalankan bisnisnya baik untuk untuk mengembangkan bisinisnya, maupun menjadi eksistensinya dalam perkonomian yang semakin terbuka sejak pertumbuhan perdagangan pasar bebas. Kesempatan inilah yang dipakai oleh pelaku-pelaku ekonomi secara timbal balik, yaitu antara masyarakat dan Perusahaan Perusahaan yang melakukan Penawaran Perdana (IPO) atau sudah Terbuka (Tbk), dimana pihak yang satu mengharapkan keuntungan dengan memasukan modal dan pihak yang lain mendapatkan sumber modal segar untuk menjalankan bisnisnya, yang dapat secara berangkai menciptakan efek pasar keuangan yang bertumbuh secara positf. Untuk melakukan kerjasama antara pelaku-pelaku ekomoni tersebut secara sinergis, maka diperlukan lembaga-lembaga pendukung dan para profesi penunjang pasar modal, salah satunya adalalah Notaris. Dalam perkembangan kegiatan pasar modal yang semakin pesat, seorang Notaris pasar modal yang cukup ahli di bidangnya seringkali tidak dapat memenuhi permintaan pasar untuk membuat perjanjian-perjanjian yang diperlukan dalam kegiatan pasar modal tersebut, sehingga dalam prakteknya munculah Notaris Pengganti pasar modal. Peraturan mengenai Notaris pengganti cukup tertera jelas dalam Undang-Undang Jabatan Notaris, tetapi tidaklah demikian dengan Notaris Pengganti pasar modal, oleh sebab itu dalam menentukan peran dan kewenangan Notaris Pengganti pasar modal diperlukan pendekatan yang cukup mendalam baik secara normatif maupun praktek. Peran Notaris Pengganti pasar modal saat ini memang tidak dapat dihindari, tetapi hal itu juga harus menjadi bahan telaah secara kritis guna mewujudkan kegiatan pasar modal yang profesional dan sah secara hukum.

Entering the 21st century, especially after the recession, Indonesia entered a transitional era in the economy sector especially in the monetary aspect, where the financial markets became the main foundation to rejuvenate the national economy. One of the major financial markets is capital market transaction that have functions as a medium to distribute capital for the economic stakeholder that need of funds to run the business or developing, and keep its existence in an increasingly interconnected economy is open since the growth of free market trade. The opportunity is used by economic stakeholder are reciprocal, between the community and the Companies that perform Initial Public Offering (IPO) or is already Public (Tbk), where one party want gain profit by entering the capital and the other to get a capital to run the businesses, that hopefully can be sequential create the effect of the financial markets to grow. To make synergy between economy stakeholders, its necessary to support the institutions and the professions as the capital market, and one of the most important is Notary profession. In the development of capital market activity is rapidly increasing, a Notary Public of capital markets that expert in the field often fail to meet market demand to make the necessary agreements in capital market activities, so in practice right now appears Substitute Notary of capital markets. Regulation on Notaries replacement fairly stated clearly in the Law Notary, but not so with the role Substitute Notary in the capital markets, and therefore determining the role and authority of Substitute Notary in capital market approach is clearly needed that is quite profound, both normative and practical. The role of Substitute Notary of capital markets at this time is unavoidable, but it must also be critically examine task in order to make a capital market activities that legal and professional."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T28883
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Jeane Angkow
"ABSTRAK
Tesis ini membahas tentang Covernote yang diterbitkan oleh Notaris. Covernote adalah berupa surat keterangan yang berisi kesanggupan dari Notaris untuk menuntaskan pekerjaannya yang berkaitan dengan tugas kewenangannya dalam menerbitkan akta otentik. Dalam praktik kenotariatan, Covernote lebih dikenal dengan istilah surat keterangan, surat ini digunakan untuk menerangkan atau menyatakan bahwa suatu akta sedang dalam proses pengurusan di kantor notaris yang bersangkutan. Tidak ada pengaturan mengenai Covernote dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, padahal surat keterangan merupakan salah satu produk dari notaris sehingga dapat dikatakan produk Covernote ini bukan wewenang notaris namun tidak dilarang untuk dibuat oleh notaris. Alasan kepercayaan dan ikatan moral dari masyarakat kepada Notaris/PPAT dalam menuntaskan pekerjaan dalam membuat akta adalah alasan utama diterbitkannya Covernote. Pembuatan Covernote harus diiringi dengan sikap cermat, hati-hati dan penuh tanggung jawab dari Notaris/PPAT sendiri agar dapat memberikan kepastian hukum dalam menjalan tugas jabatannya di masyarakat. Notaris/PPAT harus bertindak jujur dalam menyelesaikan tugasnya sehingga tidak akan menimbulkan kerugian. Apabila di kemudian hari terdapat suatu akibat hukum dari diterbitkannya Covernote dan menyebabkan para pihak merasa dirugikan, maka Notaris juga dapat dikenakan tuntutan untuk memberikan ganti rugi, biaya dan bunga atas kerugian yang timbul.

ABSTRACT
This thesis discusses the Covernote that is issued by the Notary. Covernote is a certificate of assurance that the notary will be able to issue original and authentic notarized documents. In practice, Covernote is better known as a reference letter/certificate, this letter is used as an explanation/statement that a deed still undergoes the legal process. There is no regulation that explicity regulates Covernote in the Notary Act 30 of 2004, despite the fact that a Covernote is considered as one of notarial products. Therefore, it can be stated that Notary has no authority to produce Covernote, yet such letter is not prohibited to be produced by Notary. The most significant reason for the issuance of Covernote is the beliefs and moral commitment of society to the Notary/Land Deed Official, in completion of a deed. Notary/Land Deed Official should underscore the importance of a carefully drafted Covernote. It is the ultimate responsibility of the Notary/Land Deed Official to function as an interpreter of the law thus ensuring the community of their legitimacy. Notary/Land Deed Official must proceed in an ethical and honest manner throughout the duration of work so as to avoid any controversies. In the future there is a legal consequence of the issuance of the Covernote and cause the parties to feel aggrieved, the Notary also could be charged to provide compensation, cost and interest for losses incurred."
2015
T43051
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Levy Maulana Muhammad
"Proses pelepasan hak atas tanah sering memunculkan konflik yang dapat memicu terjadinya sengketa di bidang pertanahan. Kasus yang memunculkan sengketa berkaitan dengan proses pelepasan hak atas tanah ditemukan dalam Putusan Pengadilan Negeri Serang Nomor 27/Pdt.G/2019/PN.Srg. Untuk itu permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah mengenai peran dan tanggung jawab notaris atas pembuatan akta pelepasan hak atas tanah yang tidak sesuai dengan kebenaran materiil dan analisis terhadap pertimbangan hakim dalam Putusan. Penelitian ini berbentuk yuridis normatif di mana bahan-bahan hukum yang diteliti, dikumpulkan melalui studi kepustakaan, dan dianalisis secara kualitatif. Dari hasil analisis terhadap bahan-bahan hukum tersebut dapat dinyatakan bahwa notaris bisa membuat akta pelepasan hak atas tanah yang dilakukan sesuai ketentuan yang berlaku. Sementara itu tanggung jawab notaris terhadap akta pelepasan hak atas tanah yang dibuatnya hanya sebatas pada apa yang diketahui dan disaksikan berdasarkan surat- surat dan keterangan para penghadap pada saat akta dibuat. Adapun pertimbangan hakim dalam Putusan a quo yang menolak permohonan ganti rugi terkait pelepasan hak atas tanah tidak memenuhi rasa keadilan karena akta pelepasan hak atas tanah yang dijadikan sebagai dasar permohonan penerbitan sertipikat hak pengelolaan dalam kasus tersebut, semestinya batal demi hukum. 

The process of relinquishment of land rights has created a potential conflict that can trigger disputes in the land sector. The case that related to the process of relinquishment of land rights was found in the Serang District Court’s Verdict Number 27/Pdt.G/2019/PN.Srg. The issues raised in this study are regarding the roles and responsibilities of a notary for making a deed of release of land rights that are not compatible with the material truth and also about the analysis of the judge's considerations in the a quo verdict. This research’s form is a juridical-normative which is the legal materials studied are collected through library research, and analyzed qualitatively. As the results of an analysis of these legal materials, it can be stated that a notary can make a deed of relinquishment of land rights in accordance with applicable regulations. Meanwhile, the notary's responsibility for the deed of release of land rights that he made was limited to what was known and witnessed based on the letters and statements of the appearers at the time the deed was drawn up. The judge's consideration in the a quo verdict which rejected the application for compensation related to the relinquishment of land rights did not fulfill a sense of justice because the deed of relinquishment of land rights which was used as the basis of the application for the issuance of certificates of management rights in that case, should have been null and void by law. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>