Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 121328 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dinanti Abadini
"ABSTRAK
Determinants of Adults Office Workers Physical Activity inJakarta Year 2018Counsellor : Dra. Caroline Endah Wuryaningsih, M.KesThe health benefits of physical activity in adults order to maintain health and preventdisease have been extensively documented. Sedentary occupation and the long hours ofwork believed to be the factors that make office workers tends to be physically inactive.Majority worker in Jakarta were office workers. Jakarta was the province with thehighest proportion of people with insufficient physical activity, where 44.2 of thepopulation was reported not active enough. This study aim to find determinants ofphysical activity of adult office worker who work in Jakarta. The research wasconducted by quantitative method. A total of 174 Jakarta office workers participateonline by answering questionnaire through website. Result found that 59 of officeworker who work in Jakarta had insufficient physical activity. Statistical anlysisrevealed that gender, friends support and perceived barriers were the determinants ofJakarta lsquo;s office workers physical activity. Health intervention and promotion that intendto reduce physical activity perceived barriers, at once increase perceived benefits ofdoing physical activity, encourge to do physical activity with friends and giving eachother support should be done in order to increase Jakarta lsquo;s office worker physicalactivity. In addition, special attention should be given to female office workers toincrease their participation in physical activity.Key words: Physical activity, adult, employee, office worker.

ABSTRACT
Determinan Aktivitas Fisik Orang Dewasa Pekerja Kantoran di JakartaTahun 2018Pembimbing Dra. Caroline Endah Wuryaningsih, M.KesAktivitas fisik pada orang dewasa bermanfaat untuk menjaga kesehatan dan mencegahterjadinya penyakit. Pekerjaan yang cenderung sedentari dan durasi kerja yang cukuppanjang membuat pekerja kantoran berisiko kurang aktif fisik. Sebagian besar pekerja diJakarta adalah pekerja kantoran. Jakarta merupakan provinsi dengan proporsi pendudukkurang aktivitas fisik tertinggi, tercatat masih ada 44,2 penduduk yang kurangaktivitas fisik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui determinan aktivitas fisikorang dewasa pekerja kantoran yang bekerja di wilayah DKI Jakarta. Penelitiandilakukan dengan metode kuantitatif. Sebanyak 174 orang pekerja kantoran Jakartaberpartisipasi dalam penelitian dengan mengisi kuesioner berbasis website secaraonline. Hasil penelitian menunjukkan 59 pekerja kantoran yang bekerja di Jakartakurang aktif fisik. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa jenis kelamin pria,dukungan teman yang cukup dan lemahnya hambatan yang dirasakan perceivedbarriers merupakan determinan dari aktivitas fisik pekerja kantoran di Jakarta. Upayaintervensi atau program promosi yang bertujuan mengurangi persepsi negatif akanhambatan hambatan yang dirasa terkait aktivitas fisik sekaligus meningkatkan persepsipositif akan keuntungan yang diperoleh dengan melakukan aktivitas fisik, sertamendorong untuk melakukan aktivitas fisik bersama perlu dilakukan untukmeningkatkan aktivitas fisik pekerja kantoran di Jakarta. Selain itu, perhatian khususperlu diberikan pada kelompok pekerja kantoran wanita untuk meningkatkan partisipasidalam aktivitas fisik.Kata kunci Aktivitas fisik, dewasa, pekerja, pekerja kantoran"
2018
T49810
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Syifa Abdy Mulya
"Aktivitas fisik merupakan hal penting dalam kehidupan karena memiliki banyak sekali manfaat. Walaupun begitu, masih banyak pekerja yang terpajan risiko kurang aktivitas fisik. Untuk itu, perlu diketahui komponen apa saja yang mempengaruhi pelaksanaan aktivitas fisik pada pekerja Mal Pelayanan Publik Kota Cilegon. Digunakan desain kuantitatif dengan studi cross sectional ada 58 pekerja Mal Pelayanan Publik Kota Cilegon yang memenuhi kriteria. Hasilnya, 65,5% pekerja tergolong aktif, 34,5% pekerja tidak aktif dan 12% pekerja tidak melakukan aktivitas fisik sama sekali. Komponen yang mempengaruhi pelaksanaan aktivitas fisik di Mal Pelayanan Publik Kota Cilegon antara lain; tingkat pendidikan (p value = 0.005), perceived benefits (P value = 0.01), dukungan teman (p value = 0.014), indeks massa tubuh (p value = 0.018), dan dukungan keluarga (p Value = 0.05). Hal yang dapat dilakukan untuk meningkatkan pelaksanaan aktivitas fisik antara lain penyediaan fasilitas olahraga, pelaksanaan senam bersama, instruksi peregangan di sela bekerja, dan edukasi aktivitas fisik yang bisa dilakukan.d Harapannya setelah dilakukan penelitian ini, aktivitas fisik pekerja Mal Pelayanan Publik Kota Cilegon dapat ditingkatkan.

Physical activity is important because it has so many benefits. Even so, there are still many workers who are exposed to the risk of lack of physical activity. For this reason, it is necessary to know what affects the implementation of physical activity in workers. Quantitative design was used with a cross sectional study on 58 Cilegon Public Service Mall workers who met the criteria. As a result, 65.5% of workers are classified as active, 34.5% of workers are inactive and 12% of workers do not carry out any physical activity at all. Level of education (p value = 0.005), perceived benefits (P value = 0.01), friend support (p value = 0.014), body mass index (p value = 0.018), and family support (p value = 0.05) are the components that affect the implementation of physical activity in Cilegon Public Service Mall. Things that can be done to improve the implementation of physical activity include providing physical activity facilities, implementing group exercises, stretching instructions between work, and educating on physical activities. It is hoped that after conducting this research, the physical activity of Cilegon City Public Service Mall workers can be increased."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ismail Fahmi
"Aktivitas fisik merupakan secondary prevention yang dapat menurunkan angka kematian dan re-admission pada pasien STEMI. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan aktivitas fisik pasien STEMI pasca peawatan. Penelitian ini menggunakan metode cross sectional. Sebanyak 150 pasien STEMI dipilih menggunakan teknik purposive sampling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas pasien STEMI pasca perawatan memiliki aktivitas fisik ringan (85%). Faktor-faktor yang berhubungan dengan aktivitas fisik pasien STEMI pasca perawatan adalah usia (p=0,002), jenis kelamin (p=0,0001), lama hari pasca rawat (p=0,032), penyakit penyerta (p=0,015), depresi (p=0,003), self-efficacy (p=0,0001), dan dukungan sosial (p=0,0001). Hasil analisis multivariat menunjukkan faktor yang paling dominan berhubungan adalah self-efficacy dengan nilai OR 44,471 (CI:95%=8,816; 224,323). Penelitian ini dapat dikembangkan untuk membuat program rehabilitasi jantung berbasis komunitas sehingga meningkatkan aktivitas fisik pasien STEMI pasca perawatan.

Physical activity is a secondary prevention in reducing mortality and re-admission in STEMI patients. The purpose of this study was to identify factors related to physical activity of after discharge STEMI patients. This study uses a cross sectional method. A total of 150 STEMI patients were selected using a purposive sampling technique. The results showed that the majority of after discharge of STEMI patients have mild physical activity (85%). Factors related to physical activity of after discharge STEMI patients were age (p = 0.002), sex (p = 0.0001), length of day after treatment (p = 0.032), comorbidities (p = 0.015), depression ( p = 0.003), self-efficacy (p = 0.0001), and social support (p = 0,0001). Multivariate analysis showed the most dominant factor is self-efficacy with OR 44.471 (95% CI = 8.816; 224.323). This research can be developed to create a community-based cardiac rehabilitation program that increases the physical activity of after discharge STEMI patients."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2019
T54033
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irma Guspita Dewi
"Kurang aktivitas fisik menjadi salah satu faktor terjadinya penyakit kronis yang dapat menyebabkan kematian. Proporsi kurang aktivitas fisik di DKI Jakarta terutama pada pegawai perkantoran menghabiskan waktu lebih dari 8 jam di kantor dan 2-4 jam di perjalanan menuju kantor ataupun pulang ke rumah, membuat kurangnya waktu untuk melakukan aktivitas fisik. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui determinan yang berhubungan dengan perilaku aktivitas fisik pegawai di lingkungan Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan RI tahun 2019. Penelitian kuantitatif, desain cross sectional dengan jumlah sampel 125 PNS yang diambil secara systematic random sampling di 6 (enam) unit kerja di Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat. Pengumpulan data menggunakan self administered questionnaire meliputi variabel dependen yaitu perilaku aktivitas fisik dan variabel independen dari penelitian ini yaitu pengetahuan pegawai tentang aktivitas fisik, karakteristik individu (umur, jenis kelamin, status pernikahan, pendidikan, pendapatan dan riwayat penyakit), pemanfataan media sosial, fasilitas penunjang aktivitas fisik serta dukungan sosial (dukungan keluarga dan dukungan teman). Hasil penelitian menunjukkan pegawai yang mendapatkan dukungan keluarga memiliki peluang hampir 3 kali (OR 2,632; 95% CI: 1,239-5,596) untuk berperilaku aktivitas fisik aktif dibandingkan dengan pegawai yang tidak mendapatkan dukungan keluarga. Perlunya menyusun dan mengembangkan strategi komunikasi perilaku aktivitas fisik dengan pendekatan di tingkat keluarga dengan mengumpulkan dan melibatkan pegawai dan anggota keluarga dengan minat kegiatan aktivitas fisik yang sama seperti penggiat olahraga permainan (seperti: sepak bola, futsal, voli), latihan fisik (seperti: senam, yoga, lari) ataupun penggiat sepeda yang menjadikan sepeda sebagai alternatif transportasi, dan memfasilitasi sekelompok keluarga tersebut untuk mengkampanyekan ke rekan-rekan keluarga lainnya secara berkesinambungan juga dapat menjadi salah satu model intervensi aktivitas fisik.

Insufficient physical activity is one of the factor in the occurrence of chronic diseases that can cause death. The proportion of less physical activity in DKI Jakarta, especially in office employees spend more than 8 hours in the office and 2-4 hours on the way to work or go home, making a lack of time for physical activity. This research was conducted to determine the determinants relating to the behavior of physical activity of employees in the Directorate General of Public Health Ministry of Health of RI in 2019. Quantitative research, cross sectional design with a sample of 125 civil servants taken by systematic random sampling in 6 (six) units in Directorate General of Public Health. Data collection using a self-administered questionnaire included the dependent variable physical activity behavior and the independent variables of this study, employee knowledge of physical activity, individual characteristics (age, sex, marital status, education, income and disease history), utilization of social media, facilities supporting physical activity and social support (family support and friend support). The results showed that employees who received family support had an opportunity almost 3 times (OR 2,632; 95% CI: 1,239-5,596) to behave actively in physical activity compared to employees who did not get family support. Need to develop behavioral communication strategies for physical activity with approaches at the family level by collecting and involving employees and family members with an interest in physical activity activities similar to sports activists (such as soccer, futsal, volleyball), physical exercise (such as: gymnastics, yoga, running) or bicycle activists who make bicycles as an alternative transportation, and facilitate a group of families to campaign to other family colleagues on an ongoing basis can also be one model of physical activity intervention."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2019
T53623
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Inggriani Priscilia
"Kurang aktivitas fisik telah menjadi masalah kesehatan di dunia yang dapat berdampak kepada 9 kematian dini di seluruh dunia. Kurang aktivitas fisik pada penderita hipertensi dapat menyebabkan tidak terkontrolnya tekanan darah yang dapat menyebabkan penyakit komplikasi pada penderita hipertensi. Ada beberapa faktor yang menyebabkan penderita hipertensi tidak melakukan aktivitas fisik secara rutin. Tujuan umum penelitian ini adalah diketahuinya hubungan antara durasi tidur dan faktor lainnya dengan aktivitas fisik pada penderita hipertensi di Puskesmas Tegal Gundil Kota Bogor tahun 2017. Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional. Responden dalam penelitian ini sebanyak 97 responden di Puskesmas Tegal Gundil Bogor. Aktivitas fisik ditentukan berdasarkan perhitungan dari kuesioner GPAQ, durasi tidur, kualitas tidur, stres, dan indeks massa tubuh diketahui melalui kuesioner PSQI, PSS, dan dilakukan pengukuran berat badan dan tinggi badan. Hasil penelitian ini menunjukan sebesar 32 responden memiliki aktifitas fisik lsquo;tidak aktif. Pada analisis bivariat menunjukkan hubungan antara usia dengan aktiivtas fisik. Oleh karena itu Puskesmas diharapkan memberikan edukasi mengenai melakukan aktivitas fisik secara rutin untuk penderita hipertensi dan meningkatkan program senam pagi di Puskesmas.

Physical inactivity has become a health problem in the world that could impact 9 of premature deaths in worldwide. Lack of physical activity in hypertension patients can lead to uncontrolled blood pressure that can lead to complications of disease on hypertension patients. There are several factors that can cause the hypertension patients sufferers to not do physical activity on a regular basis. The general purpose of this study is to know the relationship between sleep duration and other factors woth physical activity in hypertension patients at Puskesmas Tegal Gundil Bogor City in 2017. This study used cross sectional design. There is 97 respondent of this research at Puskesmas Tegal Gundil bogor. Physical activity was determined on basis of calculations from GPAQ questionnaire, sleep duration, sleep quality, stress, and body mass index known through PSQI, PSS, and weight and height measurements. The results of this study showed that 32 of respondents have physical activity 39 not active 39. The bivariate analysis shows the relationship between age and physical activity. Therefore Puskesmas is expected to give education about doing physical activity routinely for hypertension patient and improve morning gymnastics program at Puskesmas."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Monica Dwi Jalma
"Peningkatan angka kejadian hipertensi di dunia telah menjadi ancaman kesehatan global. Latihan fisik metode HIIT dan MICT mampu menurunkan tekanan sistolik, diastolik dan tekanan rata-rata arteri. Tujuan penelitian kali ini ingin mengetahui perbedaan efek HIIT dan MICT terhadap kadar eNOS dan TGF-ß1,gambaran EKG dan ketebalan miokardium dengan menggunakan model tikus hipertensi yang diinduksi NOS Inhibitor. Hipertensi diinduksi dengan pemberian L-NAME 40 mg/kg/hari pada tikus jantan galur wistar melalui sonde pada kelompok B, C, dan D, selama lima minggu. Setiap minggu dilakukan pengukuran tekanan darah dan pengukuran berat badan. Intervensi latihan fisik HIIT dan MICT dilakukan lima hari dalam seminggu selama lima minggu. Kadar eNOS dan TGF- ß1 diuji menggunakan metode ELISA. Analisa EKG dilakukan dengan menghitung durasi interval QRSp. Analisis histologi dengan pewarnaan HE dilakukan untuk pengukuran tebal dinding jantung. Hasil penelitian menunjukkan terdapat peningkatan tekanan darah (p = 0.001) dari minggu ke minggu dan pemanjangan durasi QRSp (p = 0.000) pada kelompok yang diberikan induksi. Peningkatan tekanan darah pada kelompok yang diberikan latihan fisik lebih kecil dibandingkan kelompok tanpa latihan fisik. Ketebalan miokardium kelompok induksi lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol tanpa induksi. Pada penelitian ini, tidak ditemukan perbedaan tekanan darah, durasi QRSp, kadar eNOS, kadar TGF-ß1dan ketebalan dinding jantung, antara kelompok yang diberikan perlakuan HIIT dengan MICT. Dapat disimpulkan bahwa latihan fisik baik HIIT dan MICT dapat menekan peningkatan tekanan darah, namun tidak ditemukan perbedaan EKG, kadar eNOS dan TGF-ß1serta ketebalan miokardium, antara HIIT dan MICT pada tikus yang diinduksi dengan L-NAME.

The increasing incidence of hypertension in the world has become a global health threat. HIIT and MICT physical exercise methods can reduce systolic, diastolic, and mean arterial pressure. This study aimed to determine the differences in the effects of HIIT and MICT on eNOS and TGF-ß1 levels, ECG features, and myocardial thickness using a rat model of NOS inhibitor-induced hypertension. Hypertension was induced in Wistar male rats by administering L-NAME 40 mg/kg/day via probe for five weeks in the B, C, and D group. Every week blood pressure and body weight are measured. HIIT and MICT physical exercise interventions were carried out five days a week for five weeks. eNOS and TGF-ß1 levels were tested using the ELISA method. ECG analysis is carried out by calculating the duration of the QRSp interval. Histological analysis with HE staining was performed to measure heart wall thickness. The results showed that there was an increase in blood pressure (p=0.001) from week to week and a lengthening of QRSp duration (p=0.000) in the group given induction. The increase in blood pressure in the group given physical exercise was smaller than in the group without physical exercise. Myocardial thickness in the induction group was higher than in the control group without induction. In this study, there were no differences in blood pressure, QRSp duration, myocardial thickness, eNOS levels, or TGF-ß1 levels between the groups given HIIT and MICT treatment. It can be concluded that physical exercise, both HIIT and MICT, can reduce increases in blood pressure, but there are no differences in eNOS, and TGF-ß1 levels, ECG andmyocardial thickness, between HIIT and MICT in mice induced by L-NAME."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nabella Qisthina Laksita Dewi
"Latihan fisik aerobik yang dilakukan secara teratur dapat memberikan efek positif terhadap struktur dan fungsi otak tertentu seperti perbaikan perfusi darah peningkatan neurogenesis peningkatan fungsi kognitif dan memori Efek tersebut dapat hilang jika latihan dihentikan detrain Tujuan dilakukan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh latihan fisik aerobik dan detrain terhadap jumlah sel saraf normal di thalamus yang merupakan stasiun relay mayor impuls sensorik dan motorik antar bagian otak Penelitian dilakukan secara eksperimental pada hewan coba yakni dengan penghitungan jumlah sel saraf normal thalamus tiga kelompok tikus diberi perlakuan latihan fisik aerobik training detraining dan tidak diberi perlakuan Hasil menunjukkan bahwa terdapat peningkatan jumlah sel saraf normal thalamus pada kelompok training 73 dibandingkan dengan kelompok kontrol 59 yang akan menurun pada kelompok detraining 71 Namun uji ANOVA menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna p 0 266 p 0 05 pada ketiga kelompok tikus Disimpulkan bahwa latihan fisik aerobik dan detrain tidak berpengaruh nyata pada jumlah sel saraf normal thalamus tikus.

Regular aerobic exercise is beneficial for certain brain rsquo s structures and functions because it can improve blood perfusion increase neurogenesis improve cognition and memory When it is stopped detrain these benefits will be lost The object of this study is to determine the effect of aerobic exercipse and detrain on the number of normal neuron of thalamus which is a major relay station for sensory and motor impulses between brain areas This study was done experimentally on animal by counting the number of normal thalamus neuron in three groups of mice training detraining and control The results showed that there was an increase number of normal neuron of thalamus in group training 73 compared with group control 59 and then decreased in group detraining However ANOVA test results indicated no difference either p 0 266 p 0 05 It was concluded that aerobic exercise and detrain have no significant effect on the number of normal neuron of thalamus rsquo mice
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Melody Febriana Andardewi
"Latihan aerobik dapat meningkatkan kebugaran melalui penginduksian adaptasi fisiologis seperti peningkatan kekuatan otot kemampuan penggunaan oksigen peningkatan jumlah sel saraf serta pembuluh kapiler darah otak. Latihan fisik terkait erat dengan penggunaan otot volunter yang diatur oleh korteks motorik primer otak.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh latihan fisik aerobik dan detrain terhadap jumlah sel saraf normal korteks motorik primer tikus. Desain penelitian ini adalah eksperimental menggunakan 27 jaringan otak tikus jantan Rattus sp Strain Wistar yang dibagi menjadi tiga kelompok yaitu kelompok tanpa perlakuan kontrol kelompok perlakuan latihan fisik aerobik training dan kelompok perlakuan yang latihan fisik aerobik nya dihentikan detraining. Pengamatan dilakukan dengan cara menghitung jumlah sel saraf otak tikus bagian korteks motorik primer dengan bantuan piranti lunak Image Raster.
Hasil menunjukkan jumlah sel saraf normal pada kelompok kontrol adalah 56 kelompok training 66 dan kelompok detraining 42. Hasil uji Post Hoc Mann Whitney menunjukkan terdapat perbedaan bermakna antara kelompok kontrol dan training p 0 046 kontrol dan detraining p 0 001 serta training dan detraining p 0 001.
Hasil dari penelitian ini mendukung teori bahwa latihan aerobik dapat memicu pertumbuhan sel saraf neurogenesis korteks motorik primer sedangkan detraining menyebabkan penurunan jumlah sel saraf normal pada daerah korteks motorik primer otak tikus Kata kunci Detrain jumlah sel saraf normal latihan fisik aerobik korteks motorik primer.

Aerobic exercise could increase body fitness by raising the physiology adaptation such as increase muscle power oxygen uptake number of neurons and new capillaries in brain structure. In aerobic exercise we use voluntary muscles which are controlled by primary motor cortex in brain.
Purpose of this research was to acknowledge effect of aerobic exercise and detraining on the number of normal neurons in rat's primary motor cortex This experimental research used 27 male rats Rattus sp Wistar strain and divided into three groups control training and detraining. The method is to observe and count the number of neurons in primary motor cortex region of the rat's brain with Hematoxilin Eosin staining using image raster.
The result showed that the percentage of normal neuron from control group was 56 66 in training group and 42 in detraining group Post Hoc Mann Whitney test showed there was significant differences between control and training p 0 046 control and detraining p 0 001 and training and detraining p 0 001.
This result showed that this research support the theory of which the aerobic exercise could induce neurogenesis in primary motoric cortex region and detraining caused decrease number of neurons in rat's primary motoric cortex.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Avita Marthacagani
"Latihan fisik aerobik memiliki beberapa manfaat untuk struktur dan fungsi otak seperti meningkatkan jumlah sel saraf dan berefek positif pada pembelajaran serta memori. Namun beberapa manfaat latihan fisik tersebut pada struktur otak masih berupa dugaan dugaan. Manfaat tersebut juga akan menghilang apabila latihan dihentikan detrain.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh latihan fisik aerobik dan detrain terhadap jumlah sel saraf normal amigdala basolateral tikus. Amigdala adalah bagian dari sistem limbik yang berperan dalam menghasilkan respon perilaku yang berhubungan dengan rasa takut dan berperan juga pada pembelajaran emosional serta memodulasi memori.
Penelitian ini menggunakan desain eksperimental dengan mengamati dan menghitung jumlah sel saraf normal pada daerah amigdala basolateral Data dianalisis dengan uji one way ANOVA dan dilanjutkan uji Post Hoc.
Hasil menunjukkan persentase sel saraf normal pada kelompok kontrol 57 kelompok training 64 dan kelompok detraining 49. Hasil uji Post Hoc menunjukkan tidak terdapat perbedaan bermakna antara kelompok kontrol dan training p 0 05 kelompok kontrol dan detraining p 0 05. Namun terdapat perbedaan bermakna antara kelompok training dan detraining p 0 008. Terjadi peningkatan persentase sel saraf normal pada kelompok training sebaliknya terjadi penurunan persentase sel saraf normal pada kelompok detraining dibandingkan kelompok kontrol.

Aerobic exercise has several benefits for brain rsquo s structures and functions such as increasing the number of normal neuron and having positive effect on learning and memory. However some of the benefits are still conjecture These benefits will be lost if exercise stopped.
The aim of this study is to determine the effect of aerobic exercise and detraining on the number of normal neuron of basolateral amygdala. Amygdala is a part of the limbic system which plays a role in producing behavioral responses associated with fear and also plays a role in emotional learning as well as modulates memory.
This study was done experimentally by observing and counting the number of normal neuron in the basolateral amygdala region Data were analyzed by one way ANOVA test and continued by Post Hoc test.
The results showed that percentage of normal neuron were 57 in control group 64 in training group and 49 in detraining group Post hoc test results showed no significant difference between control and training group p 0 05 also between control and detraining group p 0 05 However there are a significant difference between training and detraining group p 0 008. In short there is an increase in the number of normal neuron in training otherwise there is a decline in the number of normal neuron in detraining compared with control.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ainun Safitri
"Sindroma metabolik merupakan salah satu permasalahan kesehatan yang menjadi perhatian. Prevalensi sindroma metabolik di Indonesia diketahui sebesar 21,66%, dengan prevalensi di Jakarta sebesar 37,5%. Kejadian sindroma metabolik seringkali dihubungkan dengan faktor risiko terkait gaya hidup di antaranya aktivitas fisik dan perilaku sedenter. Berdasarkan data Riskesdas 2013 dan 2018, terjadi penurunan tingkat aktivitas fisik pada penduduk Indonesia. Pekerja perkantoran merupakan salah satu populasi yang berisiko terhadap penurunan aktivitas fisik. Hal ini karena rendahnya kebutuhan akan aktivitas fisik selama bekerja dan tinggnya waktu yang dihabiskan dalam posisi sedenter. Pandemi COVID-19 menyebabkan pemberlakuan pembatasan aktivitas dan kebijakan work from home (WFH). Kebijakan tersebut menyebabkan semakin menurunnya tingkat aktivitas fisik pada pekerja disertai peningkatan perilaku sedenter yang menyebabkan pekerja menjadi lebih rentan mengalami sindroma metabolik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara tingkat aktivitas fisik dengan kejadian sindroma metabolik pada pekerja perkantoran di masa pandemi COVID-19, serta mengetahui faktor-faktor lain yang memengaruhi. Penelitian ini menggunakan desain potong lintang dengan data sekunder yang diperoleh dari data Posbindu PTM yang dilaksanakan pada salah satu institusi pendidikan negeri di DKI Jakarta. Subjek penelitian berjumlah 270 pekerja berusia 22-58 tahun yang terdiri dari 99 laki-laki dan 171 perempuan. Pada analisis bivariat ditemukan bahwa tingkat aktivitas fisik tidak berhubungan secara signifikan dengan kejadian sindroma metabolik (p = 0,321), namun ditemukan hubungan yang signifikan antara waktu sedenter (p = 0,017), usia (p <0,001), dan jenis kelamin (p = 0,04). Berdasarkan analisis multivariat, ditemukan variabel usia yang memengaruhi kejadian sindroma metabolik. Dapat disimpulkan bahwa tingkat aktivitas fisik tidak berhubungan secara signifikan dan tidak memengaruhi kejadian sindroma metabolik pada pekerja perkantoran di masa pandemi COVID-19.

Metabolic syndrome is one of the health problems of concern. The prevalence of metabolic syndrome in Indonesia is known to be 21.66%, with a prevalence in Jakarta of 37.5%. The incidence of metabolic syndrome is often associated with lifestyle-related risk factors, including physical activity and sedentary behavior. Based on data from Riskesdas 2013 and 2018, there was a decrease in the level of physical activity in the Indonesian population. Office workers are one of the populations at risk for decreased physical activity. This is due to the low need for physical activity during work and the high time spent in a sedentary position. The COVID-19 pandemic has led to the implementation of activity restrictions and work from home (WFH) policies. This policy causes a decrease in the level of physical activity in workers accompanied by an increase in sedentary behavior which causes workers to become more susceptible to metabolic syndrome. This study aims to determine the relationship between the level of physical activity with the incidence of metabolic syndrome in office workers during the COVID-19 pandemic, as well as to determine other influencing factors. This study used a cross-sectional design with secondary data obtained from Posbindu PTM data which was carried out at one of the public educational institutions in DKI Jakarta. The research subjects were 270 workers aged 22-58 years consisting of 99 men and 171 women. Bivariate analysis found that the level of physical activity was not significantly associated with the incidence of metabolic syndrome (p = 0.321), but found a significant relationship between sedentary time (p = 0.017), age (p < 0.001), and gender (p = 0 ,04). Based on multivariate analysis, it was found that age variable that affects the incidence of metabolic syndrome. It can be concluded that the level of physical activity is not significantly related and does not affect the incidence of metabolic syndrome in office workers during the COVID-19 pandemic."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>