Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 162588 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Cahya Candra
"ABSTRAK
Kanker menunjukkan suatu potensi untuk invasi baik in vitro maupun in vivo. Proses ini dimediasi oleh Methaderin (MTDH). Hipoksia-inducible factor-2α (HIF-2α) dapat meningkatkan ekspresi MTDH; Namun, sedikit diketahui tentang korelasi antara HIF-2α dan MTDH ekspresi dalam kanker payudara. Suatu studi telah menyelidiki hubungan antara HIF-2 dan MMP9. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara HIF-2 dan MTDH. Desain penelitian ini adalah analisis berpasangan dengan 48 sampel jarinagn kanker payudara sebelum dan sesudah Kemoterapi dan terapi hormonal yang terdiri dari 20 terapi hormonal dan 28 kemoterapi. Ekspresi mRNA HIF-2 dan MTDH diukur dengan menggunakan QRT-PCR. HIF-1 ekspresi protein dideteksi oleh teknik enzyme linked immunosorbent assay (ELISA). Peningkatan ekspresi relatif mRNA HIF-2 dan MTDH setelah terapi tidak signifikan (p> 0,05, Mann Whitney) dibandingkan sebelum terapi. Peningkatan ekspresi relatif mRNA HIF-2 dan MTDH pada derajat histopatologi III tidak signifikan (p> 0,05, Mann Whitney) dibandingkan dengan histopatologi I dan II. Peningkatan ekspresi relatif mRNA HIF-2 dan MTDH pada usia > 40 tahun tidak signifikan (p> 0,05, Mann Whitney) dibandingkan dengan <40 tahun. Spearman analisis korelasi mengungkapkan bahwa HIF-2α dan ekspresi MTDH secara signifikan berkorelasi (r = 0,632; P = 0.000). Hasil ini menunjukkan bahwa tingginya ekspresi HIF-2α dikaitkan dengan buruk nya prognosis pada pasien dengan kanker payudara dan menjadikan bahwa HIF-2α dan MTDH bisa menjadi penanda dari perkembangan kanker payudara.

ABSTRACT
Malignant cells show increased invasion potency in vitro and in vivo. This process is considered to be mediated by Methaderin (MTDH). Hypoxia-inducible factor-2α (HIF-2α) may upregulate MTDH expression; however, little is known about the correlation between HIF-2α and MTDH expressions in breast cancer. The current study investigated correlation between HIF-2 and MMP9 immunohistochemically according to various clinical and pathological features in 102 paraffin-embedded archival tissue block specimens from patients with breast cancer. Aim of this study is to investigate correlation between HIF-2 and MTDH. Design of this study is couple analysis with 48 breast cancer sample before and after Chemoteraphy and hormonal therapy comprises 20 hormonal therapy and 28 chemotheraphy. Expression of mRNA HIF-2 and MTDH were measured using qRT-PCR. HIF-1 protein expression was detected by enzim linked immunoabsorbant assay (ELISA). mRNA HIF-2 and MTDH expression after theraphy is not significantly higher (p > 0,05, Mann Whitney) compared to before theraphy. mRNA HIF-2 and MTDH expression in Histopathology Grade III is not significantly higher (p > 0,05, Mann Whitney) compared to histopathology grade I and II. mRNA HIF-2 and MTDH expression in >40 years old is not significantly higher (p > 0,05, Mann Whitney) compared to <40 years old. Spearman correlation analysis revealed that HIF-2α and MTDH expression ons were significantly correlated (r = 0.632; P = 0.000). These results suggest that high HIF- 2α expression is associated with poor overall survival in patients with breast cancer, indicating that HIF-2α could be a valuable marker of breast cancer"
2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Hambar Sari
"ABSTRAK
Pendahuluan: Keloid adalah tumor jinak pada kulit yang ditandai denganpeningkatan deposisi kolagen yang disebabkan oleh tingginya aktivitas danproliferasi fibroblas. Karakteristik utama dari keloid adalah berada pada kondisihipoksia. Hypoxia inducible factor-1alpha HIF-1? dan HIF-2? merupakansubunit faktor transkripsi HIF-1 dan HIF-2 yang berperan penting pada adaptasiterhadap kondisi hipoksia. Kondisi hipoksia juga memicu sel memproduksireactive oxygen species ROS yang dapat ditangkal oleh sitoglobin Cygb . Padakeloid, Cygb juga berperan pada sintesis kolagen. Penelitian lain membuktikanbahwa terdapat situs pengikatan promoter HIF-1 pada hypoxia response element HRE Cygb, sedangkan situs pengikatan HIF-2 pada Cygb belum diketahui. HIF-1? dan HIF-2? juga diketahui berperan menginduksi ekspresi gen yang berperanpada proliferasi. Keduanya diketahui mengatur proliferasi sel pada beberapa jeniskanker. Namun, peran HIF-1? dan HIF-2? terhadap ekspresi Cygb dan proliferasifibroblas pada keloid belum diketahui. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuanmengetahui peran HIF-1? dan HIF-2? terhadap ekspresi sitoglobin dan proliferasifibroblas pada keloid, dengan melakukan penghambatan HIF-1? dan HIF-2? padafibroblas keloid menggunakan inhibitor HIF berupa ibuprofen. Metode:Pemeriksaan dilakukan terhadap ekspresi mRNA dan kadar protein HIF-1?, HIF-2?, dan sitoglobin, menggunakan metode qRT-PCR dan ELISA, serta proliferasisel menggunakan metode trypan blue exclussion assay setelah diberi ibuprofendan dibandingkan dengan kontrol yang tidak diinduksi dengan ibuprofen. Hasil:Penghambatan HIF-1? menyebabkan terjadinya penurunan ekspresi mRNA Cygbdan proliferasi fibroblas pada keloid. Hal ini membuktikan bahwa HIF-1?berperan sebagai faktor transkripsi Cygb, dan juga berperan menginduksi ekspresigen yang berperan pada proliferasi fibroblas keloid. Akan tetapi, peran HIF-2?dalam meregulasi sitoglobin dan mempertahankan proliferasi fibroblas keloidbelum berhasil dibuktikan. Kesimpulan: HIF-1? berperan meregulasi eksrepsiCygb dan berperan pada proliferasi fibroblas keloid. Akan tetapi, HIF-2? belumterbukti meregulasi eksrepsi Cygb dan berperan pada proliferasi fibroblas keloid.

ABSTRACT
Background Keloid is a benign tumor which is characterized by overabbundance of collagen deposition caused by high activity and proliferation offibroblast. The main characteristics of keloid is hypoxia. HIF 1 and HIF 2 aretwo subunits of transcrption factors HIF 1 and HIF 2 which mediate adaptationto hypoxic condition. Hypoxic condition also induces cells to produce reactiveoxygen species ROS which can be scavenged by cytoglobin Cygb . In keloid,Cygb also plays important role in collagen synthesis. Other studies prove thatthere is a binding site of HIF 1 promoter on hypoxia response element HRE ofCygb. Whereas, HIF 2 binding site on HRE of Cygb is not cleraly understood.HIF 1 and HIF 2 also play important role to induce expression of many geneswhich involved in cells proliferation. Both HIF 1 and HIF 2 are known toregulate cells proliferation in many cancer types. However, the role of HIF 1 andHIF 2 to Cygb expression and fibroblast proliferation in keloid is not fullyunderstood. Therefore, the aim of this study is to determine the role of HIF 1 andHIF 2 on Cygb expression and fibroblast proliferation in keloid, by doing aninhibition of HIF 1 and HIF 2 in keloid fibroblast primary culture usingibuprofen as HIF inhibitor. Methods Analysis was conducted by analizing HIF 1 , HIF 2 , and Cygb mRNA expression and protein level using qRT PCR andELISA, and fibroblast proliferation analysis was conducted using trypan blueexclusion assay after given with ibuprofen and compared with control which isnot given with ibuprofen. Results Inhibition of HIF 1 caused a decrease onCygb mRNA expression and fibroblast proliferation on keloid. These findingsprove that HIF 1 acts as transcription factor of Cygb, and also inducesexpression of gene which plays a role on fibroblast proliferation in keloid.However, the role of HIF 2 in regulating and maintaining Cygb expression andfibroblast proliferation in keloid was not succesfully proven. Conclusion HIF 1 regulate Cygb expression and fibroblast proliferation in keloid. However, HIF 2 role on Cygb expression and fibroblast proliferation has not be proven yet."
[, ]: 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syarifah Dewi
"ABSTRAK
Latar Belakang: Keberadaan sel punca kanker payudara diduga berkontribusi dalam timbulnya resistensi terapi. Beberapa mekanisme yang mempengaruhi respons terapi pada kanker yaitu aktifnya jalur sinyal embrionik, hambatan apoptosis dan tingginya perbaikan DNA serta adaptasi sel punca kanker terhadap hipoksia dan stres oksidatif.Tujuan: Menganalisis profil ekspresi gen kepuncaan pada kanker payudara setelah terapi neoajuvan hormonal dan kemoterapi dilihat hubungannya dengan jalur apoptosis p53, jalur stres oksidatif NFkB dan penanda hipoksia HIF- serta respons terapi.Metode: Penelitian ini menggunakan sampel jaringan kanker payudara stadium IIIB dan IV sebelum terapi neoajuvan 46 sampel pre dan setelah terapi neoajuvan 46 sampel post . Total RNA diekstraksi kemudian dilakukan pengukuran ekspresi dengan menggunakan teknik Next Generation Sequencing Truseq targeted RNA expression Illumina dengan menggunakan panel sel punca, p53 dan NFkB. Selain itu juga ekspresi HIF-1 dan HIF-2 diukur dengan menggunakan qRT-PCR.Hasil: Setelah terapi neoajuvan, profil ekspresi gen kanker payudara yang memiliki respons molekuler yang baik pada jalur kepuncaan adalah CCNE1, CDC42, CTNNB1, HDAC2, PSEN1, PSENEN, pada jalur apoptosis adalah BIRC5, CASP8, CASP9, CDK1 dan PCNA, pada jalur stres oksidatif adalah SOD2, STAT1 dan TBK1, serta pada jalur hipoksia yaitu HIF-1 dan HIF-2 . Profil ekspresi gen dengan respons molekuler yang buruk pada jalur kepuncaan adalah ALDH1A1, ALDH2, CCND2, CXCL12, FZD7, IGF1, sedangkan pada jalur apoptosis adalah ATM dan BID. Respons histopatologis Miller Payne berkorelasi positif bermakna dengan ekspresi gen jalur apoptosis dengan respons molekuler yang baik BIRC5, CASP8, CDK1 , namun berkorelasi negatif bermakna dengan ekspresi gen ALDH1A1. Survival pasien kanker payudara berkorelasi negatif bermakna dengan ekspresi ALDH1A1 dan SOD2.Kesimpulan: Ekspresi gen ALDH1A1 dan SOD2 merupakan faktor penting untuk prediksi prognosis terapi neoajuvan sistemik pada pasien kanker payudara stadium lanjut.

ABSTRACT
Introduction: The presence of breast cancer stem cells is considered to contribute to therapeutic resistance. There are some mechanisms affected therapy response in the cancer, such as active embryonic signaling pathways, inhibition of apoptosis and high DNA repair, adaptation to hypoxia and oxidative stress.Aim: to analyse the stemness gene expression profile in breast cancer after neoadjuvant chemotherapy and hormonal therapy correlated with apoptotic p53 , oxidative stress NFkB and hypoxia HIF- signaling pathways and also therapeutic responses.Methods: This study used breast tissue samples IIIB and IV before neoadjuvant therapy 46 pre samples and after neoadjuvant therapy 46 post samples . Total RNA was measured the expression profile using Next Generation Sequencing Truseq targeted RNA expression Illumina with stem cell, p53 and NFkB panels. In addition, HIF-1 and HIF-2 expression were measured using qRT-PCR. Results: After neoadjuvant therapy, the expression profiles of breast cancer genes that have good molecular responses in stem cells pathway are CCNE1, CDC42, CTNNB1, HDAC2, PSEN1, PSENEN, in apoptotic pathway are BIRC5, CASP8, CASP9, CDK1 and PCNA, in oxidative stress pathway are SOD2, STAT1 and TBK1, as well as in the hypoxic pathway HIF-1 and HIF-2 . Expression profiles with poor molecular responses in stem cells pathway are ALDH1A1, ALDH2, CCND2, CXCL12, FZD7, IGF1, while in apoptotic pathway are ATM and BID. Histopathologic response Miller Payne was significantly positively correlated with apoptotic pathway gene expression with good molecular response BIRC5, CASP8, CDK1 , but negatively significant correlated with ALDH1A1 gene expression. Survival of breast cancer patients significantly negatively correlated with ALDH1A1 and SOD2 expression. Conclusion: ALDH1A1 and SOD2 gene expression is an important factor for predicting the prognosis of systemic neoajuvan therapy in patients with advanced breast cancer."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Citra Praditi
"ABSTRAK
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental yang bertujuan mengetahui respon limfosit limpa mencit terhadap kondisi hipoksia relatif dan stres oksidatif karena imunisasi. Imunisasi dilakukan dengan cara induksi suspensi SDMD 2 kepada mencit melalui jalan intraperitoneum. Sampel yang digunakan adalah limfosit limpa mencit Balb/c jantan sebanyak 24 ekor yang dibagi ke dalam 4 kelompok yaitu kelompok kontrol tidak diimunisasi , kelompok 24 jam, 48 jam dan 72 jam. Limpa diambil berturut-turut setelah 0,24,48, dan 72 jam imunisasi. SDMT diperoleh dari darah limpa menggunakan larutan Ficoll 1.084, kemudian limfosit diisolasi dengan metode adheren. Ekspresi protein HIF-1?, HIF-2?, dan Nrf2 menggunakan metode ELISA; ekspresi relatif mRNA HIF-1?, HIF-2? diukur dengan metode qRT-PCR; dan aktivitas enzim GPx diukur dengan metode spektrofotometri. Protein HIF-1? meningkat secara signifikan pada 24 jam pertama setelah imunisasi, kemudian menurun setelah 48 jam dan 72 jam, ekspresi relatif mRNA HIF-1? meningkat setelah 48jam dan 72 jam. Hal ini disebabkan oleh protein HIF-1 distabilkan pada jam ke-24, setelah 48 jam dan 72 jam mRNA tidak ditranslasikan atau protein segera didegradasi. Protein HIF-2? meningkat secara signifikan setelah 72 jam imunisasi, sementara ekspresi relatif mRNA HIF-2? meningkat secara signifikan setelah 24 jam dan 72 jam setelah imunisasi. Hal ini menjelaskan bahwa protein HIF-2 bekerja pada hipoksia kronik. Protein Nrf2 mengalami peningkatan yang tidak signifikan setelah 48 jam. Aktivitas enzim GPx meningkat signifikan pada 24 jam pertama kemudian menurun setelahnya. Kemungkinan setelah 48 jam enzim GPx tidak bekerja sendiri dalam menetralkan radikal bebas, namun dibantu oleh enzim CAT yang juga diatur ekspesinya oleh Nrf2.

ABSTRACT
This research use experimental method, the aim is to explore the mice rsquo s spleen lymphocytes responses towards relative hypoxia and oxidative stress due to immunization. The immunization performed by injecting 2 sheep red blood cell intraperitoneally. The samples are spleen lymphocytes from 24 male Balb c mice, divided into 4 groups control, 24 hours, 48 hours, and 72 hours group. Spleen was isolated after 0 hour, 24 hours, 48 hours and 72 hours after immunization. PBMC obtained from spleen blood through Ficoll 1.084 separation, then lymphocytes were isolated by adherent method. HIF 1 , HIF 2 and Nrf2 protein expression were analyzed with ELISA method, mRNA expression were analyzed with qRT PCR method, and GPx enzyme activity were analyzed through spectrophotometry. HIF 1 protein elevated significantly 24 hours post immunization and decreased afterwards while HIF 1 mRNA increase significantly after 47 hours and 72 hours post immunization. This result is due to stabilized HIF 1 protein on 24 hours group that give rise to its concentration while its mRNA remain low, while after 48 hours and 72 hours the mRNA expression increase but not translated into protein or the protein sin quickly degraded. HIF 2 protein increased significantly 72 hours post immunizaation while mRNA expression elevated on 24 hours and 72 hours group. This result suit the theory that HIF 2 protein works on chronic hypoxia. Nrf2 protein increase insignificantly on 48 hours post immunization and GPx activity rise significantly after 24 hours immunization and decrease afterwards. This may due to enzyme CAT helps enzyme GPx in neutralize free radical, in which CAT is also regulated by Nrf2 protein."
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chairunisa Aliya Amani
"ABSTRAK
Latar Belakang: Indeks massa tubuh dapat meningkatkan risiko kanker payudara. Pada penelitian sebelumnya didapatkan bahwa indeks massa tubuh yang memasuki kategori obesitas dapat memperburuk prognosis penyakit kanker payudara. Selain indeks massa tubuh, status reseptor hormonal juga menjadi hal yang penting untuk menentukan terapi kanker payudara. Namun, belum diketahui apakah terdapat hubungan antara perubahan indeks massa tubuh sebelum dan sesudah terapi dan status reseptor hormonal terhadap respon terapi kanker payudara yang dinilai dengan ada atau tidaknya residu.
Tujuan: Mengetahui pengaruh perubahan indeks massa tubuh dan status reseptor hormonal terhadap respon terapi kanker payudara yang dinilai dengan residu pasca terapi.
Metode: Sebanyak 111 data dari rekam medis pasien diambil dengan metode consecutive sampling berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi. Data indeks massa tubuh didapatkan melalui berat badan dan tinggi badan yang diukur sebelum dan sesudah terapi. Pengukuran dilakukan selama rangkaian pemberian kemoterapi. Jika tinggi badan yang didapatkan pada pengukuran sebelum dan sesudah terapi berbeda, maka akan diambil rata-rata. Sedangkan data status reseptor hormonal didapatkan dengan melihat laporan pemeriksaan immunohistokimia. Untuk melihat respon pasien terhadap terapi digunakan laporan hasil pemeriksaan pencitraan.
Hasil: Berdasarkan analisis bivariat yang dilakukan, didapatkan hubungan antara perubahan indeks massa tubuh terhadap residu kanker payudara pasca terapi (p 0,018; p<0,05). Dan tidak didapatkan hubungan antara status reseptor hormonal dengan residu kanker payudara pasca terapi (p 0,803; p>0,05) serta hubungan antara status reseptor hormonal dan perubahan indeks massa tubuh secara bersamaan (p 0,087; p>0,05).
Kesimpulan: Peningkatan indeks massa tubuh dapat meningkatkan risiko residu kanker payudara pasca terapi. Sedangkan, status reseptor hormonal tidak memiliki hubungan dengan residu kanker payudara pasca terapi. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shiera Septrisya
"LATAR BELAKANG: Di Indonesia, kanker payudara telah menjadi peringkat pertama dalam urutan kanker tertinggi yang diderita perempuan dan terapi hormonal masih merupakan pilihan terapi yang banyak digunakan pada penderita kanker payudara, termasuk pada kasus lanjut. Telah ditemukan GPR30, yang turut mengikat estrogen, dan hasil akhir dari kaskade yang diinisasi dari GPR30 ini adalah adanya proliferasi atau pertumbuhan sel, survival dari sel (anti-apoptosis), serta migrasi atau metastasis. Perilaku Tamoxifen juga disinyalir berbeda pada ER (estrogen receptor) dan pada GPR30, yang ternyata bersifat agonis terhadap GRP30, dan hasil akhirnya dapat menstimulasi timbulnya proliferasi.
METODE: Penelitian dilakukan secara kohor retrospektif, dilakukan di Poliklinik Bedah Onkologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta. Penelitian didasarkan pada data pasien dalam kurun waktu 2 (dua) tahun terakhir yaitu 2008-2010. Jenis kegiatan riset ini berupa literature dan theoritical study. Sampel penelitian dipilih secara consecutive sampling.
HASIL: Sebaran data berdasarkan hasil pemeriksaan didapatkan ER (-) pada 63,6% sampel, PR (-) pada 64,8% sampel, dan C-ERB 2 (-) pada 61,3% sampel. Dari sebaran data sampel berdasarkan status pemberian Tamoxifen didapatkan bahwa 61,4% sampel tidak mendapatkan terapi Tamoxifen. Dari sampel yang mendapatkan terapi Tamoxifen, 25 dari 34 sampel (73,5%) mendapatkan terapi hormonal ini kurang dari 2 tahun dan 26,5% sampel mendapatkan terapi lebih dari 2 tahun. Sebagian besar sampel (59,1%) memiliki compliance yang baik terhadap pengobatan, dan secara keseluruhan sampel, ditemukan adanya metastasis pada 26,1% sampel. Dari sampel penelitian yang ditemukan timbulnya metastasis, sebesar 69,6% sampel sudah terdapat metastasis jauh. Pada sampel yang mendapat terapi Tamoxifen kurang dari 2 tahun, terlihat sebesar 84% sampel tidak didapatkan timbulnya metastasis, sedangkan pada sampel yang mendapat terapi Tamoxifen lebih dari 2 tahun, sebesar 77,7% sampel didapatkan timbulnya metastasis.
KESIMPULAN: Terdapat kecenderungan yang kuat bahwa Tamoxifen, suatu antagonis ER yang parsial, berperan sebagai agonis pada GPR30, dan mengemukakan suatu penemuan baru bahwa sebenarnya terapi anti-estrogen konvensional selama ini, dapat bersifat stimulasi daripada inhibisi perkembangan dari tumor yang resisten terhadap Tamoxifen.

BACKGROUNDS: In Indonesia, breast cancer has become number one in the incidence of highest number or cancers which is suffered by women, and hormonal therapy has still been one of the choice, included in advanced cases. GPR30, a novel protein, has been discovered, also binds estrogen, and the end result of this cascade is cell proliferation and growth, cell survival (anti-apoptosis), and migration or even metastases. The effect of Tamoxifen is also found different in ER (estrogen receptor) and GPR30, which is an agonist for GPR30, and resulting proliferation of cells.
METHODS: The research had been done in cohort retrospective, at Oncology Surgery Outpatient Clinic Cipto Mangunkusumo Hospital Jakarta. The research was based from patients data in 2008 until 2010. This is a literature and theoritical study. The samples were selected based from consecutive sampling.
RESULTS: The descriptive data finds ER (-) in 63,6% samples, PR (-) in 64,8% samples, and C-ERB 2 (-) in 61,3% samples. It is also found that 61,4% samples did not get Tamoxifen hormonal therapy. From the samples who got Tamoxifen hormonal therapy, 25 from 34 samples (73,5%) got this hormonal therapy for less than two years, and 26,5% samples got for more than two years. Most of the samples (59,1%) have good compliance in taking the medicines, and based from all samples, metastases were found in 26,1% samples, and from these samples, 69,6% samples has got distant metatases. Based on the samples who got Tamoxifen hormonal therapy for less than two years, 84% samples did not have metastases, whereas in samples who got it for more than two years, metastases were found in 77,7% samples.
CONCLUSION: There is a strong preference that Tamoxifen, a partial ER antagonist, acts as agonist in GPR30, and reveals a novel discovery that our conventional anti-estrogen therapy which has been used all these times, may act in stimulation rather than inhibition the tumor growth which is resistant in Tamoxifen.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Syafitri
"Latar belakang: CTC sebagai bagian dari liquid biopsy berperan dalam melakukan monitoring pasien kanker payudara yang menjalani terapi. Adanya CTC menjadi pertanda resistensi terapi dan memengaruhi prognosis pasien. Penelitian ini bertujuan melihat adakah perubahan nilai CTC pada pasien kanker payudara stadium lokal lanjut atau lanjut yang mendapatkan kemoterapi serta melihat perubahan nilai CTC tersebut apakah dipengaruhi oleh usia, status menopause, subtipe, metastasis, dan grade.
Metode: Didapatkan 30 sampel pasien kanker payudara stadium lokal lanjut atau lanjut yang akan mendapatkan kemoterapi berbasis Anthracycline dan Taxan. Pre kemoterapi pasien diambil darah perifer dan dilakukan pemeriksaan CTC menggunakan flowcytometry dengan antibodi EpCAM. Pasien lalu menjalani siklus kemoterapi hingga lengkap. Setelah itu pasien kembali diambil darah perifer dan diperiksa nilai CTC post kemoterapi.
Hasil: Dari ke 30 sampel, didapatkan mean usia 47,93+7.30. Sebanyak 56,7 (n=17) belum menopause, 43,3% status tumor T3 dan T4, status kelenjar getah bening terbanyak adalah N0 dan N1 (43,3%). Hanya 2 pasien yang ditemukan ada metastasis. 56,7% pasien dengan grade 3, dan subtipe terbanyak adalah luminal B ( 63,4%, n=19). Terdapat 22 pasien (73,3%) dengan ER positif, 14 pasien (46,7%) dengan PR positif. Terdapat 11 pasien (36,7%) dengan Her2 positif dan 21 pasien (70%) dengan Ki67 high proliferation. Hasil CTC pre kemoterapi didapatkan nilai median 1460,50 sedangkan CTC post kemoterapi didapatkan nilai median 415,50 dilakukan uji Wilcoxon dan perbedaan bermakna dengan nilai p=0,002. Analisis multivariat regresi linier dihubungkan antara penurunan nilai CTC terhadap usia, status menopause, subtipe, metastasis, dan grading didapatkan status menopause berhubungan bermakna terhadap perubahan nilai CTC (p<0,05).
Kesimpulan: CTC pada pasien kanker payudara stadium lokal lanjut dan lanjut setelah kemoterapi lebih rendah bermakna dibandingkan sebelum kemoterapi. Status menopause memiliki hubungan bermakna terhadap penurunan jumlah CTC setelah kemoterapi pada kanker payudara stadium lokal lanjut dan lanjut
.
Background: As part of liquid biopsy, CTCs play a role in monitoring breast cancer patients undergoing therapy. The existence of CTCs is a sign of therapy resistance and affects patient prognosis. This study aims to examine whether there are changes in CTC values in patients with locally advanced or advanced breast cancer, who receive chemotherapy and are influenced by age, menopause status, subtype, metastasis, and grade.
Method: Of the 30 samples of locally advanced or advanced breast cancer patients receiving Anthracycline and Taxan-based chemotherapy were obtained. Pre-chemotherapy, peripheral blood, was drawn and CTCs were examined using flow cytometry with EpCAM antibody. Patients then undergo a complete chemotherapy cycle. After that, the patients were again taken peripheral blood and examined for post-chemotherapy CTC values.
Result: The study was conducted at Cipto Mangunkusumo Hospital, started from December 2022 to December 2023. Of the 30 samples with the mean age was 47,93+7,30. A total of 56,7 (n=17) were not menopause, 43,3% of tumor status with the T3 and T4, and the most common lymph node status with the N0 and N1 (43,3%). Only two patients were found to have metastasis. Then, 56,7% of patients had grade 3, and the most common subtype was luminal B (63,4%, n=19). There were 22 patients (73,3%) with ER positive, 14 patients (46,7%) with PR positive, 11 patients (36,7%) with Her2 positive, and 21 patients (70%) with Ki67 high proliferation. Pre-chemotherapy CTC results obtained a median value of 1460.50, Meanwhile, post-chemotherapy CTC obtained a median value of 415,50. Wilcoxon test was performed and the difference was significant with a value of p = 0,002. Multivariate linear regression analysis was correlated between the decrease in CTC values with age, menopause status, subtype, metastasis, and grading. The menopausal status has a significant association with decrease CTC values (p<0,05).
Conclusion: CTC in locally advanced and advanced breast cancer patients after chemotherapy was significantly lower than before chemotherapy. menopause status has a significant association with decreased CTC values after chemotherapy in locally advanced and advanced breast cancer.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Cosphiadi Irawan
"Latar Belakang: Belum ada kesepakatan global penanda deteksi dini kejadian metastasis tulang pada pasien kanker payudara. Penelitian ini bertujuan menganalisis hubungan ekspresi tinggi penanda biologi CXCR4, IL11-RA, TFF1 dan MLF1P, klinikopatologi dan profil ekspresi genetik mRNA sebagai penanda peningkatan kejadian metastasis tulang pada pasien kanker payudara stadium lanjut.
Metode: Metode penelitian adalah potong lintang komparatif. Analisis dilakukan pada, total 92 pasien kanker payudara, terdiri atas 46 pasien metastasis tulang dan 46 pasien dengan metastasis nontulang. Analisis microarray, dilakukan pada 81 sampel FFPE dari 81 pasien yang didapat. Data dikumpulkan melalui rekam medis, pemeriksaan imunohistokimia, dan microarray dengan nanoString nCounterTM.
Hasil: Diperoleh IL11-RA dengan cut-off ≥ 103,5 menunjukkan peningkatan kejadian metastasis tulang, dengan OR 3,803 (95 % interval kepercayaan [IK], 1,375-10,581), p = 0,010, dan MLF1P dengan cut-off ≥ 83,0 menunjukkan peningkatan kejadian metastasis tulang, dengan OR 2,784 (95% IK, 1,009-7,681), p = 0,048. Status ER+ menunjukkan peningkatan kejadian metastasis tulang, dengan OR 7,640 (95 % IK, 2,599-22,459), p < 0,000. AUC gabungan IL-11RA, MLF1P dan ER+, mempunyai ketepatan hampir 80%, (meningkat dibandingkan AUC masing-masing secara terpisah), untuk membedakan dan menjelaskan kejadian metastasis tulang, pada kanker payudara stadium lanjut.  Pada kanker payudara metastasis tulang dengan organ lain (MT+), diperoleh panel 22-gen, dengan 13 gen: upregulated dan 9 gen downregulated ; pada metastasis hanya tulang (MT) diperoleh panel 17-gen dengan 13 ekspresi gen upregulated dan 4 ekspresi gen downregulated . Kedua panel memberikan hasil berbeda bermakna pengelompokan unsupervised, terhadap metastasis nontulang. Analisis berdasarkan diagnosis dua kelompok metastasis tulang, ekspresi ESR1 merupakan gen dengan perubahan ekspresi tertinggi, dan berdasarkan proporsinya, didapatkan 3 gen pada MT+, dan 8 gen pada MT, termasuk di antaranya ESR1, GATA3 dan MLPH/ ANXA9, yang meningkatkan kemungkinan kejadian metastasis tulang.
Simpulan: IL11-RA, MLF1P dan ER+, merupakan variabel yang berhubungan dengan peningkatan kejadian metastasis tulang pasien kanker payudara stadium lanjut. Diperoleh panel 22 ekspresi gen pada MT+, dan panel 17 ekspresi gen untuk MT yang berekspresi berbeda bermakna dibanding metastasis nontulang. Analisis berdasarkan diagnosis dua kelompok metastasis tulang, diperoleh 3 gen pada MT+, dan 8 gen pada MT, yang diusulkan menjadi kandidat training set selanjutnya.

Background: The aim of this research was to analyze the correlation between high expression of biomarkers CXCR4, IL11-RA, TFF1 and MLF1P, clinicopathology and genetic expression profiles (mRNA) in advanced breast cancer patients with bone metastatic.
Methods: The methods used were comparative cross-sectional. Analysis was done against a total of 92 breast cancer patients, including 46 bone metastatic patients and 46 non-bone metastatic patients. In microarray test, a total of 81 FFPE samples from 81 patients were used.
Results: IL11-RA with cut-off ≥ 103.5 showed OR 3.803 (95 % confidence interval [CI], 1.375-10.581), p = 0.010, MLF1P with cut-off ≥ 83.0 OR 2.784 (95% CI, 1.009-7.681), p = 0.048, and ER+ OR 7.640 (95 % CI, 2.599-22.459), p < 0.000, were associated with bone metastastic incidences in advanced breast cancer, and were statistically significantly different. A combination of IL-11RA, MLF1P and ER+, showed an accuracy of approaching 80 % to discriminate between bone metastatic and non bone metastatic in advanced breast cancer patients. The results of genetic expression profiles showed that the 22 genes expressions were significantly different between bone metastatic with other organs patients (MT+), and non bone metastatic patients, which consisted of 13 genes expression upregulated and 9 genes expression downregulated, while subject with only bone metastasis (MT), showed that 17 genes expressions were significantly different, consisting of 13 genes expression upregulated and 4 genes expressions downregulated. Based on diagnosis both types of bone metastasis, the ESR1 gene was the highest expressed, and base on proportion distribution there were 3 genes in MT+, and 8 genes in MT, including ESR1, GATA3, and MLPH/ ANXA9, associated with increasing bone metastasis incidences, which can be the next candidate for the training set.
Conclusion: IL11-RA, MLF1P, and ER+ were the variables that were associated with increasing bone metastasis incidence. There was a panel of 22 genes expression in bone metastasis and a panel of 17 genes expression for only bone metastasis that had significantly different expressions, compared to non-bone metastastasis. Based on diagnosis both types of bone metastasis, there is 3 genes in MT+, and 8 genes in MT, that can be the next candidate of training set."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2015
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Filipus Dasawala
"Kemoterapi neoajuvan (KNA) merupakan salah satu modalitas terapi pada kanker payudara lanjut lokal (KPD-LL). Beberapa studi telah menunjukkan KNA dapat meningkatan kesintasan keseluruhan bila didapatkan respons patologis komplet, namun efektifitasnya dihambat oleh kemoresistensi yang dapat dimediasi oleh P-glycoprotein (Pgp). Tujuan dari studi ini adalah untuk mengkaji hubungan antara ekspresi Pgp dengan respons terhadap KNA pada pasien KPD-LL. Studi kohort prospektif multisentra dilakukan di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo dan RSUD Koja pada periode September 2018 sampai Mei 2019. Analisis imunohistokimia dilakukan pada sampel biopsi untuk menilai ekspresi Pgp secara semikuantitatif. Respons klinis dinilai pascakemoterapi tiga siklus dengan menggunakan kriteria WHO. Subjek yang dinilai operabel pascaKNA menjalani operasi mastektomi radikal modifikasi. Respons patologis dinilai pada spesimen bedah dengan menggunakan kriteria Miller-Payne. Pgp didapatkan positif pada 21/27 subjek (77,8%) dan lemah/negatif pada 6/27 subjek (22,2%). Respons patologis komplet hanya didapatkan pada satu pasien dengan Pgp negatif. Tidak ada perbedaan secara statistik antara subjek dengan Pgp positif dan Pgp negatif dalam hal respons klinis maupun respons patologis. Hasil studi ini menunjukkan bahwa mayoritas pasien KPD-LL mengekspresikan Pgp, namun Pgp tidak dapat digunakan sebagai prediktor respons terhadap KNA, baik klinis maupun patologis.

Neoadjuvant chemotherapy (NACT) is one of the modalities used to treat locally advanced breast cancer (LABC). Studies have shown that it can improve overall survival if pathological complete response is achieved, but it is impeded by chemoresistance of which can be mediated by P-glycoprotein (Pgp). The aim of this study is to explore the association between Pgp expression and response to NACT. A multicenter prospective cohort study was carried out in Dr. Cipto Mangunkusumo General Hospital and Koja General Hospital from September 2018 to May 2019. Immunohistochemical analyses of the biopsy samples were done to semiquantitatively measure Pgp expression. Clinical response was evaluated after three cycles NACT using WHO response criteria. Subjects, who were deemed operable post-NACT, underwent modified radical mastectomy. Afterwards, the surgical specimens were evaluated for pathological response following Miller-Payne criteria. Pgp was strongly expressed in 21/27 subjects (77.8%) and weak/negative in 6/27 subjects (22.2%). pCR was seen only in one Pgp negative subject. There was no difference between Pgp positive and negative subjects in terms of clinical response and pathological response. The results show, Pgp is expressed in the majority of LABC patients, but it cannot be used as a predictor of response to NACT, either clinically or pathologically.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Umar Suratinojo
"Latar Belakang : Kanker payudara sampai saat ini masih merupakan masalah bagiwanita di seluruh dunia. Meskipun telah banyak kemajuan dalam hal skrining, deteksidini dan penatalaksanaannya, progresivitas penyakit ini tetap berlanjut. Kankerpayudara masih menjadi penyebab kematian utama akibat kanker pada seluruh wanitadan merupakan kanker yang paling sering terdiagnosa pada wanita di 140 dari 184negara di seluruh dunia termasuk negara berkembang seperti Indonesia dimana 87 berada pada stadium lanjut stadium IIIA, IIIB, IV. Keberadaan pasien yang datangberobat pada stadium lanjut, menimbulkan berbagai masalah morbiditas dan mortalitasyang menurunkan kualitas hidup, serta survival rate. Untuk memperkirakanprogresivitas dan perkembangan kanker diperlukan biomarker tertentu sebagaipenanda prognosis dan prediktif. Berbagai faktor prediktif dan prognostik telahdigunakan dalam penanganan kanker payudara. PAI-1 Plasminogen activatorInhibitor-1 sebagai bagian dari sistem aktivator plasminogen telah diketahuimerupakan faktor prognostik independen yang kuat untuk disease-free survial andoverall survival. Peningkatan kadar dan ekspresi PAI-1 pada penelitian klinissebelumnya sering menunjukkan prognosis buruk. Tetapi pada penelitian invivomenunjukkan bahwa PAI-1 memiliki peran ganda. Di satu sisi PAI-1 berperan dalammenekan perkembangan kanker dengan memblok angiogenesis, tetapi disisi lain jugadapat mempromosikan perkembangan kanker dengan meningkatkan angiogenesis danmemblok apoptosis. Tetapi apakah PAI-1 dapat menekan perkembangan kankerataukah sebaliknya mempromosikan perkembangan kanker, hal ini yang menjadipertanyaan penulis. Untuk itu penulis akan mencoba meneliti seberapa jauh peranPAI-1 dalam memprediksi kemungkinan survival rate dihubungkan dengan faktorklinikopatologi pada kanker payudara stadium lanjut.
Metode penelitian : Penelitian ini merupakan penelitian prognostik yang menilaisurvival rate dengan metode hystorical cohort analitik pada pasien Kanker payudarastadium IIIB dan IV. Sebanyak 58 dari 86 penderita kanker payudara stadium IIIB danIV di Rumah Sakit Kanker Dharmais dilakukan pemeriksaan ekspresi PAI-1 melaluipemeriksaan immunohistokimia dari jaringan kanker payudara dengan menggunakanantibody PAI-1 Santa Cruz Biotechnology, inc. PAI-1 C-9 : sc-5297 a mousemonoclonal antibody raised against amino acids 24-158 of PAI-1 of human origin pengenceran 1 : 50. Kemudian dilanjutkan analisa survival untuk mendapatkan dataprognosis PAI-1 dan dinilai pula faktor klinikopatologi yang berpengaruh terhadapekspresi PAI-1.
Hasil : Dengan cut off sebesar 90 didapatkan sensitivitas pemeriksaan ekspresi PAI-1sebesar 84,7 dan spesifisitas 60. Dari hasil analisa statistik, ternyata terdapathubungan yang bermakna antara ekspresi PAI-1 dan survival rate dengan HR 4,08 IK95 1,75 - 9,50 dengan nilai p=0,001. Selanjutnya melalui analisis survival denganKaplan-Meier menunjukkan ada perbedaan survival rate yang bermakna antara kelompok ekspresi PAI-1 yang tinggi dengan PAI-1 yang rendah pada kankerpayudara stadium lanjut log rank p=0,001 , dimana kelompok PAI-1 yang tinggimemiliki lama hidup 1408 hari, sedangkan PAI-1 yang rendah memiliki lama hidup540 hari jadi terdapat selisih 868 hari. Ekspresi PAI-1 tidak berhubungan denganfaktor-faktor kliniko-patologi, kecuali grade didapatkan RR 1,5 IK95 1,2-1,8.
Kesimpulan : Pasien kanker payudara stadium lanjut dengan ekspresi PAI-1 yangtinggi memiliki survival yang lebih baik dibanding dengan PAI yang rendah. EkspresiPAI-1 pada kanker payudara stadium lanjut tidak berhubungan dengan faktor klinikopatologikecualigrade.

Background: Breast canceissue for women around the world. Although there has been much progrr is aness in terms of screening, early detection and management, progression of the disease continues, breast cancer is still the leading cause of death from cancer in all women and is the most common cancer diagnosed in women in 140 of 184 countries around the world including developing countries such as Indonesia where 87 are at an advanced stage stage IIIA, IIIB, IV. The existence of the patients who come for treatment at an advanced stage causes many problems in morbidity, mortality, and decrease quality of life, resulting in low survival rate. To predict the progression and development of the cancer we need specific biomarkers as prognostic and predictive markers. PAI 1 Plasminogen activator inhibitor 1 as part of plasminogen activator system has been known to be a strong independent prognostic factor for disease free and overall survival. Increased levels and the expression of PAI 1 in the previous clinical studies often indicate a poor prognosis. But in vivo studies indicate that PAI 1 has a dual role. On one side the PAI 1 plays a role in suppressing the development of cancer by blocking angiogenesis, but on the other hand it can also promote the development of cancer by increasing angiogenesis and blocks apoptosis. Does PAI 1 suppress the development of cancer or promote the development of cancer, is the question of this study. The writer will study the role of PAI 1 in predicting the likelihood of survival rate associated with clinicopathologic factors in advanced breast cancer.
Research method: This study assess the prognostic survival rate with hystorical cohort analytic methods in breast cancer patients with stage IIIB and IV. A total of 58 from 86 patients with breast cancer stage IIIB and IV at Dharmais Cancer Hospital was tested for expression of PAI 1 through immunohistochemistry assay of breast cancer tissue using antibody PAI 1 Santa Cruz Biotechnology, Inc., PAI 1 C 9 sc5297 a mouse monoclonal antibody raised against amino acids 24 158 of PAI 1 of human origin dilution 1 50. Survival analysis was done to obtain the prognostic data of PAI 1 and rated the clinicopathologic factors that influence the expression of PAI1.
Result: With a cut off of 90, expression of PAI 1 test has 84.7 sensitivity and 60 specificity. Statistical analysis shows a significant correlation between the expression of PAI 1 and survival rate with HR 4.08 95 CI 1.75 to 9.50 , with p 0.001. Furthermore, survival analysis by Kaplan Meier showed significant differences in survival rate between the group of high expression of PAI 1 and low expression PAI 1 in advanced breast cancer log rank p 0.001 , where the group with high PAI 1 has 1408 days of survival life, while the group with low PAI 1 has 540 days of survival life, with difference of 868 days. Also the expression of PAI 1 shows not significant correlation with clinicopatologycal factors except grade RR 1,5 IK95 1,2 1,8.
Conclusion: Advanced breast cancer patients with the expression of high PAI 1 hadbetter survival compared with low PAI 1. The expression of PAI 1 in Advancedbreast cancer was not associated with clinicopathologycal factors excepted grade.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>