Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 59587 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Tri Astuti Handayani
"Penelitian ini membahas subjektivitas perempuan dalam film karya Justin Chadwick yang berjudul The Other Boleyn Girl. Pencermatan terhadap tokoh perempuan dalam film terkait subjektivitasnya dilakukan dengan menggunakan teori dari Simone de Beauvoir yang dikaitkan dengan konsep perkawinan. Teori film Joseph M. Boggs dan Dennis W. Petrie tentang penokohan dalam film juga digunakan untuk melihat subjektivitas tokoh utama dalam film. Hal pertama yang dilakukan untuk dapat melihat subjektivitas tokoh utama perempuan, adalah dengan mencermati penokohan tokoh-tokoh perempuan dalam film, kemudian melihat perbedaan konsep perkawinan antara dua tokoh utama dalam film. Penggambaran mengenai konsep perkawinan dua tokoh perempuan tersebut memberikan informasi bahwa kedua tokoh tersebut memiliki perbedaan dalam memandang perkawinan yang menyebabkan juga perbedaan kedua tokoh tersebut dalam memaknai diri sendiri.

This research is aimed to analyze female subjectivity in Justin Chadwick rsquo s The Other Boleyn Girl. The theory by Simone de Beauvoir is used to analyze the female main character and the subjectivity portrayed on her. The characterization in the fiction films by Joseph M. Boggs and Dennis W. Petrie is also used to analyze the characters and to see female subjectivity portrayed on the main character. The difference of marriage concept between two major characters in the film is elaborated to see the subjectivity. As the result of this research, the researcher found that there are some differences of marriage concepts between the two major characters that cause different way in understanding themselves.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2016
T51185
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Doni Jaya
"Terjemahan beranotasi adalah hasil terjemahan yang disertai anotasi atau pertanggungjawaban penerjemah atas padanan yang dipilihnya. Penerjemahan dan pembuatan anotasi melibatkan sejumlah teori, seperti metode, strategi, tahap, ideologi, dan etik penerjemahan yang harus dipilih atau dijalankan untuk menghasilkan terjemahan yang sesuai dengan tujuan (skopos) penerjemahan. Metode semantis dan ideologi pengasingan menjiwai penerjemahan TSu. Metode semantis cocok digunakan karena TSu kaya akan istilah budaya unik yang harus dijelaskan. Ideologi pengasingan cocok digunakan untuk mempertahankan nuansa kerajaan Inggris zaman Tudor. Pengetahuan skematis yang besar tentang sejarah dan kebudayaan Inggris kuno diperlukan untuk dapat memahami TSu dan menemukan padanan yang tepat. Di dalam penerjemahan karya sastra, kemampuan menulis amat diperlukan untuk tidak hanya mengalihkan pesan, tetapi juga mempertahankan sifat puitis terjemahan.

An annotated translation is a translation supported by annotations or translator's commentary on the equivalents chosen. Translating and annotating processes require a set of theory, consisting of methods, strategies, procedures, ideology, and ethics of translation, which must be selected or applied to produce a translation based on certain translation goals (skopos). Semantic method and the ideology of foreignization are dominant throughout the translation process. Semantic method is chosen because the ST is full of culturally-bound expressions requiring sufficient explanations. Foreignization is chosen to emphasize the Tudor England setting. Substantial schematic knowledge is required to fully understand the ST and choose the most accurate equivalents. In translating a novel, a literary talent is essential for not only transferring the messages, but also preserving the poetic nature of the translation.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2013
T35704
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ken Rahmalia
"Dalam diskursus yang ada di sekitar tokoh penjahat wanita Disney, sering kali karakteristik yang mereka miliki diatribusikan kepada faktor identitas di luar keperempuanan mereka, karena karakteristik-karakteristik ini dinilai terlalu maskulin untuk dimiliki seorang perempuan. Subjektivitas, karakteristik penting yang ada di setiap tokoh penjahat perempuan Disney, adalah salah satunya. Dengan membahas film animasi Disney Cinderella (1950) dan Snow White and the Seven Dwarfs (1937) dan membandingkan naratif yang ada di sekitar karakter-karakter antagonis mereka dengan mitos Lilith, artikel ini berargumen bahwa meski subjektifitas adalah sebuah sebuah karakteristik yang hadir berdampingan dengan keperempuanan sejak dahulu kala dalam figur-figur perempuan, subjektivitas tetap menjadi suatu karakteristik yang tidak diterima untuk dimiliki perempuan. Sama seperti Lilith, karakter-karakter perempuan Disney yang menunjukkan subjektivitas tinggi sering dicap buruk karena status subjek mereka dan tidak bertindak sebagai penerima pasif dari jalannya takdir. Ditambah lagi, naratif-naratif ini terlihat mendukung anggapan bahwa perempuan tidak dapat memiliki tanggung jawab yang diperlukan sebuah individu dengan status subjek.

In the discourse surrounding Disney villainesses, it is often believed that female antagonists owe their characteristics to identities outside of their femaleness, due to the understanding that they own traits deemed too ‘masculine’ for women. Subjectivity, a defining trait present in every single one of the Disney villainesses, is one of them. Examining the animated Disney movies Cinderella (1950) and Snow White and the Seven Dwarfs (1937), and comparing the narratives surrounding their antagonists to the myth of Lilith, this article argues that while subjectivity is a trait that have always coexisted with femininity in women since the very beginning of time, subjectivity is still a trait not accepted in women. Just as the case with Lilith, Disney’s female characters with strong displays of subjectivity are often vilified for displaying their subjective status instead of acting as passive recipients to the dealings of fate. Additionally, the narratives seem to reinforce the notion that these subjective females are incapable of handling the responsibility that comes with their subject status."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2019
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Benedictus Bina Naratama
"Setiap peserta tutur yang terlibat di dalam percakapan diharapkan untuk senantiasa menjaga kelancaran dari proses komunikasi dengan menggunakan strategi kesantunan untuk menghindari terjadinya suatu konflik. Penggunaan dari strategi kesantunan ini sangat penting bagi wanita, mengingat posisi subordinat wanita di masyarakat yang mengharuskan mereka untuk berperilaku santun, khususnya ketika melakukan percakapan. Oleh karena itu, dalam penelitian skripsi ini, penulis menjelaskan karakteristik dari wicara wanita yang tercermin di dalam tuturan strategi kesantunan yang diucapkan oleh tokoh Anne dan Mary dalam film The Other Boleyn Girl. Dengan menggunakan metode kualitatif, skripsi ini menganalisis pemilihan tuturan dalam beberapa dialog dua tokoh protagonis, Anne dan Mary. Teori tindak pengancam muka dari Brown & Levinson (1987) digunakan untuk menguraikan strategi kesantunan yang diterapkan oleh Anne dan Mary di dalam tuturannya, dan konsep karakteristik wicara wanita dari Lakoff (1975) dan Coates (1993) digunakan untuk menganalisis karakteristik wicara wanita yang tercermin di dalam tuturan strategi kesantunan tersebut. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa perbedaan gender antara pria dan wanita yang tampak di dalam film The Other Boleyn Girl tidak serta merta mempengaruhi penerapan dari strategi kesantunan oleh tokoh Anne dan Mary, namun dapat mempengaruhi penggunaan kata, frasa, maupun kalimat di dalam tuturan strategi kesantunan tersebut.

Every participant in a conversation is expected to maintain the continuity of the communication process by using politeness strategy in order to avoid a conflict. The use of politeness strategy is very important for women, considering their subordinate position in the society, which constrain them to behave politely particularly when having a conversation. Therefore, in this research paper, the writer explains the characteristic of women’s speech in Anne and Mary's politeness strategy utterances in the movie The Other Boleyn Girl. By using a qualitative method, this paper analyzes on utterances’ selection in some conversations of the two main characters, Anne and Mary. The writer uses the Face Threatening Act theory from Brown & Levinson (1987) to explicate Anne and Mary's politeness strategies, and the concept of women's speech characteristic from Lakoff (1975) and Coates (1993) to analyze the characteristics of women's speech in their politeness strategy utterances. The result of this research shows that the gender differences between men and women in The Other Boleyn Girl does not necessarily affects the use of politeness strategy by Anne and Mary. However, it may influence the use of words, phrases, or sentences in those politeness strategy utterances.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2014
S54730
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Atika Binar Budiman
"Film adalah sebuah media yang digunakan untuk memproduksi sebuah karya seni melalui aspek visual dan sonor, biasanya digunakan sebagai hasil dari perpindahan dari tatanan simbolik-imajiner menjadi simbolik-reel. Salah satu film yang menunjukkan perpindahan tersebut adalah J’ai Perdu Mon Corps (2019), sebuah film animasi oleh Guillaume Laurant dan Jérémy Clapin, adaptasi dari novel Happy Hands (2006) oleh Guillaume Laurant. Artikel ini akan fokus pada perubahan yang melingkupi perilaku tokoh utama berdasarkan kegagalan pemenuhan hasrat mereka di masa lalu. Metode yang digunakan adalah teori film Joe Boggs dan Dennis Petrie, yang dapat membantu mengkaji aspek naratif dan sinematografi, untuk mengidentifikasi adegan yang akan menunjukkan efek memori terhadap perasaan keterasingan. Pada aspek tematik, artikel ini akan menggunakan psikoanalisis Lacan yaitu stade du miroir (1966) dan objet petit a (1973). Keduanya akan digunakan untuk mengidentifikasi dampak dari kegagalan memenuhi keinginan Naoufel dan Tangan yang berujung pada keterasingan. Hasil analisis menunjukkan bahwa struktur film memperlihatkan dua kisah paralel antara kisah Tangan mencari tubuhnya dan kisah Naoufel menemukan kedewasaannya. Kehadiran Tangan sebagai entitas terpisah dari Naoufel ini dimaksudkan sebagai fragmentasi dirinya mengatasi keterasingan yang mengganggu proses subjektivitasnya.

Film is a media used to produce an art expression through the visual and audio aspects, often used as a result from the shifting of the symbolic-imaginary into the symbolic-real. One of the films based on that same topic is J’ai Perdu Mon Corps (2019), an animation film by Guillaume Laurant and Jérémy Clapin, adapted from the novel Happy Hands (2006) by Guillaime Laurant. This article will focus on the changes that are surrounding the main characters’ behaviour based on the failures of fulfilling their demands and desires in the past. The methods used are the film theory by Joe Boggs and Dennis Petrie, which will be used to aid the narrative and the cinematographic aspect, to identify the scenes that will show the effects of memory and/or the past to the feelings of the alienation. On the thematic aspect, the article will use Lacan’s psychoanalysis which are the stade du miroir (1966) and objet petit a (1973). Both will be used to identify the effects from the failures in fulfilling Naoufel and The Hand’s desires which leads to alienation. The results of the analysis show that the structure of the film presented two parallel stories between the tale of The Hand looking for his body and the story of Naoufel finding his maturity. The presence of The Hand as a separate entity from Naoufel is intended as his fragmentation in overcoming the alienation that interferes with his subjectivity process."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Anthony, Evelyn
New York: Thomas Y. Crowel, 1957
823.914 ANT a
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Nia Nafisah
"Subjektivitas adalah konsep identitas diri yang berkaitan dengan cara pandang mengenai diri dan relasinya dengan struktur sosial tempatnya berada. Disertasi ini mengungkapkan ambivalensi subjektivitas tokoh anak dalam empat film anak –Laskar Pelangi, Serdadu Kumbang, Lima Elang, dan Langit Biru. Melalui pendekatan strukturalisme dan analisis sistem formal dari Bordwell dan Thompson (2008), ditemukan ambivalensi  struktur teks dan strategi naratif yang di satu sisi memosisikan tokoh anak sebagai subjek, tetapi di sisi lain dibatasi dengan kondisi tertentu, yaitu ketidakhadiran atau campur tangan tokoh dewasa, keberadaan di ruang terbuka, serta kehendak yang berorientasi kelompok. Analisis lebih jauh dengan menggunakan teori kuasa disiplin Foucault (1995) menemukan bahwa walaupun keterampilan literasi dapat menggeser dominasi kuasa dewasa dan negosiasi posisi dimungkinkan untuk sementara waktu, subjektivitas tokoh anak pada umumnya dikonstruksi melalui pendisiplinan dalam praktik sosial. Pendisiplinan ini melatih anak untuk selalu memperhatikan aspek budaya yang dianggap penting. Akibatnya, subjektivitas yang dikonstruksi ini mendorong tokoh anak untuk mematuhi aturan yang berlaku, mengedepankan kepentingan kelompok, dan menghindari perbedaan. Subjektivitas yang ambivalen ini mengisyaratkan film anak Indonesia memandang anak-anak sebagai manusia yang defisien atau kurang sempurna sebagai manusia sehingga harus dibimbing dan diberi pengarahan, tetapi kurang memperhatikan potensi emosi dan intelektual yang dimiliki anak-anak.

The notion of subjectivity is a concept of personal identity which deals with the self and its relations to the social structures. This dissertation reveals the ambivalent construction of child character subjectivity in four Indonesian children’s films: Laskar Pelangi, Serdadu Kumbang, Lima Elang, dan Langit Biru. Employing structuralism approach and system formal analysis form Bordwell and Thompson (2008), it is found that textual structure and narrative strategies are ambivalent because they position child characters as subjects, but only under certain conditions: the absence or without involvement of adult characters, in open space, and group-oriented. Further analysis using Foucault theory of power and governmentality (1995) found that although literacy is the child's potential skill to shift adult's dominant power and negotiating positions take place temporarily, the child character's subjectivity is generally constructed through discipline in social practices in order to train children to take cultural aspects deemed important into consideration. Consequently, the constructed subjectivity is submissive children who obey the expected norms, prioritize group's interests, and avoid differences. This ambivalent subjectivity suggests that Indonesian children's films view children as deficient and so in need of guidance and instruction despite their emotional and intellectual potentials."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2019
D2657
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Umar Dwi Turhangga
"Jurnal ini membahas krisis eksistensial yang dialami seorang transpuan dalam film GIRL (2018). Film ini dibuat berdasarkan kisah yang dialami oleh seorang transpuan yang bercita-cita ingin menjadi balerina profesional dan harus berjuang menghadapi permasalahan dalam meraihnya. Konflik yang dihadapi tokoh dimulai dari konflik dalam batinnya yang berkecamuk, hubungannya dengan keluarga, hingga pengakuan dalam kelompok pertemanannya. Konflik yang begitu kompleks ditampilkan dengan memanfaatkan teknik sinematografi yang beragam. Pembahasan krisis eksistensi yang dialami transpuan dalam film ini dijabarkan dengan analisis struktur, fokalisasi, dan sinematografi.

This journal discusses the existence crisis experienced by a trans woman in the film GIRL (2018). This film is based on a story experienced by a trans woman who aspires to become a professional ballerina and must struggle to face problems in achieving it. The conflicts that the characters face, start from the inner conflict that rages on, her relationship with her family, the recognition in their group of friends. Such complex conflicts are displayed using various cinematographic techniques. Analysis of the existence crisis experienced by trans women in this film is described by structural analysis, focalization, and cinematography."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2018
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Liddell, Alix
London: Frederick Muller, 1970
369.463 LID g
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Ria Anatasia
"Artikel ini membahas isu patologi sosial dan kekerasan seksual sebagai representasi praktik BDSM di film Fifty Shades of Grey 2015 dan Venus in Fur 2013 . Dengan analisis tekstual, artikel ini fokus menganalisis masalah seksualitas dan hubungan kekuasaan melalui karakter utama perempuan dari kedua film. Konsep yang digunakan adalah understanding via pathologizing oleh Weiss 2006 dan male gaze oleh Mulvey 1975 .
Hasil analisis menunjukan kedua film memperkuat representasi dominan dari film-film BDSM sebelumnya ketika sifat patologis dan kekerasan seksual diromantisasikan, perizinan untuk melakukan praktik BDSM tidak diberikan secara sadar, hubungan kekuasaan bekerja dengan berbeda di dalam dan luar peran seksual, dan karakter wanita digambarkan secara sensual.

Mainstream media representation of BDSM is complex and often problematic, which needs to be continuously scientifically investigated. This article explores the themes of pathology and abuse in two films Fifty Shades of Grey 2015 and Venus in Fur 2013 . By doing a comparative textual analysis, the analysis discusses female sexualities and power relation between leading female characters, Anastasia Steele in Fifty Shades of Grey 2015 and Vanda von Dunayev in Venus in Fur 2013. Weiss 2006 understanding via pathologizing and Mulvey rsquo s 1975 male gaze are the concepts used to understand how pathology is associated with BDSM practice and why females are depicted as sexual objects in these films.
Research findings reveal that both films strengthen mainstream representation of BDSM where pathology and abuse are romanticized, the understanding of consent is problematic, power relation operates differently inside and outside the characters rsquo sexual role play and female characters are sexualized."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2017
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>