Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 203173 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hageng Guritno
"ABSTRAK
Nama : Hageng GurinoProgram Studi : Hukum TransnationalJudul : Penyelengaraan Pelayanan Navigasi Penerbangan Di Sektor A, B, dan C Di Indonesia Ditinjau Dari Hukum International. Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sangat luas yang teridiri dari 17.508 pulau dan 81.000 km2 garis pantai, dengan luas perairan laut mencapai /- 5.900.000km2. Dengan luasnya wilayah Indonesia, maka akan mengundang ancaman pelanggaran baik di wilayah laut dan wilayah udara Indonesia. Ruang udara Indonesia di atas kepulauan Riau dan Natuna dikenal sebagai Sektor A, B, dan C yang dikelola oleh Singapura dan Malaysia. Beberapa usaha pengambil alihan pun pernah dilakukan namun belum berhasil. Dengan Pelayanan Navigasi penerbangan di Indonesia di Sektor A, B, dan C sampai saat ini yang masih dikuasai oleh Singapura dan Malaysia akan berdampak pada bidang politik, bidang ekonomi, pertahanan keamanan negara. Ini sudah saatnya pemerintah mengkaji ulang tentang Flight Information Regional yang dikelola oleh Singapura dan Malaysia dan sebagai negara yang berdaulat Indonesia harus dapat mengambil alih kembali Pelayanan Navigasi di Sektor A, B, dan C dari Singapura dan Malaysia. Dalam penerapan Flight Information Region Sektor A, B, dan C, Indonesia sudah sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh Annex 11 Konvensi Chicago 1944 dan Indonesia sudah mampu mengelola wilayah udara negaranya. Kata kunci :Pelayanan navigasi penerbangan, Flight Information Region, Sektor A, B, dan C,

ABSTRACT
Nama Hageng GuritnoProgram of Studi Transnational LawTitle Navigation Aviation Services In Sectors A, B, and C In Indonesia Viewed From International Law. Unitary State of the Republic of Indonesia consists of 17,508 islands and 81,000 km2 of coastline, with sea area reaching 5.900.000km2. With the vastness of Indonesia, it will invite the threat of violations both in the sea and air region of Indonesia. Indonesia 39 s airspace over the islands of Riau and Natuna is known as Sectors A, B, and C managed by Singapore and Malaysia. Several takeover attempts have been made but have not succeeded. With Indonesia 39 s Navigation Services in Sectors A, B, and C to date still dominated by Singapore and Malaysia will have an impact on the political, economic, and defense of the country 39 s security. It is time for the Government to review the Regional Flight Information managed by Singapore and Malaysia and as a sovereign country Indonesia should be able to take over the Navigation Service in Sectors A, B and C from Singapore and Malaysia. In implementing Flight Information Region Sector A, B, and C, Indonesia is in conformity with the standards set by Annex 11 of the 1944 Chicago Convention and Indonesia has been able to manage the airspace of the country. Keywords Navigation Services Aviation, Flight Information Region, Sector A, B, and C "
2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Scott, Benjamyn I.
"Fundamentals of International Aviation Law and Policy offers students a systematic, tailored and dynamic approach to understanding the legal scenario concerning international civil aviation. The book dynamically covers the major areas of international aviation law, and provides an introduction to the multifaceted international regulation of aviation activities in the sphere of public and private law.
The book is designed to provide the reader with the fundamental notions concerning international aviation law. It adopts an interactive approach, which aims at engaging the reader by way of using learning tools. The main areas of public and private aviation law are dealt with from a regulatory and practical perspective, and include detailed analyses of existing and applicable legislations, as well as landmark court cases and decisions. Each chapter is tailored to confer to readers a thorough knowledge of the international and, if any, the European applicable legislation. Delivery of these aims is attained through a dynamic and balanced use of didactic instruments and immediate information.
The book is intended for a varied audience of students and professionals involved in the aviation world, without requiring the possession of specific legal knowledge or background. It also aims to constitute a useful reference material for those who are familiar with legal terminology and aviation specifics."
London: Routledge, 2019
e20534319
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
"GSO segment above the Indonesia area was ever claimed by Indonesia's Government under its sovereignty, but in the subsequent development its sovereignty claim was changed to the preservation right claim in the use to put satellite in a certain place. Ratification of the 1967 space treaty made by Indonesia could influential to the position of Indonesia against the claimed to the GSO segment. The juridical and comparative method was used to examination the data above, the data was examined qualitatively. From the examination's data could be concluded that after the ratification's Indonesia cannot based on the reason again that Indonesia did not bound the 1967 Space Treaty against the Indonesian's claims in the GOS segment. Although Indonesia still have an interest for the sake of use in the GSO segment, but the Indonesia has to implement the Space Treaty 1967 in its activities."
2006
340 JEPX 26:1 (2006)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Weber, Ludwig
Philadelphia: Wolters Kluwer, 2007
343.097 WEB i
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Evi Zuraida
"ABSTRAK
Dengan adanya permasalahan tentang masih dikontrolnya ruang udara Indonesia
oleh FIR asing khususnya di atas kepulauan Riau dan Natuna oleh FIR Singapura
berdasarkan perjanjian yang dibuat oleh Indonesia dan Singapura tahun 1995,
dimana kemudian dengan telah dimilikinya kemampuan baik di bidang teknologi
maupun SDM maka Indonesia berkeinginan untuk mengambil alih kontrol FIR
tersebut sebagai bangsa yang berdaulat dan juga sbg pelaksanaan dari undangundang.
Terkait dengan hal itu, perlu ditinjau lebih lanjut mengapa Indonesia
memandang perlu untuk mengambil alih kontrol FIR di atas kepulauan Riau dan
Natuna dari pihak Singapura serta hambatan-hambatan yang dihadapi pihak
Indonesia dalam mewujudkan kehendaknya tersebut. Namun sesuai dengan
salah satu klausul dalam perjanjian (Article 6) bahwa selama pihak Singapura
melakukan pengontrolan di wilayah Indonesia maka Pemerintah Singapura atas
nama Pemerintah Indonesia memungut Route Air Navigation Services (RANS)
Charges, dan hasilnya akan diserahkan ke pemerintah Indonesia. Dari adanya
pendapatan yang diperoleh Negara tersebut maka hal ini menjadi salah satu
sumber pendapatan Negara berupa PNBP. Namun demikian, dengan adanya
RANS Charges tersebut.menimbulkan implikasi terhadap Indonesia terkait upaya
pengambilalihan pelayanan navigasi penerbangan pada FIR Singapura di atas
kepulauan Riau dan Natuna berdasarkan perjanjian Indonesia Singapura Tahun
1995.

ABSTRACT
With the problems about still is still uncontrollable air space Indonesia by foreign
FIR, especially above the Riau Islands and Natuna by the Singapore FIR based
on agreements made by Indonesia and Singapore in 1995, which then has the
ability to have both in the field of technology and human resources, Indonesia
desirous to take over FIR control as a sovereign nation and also as the
implementation of the Act. Related to this matter, need to be reviewed further,
Indonesia necessary to take over control FIR above Riau Islands and Natuna from
the Singapore and the obstacles faced by Indonesia in realizing against his will.
However according to one clause in the agreement (Article 6) that during the
Singapore authorities in the area of controlling in Indonesia, the Government of
Singapore on behalf of the Government of Indonesia picked up Route Air
Navigation Services (RANS) Charges, and the results will be submitted to the
government of Indonesia. Of the State earned income it becomes a source of
State revenue in the form of non-tax revenues. However, with the existence of
RANS , give rise to that implication charges against Indonesia?s takeover
attempts on the air navigation services in the Singapore FIR above Riau islands
and Natuna based on agreement Indonesia Singapore 1995."
2012
T30925
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Suci Fitria Ardhiany
"Skripsi ini membahas mengenai permasalahan monopoli penjualan bahan bakar pesawat jenis avtur yang dilakukan oleh PT Pertamina (Persero) di Indonesia berdasarkan hukum persaingan usaha. PT Pertamina (Persero) sebagai satu-satunya pelaku usaha dalam penjualan bahan bakar pesawat jenis avtur saat ini di Indonesia dianggap sebagai salah satu penyebab tingginya harga bahan bakar pesawat jenis avtur sehingga menimbulkan berbagai akibat dan permasalahan dalam aspek-aspek lain. Pokok permasalahan utama dalam skripsi ini adalah penjualan bahan bakar pesawat jenis avtur oleh PT Pertamina (Persero) di Indonesia ditinjau dari UU No. 5 Tahun 1999 serta akibat yang ditimbulkan dari penjualan bahan bakar pesawat jenis avtur oleh PT Pertamina (Persero) di Indonesia. Skripsi ini merupakan penelitian yuridis-normatif yang menggunakan data sekunder berupa bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa struktur pasar penjualan bahan bakar pesawat jenis avtur di Indonesia berbentuk monopoli, tetapi tidak bertentangan dengan UU No. 5 Tahun 1999 karena tidak ditemukan adanya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Namun, monopoli penjualan bahan bakar pesawat jenis avtur di Indonesia oleh PT Pertamina (Persero) sebaiknya disudahi dengan adanya pelaku usaha lain yang dapat bersaing dengan sehat agar tercipta harga yang lebih kompetitif. Sehingga, bahan bakar pesawat jenis avtur yang merupakan salah satu hasil pengolahan dari minyak bumi dapat memberikan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat yang lebih maksimal sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 33 UUD 1945.
This thesis discusses about the problem that occurs in monopoly of aviation turbine fuel selling by PT Pertamina (Persero) in Indonesia from the perspective of competition law. PT Pertamina (Persero) as the only seller of aviation turbine fuel in Indonesia is considered as the cause of high prices of aviation turbine fuel so that lead to impacts and problems in other aspects. The issues of this thesis are to discuss the aviation turbine fuel selling by PT Pertamina in Indonesia from the perspective of the law of the Republic of Indonesia No. 5 of 1999 and the impacts caused by aviation turbine fuel selling by PT Pertamina (Persero) in Indonesia. This thesis is the juridical-normative research using secondary data in the form of primary, secondary, and tertiary legal material. The result of the research shows that the structure of aviation turbine fuel selling in Indonesia is a monopoly, but it doesn’t infringe Law of the Republic of Indonesia No. 5 of 1999 because there is no monopolistic practices and unfair business competition. However, monopoly on aviation turbine fuel selling by PT Pertamina in Indonesia should be ceased by presenting another seller so that there is fair business competition and more competitive prices. So that, aviation turbine fuel as one of the results of crude oil’s processing can be exploited to the greatest benefit of the people as mandated in Article 33 of the Constitution of the Republic of Indonesia of 1945."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Buergenthal, Thomas
New York: Syracuse University Press, 1969
341.2 BUE l
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
"Pasar tunggal penerbangan ASEAN (ASEAN Single Aviation Market) pada tahun 2015, merupakan kebijakanyang telah disepakati oleh seluruh negara anggota ASEAN yang tertuang dalam ASEAN MultilateralAgreement on Air Services (ASEAN MAAS) dan telah ditandatangani pada tanggal 20 Mei 2009di Manila, Filipina. Dalam menghadapi ASEAN Single Aviation Market 2015, selain memperhatikanpotensi keuntungan yang dapat diperoleh dari kebijakan open sky tersebut, pemerintah harus mewaspadaipeluang ancaman perebutan pangsa pasar penerbangan di wilayah ASEAN juga pangsa pasar penerbangandomestik. alah satu faktor yang dapat mengancam Indonesia adalah lemahnya pengawasan(direct or indirect) investment bidang angkutan udara, sehingga kemungkinan terjadi penyelundupanhukum investasi, yang akhirnya pasar nasional dikuasai asing melalui badan hukum Indonesia yangdibentuknya (cabotage terselubung). Prinsip cabotage diterapkan secara umum di seluruh dunia dengantujuan menjaga dan melindungi kepentingan politik dan ekonomi negara yang bersangkutan. Penerapanprinsip cabotage secara operasional bisa bersifat fleksibel, selama kepentingan strategis negara tersebuttetap terjaga dan terlindungi. Pelayanan penerbangan di Indonesia saat ini dianggap sudah melanggarprinsip cabotage."
340 ARENA 6:1 (2012)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Musanif
"Meningkatnya kesadaran terhadap keselamatan di penerbangan Indonesia tidak berarti terbebas dari tanggung jawab untuk terus meningkatkan dan mempertahankan kesadaran tersebut. Diperlukan langkah pencegahan yang dapat diimplementasikan dengan mudah untuk mengidentifikasi kondisi awal sebelum terjadinya suatu kejadian, terutama yang berkaitan dengan human factor. Dari semua studi yang telah dilakukan di Indonesia, belum banyak yang membahas tentang bagaimana menentukan program keselamatan yang dapat memperhatikan sisi human factor dan sesuai dengan kebutuhan organisasi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis program keselamatan yang tepat untuk suatu organisasi berbasis human factor dan juga kriteria dalam pemilihannya. Pemilihan program keselamatan ini menggunakan metode pengambilan keputusan AHP (Analytical Hierarchy Process). Dalam metode ini, diambil empat kategori, dua belas subkategori dan tiga alternatif untuk pemilihan program. Pemilihan kriteria, subkriteria dan alternatif dilakukan melalui diskusi dengan narasumber yang berasal dari kalangan akademisi dan praktisi di industri penerbangan. Alternatif yang dipilih adalah dirty dozen, HFACS, dan LOSA. Hasil akhir komparasi dengan menggunakan metode pengambilan keputusan AHP menunjukkan bahwa dirty dozen merupakan pilihan yang paling sesuai untuk program keselamatan di Indonesia yang dapat memperhatikan sisi human factor secara komprehensif. Dengan hasil ini, program pencegahan kecelakaan pesawat udara dapat disusun sesuai dengan budaya perusahaan dan disesuaikan dengan budaya nasional Indonesia.

The increase in awareness regarding aviation safety in Indonesia does not imply freedom from the responsibility to continually enhance and maintain such awareness. It necessitates the implementation of easily implementable preventive measures to identify preconditions before an incident occurs, particularly concerning the human factor. Among the studies conducted in Indonesia, there are few discussions on determining safety programs that consider the human factor and align with organizational needs. The objective of this research is to analyze an appropriate safety program for an organization based on human factor and establish the criteria for its selection. The selection of safety programs employs the Analytical Hierarchy Process (AHP) decision-making method. Four categories, twelve subcategories, and three alternatives are considered for program selection. Criteria, subcriteria, and alternatives are determined through discussions with experts from academic and aviation industry backgrounds. The chosen alternatives are the dirty dozen, HFACS, and LOSA. The final comparison results utilizing the AHP decision-making method indicate that the dirty dozen is the most suitable choice for a comprehensive safety program in Indonesia, considering the human factor. Based on these findings, preventative measures for aircraft accidents can be developed in accordance with organizational culture and tailored to the national culture of Indonesia.
"
Jakarta: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>