Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 37979 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Saragih, Robby
"ABSTRAK
Skripsi ini merupakan analisa filosofis terhadap teori rekognisi dalam keragaman identitas dalam kehidupan sosial masyarakat, yang mana kondisi di dalamnya terjadi diskriminasi individu atas identitas yang dimiliki sehingga menjadi individu yang tidak diakui eksistensinya. Hal ini memberikan celah untuk menganalisa ulang bagaimana seharusnya individu dengan identitasnya dapat diakui keberadaanya dengan sepenuhnya sehingga akhirnya memunculkan kondisi kesetaraan dan solidaritas sosial. Praksis dalam kehidupan sosial memunculkan distribusi sensibilitas yang mengklasifikasikan individu-individu di dalam sistem. Adanya pengklasifikasikasian dalam hal apapun selalu mengarah pada ketidaksetaraan. Ketidaksetaraan dalam kondisi keragaman identitas menurut Axel Honneth akan memunculkan peluang terjadinya konflik. Menanggapi masalah tersebut, terdapat teori rekognisi yang berpotensi memberikan jalan keluar, yaitu dengan cara pengakuan terhadap keragaman identitas inividu-individu dan kesempatan yang setara dalam kehidupan sosial. Terkait dengan permasalahan diatas, teori rekognisi juga memiliki celah dalam usaha untuk memahami keberagaman identitas dalam relasi sosial. Perbedaan tersebut berada pada level rekognisi yang terletak pada interkultural dan intersubjektivitas yang kemudian berpengaruh kepada kondisi subjek individu yang berusaha merealisasikan dirinya melalui rekognisi yang diperolehnya. Dengan usaha perumusan teori rekognisi di level intersubjektivitas dan level interkultural dapat memberikan solusi bagi permasalahan keberagaman identitas.

ABSTRACT
This thesis is a philosophical analysis of the theory of recognition in the diversity of identity in the social life of society, where the conditions in which there is individual discrimination of the identity that has become an individual who is not recognized existence. This provides a loophole to re analyze how individuals with identities should be fully acknowledged so as to ultimately bring about conditions of social equality and solidarity. Praxis in social life brings out the distribution of sensibilities that classify individuals within the system. The existence of classifiers in any case always leads to inequality. Inequality under the conditions of diversity of identity according to Axel Honneth will raise the chances of conflict. In response to the problem, there is a theory of recognition that has the potential to provide a way out, that is, by recognizing the diversity of identities of individuals and equal opportunities in social life. Associated with the above problems, recognition theory also has a gap in the effort to understand the diversity of identity in social relations. The difference is at the level of recognition that lies in intercultural and intersubjectivity which then affects the condition of the individual subject who seeks to realize himself through the acquired recognition. With the effort of formulating the theory of recognition at the level of intersubjectivity and intercultural level can provide solutions to the problem of diversity of identity."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bagus Adi Saputro
"Indonesia adalah negara yang memiliki keanekaragaman suku, budaya, dan ras. Akan tetapi, pluralitas yang ada saat ini sedang diuji dalam penyelesaian terhadap permasalahan Papua. Salah satu peristiwa yang menjadi awal perdebatan adalah hasil dari Perjanjian New York tahun 1962. Konflik Papua telah ada sejak masa transisi dari orde lama ke orde baru. Tindakan kekerasan yang dilakukan oleh militer dalam upayanya untuk menyelesaikan konflik Papua seringkali menjadi cara untuk meredam justru memperpanjang konflik. Sejak masa orde baru penggunaan kekuatan militer semakin meningkat dan hingga saat ini pendekatan militeristik masih gencar dilakukan. Tidak hanya berhenti di situ saja, isu lain yang menjadi persoalan di Papua adalah kemiskinan yang terjadi. Persoalan lain yang muncul adalah diskriminasi dan rasisme yang ditujukan kepada orang asli Papua. Dengan menggunakan konsep rekognisi dari Axel Honneth. Rekognisi adalah perjuangan untuk pengakuan untuk mengubah kondisi yang ada di dalam masyarakat. Penelitian ini berusaha untuk mengungkap permasalahan fundamental dan merefleksikan konflik Papua dalam pendekatan filosofis. Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah analisis konseptual, refleksi kritis, dan abduksi. Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa konflik Papua telah menjadi patologi sosial dan orang asli Papua itu sendiri juga harus terlibat aktif sebagai subjek yang mengemansipasi dirinya dan bukan lagi sebagai objek pembangunan semata.
Indonesia is a country that has ethnic, cultural and racial diversity. However, the current plurality is being challenged in solving the Papuan problem. One of the events that started the debate was the outcome of the 1962 New York Agreement. The Papuan conflict has existed since the transition from the old order to the new order. Violent acts carried out by the military in its efforts to resolve the Papuan discord are often a way to dampen and prolong the conflict. Since the New Order era, the use of military force has been increasing and until now, the militaristic approach is still being carried out vigorously. It doesn't just stop there, an additional issue in Papua is the problem of poverty. That results in discrimination and racism directed at indigenous Papuans. Using the concept of recognition from Axel Honneth. Recognition is struggle for changing the reality that happens in society. This study seeks to uncover fundamental problems and reflect on the Papuan conflict in a philosophical approach. The method used in this research is conceptual analysis, critical reflection, and abduction. The results of this study indicate that the Papuan conflict has become a social pathology and the indigenous Papuans themselves must also be actively involved as subjects who emancipate themselves and are no longer mere objects of development.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Bagus Adi Saputro
"Indonesia adalah negara yang memiliki keanekaragaman suku, budaya, dan ras. Akan tetapi, pluralitas yang ada saat ini sedang diuji dalam penyelesaian terhadap permasalahan Papua. Salah satu peristiwa yang menjadi awal perdebatan adalah hasil dari Perjanjian New York tahun 1962. Konflik Papua telah ada sejak masa transisi dari orde lama ke orde baru. Tindakan kekerasan yang dilakukan oleh militer dalam upayanya untuk menyelesaikan konflik Papua seringkali menjadi cara untuk meredam justru memperpanjang konflik. Sejak masa orde baru penggunaan kekuatan militer semakin meningkat dan hingga saat ini pendekatan militeristik masih gencar dilakukan. Tidak hanya berhenti di situ saja, isu lain yang menjadi persoalan di Papua adalah kemiskinan yang terjadi. Persoalan lain yang muncul adalah diskriminasi dan rasisme yang ditujukan kepada orang asli Papua. Dengan menggunakan konsep rekognisi dari Axel Honneth. Rekognisi adalah perjuangan untuk pengakuan untuk mengubah kondisi yang ada di dalam masyarakat. Penelitian ini berusaha untuk mengungkap permasalahan fundamental dan merefleksikan konflik Papua dalam pendekatan filosofis. Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah analisis konseptual, refleksi kritis, dan abduksi. Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa konflik Papua telah menjadi patologi sosial dan orang asli Papua itu sendiri juga harus terlibat aktif sebagai subjek yang mengemansipasi dirinya dan bukan lagi sebagai objek pembangunan semata.

Indonesia is a country that has ethnic, cultural and racial diversity. However, the current plurality is being challenged in solving the Papuan problem. One of the events that started the debate was the outcome of the 1962 New York Agreement. The Papuan conflict has existed since the transition from the old order to the new order. Violent acts carried out by the military in its efforts to resolve the Papuan discord are often a way to dampen and prolong the conflict. Since the New Order era, the use of military force has been increasing and until now, the militaristic approach is still being carried out vigorously. It doesn't just stop there, an additional issue in Papua is the problem of poverty. That results in discrimination and racism directed at indigenous Papuans. Using the concept of recognition from Axel Honneth. Recognition is struggle for changing the reality that happens in society. This study seeks to uncover fundamental problems and reflect on the Papuan conflict in a philosophical approach. The method used in this research is conceptual analysis, critical reflection, and abduction. The results of this study indicate that the Papuan conflict has become a social pathology and the indigenous Papuans themselves must also be actively involved as subjects who emancipate themselves and are no longer mere objects of development.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Yasintus Toin Runesi
"Tesis ini merupakan penelisikan teoritis mengenai pluralitas masyarakat semasa ini, dalam kerangka pemikiran teori kritis Axel Honneth. Berangkat dari faktisitas sosio-politik, yang ditandai dengan intensitas keragaman nilai, ideologi, gaya hidup, terjadi pula penajaman perbedaan identitas entah itu bersifat etno-kultural maupun etno-religius. Akibatnya, di satu sisi, kita menemukan dalam masyarakat adanya gejala eksklusivitas mayoritas terhadap minoritas, atau antaretnis dan antaragama akibat gesekan-gesekan sosial, dan di sisi lain, ada upaya untuk mengatasi problem semacam itu dengan mendorong inklusivitas sosial dalam masyarakat. Dengan menggunakan teori pengakuan Axel Honneth, yang dipahaminya sebagai sarana realisasi-diri individu, tesis ini menyatakan bahwa melalui pengakuan intersubjektif, terbuka kemungkinan masyarakat semasa menemukan jalan dialog bagi kebertemuan yang secara legal-normatif menjamin hidup bersama secara berdamai dan berkeadilan. Sehubung itu, dalam tesis ini, pengakuan intersubjektif disebut sebagai prinsip pro-eksistensi masyarakat plural.

This thesis is a theoretical scrutinize of the plurality of contemporary society, in the framework of critical theory of Axel Honneth. Departing from socio-political facticity, which is characterized by the intensity of the diversity of values, ideology, lifestyles, there is also sharpening difference whether it is the identity of ethno-cultural as well as ethno-religious. What emerges is, on the one hand, we find in society the symptoms of exclusivity between different societies, majority against minority, or interethnic and interreligious due to social friction, and on the other, there is an attempt to overcome such problems by encouraging social inclusiveness in agonistic society. By using the theory of Axel Honneth of intersubjective recognition, which is understood as a means of individual selfrealization, this theses states that through intersubjective recognition, opens the condition of finding the path of dialogue during the society for meeting between different socially community, which legally guarantees coexist peacefully and equitably. In this way, I call intersubjective recognition as the principle of proexistence in a plural society."
Depok: Universitas Indonesia, 2015
T43830
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Leonardus Aditya Krisnadi
"Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana pendidikan multikulturalisme Charles Taylor dapat menjadi strategi untuk melampaui narasi sinophobia di Indonesia. Narasi sinophobia di Indonesia telah lama hadir bahkan sejak era kolonial Belanda. Meskipun konstitusi Indonesia menekankan pentingnya penghargaan pada keberagaman, narasi sinophobia masih tumbuh subur di akar rumput. Untuk dapat melampaui narasi sinophobia maka penelitian ini menawarkan pendekatan pendidikan multikulturalisme yang dibahas oleh Charles Taylor. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan model penelitian filsafat mengenai masalah aktual. Penelitian ini menggunakan metode analisis historis dan refleksi kritis untuk membedah persoalan sinophobia di Indonesia secara mendalam. Dengan menggunakan metode analisis historis dan refleksi kritis, penelitian ini menyimpulkan bahwa narasi sinophobia adalah peninggalan dari kebijakan segregasi rasial yang terus melestarikan kecurigaan antar etnis dan merusak persatuan bangsa. Untuk menanggulangi dampak dari sinophobia maka dibutuhkan pendidikan multikulturalisme sebagai upaya menciptakan generasi muda yang menghargai keberagaman bangsa Indonesia tanpa terjebak pada stigma tertentu. Dalam pendidikan multikulturalisme terdapat dua aspek penting yaitu kurikulum yang berdasar pada pengakuan dan perwujudan penghargaan yang ideal sehingga kecurigaan antar masyarakat dapat digantikan dengan penghargaan pada keberagaman sebagaimana yang ditawarkan Charles Taylor.

This research aims to explain how Charles Taylor’s multiculturalism can be used as a strategy to overcome sinophobia narrative in Indonesia. Sinophobia in Indonesia has been present since the Dutch East Indies era. After Indonesia gained independence, the Indonesian constitution emphasizes the importance of tolerance and respecting diversity. Nevertheless, sinophobia still thrive in grassroots level. In order to overcome sinophobia, this research offers Charles Taylor’s multiculturalism education approach. This research is a philosophical research on actual problems. This research uses historical analysys and critical reflection as research method to deep dive on sinophobia problem in Indonesia. With historical analysys and critical reflection, this research conclude that sinophobia narrative is a legacy from racial segregation policy that preserved the interracial suspicion. To overcome the impact of sinophobia, multiculturalism education is needed to create a new generation that respect the diversity of Indonesia. In multiculturalism education, there are two important aspects: a curriculum based on recognition and the realization of ideal recognition, thus making the interracial suspicion can be replace with appreciation for diversity as envisioned by Charles Taylor."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ricko Nofriansah
"Multikulturalisme mendambakan tatanan masyarakat yang berbeda-beda identitas serta harmonis di dalam berbagai perbedaan tersebut. Akan tetapi, dalam sukacita perbedaan ini, masih terdapat konflik yang terjadi di berbagai kelompok masyarakat di dunia. Salah satu kasusnya yaitu fenomena konflik di Papua. Konflik panjang yang terjadi di Papua ini telah berlangsung sejak integrasi Papua ke dalam bagian Republik Indonesia sampai saat ini. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis secara filosofis dan memberikan pemaknaan terhadap konflik di Papua dengan menggunakan pemikiran Charles Taylor, salah satu filsuf yang memberikan banyak sumbangan pemikiran bagi multikulturalisme. Menurutnya, esensi atau inti yang paling dalam dari wacana multikulturalisme adalah perjuangan untuk mendapatkan pengakuan (rekognisi). Politik rekognisi mendorong masyarakat untuk memperjuangkan lahirnya tindakan untuk mempertahankan identitas yang unik di tengah perbedaan identitas dan budaya. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif, tinjauan kepustakaan melalui pendekatan analisis kritis. Berdasarkan tinjauan kepustakaan, disimpulkan bahwa konflik di Papua dilatarbelakangi oleh tiga diskursus, yaitu diskursus identitas, kekuasaan dan kebebasan yang berimplikasi terhadap terjadinya tindak kekerasan. Langkah dan kebijakan negara dalam penyelesaian konflik di Papua menjadi catatan penting dalam penelitian ini, utamanya agar selaras dengan semangat multikulturalisme di Indonesia.

Multiculturalism craves a different and harmonious social order within these differences. However, in the joy of this difference, there are still conflicts that occur in various groups of people in the world. One case is the phenomenon of conflict in Papua. This long conflict in Papua has been ongoing since the integration of Papua into parts of the Republic of Indonesia to the present. This study aims to analyze philosophically and give meaning to the conflict in Papua by using the ideas of Charles Taylor, one of the philosophers who made many contributions to multiculturalism. According to him, the essence or the deepest core of multiculturalism discourse is the struggle for recognition (recognition). The politics of recognition encourages people to fight for the birth of actions to maintain a unique identity amid differences in identity and culture. The research method used is a qualitative method, literature review through a critical analysis approach. Based on a literature review, it was concluded that the conflict in Papua was motivated by three discourses, namely the discourse on identity, power and freedom that had implications for violence. The steps and policies of the state in resolving conflict in Papua are important notes in this study, especially in order to be in harmony with the spirit of multiculturalism in Indonesia."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2020
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Adityas Setiya
"ABSTRACT
Masyarakat majemuk yang ada merupakan kegagalan dalam mencapai masyarakat multikulturalis. Perlu adanya peran pemerintah untuk membentuk pandangan multikulturalisme dengan membuat kebijakan-kebijakan untuk menyelesaikan permasalahan di masyarakat majemuk yang terutama terjadi pada masalah identitas di dalam masyarakat majemuk. Penelitian ini menggunakan politics of recognition dari Taylor dan politics of identity dari Appiah. Masalah identitas ini dapat disusun dalam dua bentuk, labeling dan kompleks superioritas. Setelah membedah masalah, penelitian ini kemudian disusun kerangka bagaimana pemerintah harus bergerak dalam menyelesaikan masalah identitas ini dengan pemikiran Kymlicka yang dilengkapi dengan Modood untuk memberikan penyelesaian terhadap minoritas keagamaan.

ABSTRACT
Plural society is a incomplete form of multiculturalist society. The needs of government role to forming the multiculturalist view in the society by making policies to solve the plural societys problem, mainly in case of identities problems in the plural society. This research use Taylors politics of recognition and Appiahs politics of identity to identify two problem in identity, labeling and superiority complex. After cracking the problem, this research can be continued to make a framework of how government should move to solve problems of identity using Kymlickas opinion and completed by Modood to solve the religious minoritys problem."
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
"The discourse of cosmopolitanism and nationalism reflects the tension of the flow of globalization in the process of uniting and separating, in the commitment to facilitating and abrupt cancelation. The paper uses the arguments posed by Charles Taylor to suggest a new alternative to analyze, and to respond to the phenomenon of globalization. The four topics of the discussion are pluralism, autonomy vs. authenticity, neutrality on the part of the state, and authenticity as a new component in liberalism."
JUETIKA
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Lumowa, Valentino
"The discourse of cosmopolitanism and nationalism reflects the tension of the flow of globalization in the process of uniting and separating, in the commitment to facilitating and abrupt cancelation. The paper uses the arguments posed by Charles Taylor to suggest a new alternative to analyze, and to respond to the phenomenon of globalization. The four topics of the discussion are pluralism, autonomy vs. authenticity, neutrality on the part of the state, and authenticity as a new component in liberalism."
Depok: Departemen kewilayaan Fakultas ilmu Pengetahuan Budaya UI Depok, 2009
360 JETK 1:2 (2009)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>