Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 193321 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fajar Mulya Ginanjar
"Kecerdasan buatan hadir sebagai craft dari manusia dengan dasar fungsi-fungsi yang dibentuk dalam ranah epistemologis dan kecerdasan buatan dapat diprediksi dapat menggantikan manusia. Atas pernyataan tersebut lsquo;fenomenologi kebertubuhan rsquo; mencoba membongkar relasi ontologi dari AI yang selama ini tidak terjamah, dan memberikan beberapa bukti-bukti kelemahan AI khususnya di dalam persoalan semantik, qualia, dan komparasi terhadap kompleksitas mind dari manusia. Dan juga pembongkaran terhadap persoalan relasi ontologi pembentukan behavioristik yang dikenal sebagai dasar dan juga tujuan dari kreator AI di dalam menciptakan AI. Fenomenologi dengan entitas sensasi dan pengalaman hadir untuk membuktikan kegagalan prediksi Nick Bostrom yang menyatakan bahwa AI yang mampu menggantikan manusia.

Artificial intelligence exists as the craft of man with the basis of functions formed in the epistemological realm and artificial intelligence can be predicted to replace humans. lsquo The phenomenology of the body rsquo attempts to unravel the ontology relation of the AI that has been untouched, and gives some evidence of AI 39 s weaknesses especially in the semantic, qualia, and comparative issues of the complexity of the human mind. Also the dismantling of the question of the relationship of behavioristic ontology formation known as the basis and also the goal of the AI creator in creating the AI. Phenomenology with entities of sensation and experience is present to prove the failure of Nick Bostrom 39 s prediction that AI is capable of replacing humans. "
2017
S70297
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irawan
"Aku yang ambigu, Sintesa Amara Pemikiran Maurice Merleau-Ponty dengan Jean Jacques Lacan. Konsep Aku yang ambigu merupakan upaya pengkajian ulang atas pertanyaan, apa artinya menjadi manusia? Secara teknis pertanyaan ini berusaha dijawab dengan suatu usaha sintesa di antara pemikiran Maurice Merleau-Ponty dengan Jean Jacques Lacan tentang manusia. Merleau-Ponty mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang babas, otonom dan utuh secara individual. Sebaliknya menurut Jacques Lacan manusia adalah makhluk yang "calf' dan terkungkung dalam berbagai bentuk simbolis bahasa dan penanda Perbedaan ini merupakan konsekuensi logis dari kelanjutan perdebatan dan atau proses transisional humanitas manusia dari zaman modern ke zaman post-modern. Manusia dalam zaman modern dipandang sebagai makhluk yang rasionalobjektif-universal sedangkan pada zaman post-modem manusia adalah irrasionalsubjektif-partikular, tergeser dari pusat kesadarannya dan tercecer ke sudut-sudut ketidaksadaran naluriah yang asli dan purba.
Konsep Aku yang ambigu lebih jauh merupakan refleksi kritis atas perkembangan penyelidikan manusia dari zaman ke zaman di mana pada dasamya dalam keseluruhan dan kesatuan hidupnya bermakna ganda bahkan multi dimensional. Maksudnya manusia sejak dilahirkan memiliki potensi untuk ambigu dalam arti sebagai makhluk yang ambivalen, paradoks bahkan kontradiksi dalam dirinya sendiri maupun ketika berada di dalam dunianya.
Identitas Aku yang ambigu menjadi tidak terbantahkan ketika sudah dieksplisitkan dalam perilaku dan wujud kehidupan sehari-hari. Hal ini yang membuat penyelidikan tentang manusia sampai detik ini tidak pernah berhenti dan mengenal kata akhir.
Dalam penelitian ini kenyataan dan realitas seperti yang terungkap di atas dirumuskan ulang dan disistematisasikan dalam kerangka tematis filsafat manusia bahwa manusia adalah makhluk yang ambigu. Ada tiga hal penting untuk dikatakan sehubungan dengan rumusan tersebut. Pertama aspek ketidaksaran atau irrasionalitas dalam konsep Aku yang ambigu yang menandakan bahwa keambiguitasannya bertempat dalam wilayah naluriah atau dunia bawah sadar manusia sehingga memang sudah merupakan fitrah dan asli. Aspek yang kedua adalah aspek ketubuhan dan aspek yang ketiga adalah aspek kebahasaan. Aspek yang kedua dan ketiga ini satu sama lain tidak bisa dipisahkan. Keduanya berperan membentuk individu yang berperilaku arnbigu antara yang bertubuh dan berbahasa. Kenyataan atas ambiguitas antara aspek yang kedua dengan aspek yang ketiga membangun rumusan baru bahwa Aku kini menjadi ambigu antara Aku yang penuh atau Aku yang cair.
Jalan ambiguitas bukan jalan tengah atau jalan dengan mengambil satu pengertian saja dari dua pengertian yang ada dan pada saat yang sama menghilangkan pengertian yang lain. Jalan ambiguitas juga bukan berarti bahwa kedua pengertian (potensi) dilebur ke dalam suatu definisi baru tentang sesuatu (Aku) tetapi lebih dimaknai sebagai sebuah pendekatan yang mendasarkan diri pada temporalitas. Maksudnya kedua pengertian tersebut sama-sama berpotensi mengaktualisasikan diri dalam ruang dan waktu yang melingkupinya."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2005
T15121
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agrita Widiasari
"Skripsi ini adalah sebuah telaah filosofis mengenai diskursus tubuh difabel dalam kerangka pikir Maurice Merleau-Ponty. Persepsi dan ketubuhan menjadi pisau analisis yang tajam dalam mengkaji problem kemampuan dalam tubuh difabel. Label ketidakmampuan yang dimiliki oleh difabel merupakan bentuk marginalisasi tubuh minoritas. Dengan kerangka pikir milik Merleau-Ponty, tubuh mayoritas dengan kemampuan rata-rata akan ditolak sebagai tubuh yang paling sempurna dalam tindak mempersepsi dunia. Problem ketidakmampuan yang disandang oleh difabel beralih menjadi bentuk penerimaan terhadap keberagaman mempersepsi.

This thesis is an analysis of the philosophical discourse of the body with disabilities within the framework of Maurice Merleau-Ponty's thought. Perception and body in Merleau-Ponty's framework have become a sharp analysis to review the ability problems within disability people. Term 'dis-ability' in disability people often lead them to minority groups and rising discrimination. According to Merleau-Ponty's framework, a body with a major ability will be rejected as the most perfect body in the act of perceiving the world. Whereas the problem carried by disabled people's inability transform into having themselves perceiving the form of the diversity of acceptance."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2012
S42029
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Iwan Aripin
"ABSTRAK
Artikel ini berupaya mengaplikasikan pemahaman estetik dari pemikiran fenomenologi persepsi Merleau-Ponty. Upaya menjelaskan permasalahan yang kompleks pada kehidupan manusia melalui konsep sederhana yang selalu kita alami setiap hari sebagai rutinitas dalam kehidupan bersosial dan berbudaya secara praktis dan real. Melalui pemahaman estetika dari pemikiran Merleau-Ponty penulis akan menjelaskan mengenai keunggulan persepsi dan tubuh sebagai sarana mendapatkan pengetahuan lewat pengalaman langsung. Konsep persepsi dan tubuh menghasilkan pemahaman tentang konsep sinestesia sebagai kemampuan persepsi manusia dari intelektualitas indera-indera. Konsep persepsi sinestetik dari pemikiran Merleau-Ponty membawa penulis menuju pemahaman makanan sebagai objek estetik. Makanan sebagai objek estetik juga merupakan persepsi ambigu sebagaimana pemikiran Merleau-Ponty tentang penjelasan filsafat ambiguitasnya sebagai upaya mengatasi desripsi objektif dari empirisme dan intelektualisme. Melalui artikel ini, penulis berharap penelitian ini menjadi langkah maju untuk memandang tubuh dan makanan sebagai perhatian filsafat. Penulis mengharapkan pembaca untuk mendapatkan pengetahuan baru tentang makanan sebagai objek estetik agar dapat menghargai makanan sebagai hasil kreasi.

ABSTRACT
This article seeks to apply the understanding of the aesthetic experience of Merleau Ponty 39 s thought about the phenomenology of perception. Efforts to explain complex problems in human life through simple concepts that we always experience every day as a routine in social life and cultured in a practical and real. Through the aesthetic understanding of Merleau Ponty 39 s thoughts, i will explain the primacy of perception and body as a means of gaining knowledge through direct experience. The concept of perception and the body produces an understanding of the concept of synesthesia as the ability of human perception from intellectuality of senses. The concept of synesthetical perception of Merleau Ponty 39 s thought leads me to the understanding of food as an aesthetic object. Food as an aesthetic object is also an ambiguous perception as Merleau Ponty 39 s idea of an explanation of his ambiguity philosophy as an attempt to overcome the objective descriptions of empiricism and intellectualism. Through this paper, i hope this research becomes a step forward to view the body and food as a philosophical concern. I expects the readers to gain new knowledge about food as an aesthetic object in order to appreciate the food as a creation."
2017
S69039
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dufourcq, Annabelle
"Cette etude a pour objet la conception merleau-pontyenne de l'imaginaire et la maniere dont elle conduit a repenser radicalement le reel dans sa totalite et, finalement, a imposer une ontologie dont l'imaginaire est le principe meme, A" l'institution de l'Etre A.""
Dordrecht, Netherlands: Springer, 2012
e20401356
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
Oshintalita
"Rasisme merupakan pandangan diskriminatif yang didasarkan pada identitas rasial dan beranggapan bahwa suatu kelompok identitas rasial lebih superior/inferior dibandingkan yang lain. Rasisme bekerja pada tiga tingkatan yakni tingkatan kultural, institusional, dan individual. Dengan memakai gagasan Merleau-Ponty terkait ontologi tubuh dan relasi kiasma, penulis mengeksaminasi bagaimana rasisme pada tingkatan individu, khususnya individual Indonesia dapat terbentuk. Rasisme pada tingkatan individu dapat teraktualisasi akibat adanya pemersepsian reflektif yang dibiasakan dalam skema tubuh akibat dari sedimentasi pengalaman subjek sehingga kemudian kebiasaan ini terbentuk sebagai orientasi tubuh. Sedimentasi pengalaman subjek mengacu pada konteks historis yang juga terasosiasi pula pada dunia sosial tempat subjek tersituasikan. Pada konteks Indonesia, persepsi imperial gaze yang muncul akibat internalisasi kolonialisme menjadi faktor utama sedimentasi pengalaman subjek hingga akhirnya mengintegralkan tindakan rasis menjadi suatu kebiasaan tubuh dan kemudian berdampak signifikan terhadap target rasis.

Racism is a discriminatory view that is based on racial identity and assumes that a racial identity group is superior/inferior to another. Racism works at three levels, namely the cultural, 2 institutional and individual levels. Using Merleau-Ponty's ideas related to the ontology of the body and chiasm relations, the author examines how racism at the individual level, especially Indonesian individuals, can be formed. Racism at the individual level can be actualized due to the reflective perception that is accustomed to the body schema due to the sedimentation of the subject's experience so that later this habit is formed as body orientation. The sedimentation of the subject's experience refers to the historical context, which is also associated with the social world in which the subject is situated. In the Indonesian context, the perception of the imperial gaze that emerged as a result of the internalization of colonialism became the main factor in the sedimentation of the subject's experience until finally integrating racist actions into a body habit and then having a significant impact on racist targets."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Tiara Sophie Trinita
"Transjakarta menjadi salah satu pilihan utama dari banyak opsi moda transportasi umum di Jakarta mengakomodasi kepadatan dan dinamika dalam kesibukan Kota Jakarta. Dalam hal ini, Transjakarta menjadi titik berangkat untuk mengakomodasi secara kolektif tubuh perempuan yang terkekang dalam norma-norma yang membatasi ruang gerak perempuan yang dimanifestasikan sebagai ruang. Dengan menggunakan pendekatan fenomenologi ketubuhan yang dikembangkan oleh Maurice Merleau-Ponty (1908—1961), penelitian ini berupaya untuk menguak relasi antara tubuh perempuan Jakarta dengan Transjakarta dalam gerakan di ruang perkotaan dan melalui Iris Marion Young (1949—2006) sebagai penyetara, bagaimana pengalaman ketubuhan dengan ruang memungkinkan menyibak struktur-struktur dominan. Sebagai penelitian kualitatif dengan metode fenomenologis, wawancara mendalam digunakan guna menelisik pengalaman subjektif dengan pengalaman langsung yang dihidupi terkait dengan keseharian perkotaan yang diwujudkan dalam Transjakarta. Dengan demikian, hasil penelitian ini menunjukan bagaimana interaksi tubuh dan partisipasi aktifnya dengan Transjakarta menjadi liberasi pengalaman tubuh perempuan secara kolektif meretas dan mendobrak struktur-struktur patriarkal dan pembatas-pembatas yang ada.
Transjakarta is one of the main choices of many public transportation mode options in Jakarta to accommodate the density and dynamics in the busy city of Jakarta. In this case, Transjakarta is a departure point to collectively accommodate women's bodies that are constrained in norms that limit women's movement space that is manifested as space. Using the phenomenological approach of the body developed by Maurice Merleau-Ponty (1908-1961), this study seeks to uncover the relationship between the body of Jakarta women and Transjakarta in the movement in urban space and through Iris Marion Young (1949-2006) as an equal, how the experience of the body with space allows to reveal the dominant structures. As qualitative research with phenomenological methods, in-depth interviews are used to examine subjective experiences with direct experiences lived related to urban daily life embodied in Transjakarta. Thus, the results of this study show how the interaction of the body and its active participation with Transjakarta becomes the liberation of the experience of the female body collectively hacking and breaking down the patriarchal structures and existing barriers."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Macann, Christopher
London: Routledge , 1993
142.7 MAC f
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Sangayu Piwulang Sae
"Penelitian ini dilatarbelakangi oleh pergeseran paradigma dalam studi mengenai autisme yang memuat perubahan definisi autisme dari defisit kognitif menjadi pengalaman ketubuhan. Berangkat dari hal tersebut, penulis menelaah bagaimana autisme dipahami dalam pendidikan inklusi di Indonesia dan bagaimana pendidikan tersebut dilakukan secara umum. Di Indonesia, pendidikan inklusi bagi anak dengan autisme dijalankan sesuai dengan rancangan yang berdasarkan hasil asesmen individual dan berisi capaian kompetensi sesuai dengan kemampuan anak (kurikulum terpersonalisasi). Tujuan dari penelitian ini adalah mengangkat pembahasan mengenai relasi antara guru dengan murid autistik, agar mendapat perhatian yang sama paralel dengan capaian kompetensi yang digaungkan dalam kurikulum terpersonalisasi. Penulis menggunakan landasan filosofis Maurice Merleau-Ponty untuk mengusulkan relasi yang lebih empatik dalam pendidikan inklusi. Empati dalam pengertian fenomenologi Merleau-Ponty adalah rekognisi terhadap tubuh sebagai subjektivitas yang berbeda. Selanjutnya, penulis membahas tentang kesadaran akan pengalaman interkorporealitas atau relasi ketubuhan yang bersifat timbal balik antara persepsi dan aksi. Artikel ini mengajukan usulan untuk mengakui relasi tersebut sebagai suatu hal yang penting di antara guru dengan murid autistiknya, paralel dengan capaian kompetensi yang menjadi ekspektasi dari pendidikan inklusi di Indonesia.

This research is motivated by a paradigm shift in the study of autism, transitioning from defining autism as a cognitive deficit to understanding it as a bodily experience. Based on this shift, the author examines how autism is understood within inclusive education in Indonesia and how such education is generally implemented. In Indonesia, inclusive education for children with autism is carried out through an individually tailored design based on assessment results and includes competency targets suited to the child's abilities (a personalized curriculum). The aim of this research is to bring attention to the relationship between teachers and autistic students, ensuring it receives equal focus alongside the competency targets emphasized in the personalized curriculum. The author employs the philosophical framework of Maurice Merleau-Ponty to propose a more empathetic relationship in inclusive education. Empathy, in Merleau-Ponty's phenomenological understanding, is the recognition of the body as a distinct subjectivity. Furthermore, the author discusses the awareness of intercorporeal experiences or reciprocal bodily relations between perception and action. This article suggests recognizing such relationships as essential in the interactions between teachers and their autistic students, alongside the competency targets expected in inclusive education in Indonesia."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2025
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Retno Daru Dewi G. S. Putri
"ABSTRAK
Konsep yang disampaikan oleh Descartes mengenai dualisme mind dan body menunjukkan adanya hubungan antara jiwa dan tubuh pada proses penyampaian pemikiran manusia. Makna dari pemikiran ini bergeser karena konstruksi sosial yang memperlakukan perempuan dan laki-laki secara berbeda. Hal tersebut menunjukan adanya diskriminasi dan kekurangan pada pemikiran filsafat di dalam menghadapi permasalahan manusia secara universal. Menanggapi permasalahan yang terjadi, penelitian ini menerapkan pemikiran Merleau-Ponty mengenai persepsi yang menubuh untuk mengemukakan pentingnya tubuh perempuan yang bebas sebagai media untuk memahami fenomena yang terjadi di dunia. Pemikiran lain yang diterapkan pada penelitian ini adalah kesadaran akan ambiguitas yang dikemukakan oleh Beauvoir. Kedua konsep yang disampaikan kemudian dipadukan membantu perempuan memahami pilihan-pilihan yang dapat ia tentukan sendiri. Dengan pemikiran Merleau-Ponty dan Beauvoir, proses menjadi perempuan atau becoming a woman dapat dilalui secara mandiri dan menjadi jalan keluar dari filsafat untuk permasalahan feminisme.

ABSTRACT
The relation of human rsquo s mind and body in Descartes rsquo dualism indicates how human cannot express their way of thinking without using their body. However, social construction has made this concept lost its equality and begun to use use sex and gender to differentiate human. This represents a social discrimination and a deficiency in philosophy in solving human universal issues. Responding to this issue, this research applies Merleau Ponty rsquo s thought on embodied perception and Beauvoir rsquo s thought on ambiguity. Both are applied to emphasize the importance of women bodies rsquo freedom to understand the world rsquo s phenomenons around them. These concepts can support the process of becoming a woman as a philosophical solution for femimism.Keywords embodied perception, ambiguity, philosophy, feminism. "
2018
T50502
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>