Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 62827 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fandy Mulyawan
"ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana suatu tanggung jawab hukum klinik kecantikan dalam peredaran sediaan kosmetik yang tidak memiliki izin edar lalu perlu diketahui pula mengenai pengawasan dan penegakan hukum yang dilakukan Badan Pengawas Obat dan Makanan yang mana lembaga ini berperan sebagai pengawas dan penegak hukum dalam hal peredaran sediaan kosmetik. Terlebih lagi dikarenakan adanya kasus yang terjadi di dalam Putusan Nomor 2008 K/Pid.Sus/2018. Penelitian ini berbentuk Yuridis Normatif yang mana dilakukan dengan pendekatan berdasarkan bahan hukum, kepustakaan, serta perundang-undangan yang berlaku terkait topik penelitian ini. Tipe penelitian ini adalah penelitian deskriptif, yang bertujuan untuk memberikan data seteliti mungkin tentang manusia, suatu keadaan, atau gejala lainya dan dalam hal ini adalah mengenai tanggung jawab hukum klinik kecantikan serta pengawasan dan penegakan hukum dalam kasus kosmetik yang tidak memiliki izin edar. Dari penelitian ini menunjukan bahwa tanggung jawab hukum klinik kecantikan berada pada pihak yang mendirikan klinik kecantikan tersebut, pengawasan dan penegakan hukum yang dilakukan Badan Pengawas Obat dan Makanan adalah dengan upaya non pro justitia dan pro justitia. penulis menyarankan kepada Pemerintah Indonesia untuk membuat suatu peraturan yang khusus terkait klinik kecantikan yakni Peraturan Menteri Kesehatan tentang Klinik Kecantikan agar konsumen yang menggunakan jasa klinik kecantikan ini dapat terlindungi hak-haknya.

ABSTRACT
This research aims to find out about legal responsibilites of a beauty clinic in regards of cosmetic product distribution that do not have a distribution authorization. Furthermore, it rsquo s also necessary to find out about supervision and law enforcement which conducted by Badan Pengawas Obat dan Makan in this matter. Particularly because of the case that happened in Case Decision Number 2008 K Pid.Sus 2018, it is important to know how Mahkamah Agung conducts examinations in such cases where a beauty clinic is involved in the distribution of cosmetic products that do not have a disribution authorization. This research is in the form of yuridis normatif which is done with approach based on legal material, bibliography, and applicable legislation related to this research topic. The type of this research is descriptive research, which aims to provide as much data as possible about humans, a condition, or other symptoms which in this case is about the legal responsibilities of beauty clinics as well as supervision and law enforcement in cases of cosmetics that do not have distribution authorization. From this research, it shows that the legal responsibility of beauty clinic is possesed by the party who establish the beauty clinic itself, supervision and law enforcement by Badan Pengawas Obat dan Makan is done by doing non pro justitia effort and pro justitia effort. Although it can be inferred from some existing legislation, the authors suggest to the Government of Indonesia to make a regulation specifically related to beauty clinics such as Peraturan Menteri Kesehatan tentang Klinik Kecantikan so that consumers who use the services of this beauty clinic can be more protected. "
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siahaan, Abednego Imanuel Soaloon
"Skripsi ini membahas mengenai pertanggungjawaban hukum dokter dan pemilik klinik kecantikan ditinjau berdasarkan hukum kesehatan. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif yang menekankan pada penggunaan data sekunder. Penyelenggaraan Klinik Kulit dan Kecantikan merupakan bagian dari kegiatan pelayanan publik di bidang kesehatan yang berada dalam ranah hukum Kesehatan yang sangat terkait dengan aspek etika dan disiplin medis. Pemberlakuan hukum kesehatan ini sangatlah penting untuk memberikan kerangka pertangggungjawaban hukum dokter dan pemilik klinik kecantikan dalam rangka untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum, baik terhadap pemberi maupun penerima jasa pelayanan kesehatan. Mengacu pada analisis putusan pengadilan, telah menunjukkan atas lemahnya implementasi atau penegakan hukum kesehatan. Kelemahan tersebut diindikasikan oleh adanya disparitas antara ancaman hukuman yang diatur dalam hukum kesehatan dengan vonis yang dijatuhkan oleh majelis hakim terhadap pelaku dan penyelesaian pertanggungjawaban hukum pelaku yang masih sangat parsial. Penegakan hukum kesehatan seharusnya dilakukan secara komprehensif dan tegas terhadap seluruh pihak yang terlibat, terutama dokter dan pemilik klinik kecantikan.

This thesis discusses on the legal responsibilities of doctor and the owner of aesthetic clinic based on health law. This study applies a normative legal study that emphasizes the use of secondary data. The operational of the Aesthetic Clinic is part of public service activities in the Health Sector which is very related to ethical aspects and medical disciplines. The implementation of this health law is very important to provide a framework of legal responsibility of doctor and the aesthetic clinic owner in order to give protection and legal certainty, both for the health service providers and recipients. Based on the analysis of the court decision, it has been shown the weakness of the implementation or the enforcement of the health law. The weakness is indicated by the disparity between the threat of punishment regulated in the health law with the verdict imposed by the judges to the perpetrator and the settlement of the legal responsibilities of the perpetrator which is very partial. The Health Law enforcement should be done comprehensively and firmly to all parties involved, especially to the doctor and the owner of the aesthetic clinic."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Audrey Eka Paramitha
"Skripsi ini membahas tentang tanggung jawab hukum Apoteker dan Apotek dalam penjualan obat tanpa izin edar dengan menganalisis kasus Putusan Nomor 63/Pid.Sus/2019/PN.Bgl. Obat merupakan salah satu sediaan farmasi dan merupakan lingkup pekerjaan dari Tenaga Kefarmasian yaitu Apoteker dan Asisten Apoteker. Perkembangan zaman menyebabkan minat dan kebutuhan masyarakat terhadap produk obat perawatan kulit semakin meningkat. Hal tersebut mengakibatkan terbukanya pasar produk obat-obatan ilegal seperti kasus dalam penelitian ini yaitu penjualan produk obat tanpa izin edar oleh Apotek Paten Farma. Dengan menggunakan metode penulisan berbentuk Yuridis-Normatif dan tipe penelitian Deskriptif-Analitis, skripsi ini akan mengangkat permasalahan terkait bentuk tanggung jawab hukum Apoteker dan Apotek terhadap penjualan produk obat tanpa izin edar yang mana hal ini dapat membahayakan pengguna karena produk belum teruji keamanannya. Penelitian akan dilakukan dengan menganalisis kasus dalam Putusan Nomor 63/Pid.Sus/2019/PN.Bgl berdasarkan bahan dan teori hukum tentang apoteker, apotek, dan obat yang akan dipaparkan oleh penulis. Dalam penelitian ini penulis menemukan bahwa Jaksa Penuntut Umum hanya mendakwa Apoteker Penanggungjawab dari Apotek Paten Farma sedangkan terdapat beberapa pihak lain yang terlibat dalam peracikan produk seperti Asisten Apoteker, Mantan Apoteker Penanggungjawab, dan Apotek Paten Farma itu sendiri. Berdasarkan penelitian yang penulis lakukan dapat disimpulkan bahwa bentuk tanggung jawab hukum yang dapat dijatuhkan kepada Apoteker dan Apotek yang melakukan penjualan produk obat tanpa izin edar dapat berupa sanksi pidana, sanksi administratif, dan ganti rugi apabila pemakaian produk menimbulkan efek negatif bagi pengguna. Penulis menyarankan agar BPOM dan Dinas Kesehatan memperketat pengawasan terhadap sediaan farmasi khususnya produk obat di setiap apotek. 

This thesis discusses the legal responsibilities of pharmacists and pharmacies in selling drugs without a distribution permit by analyzing the case of Decision Number 63/Pid.Sus/2019/PN.Bgl. Medicine is one of the pharmaceutical preparations and is the scope of work of the Pharmacy Staff, namely Pharmacists and Pharmacist Assistants. The development of the times has caused people's interest and need for skin care medicinal products to increase. This resulted in the opening of markets for illegal medicine products, as was the case in this study, namely the sale of medicine products without a distribution permit by the Paten Farma Pharmacy. By using the writing method in the form of Juridical-Normative and Descriptive-Analytical research type, this thesis will raise issues related to the form of legal responsibility of pharmacists and pharmacies for the sale of medicine products without distribution permits which can endanger users because the product has not been tested for its safety. The research will be carried out by analyzing cases in Decision Number 63/Pid.Sus/2019/PN.Bgl based on materials and legal theories regarding pharmacists, pharmacies and drugs that will be presented by the author. In this study, the authors found that the Public Prosecutor only indicted the Responsible Pharmacist from the Paten Farma Pharmacy, while there were several other parties involved in compounding the product, such as the Assistant Pharmacist, the Former Responsible Pharmacist, and the Paten Farma Pharmacy itself. Based on the research conducted by the authors, it can be concluded that the form of legal responsibility that can be imposed on pharmacists and pharmacies who sell medicine products without a distribution permit can be in the form of criminal sanctions, administrative sanctions, and compensation if the use of the product has a negative effect on the user. The author suggests that BPOM and the Health Service tighten supervision of pharmaceutical preparations, especially medicine products in every pharmacy."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Trisha Ayuma Putri
"Skripsi ini membahas mengenai pertanggungjawaban hukum bagi dokter dan klinik kecantikan yang menyediakan layanan stem cell untuk perawatan estetika beserta analisis penulis terhadap Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 563/Pid.Sus/2020/PN.Jkt.Sel. Fokus dari penelitian ini adalah mengenai legalitas penggunaan stem cell di Indonesia baik untuk tujuan pelayanan kesehatan maupun untuk digunakan dalam perawatan estetika. Bentuk penelitian skripsi ini adalah yuridis normatif dengan tipe deskriptif dan metode kualitatif. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa penggunaan stem cell di Indonesia untuk tujuan penyembuhan penyakit maupun perawatan estetika diperbolehkan secara terbatas pada fasilitas pelayanan kesehatan yang telah mendapatkan izin dari kementerian kesehatan. Putusan Nomor 563/Pid.Sus/2020/PN.Jkt.Sel merupakan putusan yang menjatuhkan hukuman pidana terhadap seorang dokter yang menggunakan stem cell untuk perawatan estetika pada pasiennya. Hasil penelitian ini menyarankan agar pemerintah terutama kementerian beserta organisasi kedokteran yang berwenang untuk segera mengeluarkan pengaturan terkait kompetensi dokter yang diperbolehkan menggunakan stem cell baik untuk pelayanan kesehatan maupun untuk perawatan estetika sehingga kepastian hukum bagi dokter yang melakukan praktik stem cell dapat terwujud.

This study discusses legal accountability for doctors and beauty clinics that provide stem cell for aesthetic treatment along with the author's analysis of the South Jakarta District Court Verdict Number 563 / Pid.Sus / 2020 / PN.Jkt.Sel. The focus of this research is on the legality of using stem cells in Indonesia both for health care purposes and for use in aesthetic treatments. The form of this thesis research is normative juridical with descriptive type and qualitative methods. The results of this study conclude that the use of stem cells in Indonesia for the purpose of curing diseases and aesthetic treatments is limited to health care facilities that have obtained permission from the ministry of health. Verdict Number 563 / Pid.Sus / 2020 / PN.Jkt.Sel is a verdict that imposes a criminal sentence on a doctor who uses stem cell for aesthetic treatment of his patient. The results of this study suggest that the government, especially the ministry of health and medical organizations that are authorized to immediately issue regulations regarding the competence of doctors who are allowed to use stem cells for both health services and for aesthetic treatment, so that legal certainty for doctors who uses stem cell in their practicecan be realized."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Nabil Ismail
"Profesi perawat memiliki sejarah yang cukup panjang. Keperawatan telah berperan penting dalam pemberian pelayanan kesehatan. Selama ini umumnya perawat dikenal hanya berfungsi untuk membantu pekerjaan dokter. Namun dalam perkembangannya, perawat masa kini dapat berpraktik mandiri layaknya dokter. Skripsi ini membahas pengaturan perizinan dan prosedur praktik mandiri perawat, serta membahas tanggung jawab hukum bagi perawat yang menjalankan praktik mandiri. Selain itu, skripsi ini akan menganalisis Putusan No.109/Pid.Sus/2019/Pn.Kbu terkait kasus yang menjerat perawat yang berpraktik secara mandiri. Adapun bentuk penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif, dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kualitatif dan tipe penelitian deskriptif. Kesimpulan dari skripsi ini menunjukkan bahwa pengaturan dan kewenangan perizinan praktik mandiri perawat diatur dalam Permenkes Nomor 26 Tahun 2019 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Keperawatan Nomor 38 Tahun 2014. Selain itu, dalam menjalankan praktik mandiri, perawat memiliki tanggung jawab secara perdata, pidana dan administratif. Adapun bentuk pertanggungjawaban yang dibebankan kepada perawat berkaitan dengan bentuk kesalahan dan kelalaian yang dilakukan oleh perawat. Terkait putusan yang dianalisis, perawat Jumraini terbukti bersalah karena tidak memiliki izin praktik mandiri. Oleh karena itu, skripsi ini menyarankan agar setiap pihak memperhatikan peraturan hukum kesehatan, terutama perawat yang berpraktik secara mandiri untuk bekerja sesuai standar profesi dan selalu memperhatikan ketentuan hukum yang ada.

The Nurse profession has a long history. Nursing has played an important role in giving healthcare. Usually, a nurse has a typical role as a physician’s assistant. However, today, nurses can work independently and have their own practice facilities. This thesis discusses the regulation and procedure related to nurses independent practice, and discusses nurse’s legal responsibilty for their profession. This thesis will analyze Verdict Case No.109/Pid.Sus/2019/Pn.Kbu, that involve an independent nurse practicioner. The form of research used is normative legal research and conducted using a qualitative research method as well as a descriptive research type. The conclusion of this thesis shows that The Ministry of Health Regulation No. 26 of 2019 regulates the regulation and procedures for independent nurse practice licensing. Furthermore, a nurse on the job has civil, criminal and administrative responsibilty. Furthermore, the form of mistakes and negligences committed by nurses will determine the form of responsibility imposed on nurses. Analysis of Verdict Case No.109/Pid.Sus/2019/Pn.Kbu, that involve a nurse named Jumraini as a defendant, proved to be guilty because she owns an independent practice facility without a legal permit. Therefore, this thesis suggest that each party comply with health law regulation, especially nurses who practice independently to work according to professional standards and always comply with existing legal provisions."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia , 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Raihan
"Suntik filler merupakan salah satu perawatan kecantikan non bedah yang memasukkan sejenis cairan atau zat ke dalam kulit dengan menggunakan jarum dan bertujuan untuk menyamarkan akibat penuaan atau mempercantik penampilan seseorang. Pemulihan tindakan suntik filler tidak memerlukan waktu yang cukup lama jika dibandingkan dengan bedah plastik estetika, membuat lonjakan terhadap penggunaan suntik filler oleh berbagai kalangan terus meningkat setiap tahunnya. Pastinya tindakan ini memiliki risiko dan komplikasi yang mungkin saja dapat terjadi. Maraknya pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh dokter akibat tidak adanya pemberian persetujuan tindakan kedokteran dalam melakukan tindakan medis perlu dibahas lebih lanjut. Oleh karena itu, setiap tindakan kedokteran harus memberikan persetujuan tindakan kedokteran dengan terlebih dahulu dokter menjelaskan kepada pasiennya secara rinci dan lengkap, karena persetujuan tindakan medis termasuk ke dalam bagian etik profesi kedokteran. Hal ini bertujuan mencegah pelanggaran yang dilakukan oleh dokter sebagaimana penelitian ini yang tidak memberikan persetujuan tindakan medis secara tertulis dalam memberikan tindakan suntik filler berdasarkan Putusan Nomor 1441/Pid/Sus/2019/PN Mks. Bentuk penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif dengan bahan data sekunder sebagai pendukung. Data ini diperoleh dari studi dokumen maupun wawancara yang dilakukan dengan narasumber. Data tersebut kemudian dianalisis menggunakan metode analisis kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, pemberian persetujuan tindakan kedokteran yang dilakukan oleh dokter terhadap pasiennya dengan melakukan suntik filler untuk kecantikan belum diterapkan secara maksimal sesuai dengan hukum kesehatan.

Filler injections are one of the non-surgical beauty treatments that involve injecting a substance or fluid into the skin using a needle, with the aim of minimizing signs of aging or enhancing a person's appearance. As opposed to aesthetic plastic surgery, filler injections have a shorter recovery period, which has resulted in an annual rise in the number of individuals who use them. However, it is important to acknowledge that such procedures carry risks and potential complications. The prevalence of violations committed by doctors due to the lack of informed consent in medical procedures needs to be further discussed. Therefore, it is necessary for every medical procedure to obtain the patient's informed consent, wherein the doctor provides a detailed and comprehensive explanation beforehand, as obtaining informed consent is an ethical requirement in the medical profession. This is aimed at preventing violations committed by doctors, such as the case discussed in this research, where written informed consent was not obtained for administering filler injections based on Court Decision Number 1441/Pid/Sus/2019/PN Mks. This research employs a normative juridical approach with secondary data as supporting evidence. The data was obtained from document studies and interviews conducted with pertinent sources, and it was then analyzed using qualitative analysis methods. Based on the findings of this research, it is evident that the practice of obtaining informed consent from patients for filler injections in aesthetic procedures has not been maximally implemented in accordance with health laws."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agung Nugroho
"Direksi merupakan pihak yang bertindak mewakili perusahaan suatu perseroan terbatas, termasuk mewakili perseroan dalam proyek pengadaan barang dan jasa di Pemerintahan. Tanggung jawab direksi tentu secara tegas diatur dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas, termasuk juga tanggung jawab direksi dalam proyek pengadaan barang dan jasa dipemerintahan. Pada penelitian ini penulis melakukan Penelitian hukum normatif melalui pendekatan undang-undang dan pendekatan kasus disampaikan secara deksriptif analitis. Hasil penelitian ini didapatkan bahwa Direksi dapat dimintai pertanggunjawaban selaku pihak yang mewakili perseroan terbatas, dapat dimintai pertanggungjawaban secara perdata, pidana dan administrasi, serta adanya kepastian hukum dalam pertimbangan hakim dalam memutus perkara dalam proyek pengadaan barang dan jasa di Pemerintahan.

The Board of Directors is the party acting on behalf of the company of a limited liability company, including representing the company in the procurement of goods and services in the Government. The responsibilities of the board of directors are of course strictly regulated in the Limited Liability Company Law, including the responsibility of the board of directors in government procurement projects. In this study, the authors conducted normative legal research through a statutory approach and a descriptive analytical case approach. The results of this study found that the Board of Directors can be held accountable as a party representing a limited liability company, can be held accountable for civil, criminal and administrative matters, as well as legal certainty in the judge's consideration in deciding cases in the procurement of goods and services projects in the Government."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Angelina
"ABSTRAK
Tesis ini membahas kasus penggelapan BPHTB yang dilakukan oleh
notaris/PPAT ASD. Pokok permasalahan yang penulis angkat adalah bagaimana
tanggung jawab hukum notaris/PPAT ASD yang melakukan penggelapan BPHTB
ditinjau dari hukum pidana dan kode etik PPAT serta apakah penggelapan
BPHTB yang dilakukan oleh notaris/PPAT ASD dapat dikategorikan sebagai
pelanggaran kode etik ataukah hanya pelanggaran pidana. Dari sudut pandang
hukum pidana, sanksi bagi notaris/PPAT ASD yang melakukan penggelapan
BPHTB diatur dalam Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
sedangkan dari sudut pandang kode etik, penulis mengkategorikan penggelapan
BPHTB sebagai pelanggaran kode etik PPAT karena penggelapan BPHTB telah
melanggar prinsip kejujuran dan prinsip bertanggung jawab yang harus dimiliki
oleh notaris/PPAT serta melanggar isi sumpah jabatan PPAT terkait dengan
pelecehan terhadap martabat PPAT. Pada intinya, kode etik dan hukum saling
terkait. Dalam hal terjadi pelanggaran kode etik maka sepanjang pelanggaran yang
dilakukan tersebut juga menyangkut pelanggaran terhadap hukum negara, maka
notaris/PPAT yang bersangkutan juga dapat dikenakan sanksi pidana.
Penulisan tesis ini memakai metode yuridis normatif dimana penulis akan
membahas semua permasalahan yang ada dengan cara menganalisis kasus dan
mengkaitkannya dengan peraturan perundangan sedangkan kesimpulan diambil
dengan menggunakan pola pikir induktif.

ABSTRACT
This thesis discussed about the embezzlement case of BPHTB1 by a notary
public/PPAT2, ASD3. The core issues of this thesis are to observe how the notary,
who carried out BPHTB embezzlement, be held responsible by law and PPAT’s
code of ethics. The other one will be: should the BPHTB embezzlement be
categorized as violating the PPAT’s code of ethics or is it only a matter of
criminal law violation. From criminal law point of view, the penalty for notary
who embezzles BPHTB is regulated on Article 372 Criminal Code. While from
point of view of ethical code, researcher categorizes the BPHTB embezzlement as
violation of PPAT ethical code. Since the act of BPHTB embezzlement violates
the principles of honesty and responsibility, which all notaries ought to have, also
it violates the oath of PPAT regarding the abuse of PPAT’s values. The code of
ethic and law are mutually bound. If an ethical code violation was to happen, then
as long as all following violations relate to the state law violation, then the
concerned notary/PPAT is to be penalized to criminal sanctions. Researcher
applies the normative judicial method in this thesis where research questions are
explored, discussed and analyzed through case study in relation to relevant laws.
Conclusion of the thesis is presented through inductive method."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T39037
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cindy Natasia
"ABSTRAK
Merger merupakan suatu hal yang lumrah ditemukan dalam dunia perbankan,
yang dilakukan dalam rangka memperbaiki atau meningkatkan kemampuan
finansial dari suatu lembaga perbankan. Terjadinya merger tentu membawa
dampak, baik dampak positif maupun dampak negatif bagi pihak-pihak tertentu
yang berkepentingan. Salah satu dampak terjadinya merger adalah peralihan
tanggung jawab dari Bank yang bergabung kepada Bank hasil merger. Terkait
dengan peralihan tersebut, bagaimanakah tanggung jawab Bank hasil merger
terhadap Nasabah Peminjam dengan terjadinya merger? Bagaimanakah
perlindungan hukum bagi Nasabah Peminjam atas terjadinya merger terkait
dengan penyelesaian fasilitas kredit yang diberikan sebelum terjadinya merger,
khususnya dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 2511 K/PDT/2014? Metode
penelitian yang dipergunakan adalah penelitian yuridis-normatif dengan
pendekatan peraturan perundang-undangan. Dalam Undang-Undang Perbankan,
demikian pula dalam Peraturan Pemerintah tentang Merger, Konsolidasi, dan
Akuisisi Bank, dan aturan-aturan lainnya yang terkait, dengan jelas diatur bahwa
dengan terjadinya merger, tanggung jawab yang ada sebelumnya dari Bank yang
menggabungkan diri akan beralih kepada Bank hasil merger. Dengan demikian,
Bank hasil merger harus memberikan perlindungan hukum bagi Nasabah dari
Bank yang menggabungkan diri tanpa terkecuali, dengan kata lain Nasabah
tersebut telah berpindah menjadi Nasabah dari Bank hasil merger. Dalam duduk
perkata Putusan Mahkamah Agung Nomor 2511 K/PDT/2014, dengan jelas
terlihat bahwa Bank hasil merger tidak memberikan perlindungan hukum kepada
Nasabah Peminjam sebagaimana diharuskan oleh Undang-Undang Perbankan,
terutama dalam rangka menerapkan prinsip kehati-hatian dalam pelaksanaan
kegiatan usahanya.

ABSTRACT
Merger is a common practice found in the banking world, which is done in order
to fix or improve the financial capabilities of a banking institution. The
occurrence of merger certainly brings impact, both positive impact and negative
impact for certain parties concerned. One of the impacts of the merger is the
transfer of responsibility from the merged Bank to the surviving Bank. In
connection with the transition, how is the responsibility of the surviving Bank to
the Borrowing Customer by the occurrence of merger? What is the legal
protection for the Borrowing Customer for the merger related to the completion of
the credit facility granted prior to the merger, especially in Supreme Court
Decision Number 2511 K / PDT / 2014? The research method used is juridicalnormative
research with the approach of legislation. In the Banking Act, as well
as in the Government Regulation on Mergers, Consolidation, and Acquisitions of
the Bank, and other related rules, it is clearly stipulated that with the merger, the
existing liabilities of the merged Bank shall be transferred to the surviving Bank.
Accordingly, the merged Bank must provide legal protection for the Customer
from the merged Bank without exception, in other words the Customer has
become the Customer of the surviving Bank. In the case of Supreme Court
Decision Number 2511 K / PDT / 2014, it is clear that the surviving Bank does
not provide legal protection to Borrower Customer as required by Banking Act,
especially in order to apply prudential principles in the implementation of its
business activities."
2017
T48678
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rayi Kharisma Rajib
"Notaris adalah pejabat umum yang berwenang membuat akta autentik dan kewenangan lainnya sebagaimana diterangkan dalam undang-undang. Pada praktiknya, akta notaris ini sering dipermasalahkan oleh para pihak atau pihak ketiga. Notaris dipermasalahkan sebagai pihak yang turut serta membantu atau melakukan suatu tindak pidana yaitu membuat atau memberikan keterangan palsu kedalam akta notaris berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 98 K/Pid/2021. Adapun permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah mengenai pertimbangan hakim terhadap notaris yang membuat akta palsu serta pertanggungjawaban hukum terhadap akta palsu yang dibuat oleh notaris. Untuk menjawab permasalahan tersebut, digunakan metode penelitian hukum normatif dengan tipe penelitian eksplanatoris dan data yang diperoleh menggunakan studi pustaka dengan wawancara sebagai data pendukung. Hasil analisis adalah terdakwa telah telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana. Dengan mempertimbangkan unsur-unsur yang terpenuhi dari pasal-pasal yang didakwakan akan tetapi perbuatan itu bukan merupakan suatu tindak pidana. Tanggungjawab yang ada pada diri seorang notaris merupakan tanggung jawab profesi yang lahir dari adanya kewenangan serta kewajiban yang memang diberikan secara khusus kepadanya. Tanggung jawab ini bisa dilihat dari aspek hukum pidana, perdata, dan peraturan jabatan notaris.

Notary is a public official who is authorized to make authentic deeds and other authorities as described in the Act. In practice, this notarial deed is often disputed by parties or third parties. The notary is questioned as a party who participates in helping or committing a crime, namely making or providing false information into a notary deed based on the Supreme Court Decision Number 98 K/Pid/2021. The problems raised in this study are regarding the judge's consideration of the notary who made the fake deed and legal responsibility for the fake deed made by the notary. To answer these problems, normative legal research methods are used with explanatory research types and the data obtained using literature studies with interviews as supporting data. The result of the analysis is that the defendant has been legally and convincingly proven to have committed a crime. By considering the fulfilled elements of the articles charged, but the act is not a criminal act. The responsibility that exists in a notary is a professional responsibility that is born from the authority and obligations that are specifically given to him. This responsibility can be seen from the aspects of criminal law, civil law, and notary position regulations."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>