Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 52395 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Helena Desembra
"Berita bohong menjadi permasalahan yang saat ini dihadapi oleh masyarakat. Pengertian mengenai berita bohong yang luas, dapat menimbulkan perbedaan pemahaman antara satu pihak dan pihak lainnya. Berdasarkan hal tersebut terdapat tiga rumusan masalah yang akan dibahas, yakni: bagaimana aturan mengenai berita bohong dalam UU No. 11 Tahun 2008? Bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap tindak pidana penyebaran berita bohong? Serta bagaimana penerapan pasal berita bohong dalam penyelesaian kasus 'Muhammad Faizal Tanong'?
Untuk menjawab rumusan masalah tersebut, penulis menggunakan metode penelitian yuridis-normatif, dengan menggunakan data yang bersumber dari undang-undang, buku, artikel, majalah dan jurnal. Untuk melengkapi data tersebut, penulis juga melakukan wawancara terkait dengan penyebaran berita bohong. Penelitian yang dilakukan penulis menunjukkan hal-hal sebagai berikut. Pertama belum ada definisi yang disepakati mengenai berita bohong menyebabkan belum bisa dibuatnya suatu kategori khusus mengenai perbuatan pidana yang masuk kedalam berita bohong, sehingga aturan yang digunakan untuk menyelesaikan permasalahan berita bohong adalah pasal-pasal pencemaran nama baik, penghinaan, dan penodaan. Kedua, pihak yang membuat dan menyebarkan berita saja sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam penyebaran berita bohong. Padahal media yang menjadi sarana penyebaran berita bohong seharusnya dapat dimintai pertanggungjawaban. Ketiga, dalam kasus ujaran kebencian yang dilakukan 'Muhammad Faizal Tanong' penerapan pasal telah secara tepat.

Fake news is a problem that currently faced by community. A broad sense of fake news, can lead to differences understanding between one side and the other. Based on this matter there are three problems that will be discussed, namely how the rules about fake news in the Law no. 11 in 2008 How is criminal liability for the crime of spreading fake news And how is the application of the fake news article in the verdict of the case Muhammad Faizal Tanong.
To answer the problems authors are using juridical normative research methods, where authors use data derived from regulations, books, articles, magazines and journals. To complete the data, authors also conducted interviews related to the spread of fake news. As the result, there are three answers that author can get. First, there is no mutually agreed about the definition of fake news. Because of that matter, the category of fake news is not yet been made. That is why the rules used to solve the problem of spreading fake news are using articles such as defamation, humiliation, and desecreation. Secondly, until now the subject who are being responsible for spreading fake news are the newsmaker and the one who is spreading the fake news. In fact, the media used to spreading fake news also have a responsible. Third, based on 'Muhammad Faizal Tanong' case, the judge already did a proper application of article 28 paragraph 2.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vidya Prahassacitta
"Penelitian ini memiliki tiga tujuan. Pertama, menemukan landasan kriminalisasi terhadap penyebaran berita bohong. Kedua, menelaah pandangan hakim mengenai penyebaran berita bohong. Ketiga, memformulasikan kebijakan hukum pidana mengenai penyebaran berita bohong di Indonesia. Fokus penelitian adalah penyebaran berita bohong yang mengganggu ketertiban umum sebagaimana dimaksud pada Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Guna mencapai
tujuan tersebut, dilakukan penelitian dokumen melalui peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan dan penelitian empiris melalui wawancara informan aparat penegak hukum. Temuan penelitian menunjukan bahwa latar belakang sejarah, perkembangan politik dan keadaan sosial budaya Indonesia membenarkan adanya larangan penyebaran berita bohong sebagai batasan kebebasan berekspresi. Pandangan ini sedikit berbeda dengan pandangan barat yang berpendapat bahwa suatu pendapat yang tidak benar layak untuk di sampaikan di ruang publik selama tidak membahayakan kepentingan individu,
ketertiban umum maupun kepentingan keamanan nasional. Agar kriminalisasi penyebaran berita bohong selaras dengan kebebasan berekspresi, maka kriminalisasi harus dilakukan secara sempit dan ketat. Kriminalisasi hanya dapat dilakukan terhadap
kesalahan dan bahaya yang serius. Secara teori, kriminalisasi penyebaran berita bohong yang mengancaman keamanan nasional hanya dapat dilakukan apabila ada suatu serangan yang jelas dan nyata saja. Hal ini menunjukan adanya keterbatasan hukum pidana di mana hukum pidana tidak perlu memidana penyebaran berita bohong yang menyebabkan bahaya sepele. Analisa terhadap undang-undang menujukan bahwa rumusan tindak pidana penyebaran berita bohong luas dan tidak ketat. Demikian halnya dengan analisa
terhadap putusan pengadilan tahun 2018-2021 dan hasil wawancara informan ditemukan bahwa penerapan tindak pidana penyebaran berita bohong tidak didasarkan pada batas kriminalisasi. Hal ini bertentangan dengan kebebasan berekspresi. Pada akhirnya perlu dilakukan perbaikan terhadap undang-undang yang ada. Perbaikan sarana penal dengan
memformulasikan kembali rumusan tindak pidana dan ancaman pidana. Rumusan tindak pidana terbatas pada bentuk kesengajaan dan adanya bahaya yang jelas dan nyata. Penyesuaian ancaman pidana perlu dilakukan dengan mempertimbangkan keadaan dan situasi masyarakat Indonesia saat ini. Perbaikan ketentuan di luar hukum pidana perlu dilakukan untuk mendukung penanggulangan bahaya dari penyebaran berita bohong.

This research has three goals. First, to discover the cornerstone of criminalization regarding the distribution of fake information. Second, to analyze judges' point of view concerning the distribution of fake information. Third, to formulate the penal policy relating to the distribution of fake information in Indonesia. The research focuses on the distribution of fake information, which disturbs public order as stipulated in articles 14 and 15 of Law Number 1 Year 1946 concerning Criminal Law Regulation. In achieving these goals, the author conducts document research by studying laws and legislation, court decisions, as well as empirical research by interviewing law enforcement informants. The research reveals that Indonesia's historical background, political development, and social culture have justified the prohibition on the distribution of fake information as a limitation in the freedom of expression. This perspective is slightly different compared to the western ideals that prefer to allow negative (or untrue) opinions
to be conveyed in the public sphere as long as they do not endanger individual, public order, or even national security. To ensure that the criminalization of fake information fits with the freedom of expression, then the criminalization needs to be done precisely and accurately. A fake information criminalization can only be sentenced if it poses serious culpability and severe harm. Theoretically, criminalizing fake information that
disturbs national security can only be indicted if there is a clear and present danger on national interests. It demonstrates the limitation of criminal law which criminal law does not require to punish the distribution of fake information that results in trivial matters. Legislation analysis shows that the formulation of criminal acts on the distribution of fake information is too general. Moreover, data samples from court decisions from 2018 until 2021 and informants' interview analysis show that the implementation of criminal acts on
the distribution of fake information does not follow the limit of criminalization. Subsequently, it violates the freedom of expression. In the end, the legislation requires revision: criminal legislation requires a new formulation of criminal action as well as its sentencing. The law of the distribution of fake information criminalization depends on if
the intentional action shows clear and present danger. Sentencing should be adjusted by considering Indonesia’s current situation and condition. Revisions of non-criminal legislation should be done to support the prevention of dangers posed by the distribution of fake information.
"
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vidya Prahassacitta
"Penelitian ini memiliki tiga tujuan. Pertama, menemukan landasan kriminalisasi terhadap penyebaran berita bohong. Kedua, menelaah pandangan hakim mengenai penyebaran berita bohong. Ketiga, memformulasikan kebijakan hukum pidana mengenai penyebaran berita bohong di Indonesia. Fokus penelitian adalah penyebaran berita bohong yang mengganggu ketertiban umum sebagaimana dimaksud pada Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Guna mencapai tujuan tersebut, dilakukan penelitian dokumen melalui peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan dan penelitian empiris melalui wawancara informan aparat penegak hukum. Temuan penelitian menunjukan bahwa latar belakang sejarah, perkembangan politik dan keadaan sosial budaya Indonesia membenarkan adanya larangan penyebaran berita bohong sebagai batasan kebebasan berekspresi. Pandangan ini sedikit berbeda dengan pandangan barat yang berpendapat bahwa suatu pendapat yang tidak benar layak untuk di sampaikan di ruang publik selama tidak membahayakan kepentingan individu, ketertiban umum maupun kepentingan keamanan nasional. Agar kriminalisasi penyebaran berita bohong selaras dengan kebebasan berekspresi, maka kriminalisasi harus dilakukan secara sempit dan ketat. Kriminalisasi hanya dapat dilakukan terhadap kesalahan dan bahaya yang serius. Secara teori, kriminalisasi penyebaran berita bohong yang mengancaman keamanan nasional hanya dapat dilakukan apabila ada suatu serangan yang jelas dan nyata saja. Hal ini menunjukan adanya keterbatasan hukum pidana di mana hukum pidana tidak perlu memidana penyebaran berita bohong yang menyebabkan bahaya sepele. Analisa terhadap undang-undang menujukan bahwa rumusan tindak pidana penyebaran berita bohong luas dan tidak ketat. Demikian halnya dengan analisa terhadap putusan pengadilan tahun 2018-2021 dan hasil wawancara informan ditemukan bahwa penerapan tindak pidana penyebaran berita bohong tidak didasarkan pada batas kriminalisasi. Hal ini bertentangan dengan kebebasan berekspresi. Pada akhirnya perlu dilakukan perbaikan terhadap undang-undang yang ada. Perbaikan sarana penal dengan memformulasikan kembali rumusan tindak pidana dan ancaman pidana. Rumusan tindak pidana terbatas pada bentuk kesengajaan dan adanya bahaya yang jelas dan nyata. Penyesuaian ancaman pidana perlu dilakukan dengan mempertimbangkan keadaan dan situasi masyarakat Indonesia saat ini. Perbaikan ketentuan di luar hukum pidana perlu dilakukan untuk mendukung penanggulangan bahaya dari penyebaran berita bohong.

This research has three goals. First, to discover the cornerstone of criminalization regarding the distribution of fake information. Second, to analyze judges' point of view concerning the distribution of fake information. Third, to formulate the penal policy relating to the distribution of fake information in Indonesia. The research focuses on the distribution of fake information, which disturbs public order as stipulated in articles 14 and 15 of Law Number 1 Year 1946 concerning Criminal Law Regulation. In achieving these goals, the author conducts document research by studying laws and legislation, court decisions, as well as empirical research by interviewing law enforcement informants. The research reveals that Indonesia's historical background, political development, and social culture have justified the prohibition on the distribution of fake information as a limitation in the freedom of expression. This perspective is slightly different compared to the western ideals that prefer to allow negative (or untrue) opinions to be conveyed in the public sphere as long as they do not endanger individual, public order, or even national security. To ensure that the criminalization of fake information fits with the freedom of expression, then the criminalization needs to be done precisely and accurately. A fake information criminalization can only be sentenced if it poses serious culpability and severe harm. Theoretically, criminalizing fake information that disturbs national security can only be indicted if there is a clear and present danger on national interests. It demonstrates the limitation of criminal law which criminal law does not require to punish the distribution of fake information that results in trivial matters. Legislation analysis shows that the formulation of criminal acts on the distribution of fake information is too general. Moreover, data samples from court decisions from 2018 until 2021 and informants' interview analysis show that the implementation of criminal acts on the distribution of fake information does not follow the limit of criminalization. Subsequently, it violates the freedom of expression. In the end, the legislation requires revision: criminal legislation requires a new formulation of criminal action as well as its sentencing. The law of the distribution of fake information criminalization depends on if the intentional action shows clear and present danger. Sentencing should be adjusted by considering Indonesia’s current situation and condition. Revisions of non-criminal legislation should be done to support the prevention of dangers posed by the distribution of fake information."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lumban Gaol, Las Asimi
"Fenomena hoax marak terjadi di Indonesia, sebelum dan sesudah pemilu. Di era post-truth saat ini, kebenaran informasi seperti berita cenderung lebih dinilai berdasarkan emosi dan keyakinan seseorang, sejalan dengan penjelasan konsep motivated reasoning. Namun, penyebaran berita bohong juga bisa dijelaskan dengan firehose of falsehood, yakni teknik pengungkapan berita bohong dalam skala besar sehingga mereka percaya itu benar. Mekanisme yang menjelaskannya adalah konsep ilusi kebenaran berdasarkan kelancaran pemrosesan informasi. Penjelasan ini telah dibuktikan oleh penelitian di AS dan penelitian ini ingin mereplikasi penelitian eksperimental secara konseptual menggunakan 2 (Type: true vs lie, dalam) x 2 (Paparan: sekali vs dua kali, dalam) x 2 (Peringatan: tanpa peringatan vs Dengan peringatan, antara) desain campuran. Selain itu, moderasi gaya kognitif pada efek eksposur pada akurasi yang dirasakan juga diselidiki. Pengumpulan data menggunakan LimeSurvey dan dilakukan secara tatap muka. Pesertanya adalah 174 mahasiswa UI pengguna WhatsApp berusia 18-24 tahun. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya pengaruh terhadap jenis berita, namun tidak menunjukkan pengaruh keterpaparan dan peringatan terhadap ketepatan yang dirasakan sehingga tidak mereplikasi temuan penelitian sebelumnya. Diduga, literasi media yang baik dilihat dari pengaruh utama jenisnya mempengaruhi hasil ini. Interaksi antara variabel dan moderasi masih belum dapat disimpulkan karena jumlah sampel yang tidak mencukupi.

The hoax phenomenon is rife in Indonesia, before and after the election. In the current post-truth era, the truth of information such as news tends to be more assessed based on one's emotions and beliefs, in line with the explanation of the concept of motivated reasoning. However, the spread of fake news can also be explained by firehose of falsehood, a technique for disclosing fake news on a large scale so that they believe it is true. The mechanism that explains it is the illusion of truth concept based on the smooth processing of information. This explanation has been proven by research in the US and this study wants to replicate experimental research conceptually using 2 (Type: true vs lie, in) x 2 (Exposure: once vs twice, in) x 2 (Warning: no warning vs with warning) , between) mixed designs. In addition, cognitive style moderation on the effects of exposure on perceived accuracy was also investigated. Data collection using LimeSurvey and carried out face to face. The participants were 174 UI students using WhatsApp aged 18-24 years. The results of this study indicate an influence on the type of news, but do not show the effect of exposure and warning on perceived accuracy so that they do not replicate the findings of previous studies. It is suspected that good media literacy in terms of the main influence of its type influences this result. The interaction between variables and moderation is still inconclusive due to insufficient sample size."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chairul Huda
"Kesalahan dan Penanggungiawaban Pidana masih menyisakan berbagai persoalan. Misalnya, dalam praktek hukum belum terdapat kesamaan pola penentuan kesalahan dan pertanggungjawaban pidana. Antara putusan pengadilan yang satu dengan putusan pengadilan yang lain, kerapkali terdapat perbedaan dalam menentukan kesalahan dan pertanggungjawaban pidana terdakwa. Hal ini dapat saja bersumber dari adanya kecenderungan melihat penentuan kesalahan dan pertanggungjawaban pidana semata-mata sebagai bagian dari tugas hakim daiam memeriksa, mengadili dan memutus perkara. Kecederungan demikian, juga terlihat dari minimnya ketentuan peraturan pemndang-undangan pidana mengenai hal itu. Undang-undang pidana umumnya hanya menentukan tentang perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana beserta ancaman pidana bagi pembuatnya. Pada sisi tain, hai ini membuka kemungkinan para akademisi memberi kontribusi teoretis mengenai hal ini.
Pada tahun 1955 Prof. Moejatno, SH mengemukakan pandangannya mengenai tindak pidana dan pertanggungiawaban pidana. Dalam lirteratur teori ini dikena! dengan ajaran dualistis, yang dalam disertasi ini disebut dengan Teori Pemisanan Undak Pidana dan Peftanggungjawaban Pidana.
Teori ini menempatkan masalah pertanggungjawaban pidana terpisah dari masalah tindak pidana, sehingga dapat dipandang sebagai koreksi atas ajaran monistis yang memandang kesalahan semata-mata sebagai unsur subyektif tindak pidana. Selain itu, teori ini telah menjadi fundamen dasar penyusunan Rancangan KUHP, sehingga sangat bemilai strategis dalam usaha pembaharuan hukum pidana Indonesia. Namun demikian, hasil penelitian dalam disertasi ini menunjukkan teori ini umumnya tidak diterapkan, sekalipun harus diakui terdapat beberapa putusan pengadilan yang dapat dipandang sejalan dengan teori tersebut. Hal ini menyebabkan elaborasi Iebih iauh tentang pola penentuan kesalahan dan penanggung-jawaban pidana berdasar pada teori dualistis, sangat diperlukan guna menunjang praktek peradilan ketika KUHP baru diberlakukan.
Berdasarkan teori ini kesalahan dikeluarkan dari rumusan tindak pidana. Hal ini dapat menimbulkan berbagai persoalan dalam praktek. Misalnya, atas dasar apa penentuan kesalahan terdakwa, jika Penuntut Umum hanya berkewajiban membuktikan rumusan tindak pidana yang didalamnya tidak memuat unsur kesalahan. Apabila tidak mendapat pengaturan lebih Ianjut, balk dalam hukum pidana materil (KUHP) maupun hukum pidana formil (KUHAP), maka penentuan kesaiahan dan pertanggungjawaban pidana cenderung ke arah feit materiel. Hal ini terakhlr ini merupakan pola penentuan kesalahan dan pertanggungjawaban pidana yang telah ditinggalkan sejak Water en Melk Arrest Hoge-Raad 1916. Dengan kata lain, hal ini akan membuat pertanggungjawaban pidana cenderung dilakukan secara strict liability, yang oleh sementara kalangan dipandang sebagai pertanggungjawaban tanpa -kesalahan (liabiiity without fault). Dalam disertasi ini dikemukakan konsepsi tentang 'penentuan kesalahan dan pertangungjawaban pidana berdasar teori dualistis, tgnpa terjebak pada kecendengan menerapkannya sebagai fait material atau strict Bability.
Teori Pemisahan Tindak Pidana dan Pertanggungiawaban Pidana yang menjadi fundamen penyusunan Rancangan' KUHP belum sepenuhnya terimplementasi dalam berbagai ketenluanhya. Sejauh mengenal perumusan tindak pidana hal ini hanya mempengaruhi dikeluarkannya kesengajaan dari rumusan tindak pidana. Sementara kealpaan tetap menjadi bagian rumusan tindak pidana. Hal ini pun akan menimbulkan persoalan dalam praktek. Tldak terbuktinya kealpaan yang menjadi bagian rumusan tindak pidana menyebabkan terdakwa dibabaskan. Sebaliknya, jika dipandang tidak terdapat kesengajaan ketika melakukan tindak pidana, maka terdakwa akan dilepaskan dari segala tuntutan hukum. Baik kesengajaan maupun kealpaan keduanya bentuk-bentuk kesalahan, sehingga kurang tepat jika tidak terdapatnya hal ini menimbulkan konsekuensi yang berbeda. Disertasi ini mengemukakan konsepsi yang clengan itu perbedaan sebagaimana tersebut di atas dapat dihindari.

Fault and criminal liability still leaving some problems. For example, in practical law there is no similarity pattern of deciding the criminal fault and criminal liability yet. We often find that a verdict of a court is different with another court even they handled the same cases, it is usually often causes by the diherences in determined the defendant fault and criminal liability. lt could be caused by the inclination of some opinions said that the determination of the fault and criminal liability is part of the judges job in diagnose, judging and deciding a case. We can also say that the inclination caused bythe minimum regulations of the crime legislations. In generai the criminal legislations are only deciding the crime that is Stated as a crimutal act and the punishment for the doer. ln the other hand it opens the possibility for the academician to contribute their theoretical knowledge for this case.
In 1955, Prof. Moejatno, SH made an opinion about criminal act and criminal liability. ln a literature, this theory is known as the dualistic theory and it is called as the separation theory of criminal act and criminal liabihty in this dissertation. This theory placed the criminal liability problem (mens rea) separate from the criminal act problem (actus reus), so that we can see it as the correction of the monistrc theory that say that fault is part of the physiological element of criminal act. Beside that, this theory has become the basic concept of the Bill of Criminal Code for it would become strategic value in the Indonesian law development. However; result of the research this dissertation shows that this theory isn't always used, even though there are some court decisions used it. lt causes a further elaboration ofthe pattern of criminal act and criminal liability based on the dualistic theory that is very important to support the practical law when it is issued to the public.
Based on this theory, fault is not a part of criminal act. And it can causes problems in the law practice. For example, there will be a question about the basic determination of defendants fault, if the General Prosecutor only has an obligation to proof an criminal act concept that isn't consist of fault. lf there isn't any further regulation, neither in the substantive criminal law (Criminal Code) or procedure criminal law (Criminal Code Procedure), then the determination between fault and criminal liability will disposed to the feit materiel doctrine. And this is the pattern of the determination of fault and criminal liability that had been left since Water en Melk Arrest Hoge Read 1916. ln the other word, it can be said that the pattern can make the criminal liability disposed done by strict liability. The last one by some authors as a pattem the determination of criminal liability without fault. This dissertation tells a conception ofthe determination of fault and criminal liability based on dualistic theory without trapped on the leaning on using it as feit materiel doctrine or strict liability.
The separation theory of criminal act and criminal liability that is used as the basic concept Bill of Criminal Code isn't fully implemented on some stipulations. As far as we know, this theoiyis only affected to the issued of the intention out a part of criminal act concept. In the mean time, faults still become a part ofthe criminal-ect concept, and it is become a- problem in the real practice. The unproven of intention that is a part of criminal act will release (ontslaag van -alle rechtvenrolging) 'the defendant. On the other hand, if a defendant seems to be had negligence in done the cnrninal act the law will let him free (vrijspraak). Both of intention and negligence are faults, so that it wouldn?t be appropriate if the unexcitable of them make different consequences. This dissertation tells about a conception that will show us if we can avoid the differences mentioned.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004
D1022
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Edy Yuli Nurcahyono
"Masalah direktur nominee menjadi fenomenal karena dalam aturan hukum Indonesia belum mengakomodasi keberadaannya tetapi prakteknya digunakan. Rumusan masalah adalah bagaimana pertanggungjawaban korporasi sebagai pelaku tindak pidana, bagaimana pertanggungjawaban pidana direktur nominee dalam tindak pidana pencucian uang, bagaimana analisa terhadap putusan tindak pidana pencucian uang yang dilakukan oleh korporasi serta direktur nominee. Jenis penelitian dalam penelitian hukum ini adalah penelitian hukum normatif atau doktrinal. Pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana, suatu korporasi dapat bertanggung jawab melaui pengurusnya maupun korporasinya berdasarkan teori coorporate organ. Disebutkan dalam Pasal 4 Peraturan Mahkamah Agung No 13 Tahun 2016 bahwa pertanggungjawaban dari korporasi sendiri didasarkan dari pada undang-undang yang mengaturnya. seorang direktur nominee walaupun namanya dipinjam tetap saja seorang direktur nominee tersebut melanggar Pasal 4 Undang-Undang No 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Dalam hukum pidana direktur nominee adalah orang yang turut serta melkukan kejahatan sesuai dengan Pasal 55 Ayat 1 KUHP. Putusan Nomor :211/Pid/2012/Pt.Dki Dan Putusan Nomor : 76 Pk/Pid.Sus/201 terhadap tindak pidana pencucian uang tersebut, pelaku menggunakan korporasi untuk melakukan tindak pidana pencucian uang. Pertanggungjawaban pidananya semua diwakili oleh pengurus korporasi baik direktur biasa maupun direktur nominee tanpa adanya sanksi bagi korporasinya. Saran yaitu penegak hukum kesulitan memeriksa pelaku money laundering yang melibatkan korporasi, penegak hukum sebaiknya juga ikut memeriksa anggaran dasar perusahaan untuk membuka segala macam hal-hal yang tersembunyi di perusahaan tersebut.
Pertanggungjawaban Direktur Nominee Terhadap Tindak Pidana Pencucian Uang Direksi dalam sebuah perusahaan dapat diibaratkan sebagai pemimpin perusahaan. Direksi dapat dijadikan sebagai ldquo korban rdquo apabila direksi tidak mengetahui sejauh mana pertanggung jawaban dari seorang direksi. Terlebih lagi, jika posisi direksi dalam perusahaan tersebut hanyalah sebagai ldquo direktur nominee rdquo . Direksi PT jelas bertanggung jawab penuh, tentunya akan membawa dampak munculnya implikasi hukum terhadap pertanggungjawaban Direksi ketika suatu korporasi melakukan tindak pidana baik pelanggaran maupun kejahatan. Rumusan masalah dalam penulisan ini adalah 1 Bagaimana pertanggungjawaban korporasi sebagai pelaku tindak pidana, 2 Bagaimana pertanggungjawaban pidana direktur nominee dalam tindak pidana pencucian uang, Bagaimana analisa terhadap putusan tindak pidana pencucian uang yang dilakukan oleh korporasi serta direktur nominee, metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian normatif. Korporasi privat dapat berbentuk badan hukum atau tidak berbadan hukum. Korporasi yang berbadan hukum diwakili oleh pengurusnya dan tanggung jawab pemegang sahamnya sebatas modal yang dimiliknya. Untuk yang tidak berbadan hukum tanggung jawabnya tidak terbatas, serta sistem pertanggungjawabanya adalah secara tanggung renteng. Untuk pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana, suatu korporasi dapat bertanggung jawab melaui pengurusnya maupun korporasinya yang dapat berupa denda atau pembubaran korporasi tersebut. Dalam kedudukannya di Perseroan Terbatas tugas dan fungsi direktur nominee tidak disebutkan di dalam Undang Undang No 40 Tahun 2007. Dalam tindak pidana korporasi khususnya tindak pidana pencucian uang, seorang direktur nominee walaupun namanya dipinjam tetap saja seorang direktur nominee tersebut melanggar Pasal 4 Undang Undang No. 8 Tahun 2010. Ada tiga contoh putusan yang melibatkan korporasi, direktur nominee yaitu 1 Putusan Nomor 211 PID 2012 PT.DKI 2 Putusan Nomor 76 PK Pid.Sus 201. Saran penulis Direktur dalam pengurusan perusahaan sebaiknya lebih mementingkan kepentingan perusahaan di atas kepentingan lainnya. Dalam kasus direktur pinjam nama direktur nominee sebaiknya menggunakan perjanjian tertulis kepada orang yang meminjam nama tersebut."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
T49724
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Belinda Laila Caesar
"ABSTRACT
Novel Nineteen Eighty-Four karya George Orwell menceritakan tentang sebuah negara fiksi Oceania yang dikuasai partai Ingsoc dengan rezim totaliter dan segala informasi dikuasai oleh partai itu. Penelitian ini akan menganalisis bagaimana hiperrealitas yang ditimbulkan sebagai dampak konstruksi realita menggunakan berita bohong yang ada di dalam novel Nineteen Eighty-Four. Penelitian ini akan menggunakan metode analisis isi kualitatif. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa proses pembuatan berita yang bersifat manipulatif dan dipenuhi dengan berita bohong mengonstruksi realita masyarakat Oceania dan mengaburkan persepsi mereka tentang kejahatan yang dilakukan oleh Ingsoc terhadap mereka.

ABSTRACT
George Orwell's Nineteen eighty-four tells the story of a fictional country Oceania which is ruled by the totalitarian English Socialist Party (or Ingsoc) and every information is managed and controlled by the ruling party. This research will analyze how hyperreality that is caused by the construction of reality using fake news in the novel Nineteen Eighty-Four. The method used in this research is qualitative content analysis. The research shows that the manipulative news making process which is filled with fake contents constructs the reality of Oceanian people and causes them to be unable to see the crimes that Ingsoc is doing to them."
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Napitupulu, Yohanes Partogi
"Kesalahan merupakan salah satu unsur terpenting untuk meminta pertanggungjawaban pidana terhadap kurir narkotika. Tanpa adanya kesalahan kesengajaan/ kelalaian , maka tidak dapat dipidananya seorang terduga kurir narkotika. Namun, pada penerapannya Hakim dalam mengadili seorang kurir narkotika terkadang luput menggali lebih lanjut mengenai bentuk kesalahan dari siterdakwa. Kesalahan ini sangat erat hubungannya dengan suatu bentuk penyertaan dalam melakukan tindak pidana. Sebab, narkotika sebagai suatu kejahatan terorganisir memiliki suatu mata rantai yang luas dimana terdapat hubungan kerja sama antar para pelaku. Dalam konteks kurir narkotika, perlunya dikaji lebih lanjut pengetahuan dan kesadaran kurir narkotika sebagai pelaku yang bekerja sama dalam suatu sindikasi narkotika.

Fault is one of the most important elements of criminal liability to the narcotics courier. Without a fault deliberate negligent , a narcotics courier cannot be held liable for its crime. However, in the application of the Judge in adjudicating a narcotics courier sometimes escapes further the error of the accused. This error is closely related to a form of participation in committing a crime. Therefore, narcotics as an organized crime has a wide chain where there is a relationship of cooperation between principals. In the context of narcotics couriers, the need to further examine the knowledge and awareness of narcotics couriers as actors who work together in a narcotic syndication."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
S69729
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Galih Adzaningjagat
"Data kejahatan siber di Indonesia berdasarkan sistem teknologi informasi milik Bareskrim Polri ( Robinopsnal ) tercatat sejak 1 Januari hingga 22 Desember tahun 2022, Kepolisian Republik Indonesia telah menindak sebanyak 8.831 kasus kejahatan siber. Salah satu yang tergolong kejahatan siber yakni tindakan skimming. Skimming merupakan tindakan yang dilakukan oleh seseorang untuk menggandakan data yang bukan miliknya. Penelitian yang dilakukan oleh penulis berbentuk yuridis-normatif, yaitu penelitian yang bertujuan untuk melihat bagaimana pelaksanaan suatu peraturan perundang-undangan. Penelitian ini difokuskan terhadap pertanggungjawaban pidana pelaku tindakan skimming karena belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur secara tegas tindakan skimming tersebut. Masih terdapat perbedaan penerapan peraturan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum di Indonesia dalam memberantas tindakan skimming. Pengaturan tindakan skimming di Indonesia terdapat dalam KUHP, UU ITE sera UU PDP. Pada praktiknya masih terdapat perbedaan dalam penanganan tindakan skimming, aparat penegak hukum ada yang menerapkan pasal pencurian dalam KUHP, ada yang menerapkan illegal access yang terdapat dalam UU ITE. Dalam skripsi ini penulis berpendapat UU ITE lah yang lebih tepat untuk menangani tindakan skimming di Indonesia. Tindakan skimming ini harus diminta pertanggungjawabannya berdasarkan apa yang tercantum dalam ketentuan UU ITE.

Data on cybercrime in Indonesia, based on the information technology system owned by the Indonesian National Police's Criminal Investigation Department (Robinopsnal), shows that from January 1st to December 22nd, 2022, the Republic of Indonesia Police have taken action against 8,831 cybercrime cases. One of the forms of cybercrime is skimming, an act where someone duplicates data that does not belong to them. The research conducted by the author takes the form of juridical-normative study, aiming to examine the implementation of legal regulations. The focus of this research is on the criminal liability of individuals involved in skimming, as there is currently no specific legal regulation that explicitly addresses skimming. There are still differences in the application of regulations by law enforcement agencies in Indonesia when dealing with skimming. The regulation on skimming in Indonesia can be found in the Criminal Code (KUHP), the Information and Electronic Transactions Law (UU ITE), and the Personal Data Protection Law (UU PDP). In practice, there are variations in how skimming cases are handled, with some law enforcement agencies applying theft provisions from the Criminal Code, while others apply the illegal access provisions from the Information and Electronic Transactions Law. In this thesis, the author argues that the Information and Electronic Transactions Law (UU ITE) is more appropriate for handling skimming cases in Indonesia. The accountability for skimming actions should be sought based on the provisions stipulated in the Information and Electronic Transactions Law (UU ITE)."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raisya Majory
"ABSTRAK
Tulisan ini menganalisis bagaimana peraturan perundang-undangan terkait lingkungan hidup di Indonesia dan di negara lain mengatur mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi dan pengurus korporasi. Di Indonesia, ketentuan dalam peraturan perundang-undangan serta putusan pengadilan masih kerap gagal dalam membedakan pertanggungjawaban pidana untuk korporasi dan pengurus korporasi. Dalam praktiknya, pengurus korporasi dapat dipidana atas tindakan korporasi tanpa dibuktikan adanya kesalahan dan bahkan tanpa dijadikan terdakwa terlebih dahulu. Padahal, terdapat teori yang berbeda untuk membebankan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi dengan pengurus korporasi. Mengacu kepada peraturan perundang-undangan dan putusan Australia dan Inggris serta teori-teori pertanggungjawaban pidana, tulisan ini mengkritik peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan Indonesia terutama dalam lingkup pencemaran dan perusakan lingkungan. Seharusnya pengurus korporasi hanya dapat dipidana apabila terlibat dalam pencemaran lingkungan yang dilakukan oleh korporasi, dan bukan semata-mata karena jabatannya sebagai direktur dalam korporasi. Tulisan ini menyarankan diperjelasnya ketentuan pertanggungjawaban pidana korporasi dan pengurus korporasi terutama terkait dengan lingkungan hidup.

ABSTRACT
This thesis analyses how environmental regulations in Indonesia and other States respectively regulate corporate criminal liability and director 39 s criminal liability. Indonesian regulations and courts often fail to distinguish between corporate criminal liability and director 39 s criminal liability. In practice, director 39 s may be held guilty without being at fault or even without being made a defendant for a corporate crime. Based on Australian and English regulations and courts decisions as well as theories on criminal liability, this writing criticizes Indonesian regulation and court decisions especially with regards to environmental pollution. A director should only be convicted if the director is involved in the environmental pollution done by the corporation, and not merely because of his or her position as the director of the corporation. This writing provides a recommendation in light of the uncertainty surrounding corporate criminal liability and director 39 s criminal liability especially in the context of environmental law in the hope to provide clarity on the matter. "
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>