Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 101833 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Marpaung, Marlin Agustin
"Karya Sinematografi dalam bentuk film impor merupakan bentuk tayangan yang diperkenalkan kepada masyarakat Indonesia sejak sebelum kemerdekaannya. Film impor yang ditayangkan di Indonesia dapat dikonsumsi dan dinikmati oleh masyarakat Indonesia karena adanya penerjemahan yang dilakukan atas film-film impor tersebut. Terdapat 2 dua metode penerjemahan film yang paling sering dipakai oleh berbagai negara di dunia, termasuk Indonesia yaitu metode sulih suara dubbing dan metode penerjemahan dalam bentuk teks subtitle.
Film impor yang selama ini diedarkan dan ditayangkan di bioskop untuk konsumsi publik, diterjemahkan menggunakan metode penerjemahan dalam bentuk teks subtitle, namun tidak demikian adanya dengan film impor yang ditayangkan di televisi. Film sebagai salah satu dari serangkaian Ciptaan yang dilindungi oleh hukum Hak Cipta di Indonesia diakui sebagai sebuah wujud nyata dari sebuah ide yang diekspresikan yang kepada Pencipta atau Pemegang Hak Ciptanya melekat Hak Ekonomi dan Hak Moral.
Dalam tulisan ini penulis akan membedah kedua metode penerjemahan film tersebut dan membongkar satu per satu setiap tahap yang harus dilalui untuk menerjemahkan film menggunakan kedua metode penerjemahan tersebut. Penulis juga akan membahas mengenai penerjemahan film dilihat dari perspektif hak ekonomi dan hak moral. Selanjutnya penulis menganalisis lebih jauh mengenai metode sulih suara dubbing yang selama ini dipakai untuk menerjemahkan film impor yang ditayangkan di televisi dan dampaknya terhadap hak moral Pelaku Kegiatan Perfilman sebagai Pencipta, dikaitkan dengan definisi Ciptaan yang dilindungi oleh hukum Hak Cipta sendiri. Penulis berharap pada akhirnya film impor yang ditayangkan di televisi Indonesia dapat disuguhkan kepada masyarakat menggunakan metode penerjemahan film yang tetap memastikan Hak Ekonomi Pencipta terlindungi namun tidak menciderai Hak Moral Pencipta.

Cinematographic work in the form of imported film is something that was already introduced to the people of Indonesia even prior to its independence as a nation. Imported film that are aired in Indonesia are able to be consumed and enjoyed by Indonesian people because of film translation methods applied on the films, that allow them to do so. There are 2 two methods of film translating that are most commonly used in many countries across the world including Indonesia itself, which are dubbing and subtitling.
The imported films that have been circulated and showcased in movie theatres for publics consumption, are translated by subtitling them, but it isnt so when it comes to those that are aired on television. Film as one of the forms of creation that are protected under the Copyright Law which recognizes it as an embodiment of an expressed idea. On that creation economic and moral rights are attached.
In this writing, author hopes to be able to dissect both film translating methods in terms of the technicalities and how they affect the moral rights of creator with how the Copyright Law defines the very creation it protects in mind. Author hopes for a future where imported films are able to be consumed by our society using a translating method that is able to make sure that both of creators rights which the economic one and the moral one stay protected, specifically in terms of sound which is one of the most important elements in movie as a form of audiovisual work.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maicikal Salma Alemanda Putri Shalfi
"Penelitian ini berfokus pada kesulitan yang muncul pada sulih suara bahasa Indonesia Avengers: Endgame (2019).  Film Marvel Avengers: Endgame (2019) dengan audio berbahasa Inggris dan bahasa Indonesia digunakan sebagai data.  Penelitian ini menggunakan kombinasi metode berbasis perpustakaan dan eksplorasi.  Analisis data mengarah pada identifikasi permasalahan yang terjadi pada sulih suara bahasa Indonesia.  Sesuai dengan teori Hartono (2017) dan Simatupang (1999), setiap kesalahan dikategorikan menjadi dua jenis, yaitu kesalahan tata bahasa dan kesalahan leksikal.  Studi ini menemukan setidaknya 16 kesalahan terjemahan dalam kategori tata bahasa dan setidaknya 27 kesalahan dalam kategori leksikal.  Kesalahan penerjemahan dalam penelitian ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain teknik dan metode yang tidak tepat yang digunakan dalam beberapa kasus sulih suara bahasa Indonesia untuk film Avengers: Endgame (2019).  Dari penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa kesalahan penerjemahan ini mempersulit penyampaian makna bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran dan dapat memberikan pemahaman yang kurang tepat.

This study focuses on the difficulties that arose during the Indonesian dubbing of Avengers: Endgame (2019). The original and Indonesian dubbing versions of the Marvel film Avengers: Endgame (2019) were used as the data. This study utilizes a combination of library-based and exploratory methods. The data analysis leads to identifying issues that occur in the Indonesian dubbing version. In accordance with Hartono's (2017) and Simatupang’s (1999) theory, each error is categorized into two types, which are grammatical and lexical errors. This study discovered at least 16 translation errors in the grammatical category and at least 27 errors in the lexical category. The error translation in this study is caused by several factors, including the improper techniques and methods used in some cases of the Indonesian dubbing of the film Avengers: Endgame (2019). From this research, it can be concluded that these translation errors make it challenging to transmit the meaning of the source language into the target language and might mislead audiences' understanding."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Luthfi Prasetya Putra
"Penulisan ini membahas mengenai pengaturan hukum Hak Cipta, terutama Hak Moral dan Hak Ekonomi, pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dikaitkan dengan pemberlakuan Sensor Film yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman. Pembahasan mengenai hukum Hak Cipta dilakukan dengan melakukan perbandingan pengaturan pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, terutama pada perbandingan pengaturan Hak Moral dan Hak Ekonominya. Selanjutnya, penulisan ini juga membahas sekilas industri perfilman Indonesia dan menganalisis pelaksanaan Sensor Film yang dilakukan oleh Lembaga Sensor Film sebagai salah satu lembaga negara Indonesia.

The focus of this study is about Copyright Law regulation, especially concerning Moral Right and Economic Right, in Law Number 28 of 2014 related to the implementation of Film Censorship that mandated by Law Number Number 33 of 2009. The analysis of Copyright Law done by doing comparison between Law Number 28 of 2014 and Law Number 19 of 2002. This writing is also at glance discuss the development of film industry in Indonesia and analyse the implementation of Film Censorship conducted by Film Censorship Body (Lembaga Sensor Film).
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
S59058
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rangga Ferizky Fadli
"Dalam dunia perfilman saat ini dikenal istilah sulih suara atau dubbing, sebuah istilah yang merujuk pada kegiatan mengubah audio percakapan dalam sebuah film menjadi bahasa lain sehingga bahasa film tersebut dapat dimengerti oleh masyarakat luas. Analisis dilakukan pada sebuah film animasi karya Hayao Miyazaki yang berjudul Spirited Away. Bahasa yang digunakan dalam film ini adalah bahasa Jepang, namun setelah ditayangkan di Netflix, memiliki beberapa opsi pilihan sulih suara dalam bahasa lain, salah satunya yaitu bahasa Arab. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis bagaimana tindak tutur ekspresif berbahasa Arab digunakan dalam film Spirited Away yang telah disulih suara berbahasa Arab. Dalam proses analisis data, data dianalisis berdasarkan teori tindak tutur ekspresif yang dikemukakan oleh Searle (1976), dan Guiraud, et al. (2011) serta teori tindak tutur ekspresif milik Austin (1962). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif deskrpitif dengan pendekatan pragmatik. Setelah dilakukan analisis, ditemukan tindak tutur ekspresif sebanyak 53 data dalam film Spirited Away. Tuturan tersebut terdiri atas: (1) Thanking (terima kasih) sebanyak 15 data; (2) Disapproving (ketidaksetujuan) sebanyak 8 data; (3) Praising (memuji) sebanyak 5 data; (4) Accusing (menuduh) sebanyak 5 data; (5) Welcoming (ungkapan menyambut atau selamat datang) sebanyak 5 data; (6) Approving (menyetujui) sebanyak 3 data; (7) Sadness (kesedihan) sebanyak 3 data; (8) Protesting (memprotes) sebanyak 3 data; (9) Guilt (rasa bersalah) sebanyak 2 data; (10) blaming (menyalahkan) sebanyak 2 data; (11) Apologizing (meminta maaf) sebanyak 2 data. Hasil analisis menunjukkan bahwa sulih suara bahasa Arab dalam film ini memadukan dua budaya, yaitu Jepang dan Arab, dalam aspek keramahtamahan dan kesopanan dalam interaksi sosial.

In the world of filmmaking today, the term dubbing is well known. It refers to the activity of changing the audio conversations in a film into another language so that the film's language can be understood by a wider audience. An analysis is conducted on an animated film by Hayao Miyazaki titled "Spirited Away." The language used in this film is Japanese, but after being broadcasted on Netflix, it offers several dubbing options in other languages, including Arabic. The aim of this research is to analyze how expressive speech acts in the Arabic language are used in the film "Spirited Away" after being dubbed in Arabic.During the process of data analysis, the data is analyzed based on the theory of expressive speech acts proposed by Searle (1976) and Guiraud, et al. (2011), as well as Austin's (1962) theory of expressive speech acts. The method used in this research is qualitative-descriptive research with a pragmatic approach. After the analysis, a total of 53 instances of expressive speech acts were found in the film "Spirited Away." These expressions consist of: (1) Thanking with 15 instances; (2) Disapproving with 8 instances; (3) Praising with 5 instances; (4) Accusing with 5 instances; (5) Welcoming with 5 instances; (6) Approving with 3 instances; (7) Sadness with 3 instances; (8) Protesting with 3 instances; (9) Guilt with 2 instances; (10) Blaming with 2 instances; (11) Apologizing with 2 instances. The analysis results indicate that the Arabic dubbing in this film combines two cultures, Japanese and Arab, in terms of hospitality and politeness in social interactions."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Sitohang, Indra C.
"Tesis ini membahas mengenai legalitas atas hak cipta lagu parodi yang diunggah di dalam layanan berbagi video YouTube dengan mengkaji sejauhmana Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta mengatur hal tersebut termasuk perlindungan terhadap hak moral dan hak ekonomi pencipta dan pelaku pertunjukan lagu asli. Dengan kemajuan teknologi, kepastian hukum atas suatu ciptaan lagu yang ditransformasikan menjadi parodi dan kemudian diunggah di internet sangatlah penting untuk dikertahui oleh pencipta dan pelaku pertunjukan lagu asli. Terdapat dua cara untuk mengetahui sejauhmana suatu lagu parodi yang diunggah melalui YouTube adalah sah ataukah bertentangan dengan UUHC. Jika terjadi pelanggaran hak cipta, maka pencipta dan pelaku pertunjukan lagu asli berhak atas perlindungan hukum dengan cara mengajukan penghentian, gugatan perdata, maupun tuntuan pidana yang diatur di dalam UUHC, UU ITE dan Copyrigts on YouTube.

This thesis discusses the legality to Copyright of Parody Song which being uploaded in video-sharing website, YouTube by analyzing at how far The Law of Republic of Indonesia Number 28 Year 2014 Regarding Copyright regulates this matter including the protection of moral right and economic right of the original songwriter and performer. With the progress of technology, legal certainty of the song which being transformed to parody and also uploaded to internet is very important for original songwriter and performer to know. There are two ways to find out about a parody song which were uploaded through YouTube be valid or contrary to UUHC. When there is a violation of copyright, the original songwriter and performer have a rights to access legal protection by reporting the termination, filing a lawsuit for compensation, and criminal charges as governed in UUHC, UU ITE, and Copyrights on YouTube."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
T45878
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adi Wahyu Anugrah
"Dewasa ini makin marak penggunaan ciptaan tanpa memerhatikan ketentuan Hak Cipta sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Salah satu ciptaan yang dilindungi adalah potret. Potret merupakan karya fotografi yang objeknya adalah orang. Beberapa kasus yang marak terjadi khususnya penggunaan ciptaan potret adalah, kasus-kasus ujaran kebencian, pencemaran nama baik yang menggunakan Potret Presiden. Pada kasus tersebut dasar hukum yang digunakan bukanlah Undang-Undang Hak Cipta, melainkan berdasar pada Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Pada kasus-kasus tersebut terdapat kesamaan barang bukti yang digunakan, yakni Potret Presiden yang dimodifikasi. Menarik minat penulis untuk meneliti mengenai perlindungan Potret Presiden yang dimodifikasi. Karena Potret Presiden belum diatur secara jelas di dalam undang-undang hak cipta. Pasal 43 huruf e Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, tercantum bahwa penggandaan, pendistribusian, dan/atau pengumuman Potret Presiden tidak diangaap sebagai pelanggaran hak cipta, asal memerhatikan martabat dan kewajaran sesuai peraturan perundang-undangan. Penulis menggunakan metode penelitian yuridis normatif, yakni mengkaji peraturan perundang-undangan khususnya mengenai Potret Presiden. Hasil penelitian ini membahas mengenai analisis kasus yang terjadi pada penggunaan Potret Presiden, definisi dari martabat dan kewajaran, serta upaya yang dapat ditempuh terhadap modifikasi Potret Presiden yang melanggar hak cipta.

Today, the use of creation is increasingly prevalent without regard to the Copyright provisions as stipulated in Law No. 28 of 2014 concerning Copyright. One protected creation is a portrait. Portrait is a photographic work whose object is people. Some of the cases that are prevalent, especially the use of portrait creation, are cases of hate speech, defamation using the portrait of the President. In this case the legal basis used is not the Copyright Act, but based on Law Number 19 Year 2016 concerning Amendments to Law Number 11 Year 2008 concerning Information and Electronic Transactions. In these cases there is a similarity of evidence used, namely the modified portrait of the President. Interest the author to examine the protection of the modified portrait of the President. Because the President`s portrait has not been clearly regulated in copyright law. Article 43 letter e of Law Number 28 of 2014 concerning Copyright states that duplication, distribution and/or announcement of the President`s Portrait are not considered as copyright infringement, provided that they pay attention to dignity and fairness in accordance with the laws and regulations. The author uses a normative juridical research method, namely reviewing legislation specifically regarding the Presidents Portrait. The results of this study discuss the analysis of cases that occur in the use of the Presidents Portrait, the definition of dignity and reasonableness, and efforts that can be taken towards modifying the Presidents Portrait that violates copyright."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T52552
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rebecca Risty
"Penulisan fanfiction atau karya penggemar menimbulkan pertanyaan mengenai status serta perlindungan hukum hak cipta yang diberikan baik kepada pencipta ataupun penulis karya fanfiction tersebut. Hal ini dikarenakan penulisan karya fanfiction tersebut tanpa izin dari pencipta dan/atau pemegang hak cipta karya asli. Dalam penelitian ini, metode yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif atau metode penelitian hukum kepustakaan. Penelitian ini menunjukkan bahwa karya fanfiction merupakan karya turunan yang tidak memiliki izin sehingga tidak mendapatkan perlindungan hak cipta. Bagi pencipta atau pemegang hak cipta, penulisan fanfiction merupakan pelanggaran hak moral dan/atau hak ekonomi mereka sehingga terdapat perlindungan preventif maupun represif yang dapat digunakan terhadap penulisan fanfiction tersebut. Sedangkan penulis fanfiction dapat menggunakan doktrin fair use sebagai perlindungan terhadap gugatan pelanggaran hak cipta yang diajukan kepadanya. Apabila fanfiction telah dimodifikasi sedemikian rupa sehingga tidak memiliki kesamaan substansial dengan karya aslinya, maka akan menghasilkan karya transformatif yang dilindungi oleh hak cipta. Karena penulisan karya fanfiction pada dasarnya merupakan pelanggaran hak cipta, maka penggemar sebaiknya melihat terlebih dahulu pendapat pencipta atau pemegang hak cipta mengenai penulisan fanfiction dan tidak mengkomersialisasikan fanfiction tersebut untuk mencegah gugatan pelanggaran hak cipta.

The writing of fanfiction raises questions about the legality and copyright protection of either the author or the writer of the fanfiction itself. These questions occurred from the fact that the writing of fanfiction are done without the consent of the author and or copyright holder. The form of method that used to conduct this research is a normative judicial research. This research shows that fanfiction is an unauthorized derivative work, therefore does not hold a copyright protection. For either the author or copyright owner, the writing of fanfiction is a form of moral right and or economic right infringement, and for that there are preventive and repressive protections that can be used to protect their rights. On the other hand, the fair use doctrine can be used by the writer fanfiction as a defense against copyright infringement lawsuit filed by the copyright owner. A fanfiction that has been modified and changed in a way that it does not hold any substantial similarity with the original work falls under the transformative work, hence protected by the copyright law. Since the writing of fanfiction is a copyright infringement, fanfiction writer need to look further at whether or not the author or copyright owner approves of the writing of fanfiction based on their work and not to commercialize their fanfiction to avoid copyright infringement lawsuit."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
S69503
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ajeng Kumala Indriyani
"Penelitian atas Hak Cipta sebagai Benda Jaminan didasarkan pada Undang - Undang Nomor 19 tahun 2002 tentang hak Cipta dan Undang - Undang Nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui untuk mengetahui keberadaan Hak Cipta dalam kedudukannya sebagai benda serta kemungkinannya sebagi obyek penjaminan atas hutang dalam prespektif Hukum Jaminan Indonesia.
Hak Cipta adalah hak khusus bagi pencipta maupun penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya maupun memberi izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku? berdasarkan pasal 2 Undang - undang Hak Cipta Nomor 19 Tahun 2002, sedangkan pengertian Jaminan sebagai jaminan umum adalah jaminan yang diberikan bagi kepentingan semua kreditur dan menyangkut semua harta kekayaan debitur.
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa Hak Cipta memenuhi seluruh unsur dan keberadaan sebagai benda, tetapi sebagai obyek penjaminan Hak Cipta memiliki kelemahan - kelemahan yaitu peralihan atas Hak Cipta yang tidak menyeluruh melainkan hanya sebagian, tidak terdapatnya nilai tetap atas Hak Cipta, serta belum adanya lembaga penjaminan yang tepat bagi Hak Cipta sebagai Jaminan.

Copyright is the exclusive right for the creator or the recipient of the right to publish or reproduce his/her creations and to give others permissions to do so without reducing any restrictions regulated by the existing laws; Article 2 of Copyright Act No. 19 of 2002. Collateral on the other hand is an asset given by debtors to creditors as a guarantee on a particular value of a loan.
The research on Copyright as an object of warranty is based on the Act No. 19 of 2002 on Copyrights and Law, as well as the Law No. 42 of 1999 on Fiduciary Guarantee. This study aims to explore the stand of Copyright in its capacity as an object as well as its potential as collateral with respect to the Indonesian Security Law.
Results of this study conclude that Copyright in fact fulfills all the elements and conditions as an object yet contains some weaknesses as collateral such as; the transfer of Copyright that is only partial instead of full, the absence of a fixed value due to the fact that the value of Copyright is determined based on mutual agreements and professional organizations, and the difficulty of executing copyright as an object of warranty due to its intangible nature.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T33319
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Merdithia Mahadirja
"Kajian ini membahas tentang pengaturan dan penerapan hak moral, terutama di film. Hak moral adalah doktrin yang diakui dalam undang-undang tentang hak cipta di mana seorang penulis memiliki hak yang di luar hak ekonominya. Tapi karena tidak adanya standar minimal yang harus diterapkan oleh negara-negara anggota Dunia Organisasi Perdagangan, dalam penerapannya doktrin ini menimbulkan masalah terutama untuk karya turunan seperti film yang tidak bisa disamakan dengan sastra atau karya seni pada umumnya. Di Penelitian ini membahas tentang bagaimana mengidentifikasi hak moral dalam produksi film yang baik untuk film itu sendiri dan untuk karya lain yang merupakan bagian dari film. Selanjutnya dibahas pula tentang hak-hak moral yang dimiliki oleh produsen, sutradara, aktor/aktris, penulis naskah, sutradara musik dan kru film. Diskusi Hal ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan konseptual dan a komparatif karena perbedaan konsep hak moral yang ada di negara-negara anggota Organisasi Perdagangan Dunia. Dalam analisis penelitian ini dapat diketahui bahwa untuk mengidentifikasi hak moral dari film itu sendiri dan bagian-bagiannya harus diketahui terlebih dahulu, apakah sudah diakui atau belum sebagai penciptaan. Selain itu, juga dapat dilihat bahwa pihak-pihak dalam produksi film dapat hak moral mereka dilindungi jika pekerjaan mereka adalah bagian dari film telah diterbitkan sebelumnya.

This study discusses the regulation and application of moral rights, especially in films. Moral rights are doctrines recognized in copyright laws in which an author has rights that are beyond his economic rights. However, because there is no minimum standard that must be applied by member countries of the World Trade Organization, in its application this doctrine creates problems, especially for derivative works such as films that cannot be equated with literature or works of art in general. This study discusses how to identify moral rights in good film production for the film itself and for other works that are part of the film. Furthermore, it is also discussed about the moral rights of producers, directors, actors/actresses, scriptwriters, music directors and film crews. Discussion This is done using a conceptual and a comparative approach because of the different concepts of moral rights that exist in the member countries of the World Trade Organization. In the analysis of this research, it can be seen that in order to identify the moral rights of the film itself and its parts, it must be known first, whether it has been recognized or not. creation. In addition, it can also be seen that the parties in film production can have their moral rights protected if their work is part of the film previously published.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Michelle Suliyanto
"Dewasa ini, timbul berbagai masalah yang dihadapi Lembaga Manajemen Kolektif di Indonesia. Untuk menanggulangi masalah ini, kemudian dibentuk Lembaga Manajemen Kolektif Nasional LMKN berdasarkan Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 sebagai lembaga yang mengelola royalti hak cipta bidang lagu dan/atau musik. Terdapat dua jenis LMKN yakni LMKN Pencipta, yang merepresentasikan kepentingan Pencipta, dan LMKN Hak Terkait, yang merepresentasikan kepentingan Pemilik Hak Terkait. LMKN dibentuk sebagai subordinasi dari LMK-LMK di Indonesia. Tidak ada lembaga di negara-negara lain yang menyerupai LMKN.
Pengaturan mengenai LMKN diatur lebih lanjut dalam Permenkumham No. 29 Tahun 2014. Menurut Permenkumham No. 29 Tahun 2014, LMKN dibentuk dengan bentuk hukum komisi yang beranggotakan masing-masing 5 komisioner. Permenkumham ini juga mengatur mengenai tugas dan kewenangan dari LMKN. Terdapat pengaturan mengenai LMKN dalam Permenkumham dan UU No. 28 Tahun 2014 yang bertentangan antar satu dengan yang lainnya. Bentuk hukum dan kewenangan LMKN sebagaimana diatur dalam Permenkumham bertentangan dengan definisi awal dari pembentukan LMKN dalam UU No. 28 Tahun 2014.

Nowadays, there are a lot of problems arise that are encountered by Collective Management Institutions in Indonesia. The National Collective Management Institute LMKN was established under Law no. 28 of 2014 as the agency that manages the copyrighted royalties of song and or music fields. There are two types of LMKN namely LMKN Creator, which represents the interests of the Creator, and LMKN Related Rights, which represents the interests of the Owner of the Related Rights. LMKN was formed as a subordination of collective management organizations located in Indonesia. There are no institutions in other countries that resemble LMKN.
The regulation on LMKN is further stipulated in Permenkumham No. 29 Year 2014. According Permenkumham No. 29 Year 2014, LMKN was formed with a legal form of commission consisting of 5 commissioners each. This Permenkumham also regulates the duties and authorities of LMKN. There are arrangements regarding LMKN in Permenkumham and Law no. 28 of 2014 that are in conflict with each other. The legal form and authority of LMKN as regulated in Permenkumham is contrary to the original definition of the formation of LMKN in Law no. 28 of 2014.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>