Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 84563 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hanakarita Hutami
"Skripsi ini membahas tentang pembuatan perjanjian perkawinan yang dibuat ketika perkawinan berlangsung pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 yang mengatur kembali perjanjian perkawinan di Indonesia yang memberikan perluasan terhadap jangka waktu pembuatan perjanjian perkawinan yang sebelumnya tidak dapat dibuat setelah perkawinan dilangsungkan menjadi dapat dibuat setelah perkawinan dilangsungkan. Namun, dalam prakteknya masih banyak pihak-pihak yang tidak mengetahui mengenai peraturan baru tersebut yang menyebabkan dilakukannya tindakan hukum yang berlebihan sehingga tujuan diputuskannya putusan tersebut tidak tercapai. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan tipologi deskriptif. Hasil dari penelitian ini adalah dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi dapat mempermudah pihak-pihak yang sebelumnya belum membuat perjanjian perkawinan sebelum perkawinan berlangsung menjadi dapat dibuatnya perjanjian perkawinan tersebut sehingga para pihak mendapatkan kembali hak-haknya yang sebelumnya hilang karena tidak dibuatnya perjanjian perkawinan tersebut. Oleh karena itu sangat dibutuhkannya penyebaran informasi mengenai pembaruan peraturan perjanjian perkawinan di Indonesia.

This thesis discusses the entering into a marriage agreement when marriage takes place after the Constitutional Court Decree No. 69 PUU XIII 2015 which re regulates marriage agreements in Indonesia providing extensions to the period to enter into a marriage agreement, in which before the issuing of this Decree, a marriage agreement was not able to be entered into after marriage but currently a marriage agreement is able to be entered into after marriage. However, in practice there are still many parties who are not aware of the new regulation causing excessive legal action to be made resulting in the purpose of the Decree to not be reached. This research is a qualitative research with descriptive typology. The result of this research is that the Constitutional Court Decree shall be able to facilitate the parties that have not entered into a marriage agreement before marriage therefore the marriage agreement can be made in order for the parties to obtain their previously lost rights as a result for not entering into a marriage agreement beforehand. Therefore, it is highly necessary to spread information regarding the renewal of the marriage agreement regulation in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chintia Trisnayanti Susilo
"Setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015, Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan mengalami perubahan sehingga menciptakan norma baru. Salah satunya yaitu memberikan kewenangan kepada notaris untuk mengesahkan perjanjian perkawinan. Pengesahan perjanjian perkawinan yang dilakukan notaris dimaknai berbeda dengan pengesahan perjanjian perkawinan yang dilakukan oleh pegawai pencatat perkawinan. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dengan menganalisis kewenangan notaris dalam pengesahan perjanjian perkawinan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 yang dibandingkan dengan Pasal 15 UU Jabatan Notaris.
Kesimpulan yang diperoleh berdasarkan hasil analisis tersebut adalah kewenangan notaris dalam pengesahan perjanjian perkawinan setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 dimaknai bahwa notaris berwenang membuat perjanjian perkawinan dalam bentuk akta autentik untuk memenuhi syarat pencatatan perjanjian perkawinan yang telah ditetapkan oleh peraturan pelaksana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015, sehingga tetap diperlukan pengesahan oleh pegawai pencatat perkawinan agar mengikat pihak ketiga.

After the ruling of the Constitutional Court the number 69/PUU-XIII/2015, article 29 paragraph (1) of the ACT of marriage changes thus creating new norms. One that is giving authority to the notary to certify the prenuptial agreement. The passage of the prenuptial agreement done different is meant with the notary attestation of the agreement of a marriage conducted by officers of Registrar of marriage. Research methods used in this research is the juridical normative by analyzing the notary authority in prenuptial agreement based on the endorsement of the ruling of the Constitutional Court the number 69/PUU-XIII/2015 compared with article 15 LAW Office Of Notary Public.
Conclusion based on the analysis of the results obtained was the notary authority in endorsement prenuptial agreement after the ruling of the Constitutional Court the number 69/PUU-XIII/2015 meant that the notary is authorized to make the prenuptial agreement in the form of an authentic deed recording the agreement to qualify for registration of prenuptial agreement that have been established by the regulations implementing the ruling of the Constitutional Court the number 69/PUU-XIII/2015, so keep it needed endorsement by officers of Registrar of marriage in order to be binding on third parties."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
T52251
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Safitri
"Hak milik atas tanah merupakan hak terkuat dan terpenuh atas tanah yang hanya dapat dimiliki oleh Warga Negara Indonesia. Namun akibat percampuran dalam perkawinan campuran, warga negara asing dapat memiliki hak milik atas tanah. Untuk itu Pasal 21 ayat (3) UUPA mengamanatkan bahwa bagi warga negara asing yang memiliki hak milik atas tanah akibat percampuran harta dalam perkawinan campuran diwajibkan untuk melepaskan hak tersebut dalam jangka waktu 1 (satu) tahun. Kewajiban pelepasan hak milik atas tanah tersebut kemudian menjadi suatu permasalahan bagi warga negara Indonesia sebagai pihak yang juga berhak atas hak milik atas tanah tersebut. Hal ini kemudian yang menjadi pokok permasalahan dalam tesis saya yakni bagaimanakah peraturan perundang-undangan mengatur mengenai kepemilikan tanah oleh warga negara asing dalam kaitannya dengan kepemilikan harta bersama dalam perkawinan campuran serta bagaimanakah analisis mengenai Putusan Penetapan Pengadilan Negeri Nomor 207/Pdt/P/2005/PN.Jkt.Tmr tentang penetapan perjanjian kawin setelah perkawinan dalam perkawinan campuran. Penulis kemudian meneliti permasalahan ini dengan metode penelitian yuridis normatif, dimana penulis dalam meneliti mengacu pada aturan-aturan hukum yang ada untuk kemudian dapat menjawab permasalahan bahwa, hal tersebut dimungkinkan dengan sebelumnya mengajukan permohonan terlebih dahulu dan ijin untuk membuatnya baru muncul ketika Pengadilan melalui Hakim mengabulkan permohonan tersebut. Dalam kesimpulannya, hak yang dapat dimilki oleh warga negara asing, termasuk dalam hal ini mereka yang menikah dengan warga negara Indonesia dan tidak melakukan pemisahan harta, adalah hanya hak pakai.

Rights to land an exclusive right that can only be owned by Indonesian citizens to own land in the strongest and fullest. However, due to mixing in mixed marriages, foreigners can own landed property. For that article 21 Paragraph (3) The Law Number 5 Year 1960 Regarding The Regulation Of The Basic Agrarian Principles mandates that foreign citizens who have the right to land due to mixing in the mixing property must waive the right for a period of 1 (one) year. Liability waiver to land then becomes an issue of Indonesians citizens as well as the party entitled to the possession of the land. It then becomes the identification of the problem in my thesis how the legislation rules of law arrange foreigners can own landed property from their marital property in mixed marriages and then how to analyze verdict of the sentence of east state court number 207/Pdt/P/2005/PN.Jkt.Tmr regarding covenant agreement after marriages in mixed marriages. The author then examines these issues with the method of juridicial normative research, which examined in reference to the existing rules of law to then be able to answer this problem in a descriptive analytic. Through the study authors found the answer that, it is possible to do by previously apply for permission in advance and if the Court of Justice granted the request. In conclusion, the rights to land in Indonesia that can be owned by mixed marriage couple who did not have a covenant agreement is only The Right to Use."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T35480
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Prilly Wiashari
"Sejak keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 terjadi perubahan terhadap ketentuan mengenai perjanjian perkawinan. Perjanjian perkawinan yang semula hanya dapat dibuat sebelum atau pada waktu perkawinan berlangsung, kini selama perkawinan pasangan suami istri dapat membuat perjanjian perkawinan. Hal ini pasti akan berpengaruh terhadap keadaan harta benda perkawinan, karena pada umumnya perjanjian perkawinan dibuat untuk menyimpangi bentuk dasar harta perkawinan yang bercampur. Bukan hanya tentang harta benda perkawinan yang terpengaruh namun juga terhadap pihak ketiga. Dalam Pasal 29 Undang-Undang Perkawinan yang telah diubah maupun belum sepakat bahwa perjanjian perkawinan dapat berlaku pula bagi pihak ketiga tersangkut. Maka perjanjian perkawinan yang dibuat selama perkawinan, khususnya yang mengatur tentang harta benda perkawinan suami istri akan berakibat hukum pada pihak ketiga. Pengaruh yang ditimbulkan dapat berupa kerugian bagi pihak ketiga, namun hingga sekarang tidak ada batas yang jelas untuk menentukan kerugian bagi pihak ketiga tersebut. Maka dari itu dalam skripsi ini penulis akan membahas akibat hukum yang timbul dari dibuatnya perjanjian perkawinan selama perkawinan terhadap harta benda perkawinan dan pihak ketiga. Metode yang digunakan untuk meneliti permasalahan tersebut adalah yuridis normatif. Beberapa hal yang dapat disimpulkan adalah pembuatan perjanjanjian selama perkawinan ini akan menimbulkan akibat terhadap harta pribadi maupun harta bersama tergantung bentuk perjanjian yang digunakan. Untuk pihak ketiga akibat hukum yang timbul setelah pencatatan perjanjian dilakukan. Batas kerugian dapat dilihat apakah dengan perjanjian tersebut jaminan pihak ketiga berkurang atau tidak, namun tetap harus dibuktikan melalui Pengadilan. Dengan demikian pemerintah perlu segera memperbaruhi peraturan yang ada dan mengeluarkan pengaturan teknis terkait perjanjian perkawinan.

Since the issuance of Constitutional Court Decision Number 69 PUU XIII 2015 there has been changes on the provisions of nuptial agreement. The original nuptial agreemet can only be made before or at the time of marriage, now during the marriage a couple may enter into a nuptial agreement. This will affect the stage of marital property, since a nuptial agreement usually made to derogate the basic stage of marital property which is community property. Not only about the marital property that can be affected but also third parties rsquo interest. Article 29 Law Number 1 1974, both the origin and the change agreed that the nuptial agreement may invoke the third parties are involved. Thus, nuptial agreement made during marriage, especially those which regulate about marital property will arise legal consequences to third parties. The impact can be a loss to third parties, but until now there is no clear limit to determine the loss. Therefore this thesis will discuss the legal consequences arising from the making of marital property agreement during marriage to the marital property and third parties. The method used to examined the problem is juridical normative. Based on the research the author can concluded that nuptial agreement made during marriage can both affected to private property and community property depending on what kind of nuptial agreement applied. There must be a registration of the nuptial agreement to make the third parties invoked. The limit of losses can be seen wheter the third parties rsquo bail of payments are reduced or not. But it must be proven through the Court. Thus the government needs to revise the existing regulation and issue a technical regulation over nuptial agreement."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
S69670
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agnes Natasia
"Perjanjian perkawinan menurut Pasal 29 UU Nomor 1 Tahun 1974 dapat dibuat pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan. Isi dari perjanjian perkawinan tersebut berlaku bagi pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut. Skripsi ini membahas mengenai Penetapan No. 381/Pdt.P/2015/PN.Tng, yang dalam pertimbangannya terdapat pengesahan perjanjian perkawinan yang dibuat setelah perkawinan dilangsungkan sebelum adanya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 69/PUU-XIII/2015, dan pasca adanya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 69/PUU-XIII/2015. Dengan menggunakan metode yuridis normatif, penulis dalam tulisan skripsi ini mengacu pada aturan-aturan hukum yang ada untuk kemudian dapat menjawab permasalahan. Bahwa hal tersebut dimungkinkan atau tidak untuk membuat perjanjian perkawinan yang dibuat setelah perkawinan dilangsungkan dan akibat perjanjian tersebut bagi pihak ketiga. Dalam kesimpulannya, meskipun telah ada putusan Mahkamah Konstitusi atas Pengujian Undang-Undang No. 69/PUU-XIII/2015 yang menyatakan bahwa perjanjian perkawinan dapat dibuat pada waktu, sebelum atau selama perkawinan berlangsung, tetap memerlukan suatu peraturan pelaksana dan pengaturan khusus untuk Notaris terkait dengan mekanisme hukum pembuatan perjanjian perkawinan dengan tujuan untuk memberikan perlindungan kepada pihak ketiga agar tidak dirugikan atas pembentukan perjanjian perkawinan.

Prenuptial Agreement based on Article 29 Law Number 1 of 1974 can be made during the marriage period or before the marriage take place that will be legalized by the officer of marriage registration. The content of the prenuptial agreement apply to the third party as long as the third party is involved. This Final Assignment discuss the Court Decision No. 381 Pdt. P 2015 PN. Tng, which in it rsquo s consideration legalized the prenuptial agreement, where agreement is made after the marriage is legalized before Constitutional Court Decision Number 69 PUU XIII 2015, and after Constitutional Court Decision Number 69 PUU XIII 2015. By using Normative Jurisdiction Method, the writer in this final assignment strictly follow to the existing rules of law to then be able to answer whether is it possible or not to make the prenuptial agreement after the marriage is being legalized and what are the consequences for the third party. In conclusion eventhough there rsquo s a constitutional court decision on Judicial Review No. 69 PUU XIII 2015 which stated that the prenuptial agreement can be made before the marriage take place or during the marriage period, still needs of a legal guidelines for the related field Notary which involve law mechanism for the creation of a prenuptial agreement that will provide more legal protection for the third party in order not to the harmed due the creation of the Prenuptial Agreement."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rita Leowan
"Putusan Mahkamah Konstitusi No. 69/PUU-XIII/2015 yang memaknai Pasal 29 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 memperbolehkan pembuatan perjanjian perkawinan selama dalam ikatan perkawinan postnuptial agreement serta pencabutan perjanjian perkawinan. Ketentuan tersebut menimbulkan permasalahan yaitu keberlakuan perjanjian perkawinan yang dibuat selama dalam ikatan perkawinan serta akibat hukum pencabutan perjanjian perkawinan. Metode penelitian yang digunakan bersifat yuridis normatif dengan menelaah Putusan Mahkamah Konstitusi No. 69/PUU-XIII/2015 dan menganalisanya dengan teori untuk mendapatkan jawaban dari permasalahan. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menyatakan bahwa perjanjian perkawinan berlaku sejak perkawinan dilangsungkan kecuali ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Dapat disimpulkan, berlaku surutnya postnuptial agreement sejak perkawinan dilangsungkan akan mengakibatkan perubahan kedudukan harta perkawinan yang berpotensi merugikan pihak ketiga. Selain itu, perubahan kedudukan harta perkawinan dari harta bersama menjadi harta pribadi menyebabkan harta bersama yang telah ada harus dilakukan pemisahan dan pembagian padahal harta bersama merupakan pemilikan bersama yang terikat yang hanya dapat diakhiri karena berakhirnya perkawinan. Pencabutan perjanjian perkawinan berpotensi merugikan pihak ketiga karena itu akta pencabutan perjanjian perkawinan sebaiknya diberitahukan dan diumumkan serta dicatatkan agar dapat diketahui pihak ketiga. Akibat hukum pencabutan perjanjian perkawinan terhadap harta perkawinan adalah kedudukan harta perkawinan kembali pada kedudukan semula sehingga berlaku ketentuan Pasal 35 dan 36 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, sedangkan akibat hukum terhadap pihak ketiga tidak berlaku mutlak, tetap berlaku kedudukan harta perkawinan sebelum pencabutan perjanjian perkawinan.

Constitutional Court Decision Number 69 PUU XII 2015 which interprets article 29 of The 1974 Marriage Law Law No. 1 of 1974 allows execution of postnuptial agreement, an agreement entered into after a marriage has taken place, as well as to repeal marriage agreement prenuptial, postnuptial. The Decision raised the question on the validity of an existing postnuptial agreement and what would be the impact of the repeal of marriage agreement. The method used in this research is normative juridical by reviewing and analyzing theorically The Decision of The Constitutional Court Number 69 PUU XIII 2015 to answer the question. The Decision of The Constitutional Court stipulates that ldquo The agreement valid since the wedding took place, unless otherwise specified in marriage agreement. rdquo The conclusion from this study is that the retroactive validity of postnuptial agreement caused changes in the status of marital property which may cause disadvantage to any third party. In addition, the change in the status of marital property from joint property to private property causes existing joint property to be split and division whereas joint property is a bonded joint ownership that can only be terminated due to the end of marriage. The repeal of marriage agreement potentially has a negative impact to third parties, hence should be notified, announced and registered. The law impact of marital property due to the repeal of marriage agreement is the fact that joint property will be reinstated, matters relating thereto shall be afforded the same status as that applicable prior to repealed, therefore article 35 and 36 of The 1974 Marriage Law applied, whereas impact on third parties shall not apply absolute, retain the status of the marital property prior to repealed."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
T48402
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indira Maya Audina
"Perkawinan merupakan hubungan pria dan wanita untuk hidup bersama yang mana hubungan itu bersifat kekal dan diakui negara. Selama masa perkawinan terkumpul harta yang menjadi milik bersama. Namun, ada dorongan untuk dapat mengelola sendiri harta yang diperoleh selama masa perkawinan, adapun upaya yang dapat ditempuh untuk pemisahan harta benda dalam perkawinan yaitu dengan membuat perjanjian perkawinan. Dengan ini penulis ingin membuat penelitian dengan rumusan masalah sebagai berikut : 1) Bagaimana mekanisme dalam pembuatan perjanjian perkawinan yang berlaku surut dengan adanya Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 818/Pdt.P/2018/PN.Jkt.Sel 2) Bagaimana ketentuan untuk melindungi kepentingan pihak ketiga dalam perjanjian perkawinan yang berlaku surut? 3) Bagaimana peran Notaris dalam pembuatan perjanjian perkawinan pasca Putusan MK No. 69/PUU-XIII/2015?; Penelitian ini dibuat dengan metode penelitian Yuridis Normatif. UU Perkawinan mengatur perjanjian perkawinan dibuat sebelum atau pada saat perkawinan berlangsung. Sejalan dengan perkembangan masyarakat dan kebutuhan hukum, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan Nomor 69/PUU-XIII/2015 yang mengubah perjanjian perkawinan dapat dibuat selama dalam masa perkawinan. Di sisi lain. Adanya perubahan berdasarkan putusan tersebut membuat potensi bagi pasangan suami istri ingin mengatur harta bersama yang telah diperoleh selama perkawinannya. Perjanjian perkawinan tersebut dapat dibuat dengan cara pasangan suami istri terlebih dahulu meminta penetapan pengadilan untuk harta benda apa saja yang akan diatur pemisahannya, dengan begitu Notaris dapat membuat akta perjanjian perkawinan berdasarkan penetapan pengadilan tersebut.

Marriage is a relationship between a man and a woman to live together in which such a relationship is eternal and recognized by the state. Throughout the marriage period, the jointly owned assets are collected. However, there is an urge to be able to manage the assets acquired during the marriage period personally, as for the efforts that can be taken for the separation of property in marriage, namely by making a marriage agreement. Based on the description above, the writer desires to make a research with the formulation of the problem as follows: 1) What are the provisions for making a marriage agreement in Indonesia? 2) What is the mechanism for making a retroactive marriage agreement? 3) What are the roles of the Notary in making a marriage agreement after the Judgment of the Constitutional Court No. 69/PUU-XIII/2015?. This research was made by applying a normative juridical research method. Marriage Law stipulates that a marriage agreement shall be made before or at the time of the marriage. In line with the development of society and legal needs, the Constitutional Court issued Judgment Number 69/PUU-XIII/2015 which amends that the marriage agreement can be made during the marriage period. Besides, the changes based on such judgment create the potential for married couples wanting to regulate joint assets that have been obtained during their marriage. The marriage agreement can be made by the marriage couple first requesting a court order for any property to be separated, so that the notary can make a marriage agreement deed based on the court's judgment."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizki Amalia Yuliani
"Dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015, kini perjanjian perkawinan yang dibuat sepanjang perkawinan dapat dilakukan tanpa adanya penetapan pengadilan negeri terlebih dahulu dan dapat disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris. Pengesahan perjanjian perkawinan yang dibuat sepanjang perkawinan oleh pegawai pencatat perkawinan dilakukan dengan cara melaksanakan pencatatan perjanjian perkawinan pada Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil atau Kantor Urusan Agama, sedangkan pengesahan oleh Notaris dianggap membingungkan karena dianggap tidak jelas maksudnya. Hal ini menimbulkan permasalahan karena belum ada ketentuan mengenai tata cara pencatatan perjanjian perkawinan pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015, sehingga pegawai pencatat perkawinan menolak melakukan pencatatan terhadap perjanjian perkawinan yang dibuat sepanjang perkawinan dan meminta adanya penetapan pengadilan negeri untuk pengesahan perjanjian perkawinan tersebut. Penelitian ini dilakukan dengan metode yuridis normatif yang menggunakan data primer dan data sekunder sebagai sumber data, dimana penulis dalam meneliti mengkaji aturan hukum mengenai perkawinan dan perjanjian perkawinan untuk dapat menjawab permasalahan secara dekriptif analitis. Melalui penelitian ini penulis menemukan jawaban bahwa pengesahan dan pencatatan perjanjian perkawinan yang dibuat sepanjang perkawinan kini dapat dilakukan tanpa adanya penetapan pengadilan negeri terlebih dahulu dengan berpedoman kepada Surat Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil tanggal 19 Mei 2017 No. 472.2/5876/Dukcapil tentang petunjuk mengenai pencatatan perjanjian perkawinan yang dibuat sepanjang perkawinan.

With the Constitutional Court Decision Number 69 PUU XIII 2015, postnuptial agreement can be done without any approval from the district court. It can also be legitimated by the marriage officer or the notary. The legalization of postnuptial agreement by the marriage officer is done by registering the postnuptial agreement to the Office of Population and Civil Registration Agency or the Office of Religious Affairs, while the legalization done by the notary is considered confusing as its main point is not that clear. It causes problem since there is no other regulation yet about the procedure of postnuptial agreement registration beside the Constitutional Court Decision Number 69 PUU XIII 2015 so that the marriage officer refuses to accept the registration of postnuptial agreement and asks the approval from district court to legalize it. This research uses normative juridical method using primary and secondary data as the source as I examine the law of marriage and postnuptial agreement to find the descriptive and analytical answer for the problems occur. The findings reveal that the legalization and the registration of postnuptial agreement now can be done without any approval from the district court, based on the regulation on Surat Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil, May 19, 2017 No. 472.2 5876 Dukcapil about the guidance of postnuptial agreement registration."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
S68822
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maharani Kartika Puji Karishma
"Jaman telah berganti, hal tersebut adalah hal yang tidak dapat kita elakkan. Dahulu mayoritas hanya pria sebagai kepala keluarga yang mencari nafkah untuk keluarganya, sedangkan sang istri dirumah untuk mengurus keluarga. Seiring perubahan zaman dan tuntutan akan kesetaraan wanita mulai bekerja dan bersama dengan pria mulai bergerak dalam perekonomian di berbagai bidang dan pekerjaan. Hal tersebut tidak dapat kita pungkiri telah membawa pandangan baru dalam perkawinan, masyarakat kini telah merasa perlu untuk melindungi hak-hak yang merupakan harta pribadinya, melalui sebuah perjanjian yang disebut dengan perjanjian perkawinanlah hal tersebut dapat dilakukan, dimana didalamnya suami dan istri sepakat untuk memisahkan harta mereka. Di dalam peraturan hukum mengenai perkawinan yaitu di dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata serta Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan disebutkan bahwa perjanjian kawin dapat dilakukan sebelum atau pada saat perkawinan, permasalahan muncul tatkala terdapat pasangan yang ingin membuat perjanjian kawin setelah perkawinan berlangsung dan mempertanyakan kemungkinan hal tesebut dapat dilakukan. Penulis kemudian meneliti permasalahan ini dengan metode penelitian yuridis normatif, dimana penulis dalam meneliti mengacu pada aturan-atauran hukum yang ada untuk kemudian dapat menjawab permasalahan ini secara deskriptif analitis. Melalui penelitian penulis menemukan jawabannya bahwa, hal tersebut dimungkinkan dengan sebelumnya mengajukan permohonan terlebih dahulu dan ijin untuk membuatnya baru muncul ketika Pengadilan melalui Hakim mengabulkan permohonan tersebut.

Time has changed, it is something we can not avoid. Formerly is majority that only men as heads of households who make a living for his family, while his wife at home, take care of the family. With the change of times and demands for equality, women began working too in various fields and jobs. It brought a new view of marriage, society has now felt the need to protect the rights which are personal property, and the possibility to do that is through an agreement called marriage agreement. In which husband and wife agreed to separate the they property. In the legislation on marriage that is in Civil Law and Law Number 1 of 1974 About Marriage states that marriage agreement can be performed before or during marriage. Problems arise when there are couples who want to make a marriage agreement after the marriage and questioning the possibility to do so. The author then examines these issues with the method of juridical normative research, which examined in reference to the existing rules of law to then be able to answer this problem in a descriptive analytic. Through the study authors found the answer that, it is possible to do by previously apply for permission in advance and if the Court of Justice granted the request."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T28856
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Firdaus Kafabih
"ABSTRAK
Pada tesis ini, penulis mengangkat permasalahan hukum mengenai penetapan pengadilan atas perjanjian perkawinan yang tidak didaftarkan di kantor urusan agama setelah perkawinan berlangsung. Permasalahan tersebut dilatar belakangi dengan adanya pasangan suami isteri yang mengajukan permohonan penetapan perjanjian perkawinan yang telah dibuat sebelum perkawinan berlangsung namun belum dicatatkan di Kantor Urusan Agama. Berdasarkan hal tersebut penulis mengangkat suatu rumusan masalah yaitu bagaimana kekuatan hukum penetapan pengadilan terkait perjanjian perkawinan yang tidak didaftarkan di kantor urusan agama setelah perkawinan berlangsung dan bagaimana akibat hukum perjanjian perkawinan yang dibuat oleh Notaris akan tetapi tidak didaftarkan di kantor urusan agama setelah perkawinan berlangsung terhadap pihak ketiga. Metode penelitian yang digunakan dalam tesis ini adalah metode yuridis normatif dengan tipologi penelitian yang digunakan untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini menggunakan penelitian yang bersifat deskriptif analitis. Hasil dari penelitian ini adalah perkawinan antara WNI dan WNA menimbulkan beberapa akibat hukum yang disebabkan oleh perjanjian perkawinan yang tidak dicatatkan setelah perkawinan berlangsung. Terutama mengenai ketentuan hak milik atas suatu tanah, maka dari itu majelis hakim harusnya meminta daftar atau list harta kekayaan yang dimiliki oleh pasangan suami istri tersebut sebelum memberikan suatu penetapan untuk memberikan kepastian hukum bagi seluruh pihak terkait. Kemudian pasangan suami istri sebelum memohon pengesahan perjanjian perkawinan kepada pengadilan, sebaiknya para pihak membuat surat pernyataan dari ada atau tidak adanya pihak ketiga yang tersangkut dalam pemisahan harta kekayaan perkawinan yang tertuang dalam akta notarial perjanjian perkawinan tersebut.

ABSTRACT
In this thesis, the authors raised the legal issues concerning the determination of the court of marriage agreement that is not registered in the office of religious affairs after the marriage took place. The problem is based on the presence of married couples who apply for the establishment of a marriage agreement that has been made before the marriage takes place but has not been registered in the Office of Religious Affairs. Based on it writer raised a formulation problems which are how legal force of the court ruling related agreement marriage is not registered in the office of religious affairs after marriage ongoing and and how the consequences of marriage law law made by Notary but not registered in the office of religious affairs after the marriage took place against the parties third. Research methodology used in the this is the method juridical normative with typologies research used to answer problems in this research using research is descriptive analytical. The result of this study is that marriage between Indonesian citizens and foreigners gives rise to some legal consequences caused by marriage agreements that are not registered after marriage takes place. Especially regarding the provision of property rights to a land, therefore the panel of judges should request list or list of property owned by the couple before giving a determination to provide legal certainty for all parties concerned. Then the married couple before applying for the marriage agreement to the court, the parties should make a statement of the presence or absence of a third party involved in the separation of marriage property contained in the notarial deed of the marriage agreement. "
2018
T51446
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>