Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 174393 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rina Mulyasari
" ABSTRAK
Anak dengan diabetes mellitus tipe-1 sepanjang hidupnya dihadapkan dengan berbagai permasalahan yang berhubungan dengan gejala penyakit, pengobatan dan perawatan diri. Agar kualitas hidupnya tetap optimal, anak harus mampu beradaptasi dengan berbagai permasalahan tersebut. Penelitian bertujuan untuk mengetahui korelasi antara jenis strategi koping yang digunakan anak dengan kualitas hidupnya. Penelitian ini dilakukan secara cross sectional dengan teknik consecutive sampling terhadap 39 anak diabetes mellitus tipe-1 usia 13-18 tahun. Data diperoleh dari isian kuesioner CODI untuk koping dan PedsQLTM 3.2 untuk kualitas hidup. Analisis data menggunakan pearson atau spearman, sesuai jenis data. Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan bermakna antara koping emotional reactions P = 0,009, r = -0,413 dan acceptance P=0,049. r = 0,317 dengan kualitas hidup anak diabetes mellitus tipe-1. Empat jenis strategi koping lainnya pada penelitian ini tidak mempunyai hubungan bermakna dengan kualitas hidup, yaitu Avoidance P = 0,339, r = -0,157 , Cognitive Palliative P = 0,826, r = 0,036 , Whisful Thinking P = 0,516, r = 0,107 dan Distance P = 0,622, r = 0,082 . Hasil penelitian ini memberikan dasar ilmiah dalam memberikan asuhan keperawatan pada anak diabetes mellitus tipe-1, bahwa koping emotional reactions harus diperbaiki dan koping acceptance harus didukung agar anak mendapatkan kualitas hidup yang baik.Kata Kunci : Diabetes tipe-1, Kualitas hidup, strategi koping

ABSTRACT<>br>
Children with type 1 diabetes mellitus will face problems related to symptoms, treatment and self care all their lives. To have optimal quality of life, the children must be able to adapt with these problems. This study aimed to determine the correlation between types of coping strategy used by children and their quality of life. This research is cross sectional study design with consecutive sampling technique on 39 children with type 1 diabetes mellitus aged 13 18 years old. Data was collected from CODI questionnaire for coping and PedsQLTM 3.2 for quality of life and than analyzed by pearson or spearman depend on types of data. The result showed that there was significant correlation between emotional reactions P 0,009, r 0,413 and acceptance P 0,049. r 0,317 . Four other types of coping in this study didn rsquo t have any significant correlation with quality of life. They were avoidance P 0,339, r 0,157 , cognitive palliative P 0,826, r 0,036 , wishful thinking P 0,516, r 0,107 and distance P 0,622, r 0,082 . The research result provides a scientific basis in providing nursing care for children with type 1 diabetes mellitus, that emotional reactions coping should be improved and acceptance coping should be supported to give the children good quality of life.Keywords coping strategy, Quality of Life, Type 1 diabetes"
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amalia Dewi Ariyanti
"Latar Belakang: Self-efficacy dan pengetahuan merupakan faktor terpenting dalam proses terapi insulin pada anak dengan diabetes melitus tipe 1 (DMT1). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi perbedaan pengetahuan dan self-efficacy pada anak DMT1 setelah diberikan intervensi aplikasi CICO Count. Metode: Jenis penelitian quasi experiment pre-post control group design. Sampel penelitian merupakan penyandang DMT-1 dengan usia 7-18 tahun yang tergabung dalam IKADAR Jabodetabek yang berjumlah 30 anak dengan rincian 15 anak kelompok kontrol dan 15 anak kelompok intervensi. Pada kelompok intervensi diberikan tindakan penggunaan aplikasi CICO Count, sementara kelompok kontrol diberikan edukasi menggunakan leaflet. Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner pretest dan post-test yang diberikan sebelum dan setelah diberikan edukasi. Hasil: Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat peningkatan yang signifikan pada tingkat pengetahuan (p<0,001) dan self-efficacy (p=0,000) pada kelompok intervensi. Kesimpulan: Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa penggunaan aplikasi CICO Count mampu meningkatkan pengetahuan dan self-efficacy pada anak dengan DMT-1.Latar Belakang: Self-efficacy dan pengetahuan merupakan faktor terpenting dalam proses terapi insulin pada anak dengan diabetes melitus tipe 1 (DMT1). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi perbedaan pengetahuan dan self-efficacy pada anak DMT1 setelah diberikan intervensi aplikasi CICO Count. Metode: Jenis penelitian quasi experiment pre-post control group design. Sampel penelitian merupakan penyandang DMT-1 dengan usia 7-18 tahun yang tergabung dalam IKADAR Jabodetabek yang berjumlah 30 anak dengan rincian 15 anak kelompok kontrol dan 15 anak kelompok intervensi. Pada kelompok intervensi diberikan tindakan penggunaan aplikasi CICO Count, sementara kelompok kontrol diberikan edukasi menggunakan leaflet. Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner pretest dan post-test yang diberikan sebelum dan setelah diberikan edukasi. Hasil: Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat peningkatan yang signifikan pada tingkat pengetahuan (p<0,001) dan self-efficacy (p=0,000) pada kelompok intervensi. Kesimpulan: Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa penggunaan aplikasi CICO Count mampu meningkatkan pengetahuan dan self-efficacy pada anak dengan DMT-1.Latar Belakang: Self-efficacy dan pengetahuan merupakan faktor terpenting dalam proses terapi insulin pada anak dengan diabetes melitus tipe 1 (DMT1). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi perbedaan pengetahuan dan self-efficacy pada anak DMT1 setelah diberikan intervensi aplikasi CICO Count. Metode: Jenis penelitian quasi experiment pre-post control group design. Sampel penelitian merupakan penyandang DMT-1 dengan usia 7-18 tahun yang tergabung dalam IKADAR Jabodetabek yang berjumlah 30 anak dengan rincian 15 anak kelompok kontrol dan 15 anak kelompok intervensi. Pada kelompok intervensi diberikan tindakan penggunaan aplikasi CICO Count, sementara kelompok kontrol diberikan edukasi menggunakan leaflet. Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner pretest dan post-test yang diberikan sebelum dan setelah diberikan edukasi. Hasil: Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat peningkatan yang signifikan pada tingkat pengetahuan (p<0,001) dan self-efficacy (p=0,000) pada kelompok intervensi. Kesimpulan: Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa penggunaan aplikasi CICO Count mampu meningkatkan pengetahuan dan self-efficacy pada anak dengan DMT-1.

Self-efficacy in children with type 1 diabetes mellitus (T1DM) focused on children's beliefs about their abilities to manage, plan, modify behavior so as to achieve a better quality of life. In the process of modifying behavior, knowledge is needed as a means that can help children in understanding T1DM. The purpose of the study was to identify differences in knowledge and self-efficacy in T1DM children after being given the CICO Count application intervention. This type of research is a quasi-experimental pre-post control group design. The research sample is children with T1DM aged 7-18 years who are members of the Jabodetabek IKADAR totaling 30 children, 15 children in the control group and 15 children in the intervention group. The results of this study indicate that there is a significant increase in the level of knowledge (p<0, 006) and self-efficacy (p=0.000). However, there was no significant difference between the intervention group and the control group on the results of self-efficacy (p=0.096). SuggestionIt is hoped that further research with different methodologies related to the level of knowledge and self-efficacy in children with T1DM can be carried out."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Safaruddin
"Pendahuluan: Diabetes melitus (DM) adalah salah satu dari sepuluh penyebab kematian teratas di dunia termasuk didalamnya adalah lansia. Tingginya kasus DM pada lansia diakibatkan oleh pola hidup masyarakat yang kurang melakukan latihan fisik. mendorong upaya pengembangan intervensi non-farmakologi diantaranya dengan latihan fisik senam lansia. Tujuan penelitian ini mengetahui pengaruh latihan fisik senam lansia terhadap kadar gula darah sewaktu pada lansia diabetes melitus tipe 2 di Kabupaten Maros. Metode: Disain quasi experiment dengan pendekatan pretest-posttest control group design dengan jumlah sampel 72 yang dibagi menjadi dua kelompok menggunakan teknik pengumpulan data nonprobability sampling yaitu purposive sampling, terbagi menjadi 36 responden kelompok intervensi dan 36 responden kelompok non intervensi. Penelitian ini dilakukan selama 16 hari sebanyak 6 sesi. Analisis Wilcoxon menunjukan ada pengaruh yang signifikan latihan senam lansia terhadap kadar gula darah sewaktu (p= 0.004). Kesimpulan: intervensi latihan fisik senam lansia dapat digunakan salah satu rujukan intervensi non-farmakologi pilihan dalam rencana asuhan keperawatan untuk mengendalikan lansia dengan DM dan mengurangi risiko komplikasi akibat tekanan DM. Rekomendasi: Intervensi ini disarankan untuk diterapkan pada lansia dengan DM sesuai dengan frekuensi dan waktu yang benar dengan harapan mendapatkan pengaruh yang maksima

Introduction: Diabetes mellitus (DM) is one of the top ten causes of death in the world including the elderly. The high number of DM cases in the elderly is caused by the lifestyle of people who do not practice physical exercise. encourage efforts to develop non-pharmacological interventions including physical exercise in elderly gymnastics. The purpose of this study was to determine the effect of physical exercise in elderly gymnastics on blood sugar levels while in the elderly with type 2 diabetes mellitus in Maros Regency. Method: Quasi-experimental design with a pretest-posttest control group design approach with a total sample of 72 divided into two groups using nonprobability sampling data collection techniques, namely purposive sampling, divided into 36 intervention group respondents and 36 non-intervention group respondents. This study was conducted for 16 days for 6 sessions. Wilcoxon's analysis showed there was a significant effect of elderly gymnastics exercise on blood sugar levels (p= 0.004). Conclusion: the elderly gymnastics physical exercise intervention can be used one of the references of non-pharmacological interventions of choice in the nursing care plan to control the elderly with DM and reduce the risk of complications due to dm pressure. Recommendations: This intervention is recommended to be applied to the elderly with DM according to the correct frequency and time in the hope of gaining maximum influence."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alwi Hadad
"Diabetes melitus merupakan salah satu penyakit kronis yang menjadi penyebab kematian. Kualitas pelayanan prolanis sangat penting dalam menangani penderita diabetes melitus. Kualitas pelayanan kesehatan yang rendah dan masih banyak penderita diabetes melitus belum mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai standar dapat menjadi indikator bahwa kualitas pelayanan prolanis masih belum optimal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran praktik kolaborasi interprofesi dalam penanganan klien diabetes melitus pada pelayanan prolanis di wilayah Jakarta Utara. Penelitian ini menggunakan pendekatan cross sectional dan teknik purposive sampling dengan jumlah 144 tenaga kesehatan yang terlibat dalam pelayanan prolanis di enam Puskesmas Kecamatan Jakarta Utara. Instrumen yang digunakan adalah Assesment of Interprofessional Team Collaboration Scale (AITCS) II. Hasil penelitian dikategorikan menjadi dua yaitu kolaborasi baik (52,1%) dan kurang baik (47,9%). Sosialisasi yang lebih luas serta seminar kepada tenaga kesehatan mengenai pentingnya kolaborasi interprofesi perlu ditingkatkan sehingga pemberi pelayanan kesehatan mampu mengoptimalkan pelayanan kesehatan dengan pendekatan kolaborasi interprofesi.

Diabetes mellitus is a chronic disease that is the cause of death. The quality of prolanis treatment is very important in dealing with people with diabetes mellitus. The low quality of health treatment and there are still many people with diabetes mellitus who have not received health treatment according to standards can be an indicator that the quality of prolanis treatment is still not optimal. This study aims to describe the practice of interprofessional collaboration in handling diabetes mellitus clients at prolanis treatment in the North Jakarta area. This study used a cross sectional approach and purposive sampling technique with a total of 144 health workers involved in prolanis treatment in six North Jakarta Area Health Centers. The instrument used is the Assessment of Interprofessional Team Collaboration Scale (AITCS) II. The results of the study were categorized into two, namely good collaboration (52.1%) and poor collaboration (47.9%). Wider socialization and seminars to health workers regarding the importance of interprofessional collaboration need to be improved so that health service providers are able to optimize health services with an interprofessional collaboration approach."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sheila Stefani
"Diabetes mellitus (DM) merupakan penyakit tidak menular yang masih menjadi masalah darurat kesehatan global, termasuk di negara Indonesia. Indonesia menduduki peringkat ke-5 di dunia dengan jumlah penyintas DM terbanyak, yakni mencapai 19,5 juta penduduk dewasa (IDF, 2021). Berdasarkan laporan Riskesdas 2018, Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu provinsi yang mengalami lonjakan angka prevalensi dari tahun 2013 ke 2018, yakni dari 1,3% menjadi 1,7%. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi faktor risiko kejadian diabetes mellitus pada penduduk usia ≥ 35 tahun di Provinsi Jawa Barat. Penelitian ini menggunakan data sekunder Riskesdas 2018 dengan desain studi cross-sectional. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa usia (p = 0,001), pekerjaan (p = 0,002), konsumsi makanan manis (p = 0,001), konsumsi minuman manis (p = 0,001), aktivitas fisik (p = 0,001), obesitas (p = 0,001), obesitas sentral (p = 0,001), hipertensi (p = 0,001), dan perilaku merokok (p = 0,001) berhubungan signifikan dengan kejadian DM. Diperlukan peran pemerintah untuk menggencarkan promosi kesehatan terkait pentingnya deteksi dini dan menerapkan pola hidup sehat kepada masyarakat, serta memfasilitasi masyarakat dalam mewujudkannya.

Diabetes mellitus (DM) is a non-communicable disease which is still a global health emergency problem, including in Indonesia. Indonesia is ranked 5th in the world with the highest number of DM survivors, reaching 19.5 million adults (IDF, 2021). Based on the 2018 Riskesdas report, West Java Province is one of the provinces that experienced an increase in prevalence from 2013 to 2018, from 1.3% to 1.7%. The purpose of this study was to identify risk factors for diabetes mellitus in people aged ≥ 35 years in West Java Province. This study uses secondary data from Riskesdas 2018 with a cross-sectional study design. The results of this study indicate that age (p = 0.001), occupation (p = 0.002), consumption of sweet foods (p = 0.001), consumption of sweet drinks (p = 0.001), physical activity (p = 0.001), obesity (p = 0.001 ), central obesity (p = 0.001), hypertension (p = 0.001), and smoking behavior (p = 0.001) were significantly associated with the incidence of DM. The government's role is needed to intensify health promotion related to the importance of early detection and implementing a healthy lifestyle for the community, as well as facilitating the community in making it happen.

"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Edwin Halim
"Latar Belakang : 1 dari setiap 10 pekerja Indonesia menderita diabetes melitus (DM). Pekerja dengan DM mengalami pengurangan produktivitas disesuaikan tahun hidup (PALY) sebesar 12% dan biaya kesehatan tambahan rata-rata $USD 467 dibandingkan dengan rekan mereka yang sehat. Diagnosis dan intervensi dini memungkinkan pekerja diabetes untuk mempertahankan produktivitas dan kualitas hidup mereka. Salah satu titik masuk potensial untuk program dan kebijakan tempat kerja yang efektif mengenai skrining dan intervensi dini DM adalah klasifikasi pekerjaan pekerja. Namun, sebagian besar studi yang ada belum menggunakan konsensus internasional terpadu, menciptakan hambatan ketika mencoba menggabungkan/menggabungkan studi lintas wilayah/negara yang melibatkan kelompok pekerjaan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi kontrol glikemik optimal dan parameter metabolisme pekerja diabetes.
Metode : Penelitian ini merupakan studi potong lintang yang memanfaatkan rekam medis pasien dari tahun 2015-2021. Klasifikasi pekerjaan pekerja diklasifikasikan menggunakan (International Classification of Occupation) ISCO-08 dan dikelompokkan menurut klasifikasi ISCO-08 yang disederhanakan oleh Lee et al. Ditemukan 2.796 pegawai yang menjalani medical check up (MCU) dan pemeriksaan HbA1c; 1.322 juga menjalani pemeriksaan glukosa darah puasa (FBG), dan 1.316 profil lipid juga. Dari daftar klien 2015-2021, kami menemukan 160 responden dengan riwayat diabetes. Namun, hanya 86 dari mereka memiliki catatan medis laboratorium yang cocok, di mana 35 memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Analisis bivariat dilakukan melalui uji Chi-square dan/atau Fischer Exact.
Hasil : Dari 2.796 responden yang menjalani pemeriksaan HbA1c, 65,8% memiliki hasil normal, 29,6% pradiabetes, dan 4,6% memiliki kadar HbA1c yang melebihi batas DM. Untuk 1.322 responden yang memeriksa FBG mereka bersama dengan HbA1c mereka, 62% memiliki kadar FBG normal, 33,1% mengalami peningkatan glukosa puasa dan 5% melebihi batas DM. Sebanyak 80,5% dari 1.316 responden yang diperiksa profil lipidnya mengalami dislipidemia. Dari 35 responden, 32 di antaranya berasal dari kelompok pekerja kerah putih (ISCO-08 kelompok 1-4), dimana 56,2% di antaranya memiliki kontrol glikemik yang optimal. Mayoritas pemeriksaan HbA1c dilakukan berdasarkan arsip dan pangkat karyawan di dalam perusahaan mereka dan bukan berdasarkan risiko kesehatan kerja atau kondisi kesehatan karyawan tersebut. Hal ini menyebabkan HbA1c yang biayanya jauh lebih tinggi dari FBG dan glukosa postprandial 2 jam, kebanyakan dilakukan pada karyawan dengan jabatan senior/tinggi.
Kesimpulan : Peningkatan komunikasi dan kolaborasi lebih lanjut antara penyedia layanan medis dan klien pemangku kepentingan perusahaan diperlukan untuk memastikan alokasi sumber daya yang optimal, khususnya mengenai karyawan dengan diabetes.

Background : 1 in every 10 Indonesian workers have diabetes mellitus (DM). Workers with DM experience a 12% productivity adjusted life years (PALY) reduction and an average of $USD 467 additional healthcare cost as compared to their healthy colleagues. Early diagnosis and intervention allows diabetic workers to maintain their productivity and quality of life. One of the potential entry point for effective workplace programs and policies regarding screening and early intervention of DM are worker’s occupational classification. However, most existing studies have yet to use a unified international consensus, creating barriers when attempting to pool/aggregate cross-regional/country studies involving occupational groups. This study aims to determine the prevalence of optimal glycaemic control and metabolic parameters of diabetic workers.
Methods : This is a cross-sectional study which utilizes medical records of patients from 2015-2021. Worker’s occupational classification is classified using (International Classification of Occupation) ISCO-08 and grouped according to a simplified ISCO-08 classification by Lee et al. We found 2.796 employees who underwent medical check-up (MCU) and had their HbA1c examined; 1.322 also had their fasting blood glucose (FBG) checked, and 1.316 their lipid profile too. From the client list of 2015-2021, we found 160 respondents with a history of diabetes. However, only 86 of those had matching laboratory medical records, in which 35 met the inclusion and exclusion criteria. Bivariate analysis is performed via Chi-square and/or Fischer Exact test.
Results: Of the 2,796 respondents who underwent HbA1c examination, 65.8% had normal results, 29.6% were pre-diabetic, and 4.6% had HbA1c levels that exceeded the DM cut-off. For 1.322 respondents who examined their FBG alongside their HbA1c, 62% had normal FBG levels, 33.1% experienced increased fasting glucose and 5% exceeded the DM cut-off. 80,5% of the 1.316 respondents who had their lipid profile examined had dyslipidaemia. Of the 35 respondents, 32 were from the white collar worker group (ISCO-08 group 1-4), of which 56,2% have optimal glycaemic control. A majority of HbA1c examinations were performed based upon employee’s file-and-rank within their company and not based on occupational health risk or said employee's health conditions. This causes HbA1c, which substantially costs higher than FBG and 2-hour post-prandial glucose, to be carried out mostly on employees with senior/high positions.
Conclusion : Further improvement of communication and collaboration between medical service provider and client company stakeholders is needed to ensure optimal resource allocation, in particular regarding employees with diabetes.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Saffana Hilmy Mahmudah
"Menurut IDF, Indonesia menempati peringkat 7 sebagai negara dengan jumlah penderita diabetes terbanyak di dunia. Jenis kelamin menjelaskan hubungan yang kompleks dari segi biologis dan sosiokultural. Gaya hidup merupakan faktor yang penting untuk dikendalikan bagi usia dewasa untuk mencegah penyakit kronis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor gaya hidup dengan kejadian diabetes melitus pada usia >40 tahun di Indonesia. Desain studi yang digunakan adalah studi cross-sectional menggunakan analisis indonesian Family Life Survey 5. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa prevalensi penderita diabetes melitus tipe 2 pada perempuan
adalah 5%, sedangkan pada laki laki 4,6%. Berdasarkan hasil multivariat, faktor gaya hidup yang berhubungan dengan diabetes melitus pada laki laki adalah aktifitas fisik tidak cukup (POR 1,469 95% CI 1,130 - 1,910), masih merokok (POR 0,555 95% CI 0,411–0,750) dan obesitas (POR 2.034 95% CI 1,572 – 2,633). Sedangkan pada perempuan faktor yang berhubungan adalah konsumsi gula sering (POR 0,598 95% CI 0,396 – 0,903), aktifitas fisik tidak cukup (POR 1,459 95% CI 1,133 – 1,879), mantan perokok (POR 2.216 95% CI 1,048 – 4,686), masih merokok (POR 0.436 95% CI 0,192 – 0,990) dan obesitas (POR 2,894 95% CI 2,047 – 4,090)

According to IDF, Indonesia is placed as the number 7 most highest country of people living with diabetes mellitus. Sex explains a complex relationship between men and women in form of biological matter and gender role in sociocultural. Life style has an important role for adults in the prevention of chronic disease. This research intends to understand the relationship between life style determinants and diabetes melitus on people aged above 40 in Indonesia. This cross sectional
study uses Indonesian Family Life Survey 5 (IFLS 5) data. The result shows that the prevalence of type 2 diabetes melitus among women aged above 40 is 5%, and 4,6% for men. According to multivariat analysis, determinants that statictically associated with type 2 diabetes melitus on men are unsufficient physical activity (POR 1,469 95% CI 1,130 - 1,910), actively smoking (POR 0,555 95% CI 0,411 – 0,750), and obesity (POR 2.034 95% CI 1,572 – 2,633). While significant factors
on women are frequent sugar consumption (POR 0,598 95% CI 0,396 – 0,903), unsufficient physical activity (POR 1,459 95% CI 1,133 – 1,879), ex smoker (POR 2.216 95% CI 1,048 – 4,686), actively smoking (POR 0.436 95% CI 0,192 – 0,990) and obesity (POR 2,894 95% CI 2,047 – 4,090)
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fika Trifani
"Ulkus kaki diabetik merupakan salah satu komplikasi serius dari penyakit Diabetes Melitus (DM). Salah satu upaya untuk mencegah terjadinya ulkus kaki diabetik adalah dengan skrining tekanan plantar kaki. Sistem force platform merupakan standar emas untuk pengukuran tekanan plantar. Sistem ini memberikan data kuantitatif yang sangat akurat, namun harganya sangat mahal dan tidak dapat digunakan dalam aktivitas sehari-hari. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan sistem pengukuran plantar berbiaya rendah menggunakan sensor Force Sensing Resistive (FSR) sebagai alat skrining risiko ulkus kaki diabetik. Empat sensor FSR disematkan di dalam insole untuk mendapatkan data tekanan pada area target, yaitu Hallux, metatarsal ke-1, metatarsal ke-5, dan tumit. Dalam penelitian ini, sistem hanya akan menguji kaki kanan. Analisis lebih lanjut dilakukan untuk membedakan antara 5 individu sehat dan 5 individu dengan diabetes berdasarkan nilai tekanan plantar yang didapat. Data kemudian diolah oleh mikrokontoler dan hasilnya divisualisasikan secara real time menggunakan program labView. Hasil menunjukkan bahwa terdapat perbedaan signifikan pada pengukuran tekanan plantar di point 1st metatarsal head (p-value 0,024). Oleh karena itu, penelitian ini memberikan temuan yang menjanjikan karena dapat membaca tekanan plantar lebih tinggi pada pasien diabetes secara signifikan daripada orang sehat. Berdasarkan hasil tersebut, alat ukur tekanan plantar ini dapat digunakan sebagai alat skrining risiko terjadinya ulkus kaki diabetik pada pasien Diabetes Melitus.

Diabetic foot ulcer (DFU) is one of the serious complications of Diabetes Mellitus (DM). Screening the plantar foot pressure is one of the best solution to prevent diabetic foot ulcers occurrence. The pressure platform system is the gold standard for plantar pressure measurement. This system provides very accurate quantitative data, but unfortunately the cost of procuring materials and personnel is prohibited and it is not able to use in daily activity. This study aims to develop a low-cost plantar measurement system using Force Sensing Resistor (FSR) sensors as a screening tool for diabetic foot ulcers risk. Four FSR sensors are embedded into the insole system to obtain pressure data on the area of interest, which are Hallux, 1st head of metatarsal, 5th head of metatarsal, and heel. In this pilot study, the system only tested the right foot. Further analysis was carried out to distinguish between 5 healthy individuals and 5 individuals with diabetes based on gathered plantar pressure value. The data is then processed by a microcontroller and the results are visualized in the real time using the LabVIEW program. Results show the peak pressure was on the 5th metatarsal head area in diabetic group with the highest number reached 557,1 kPa, furthermore the sensor location on 1st head metatarsal had significancy different pressure (p<0,024) during the measurement. Hence, this research provides a promising finding as some of the pressure reading of diabetes patients are significantly higher than a normal person. Based on these results, this plantar pressure gauge can be used as a screening tool for the risk of diabetic foot ulcers occurrence so the Diabetes Mellitus patients would aware of the risk and get appropriate foot care."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Karla Carolina
"Beberapa studi epidemiologi dan meta analisis menunjukkan faktor risiko berhubungan dengan diabetes melitus dan kanker, diantaranya jenis kelamin, usia, hiperglikemia dan obesitas. Hiperinsulinemia, hiperglikemia dan inflamasi pada diabetes dapat menginduksi kerusakan sel yang bertransformasi  menjadi sel kanker. Kerusakan sel dapat berupa stress oksidatif, lipotoksisitas dan glukotoksisitas. Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional dengan non-parallel sampling design yang bertujuan untuk mengukur dan melihat hubungan antibodi anti-p53 dengan HbA1c pada dua kelompok. Kelompok pada penelitian ini adalah pasien diabetes melitus tipe 2 (n = 78) dan pasien diabetes melitus tipe 2 yang menderita kanker (n = 51). Analisis antibodi anti-p53 pada serum sampel dilakukan menggunakan ELISA, sedangkan pengukuran HbA1c dilakukan dengan Afinion Analyzer. Pada penelitian ini kadar serum antibodi anti-p53 pada kelompok pasien diabetes melitus tipe 2 (0,25 ± 0,05 U/ml) berbeda bermakna dengan kelompok pasien diabetes melitus tipe 2 yang menderita kanker (0,98 ± 0,32 Ug/ml) (p = 0,03). Sementara, HbA1c pada kelompok diabetes melitus tipe 2 (8,39 ± 0,23 %) berbeda bermakna dengan kelompok diabetes melitus tipe 2 yang menderita kanker (7,02 ± 0,20 %) (p < 0,001). Tidak ada korelasi antibodi anti-p53 dengan HbA1c pada kelompok pasien diabetes melitus tipe 2 (r = -0,188,  p = 0,099).  Terdapat korelasi sedang antibodi anti-p53 dengan HbA1c pada kelompok pasien diabetes melitus tipe 2 yang menderita kanker (r = -0,359, p = 0,01). Penelitian ini menunjukkan terdapat perbedaan bermakna antibodi anti-p53 dan HbA1c pada kedua kelompok. Terdapat hubungan negatif yang bermakna antara antibodi anti-p53 dengan HbA1c pada kelompok diabetes melitus tipe 2 yang menderita kanker.

Epidemiological studies and meta-analysis have shown risk factors are related with diebetes mellitus and cancer, they are such as gender, age, hyperglycemia and obesity. Hyperinsulinemia, hyperglycemia dan inflamation on diabetes can induce cell destruction that are transformed into cancer cells. Cell destruction form of oxidative stress, lipotoxicity and glucotoxicity. This study was a cross-sectional with  non-parallel sampling design which compares and analyzes the correlation between anti-p53 antibody with HbA1c in the group of type 2 diabetes mellitus and type 2 diabetes mellitus with cancer, namely type 2 diabetes mellitus patients (n = 78) and type 2 diabetes mellitus patients with cancer (n = 51). Analyze for anti-p53 antibody was using ELISA,while HbA1c was measured with HbA1c Afinion Analyzer. The serological level of anti-p53 antibody in the type 2 diabetes mellitus (0,25 ± 0,05 U/ml) significant diference between type 2 diabetes mellitus type 2 (0,98 ± 0,32 Ug/ml) (p = 0,03). HbA1c showed significant difference in the type 2 diabetes mellitus (8,39 ± 0,23 %) between type 2 diabetes mellitus type 2 (7,02 ± 0,20 %) (p < 0,001). There was no correlation between anti-p53 antibody with HbA1c in the group of type 2 diabetes mellitus (r=-0,188, p=0,099). There was moderate correlation between anti-p53 antibody with HbA1c in the group of type 2 diabetes mellitus with cancer (r = -0,359, p = 0,01).  Based on result showed there were significant difference between anti-p53 antibody with HbA1c in both groups. There was negative correlation anti-p53 antibody with HbA1c in the type 2 diabetes mellitus with cancer.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gladiola Alifa Putri
"ABSTRAK
Latar belakang: Diabetes Melitus tipe-2 dan penyakit periodontal merupakan penyakit dengan frekuensi tinggi di Indonesia. Diabetes Melitus tipe-2 diketahui dapat memperberat penyakit periodontal, dan juga sebaliknya. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai perbedaan status periodontal pada penderita periodontitis kronis dengan Diabetes Melitus tipe-2 dan tanpa Diabetes Melitus tipe-2. Tujuan penelitian: Mengetahui perbedaan status periodontal pada penderita periodontitis kronis dengan Diabetes Melitus tipe-2 dan tanpa Diabetes Melitus tipe-2, dengan batasan penelitian pada kedalaman poket, resesi gingiva, dan kehilangan perlekatan klinis. Metode: Penelitian cross-sectional pada 97 subjek Diabetes Melitus tipe-2 dan 97 subjek tanpa Diabetes Melitus tipe-2 menggunakan data kartu status rekam medik Klinik Periodonsia RSKGM FKG UI tahun kunjungan 2007-2016. Data dianalisis menggunakan uji Mann-Whitney. Hasil: Terdapat perbedaan bermakna dari rerata kedalaman poket, resesi gingiva, dan kehilangan perlekatan klinis subjek Diabetes Melitus tipe-2 dibandingkan dengan subjek tanpa Diabetes Melitus tipe-2

ABSTRACT
Background Type 2 Diabetes Mellitus and periodontal are high frequency diseases in Indonesia. Type 2 Diabetes Mellitus has known for the effect that can worsen periodontal diseases, and vice versa. Therefore, further researches are needed on the difference of periodontal status between chronic periodontitis patient with and without type 2 Diabetes Mellitus. Objective To understand the periodontal status differences between chronic periodontitis patient with and without type 2 Diabetes Mellitus, with limitation spesifically on pocket depth, gingival recession, and loss of attachment. Method Cross sectional study of 97 subjects with type 2 Diabetes Mellitus and 97 subjects without type 2 Diabetes Mellitus sourced from medical record status cards in Klinik Periodonsia RSKGM FKG UI during 2007 2016. It was statistically analyzed by Mann Whitney test. Result There were statistically significant differences in the mean values of pocket depth, gingival recession, and loss of attachment on subjects with type 2 Diabetes Mellitus compared with subjects without type 2 Diabetes Mellitus p"
2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>