Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 93853 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Syarif Wijaya Salim
"Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan alasan Indonesia belum sepenuhnya melaksanakan protokol-protokol ASEAN-SAM seperti yang ditentukan dalam Multilateral Agreement on Air Services MAAS, Multilateral Agreement on Full Liberalisation of Air Freight Services MAFLAFS, dan Multilateral Agreement on Full Liberalisation of Passenger Air Services MAFLPAS. Pada tahun 2016, Indonesia telah meratifikasi ketiga perjanjian transportasi udara ASEAN tersebut. Namun, Indonesia sampai saat ini hanya melakukan pembukaan akses kepada maskapai asal ASEAN di lima bandara utama. Implementasi parsial yang dilakukan Indonesia tersebut menjadi pertanyaan dari penelitian ini. Dalam menjawab pertanyaan tersebut, penelitian ini menggunakan konsep ACF. Penelitian ini menemukan bahwa implementasi parsial dari ASEAN-SAM merupakan hasil kontestasi politik antara koalisi-koalisi yang memiliki kepentingan berlawanan. Dalam kontestasi ini, koalisi penentang ASEAN-SAM memiliki keunggulan dalam kepentingan dan akses dibanding koalisi pendukung. Hal tersebut membuat koalisi penentang dapat memajukan kepentingannya di tingkat nasional. Hasil ini, apabila dilihat dalam konteks yang lebih luas, menggambarkan hambatan yang dialami Indonesia dalam pengembangan agenda regionalisme ASEAN. ASEAN-SAM memperlihatkan Indonesia masih memiliki agenda nasionalisme yang substansial dalam beberapa institusinya.

This research aims to explain the reason of Indonesia action not to fully implements ASEAN SAM protocols which are described in Multilateral Agreement on Air Services MAAS, Multilateral Agreement on Full Liberalisation of Air Freight Services MAFLAFS, and Multilateral Agreement on Full Liberalisation of Passenger Air Services MAFLPAS. In 2016, Indonesia has already ratified those three agreements. However, until now, Indonesia only opens access to all ASEAN airlines in five main airports. The partial implementation done by Indonesia inspite of ratification makes an intriguing question to be the base of this research. This research would use ACF to answer the problem stated above. The research found that the partial implementation of ASEAN SAM in Indonesia is the result of political struggle between competing coalitions with diverse interests. The result of the research show the resistant coalition has the competitive edges in interest and access against the competing coalitions. This made the resistant coalitions could advance its interest in national arena. The research, viewed in wider context, shows the obstacle faced by Indonesia on the development of ASEAN regionalism agenda. ASEAN SAM shows Indonesia has substantial nationalist agenda in its economic policy."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ruwantissa Abeyratne
"Indonesia?s demand for air transport is higher in proportion to its GDP per capita. Its economy
can be expected to grow 6% to 10% annually. A single aviation market could add another 6% to
10% growth in sheer demand. Yet its airports are badly in need of expansion, its infrastructure
is bursting at its seems, and above all, its airlines are strongly resisting liberalization of air
transport in the region for fear of being wiped out by stronger contenders in the region. Against
this backdrop, it is incontrovertible that Indonesia?s civil aviation is intrinsically linked to regional
and global considerations. A single aviation market in the ASEAN region will bring both benefits
to Indonesia and challengers to its air transport sector. This article discusses the economic and
regulatory challenges that Indonesia faces with the coming into effect of the ASEAN Single
Aviation market in 2015.
Permintaan transportasi udara di Indonesia lebih tinggi sebanding dengan PDB per kapita.
Ekonominya dapat diperkirakan akan tumbuh 6 % sampai 10 % per tahun. Sebuah pasar
penerbangan tunggal bisa menambah 6 % sampai 10 % pertumbuhan permintaan. Namun,
bandara-bandara yang sangat membutuhkan ekspansi, infrastruktur yang meledak di
perusahaan, dan di atas semua, maskapai yang secara kuat menolak liberalisasi angkutan udara
di wilayah ini karena takut dihapuskan oleh pesaing kuat di wilayah tersebut Dengan latar
belakang ini,tak terbantahkan bahwa penerbangan sipil di Indonesia secara hakiki berhubungan
dengan pertimbangan regional dan global. Sebuah pasar penerbangan tunggal di kawasan
ASEAN akan membawa manfaat baik bagi Indonesia dan penantang untuk sektor transportasi
udara. Artikel ini membahas tantangan ekonomi dan peraturan yang dihadapi Indonesia dengan
berlakunya Pasar Penerbangan Tunggal ASEAN pada tahun 2015."
University of Indonesia, Faculty of Law, 2014
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Pasar tunggal penerbangan ASEAN (ASEAN Single Aviation Market) pada tahun 2015, merupakan kebijakanyang telah disepakati oleh seluruh negara anggota ASEAN yang tertuang dalam ASEAN MultilateralAgreement on Air Services (ASEAN MAAS) dan telah ditandatangani pada tanggal 20 Mei 2009di Manila, Filipina. Dalam menghadapi ASEAN Single Aviation Market 2015, selain memperhatikanpotensi keuntungan yang dapat diperoleh dari kebijakan open sky tersebut, pemerintah harus mewaspadaipeluang ancaman perebutan pangsa pasar penerbangan di wilayah ASEAN juga pangsa pasar penerbangandomestik. alah satu faktor yang dapat mengancam Indonesia adalah lemahnya pengawasan(direct or indirect) investment bidang angkutan udara, sehingga kemungkinan terjadi penyelundupanhukum investasi, yang akhirnya pasar nasional dikuasai asing melalui badan hukum Indonesia yangdibentuknya (cabotage terselubung). Prinsip cabotage diterapkan secara umum di seluruh dunia dengantujuan menjaga dan melindungi kepentingan politik dan ekonomi negara yang bersangkutan. Penerapanprinsip cabotage secara operasional bisa bersifat fleksibel, selama kepentingan strategis negara tersebuttetap terjaga dan terlindungi. Pelayanan penerbangan di Indonesia saat ini dianggap sudah melanggarprinsip cabotage."
340 ARENA 6:1 (2012)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Nurul Fadhilah
"ABSTRAK
Timbulnya kesadaran bahwa setiap negara tidak dapat berdiri sendiri adalah salah satu faktor yang menyebabkan tren regionalisme semakin menguat. Dalam lingkup regionalisme, upaya kerjasama ekonomi di Asia Tenggara juga semakin ditingkatkan dengan dicetuskannya ide integrasi ekonomi ASEAN (ASEAN Vision) pada KTT ASEAN di Bali tahun 2003, diantaranya menyepakati tercapainya ASEAN Economic Community (AEC), salah satunya adalah rencana penerapan Pasar Tunggal ASEAN 2015. Adapun rencana penerapan tersebut tentu akan berdampak bagi persaingan usaha di negara anggota ASEAN, khususnya di Indonesia. Permasalahan yang akan diteliti adalah mengenai perkembangan hukum persaingan usaha di negara anggota ASEAN dan dampak dari rencana penerapan Pasar Tunggal ASEAN 2015 terhadap pengaturan hukum persaingan usaha. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan yuridis normatif, yaitu penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan norma yang berlaku dengan cara mencari data-data yang terdapat pada bahan-bahan pustaka. Dari penelitian yang dilakukan diperoleh hasil mengenai perkembangan pengaturan hukum persaingan usaha di negara anggota ASEAN yang memiliki perbedaan dalam pengaturannya. Ada juga beberapa negara yang belum memiliki pengaturan hukum persaingan usaha secara khusus dan lembaga pengawasnya. Sementara itu, beberapa negara yang sudah memiliki pengaturan hukum persaingan usaha tersebut, namun masih terdapat perbedaan-perbedaan dalam pengaturannya di masing-masing negara. Dengan adanya rencana penerapan Pasar Tunggal ASEAN 2015, maka negara anggota ASEAN akan mendapatkan dampak-dampak dari rencana tersebut terhadap hukum persaingan usaha, khususnya di Indonesia. Oleh karena itu, sebaiknya dilakukan sosialisasi mengenai hukum persaingan usaha dan harus melakukan harmonisasi terhadap pengaturan tersebut di negara anggota ASEAN.

ABSTRACT
Timbulnya kesadaran bahwa setiap negara tidak dapat berdiri sendiri adalah salah satu faktor yang menyebabkan tren regionalisme semakin menguat. Dalam lingkup regionalisme, upaya kerjasama ekonomi di Asia Tenggara juga semakin ditingkatkan dengan dicetuskannya ide integrasi ekonomi ASEAN (ASEAN Vision) pada KTT ASEAN di Bali tahun 2003, diantaranya menyepakati tercapainya ASEAN Economic Community (AEC), salah satunya adalah rencana penerapan Pasar Tunggal ASEAN 2015. Adapun rencana penerapan tersebut tentu akan berdampak bagi persaingan usaha di negara anggota ASEAN, khususnya di Indonesia. Permasalahan yang akan diteliti adalah mengenai perkembangan hukum persaingan usaha di negara anggota ASEAN dan dampak dari rencana penerapan Pasar Tunggal ASEAN 2015 terhadap pengaturan hukum persaingan usaha. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan yuridis normatif, yaitu penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan norma yang berlaku dengan cara mencari data-data yang terdapat pada bahan-bahan pustaka. Dari penelitian yang dilakukan diperoleh hasil mengenai perkembangan pengaturan hukum persaingan usaha di negara anggota ASEAN yang memiliki perbedaan dalam pengaturannya. Ada juga beberapa negara yang belum memiliki pengaturan hukum persaingan usaha secara khusus dan lembaga pengawasnya. Sementara itu, beberapa negara yang sudah memiliki pengaturan hukum persaingan usaha tersebut, namun masih terdapat perbedaan-perbedaan dalam pengaturannya di masing-masing negara. Dengan adanya rencana penerapan Pasar Tunggal ASEAN 2015, maka negara anggota ASEAN akan mendapatkan dampak-dampak dari rencana tersebut terhadap hukum persaingan usaha, khususnya di Indonesia. Oleh karena itu, sebaiknya dilakukan sosialisasi mengenai hukum persaingan usaha dan harus melakukan harmonisasi terhadap pengaturan tersebut di negara anggota ASEAN."
2013
T35658
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"[Prinsip hukum umum, suatu peraturan perundang-undangan suatu negara berlaku hanya untuk perbuatan yang dilakukan dalam wilayah negara yang bersangkutan. Prinsip ini, untuk bidang persaingan usaha dirasakan sudah tidak tepat , karena aktivitas ekonomi tidak hanya terjadi antara para pelaku usaha (ji'dalam negeri, tetapi juga dengan pelaku usaha yang berada dan melakukan aktivitas di luar negeri. Oleh karena itu, terdapat kebutuhan agar UU Persaingan Usaha suatu negara dapat diberlakukan secara ekstraterritorial. Permasalahannya UU No. 5 tahun 1999 menganut prinsip teritorialitas dan tidak menganut prinsip ekstrateritorial. Dalam penelitian ini, metode yang digunakan adalah penelitian kepustakaan. Penelitian menemukan bahwa prinsip ekstrateritorial dianut berbagai negara maju dan beberapa negara di Asia. Penelitian juga menemukan terdapat kebutuhan yang sangat mendesak agar UU Persaingan Usaha Indonesia berlaku terhadap perusahaan di luar negeri, apalagi tahun 2015 akan berlaku pasar tunggal Asean ., General legal principle, a legislation of a country applies only for acts committed in the territories concerned. This principle, to the field of competition has not felt right, because economic activity not only occur between the businesses in the country, but also with businesses that are abroad. Therefore, there is a need for competition law of a country can be enforced in ekstraterritorial. The problem, Law Number 5 of 1999 adheres to the principle of territoriality does not adhere to the principle of extraterritoriality. In this study, the method used is the literature research. The study found that the principle of extraterritor iality adopted by various developed countries and some countries in Asia. The study also found that there is an urgent need that the Indonesian competition law applies to companies abroad, especially in 2015 will force the ASEAN single market.
]"
[Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Universitas Indonesia], 2015
MK-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Rizky Budi Kristianto
"Disamping memberikan hasil-hasil positif, kebijakan liberalisasi perbankannasional juga mengakibatkan akuisisi bank-bank lokal berskala nasional oleh parainvestor asing dengan kepemilikan saham sampai dengan 99 sembilan puluhsembilan persen. Ketidaksiapan bank-bank milik pemerintah dalam menghadapikompetisi regional berdasarkan kepemilikan aset, perbedaan kebijakan perbankandi negara-negara anggota ASEAN lainnya, harmonisasi dan kodifikasi peraturanperbankan nasional dan semakin dekatnya implementasi kesepakatan SingleMarket Policy merupakan permasalahan yang harus segera mungkin diselesaikanoleh pemerintah agar tercipta tata kelola yang baik, persaingan yang adil dankompetisi yang sehat di sektor perbankan nasional menuju Single Market PolicyIntegrasi Regional Masyarakat Ekonomi ASEAN Tahun 2020.

In addition to providing positive results, national banking liberalization policy also resulting in acquisition of local nationwide banks by foreign investors withshareholding until 99 ninety nine percent. Unpreparedness of state ownedbanks facing the regional competition based on asset, the differences of bankingpolicies amongst ASEAN country members, harmonization and codification ofnational banking policy and the steady progression of single market policyimplementation are problems that government should be solved to improve bankgovernance, fair and healthy competition in the national banking sector towardsregional integration of single market policy of ASEAN economic community in2020."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2017
T47937
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ridha Aditya Nugraha
"
ABSTRAK
The aviation business in the ASEAN region has shown significant growth during the last decade. With the enactment of ASEAN Open Skies, there is no doubt that intra-ASEAN flights will continue to increase rapidly with Indonesia and Thailand experiencing significant effects from such development. Considering current rapid market capitalization, there is an urgency to establish equilibrium between commercial and passengers rights. Flight delays, cancellations, and denied boarding, either on domestic or international flights, are the main airline passengers rights issues that are always relevant and must be kept up-to-date with recent developments. In the context of the so-called integrated ASEAN skies, the urgency to establish a uniform legal framework on passengers rights has become essential. Learning from the current international legal framework, namely the Warsaw Convention, the Montreal Convention, and EU Regulation No. 261/2004, they could present the source of best solution. Considering that the latter was established by another regional initiative, it could be a particularly valuable guide for ASEAN, even though the current integration level of the EU and ASEAN are quite different. Also of importance, the bomb threat hoax phenomenon within Indonesia and Thailand shall also be discussed. Passengers rights must also be protected against the implications of such irresponsible acts."
Depok: University of Indonesia, Faculty of Law, 2017
340 UI-ILR 7:1 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Raja Sawery Gading Dzetaj Notonegoro
"Sejak 31 Desember 2015, Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) telah secara formal didirikan. Melalui MEA, negara anggota ASEAN berkomitmen untuk menjadikan ASEAN sebagai pasar tunggal dan basis produksi yang berlandaskan aturan hukum. Sebagai integrasi ekonomi regional, MEA didirikan dengan dukungan dari berbagai instrumen hukum yang telah disepakati oleh para negara anggota, khususnya ATIGA, AFAS dan ACIA. Mengingat keanggotaan negara anggota ASEAN dalam WTO, mereka juga memiliki komitmen pada sistem perdagangan multilateral WTO untuk memastikan relevansi dan kompatibilitas instrumen-instrumen hukum tersebut dengan aturan dalam WTO. Satu-satunya instrumen hukum pendukung MEA yang telah dinotifikasi kepada WTO adalah ATIGA, berdasarkan Enabling Clause. Penelitian ini meragukan relevansi dari notifikasi ATIGA berdasarkan Enabling Clause sekarang ini, karena terdapat beberapa negara anggota ASEAN yang tidak lagi dapat dikategorikan sebagai negara berkembang. Berdasarkan analisis kompatibilitas, aturan dalam ATIGA dan AFAS cukup sesuai dengan aturan dalam Pasal XXIV GATT 1994 dan Pasal V GATS. Untuk itu penelitian ini mendesak ASEAN untuk menggunakan kewenangannya untuk mengajukan notifikasi kepada WTO atas ATIGA berdasarkan Pasal XXIV GATT 1994, dan atas AFAS berdasarkan Pasal V GATS. Diharapkan dengan diajukannya notifikasi tersebut, negara anggota ASEAN dapat mengambil manfaat dari MEA tanpa mengesampingkan komitmennya pada WTO, dan MEA dapat terealisasikan sebagai pelengkap dalam pencapaian tujuan sistem perdagangan multilateral WTO. Selain itu penelitian ini merekomendasikan ASEAN untuk menjadikan pendekatan yang berlandaskan aturan hukum sebagai karakteristik utama ASEAN dalam merealisasikan MEA. Bila ASEAN terus bergantung pada keinginan politik dari setiap negara anggota atau organ institusional, maka ASEAN akan kehilangan kredibilitasnya sebagai organisasi yang berlandaskan aturan hukum.

Since 31 December 2015, the ASEAN Economic Community (AEC) has been formally established. Through AEC, the ASEAN member states (AMS) are committed to turn ASEAN into a rules-based single market and production base. As a regional economic integration, AEC is based on legal instruments agreed by the AMS, especially ATIGA, AFAS and ACIA. Considering the position of the AMS as members of the WTO, they are also committed to the multilateral trading system of the WTO to ensure the relevance and compatibility of those legal instruments with the WTO rules. The only legal instrument related to the AEC that has been notified to the WTO is ATIGA, based on the Enabling Clause. The research argues that the relevance of the notification for ATIGA based on the Enabling Clause is questionable, due to the fact that some ASEAN member states no longer fall within the category of developing countries. Based on a compatibility analysis, the provisions in the ATIGA and AFAS are quite compatible with the Article XXIV of the GATT 1994 and Article V of the GATS. With that being said, this research urges ASEAN to utilise its authority to submit notifications to the WTO for ATIGA based on Article XXIV of the GATT 1994, and for AFAS based on Article V of the GATS. The research believes that the submission of the notifications will allow the AMS to gain benefits from the AEC without undermining their commitment to the WTO, and that the AEC will be realised as a complement in achieving the objectives of the multilateral trading system of the WTO. Moreover, ASEAN is recommended to consider the rules-based approach as a primary feature of engagement within ASEAN. If ASEAN keeps relying on the political will of its member states or institutional organs, ASEAN will lose the credibility as a rules-based organisation.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
T45196
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Regina Rosa Beryllinda
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2009
S8230
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>