Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 173693 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Andika Devara Loeis
"ABSTRAK
Penelitian ini mengkaji sisa pondasi dari kompleks Dharmasala yang terdapat pada dataran tinggi Dieng. Sejauh ini, tinjauan dalam penelitian ini dilihat dari bentuk rekonstruksi. Bentuk dari bangunan di Kompleks Dharmasala belum semua dapat direkonstruksi karena sisa bangunan yang hanya pondasi. Bagian atas bangunan dapat direkonstruksi dengan melakukan perbandingan relief candi sezaman dan etnografi rumah tradisional di Bali. Penelitian ini juga membahas hubungan kegiatan yang terdapat pada kompleks Dharmasala berdasarkan temuan permukaan yang tersisa. Selain itu juga penelitian ini mengkaji hubungan kompleks Dharmasala dengan candi lain berdasarkan jarak dari candi dan kompleks Dharmasala.

< b>ABSTRACT<>br>
This research describes the remaining Structure that lies in Dharmasala Complex Dieng Plateau. So far, the research mainly discuss about reconstructing the complete form of the structure in Dharmasala complex. All of the structure in Dharmasala Complex has not been reconstructed yet based on the fact that the reimanings of the structure is only the strucuture base. To reconstruct the structure, this research compares the piction of relief from Temples in the same era and also ethnography of traditional houses from Bali. This research also talks about the activity inside the complex judging by the remainings inside. Finally, this reseach examine the connection between Dharmasala Complex and other Temples in Dieng Plateau base on the distance."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fatoni Ramadhan Perkasa
"Banyuwangi pada masa kolonial di Nusantara memegang peranan penting dalam perkembangan perdagangan dan telekomunikasi antar negara jajahan Eropa. Salah satu tinggalan sejarah yang penting di Banyuwangi adalah Kompleks Inggrisan yang berperan penting dalam sejarah Banyuwangi. Penelitian ini akan membahas mengenai bentuk dan gaya bangunan pada Kompleks Inggrisan serta fungsi dan peranan Kompleks Inggrisan dalam sejarah telekomunikasi Banyuwangi. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan analisis bentuk, analisis gaya, dan analisis kontekstual. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa bangunan–bangunan yang terdapat pada Kompleks Inggrisan menggunakan perpaduan bentuk dan gaya antara gaya arsitektur indische empire dengan gaya arsitektur tradisional Jawa pada masa Jawa Kuno serta Kompleks Inggrisan memiliki peranan dan fungsi penting dalam sejarah telekomunikasi antara Banyuwangi dan Australia.

Banyuwangi in the colonial period in the archipelago played an important role in the development of trade and telecommunications between European colonial countries. One of the important historical remains in Banyuwangi is the English Complex which plays an important role in the history of Banyuwangi. This research will discuss the shape and style of the building in the English Complex as well as the function and role of the English Complex in the history of Banyuwangi telecommunications. The research method used in this research is qualitative research using form analysis, style analysis, and contextual analysis. The results of this study indicate that the buildings in the English Complex use a combination of shapes and styles between the Indische Empire architectural style and traditional Javanese architectural styles during the Old Javanese period and the English Complex has an important role and function in the history of Banyuwangi and Australia telecommunications."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hasanuddin
"Kabupaten Nias merupakan suatu pulau yang terletak di pantai barat Sumatra. Sebagian besar daerah ini terdiri atas dataran-dataran rendah dan pegunungan kapur yang tingginya bervariasi. Peninggalan megalitik dalam berbagai bentuknya ditemukan pada ketinggian antara 100 - 800 meter dari permukaan laut, tersebar di Nias Selatan, Tengah, Barat, dan sebagian kecil di Nias Utara. Fokus penelitian ini mencakup Nias Selatan dan telah ditetapkan sebanyak lima situs. Bentuk-bentuk peninggalan megalitik yang ditemukan pada kelima situs tersebut seperti batu tegak (hehu), tempat duduk dari batu (osa-osa dan neogadi), meja batu (harefa) serta tempat persidangan (areosali). Keseluruhan bentuk peninggalan itu memperlihatkan bentuk yang spesifik dan tidak ditemukan di daerah lain di Nias. Kelima situs yang diteliti memperlihatkan keseragaman pola dalam hal bentuk, tata letak dan orientasi situs yang sama. Analisis yang digunakan meliputi analisis bentuk dan kontekstual serta dipadukan dengan studi etnografi terhadap daerah yang masih mempertahankan tradisi lamanya seperti Bawomataluwo dan Lolowa'u (Nias Selatan) Berta Mandrehe (Nias Tengah). Hasil analisis menunjukkan susunan keletakan benda yang teratur dan berteras. Masing-masing benda memiliki fungsi namun secara keseluruhan terikat oleh suatu sistem norma yang disepakati dalam masyarakat. Keseragaman pola mencerminkan aturan dan kesepakatan sosial dalam upacara pesta adat (owasa). Aspek budaya yang tercermin dalam pelaksanaan pesta (owasa) turut memberi wujud pada budaya materi yang dihasilkan, terutama peninggalan megalitik. Peninggalan megalitik di Nias Selatan erat kaitannya dengan pesta adat (owasa), sebab benda-benda tersebut tidak dapat dibangun sebelum diselenggarakan pesta. Tujuan pendirian megalit selain berkaitan dengan pesta pengukuhan stataus sosial juga sebagai tanda peringatan meninggalnya leluhur mereka. Studi etnografi menunjukkan bahwa situs-situs di Nias Selatan selain sebagai situs upacara (baik berkaitan dengan kemasyarakatan maupun religi) dan juga situs permukiman. Bentuk upacara dilaksanakan dengan mengerahkan orang dalam jumlah yang banyak dan turut dikorbankan puluhan hingga ralusan ekor babi.

Nias Regency is an island located on the west coast of Sumatra. Most of this area consists of lowlands and limestone mountains of varying heights. Megalithic relics in various forms are found at altitudes between 100 - 800 meters above sea level, spread across South, Central, West Nias, and a small part in North Nias. The focus of this research covers South Nias and has been determined as many as five sites. The forms of megalithic relics found at the five sites are upright stones (hehu), stone seats (osa-osa and neogadi), stone tables (harefa) and court places (areosali). All forms of these relics show specific forms and are not found in other areas in Nias. The five sites studied show uniform patterns in terms of the shape, layout and orientation of the same site. The analysis used includes form and contextual analysis and is combined with ethnographic studies of areas that still maintain their old traditions such as Bawomataluwo and Lolowa'u (South Nias) Berta Mandrehe (Central Nias). The results of the analysis show the arrangement of objects in a regular and terraced manner. Each object has a function but overall is bound by a system of norms agreed upon in society. The uniformity of the pattern reflects the rules and social agreements in the traditional party ceremony (owasa). The cultural aspects reflected in the implementation of the party (owasa) also give form to the material culture produced, especially megalithic relics. Megalithic relics in South Nias are closely related to the traditional party (owasa), because these objects cannot be built before the party is held. The purpose of establishing megaliths is not only related to the party to confirm social status but also as a sign of commemoration of the death of their ancestors. Ethnographic studies show that the sites in South Nias are not only ceremonial sites (both related to society and religion) but also settlement sites. The form of the ceremony is carried out by mobilizing people in large numbers and dozens to hundreds of pigs are also sacrificed.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2000
T2967
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Budi Sulistyowati
"Berdasarkan inventarisasi yang dilakukan oleh Perum Perhutani akhir tahun 2000, diketahui bahwa 350 ribu hektar hutan di Sawa rusak. Hutan yang rusak di Jawa Tengah tercatat 100 ribu hektar, termasuk Kabupaten Wonosobo. Kerusakan terluas terjadi di wilayah Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Wonosobo. BKPH Wonosobo adalah salah satu bagian dari Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Kedu Utara, Perhutani Unit I Jawa Tengah. Kerusakan hutan yang terjadi di BKPH Wonosobo tidak hanya terjadi di kawasan hutan produksi namun terjadi pula di kawasan hutan lindung. Penduduk membuka kawasan hutan lindung tersebut untuk pertanian.Penjelasan Pasal 50 ayat (3) hunaf b Undang-undang No. 41 Tahun .1999 tentang Kehutanan menyatakan bahwa melakukan pembukaan kawasan hutan tanpa mendapat izin dari pejabat yang berwenang, disebut merambah. Merambah kawasan hutan merupakan salah satu larangan bagi setiap orang. Data dari BKPH Wonosobo memperlihatkan bahwa luas kawasan hutan lindung yang dirambah untuk pertanian sampai dengan Pebruari 2004 adalah seluas 1.948,10 hektar atau 50,59% dari total luas baku seluas 3.850,90 hektar. Distribusinya meliputi Resort Pemangkuan Hutan (RPH) Dieng, Sigedang, dan Anggrung Gondok. RPH yang mengalami perambahan terluas adalah Dieng. Pertanyaan penelitian: (1) Faktor-faktor apakah yang melatarbelakangi terjadinya perambahan di kawasan hutan lindung? (2) Dampak ekologi apa yang ditimbulkan dari perambahan di kawasan hutan lindung? (3) Bagaimana upaya penanggulangan dan pencegahan terjadinya perambahan di kawasan hutan lindung?
Tujuan penelitian adalah untuk mengidentifikasi dan menganalisis: (1) Faktorfaktor yang melatarbelakangi terjadinya perambahan di kawasan hutan lindung, (2) Dampak ekologi yang ditimbulkan dan perambahan di kawasan hutan lindung, dan (3) Upaya penanggulangan dan pencegahan terjadinya perambahan di kawasan hutan lindung. Hipotesis penelitian : (1) Perambahan hutan lindung dilatarbelakangi oleli faktor-faktor: (a) Masyarakat tidak mengetahui keberadaan kawasan hutan lindung, (b) Masyarakat tidak mengetahui adanya aturan-aturan yang berlaku dalam kawasan hutan lindung, (c) Masyarakat mengetahui keberadaan dan aturan-aturan yang berlaku dalam kawasan hutan lindung, tetapi terdesak oleh kebutuhan ekonomi. (2) Dampak ekologi perambahan di kawasan hutan lindung adalah terjadinya banjir, berkurangnya air tanah, erosi, dan longsor. (3) Apabila upaya penanggulangan dan pencegahan perambahan dilakukan melalui penegakan hukum yang konsekuen, terjalinnya kerjasama yang sinergis dan simuttan antara pihak terkait, dan adanya partisipasi masyarakat, maka perambahan dapat ditanggulangi dan dicegah. Metode yang digunakan dalam penelitian adalah metode deskriptif Penelitian dilakukan di RPH Dieng yang terletak di Dataran Tinggi Dieng, meliputi petak 8, 10, 11, dan 12. Data primer dan sekunder dikumpulkan dengan metode wawancara mendalam dan dokumenter.
Hasil analisis memperlihatkan sebesar 98% responden mengetahui keberadaan kawasan hutan lindung. Responden sebesar 98% menyatakan bahwa merambah hutan lindung adalah perbuatan yang dilarang. Pemanfaatan hutan pada hutan lindung diselenggarakan melalui pemberian izin, disetujui oleh responden sebesar 88%. Responden sebesar 98,3% menyatakan bahwa merambah hutan lindung bermanfaat untuk memperoleh pendapatan yang lebih tinggi. Sebesar 70% responden menyatakan longsor dan erosi sebagai dampak yang dirasakan. Dampak lain yang dirasakan responden adalah banjir (23,4%) , dan berkurangnya air tanah (3,3%). Upaya penanggulangan dan pencegahan yang telah dilakukan adalah reboisasi, penyuluhan dan penegakan hukum.
Kesimpulan penelitian adalah:
1. Faktor-kaktor yang melatarbelakangi terjadinya perambahan hutan lindung adalah: a) Masyarakat belum memiliki kesadaran untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup, b) Masyarakat belum memiliki kesadaran hukum, c) Adanya keinginan untuk memperoleh pendapatan yang lebih tinggi.
2. Dampak ekologi yang ditimbulkan Bari perambahan di kawasan hutan lindung adalah terjadinya longsor, erosi, banjir, dan berkurangnya air tanah.
3. Upaya penanggulangan dan pencegahan terjadinya perambahan di kawasan hutan lindung adalah mengembalikan kawasan hutan lindung yang telah menjadi lahan pertanian ke fungsi semuia, melalui penegakan hukum yang konsekuen, kerjasama yang sinergis dan simultan antara Perhutani, Pemerintah Daerah, dan masyarakat setempat.

Based on inventory conducted by Perum Perhutani at the end of 2000, it has known that 350, 000 hectares of forest in Java were destructed. Whereas destructed forest area in Central Java was 100,000 hectares, included in Wonosobo District. The most extensive destruction occurred in the area of BKPH (Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan) Wonosobo, KPH Kedu Utara, Perhutani Unit I, Central Java. Forest destruction that occurred at BKPH Wonosobo not only in the area of production forests, but also in protection forest areas. The local people open the protection forest area for farming. According to the explanations of Law No. 41 in 1999 on Forestry, Chapter 50, Article (3), Section (b), utilizing forest area without legal permit of the Authorized Government is defined as encroaching. Encroaching of forest area is restricted for anyone. Data obtained from BKPH Wonosobo showed that encroachment on protection forest up to February 2004 was 1,948 hectares or 50.59% of total protection forest area, is 3,850.90 hectares. The distribution comprises Resort of RPH (Resort Pemangku Hutan) Dieng, Sigedang, and Anggrung Gondok. The largest encroached area is Dieng. The proposed questions in this research are (1), which factors that causing to encroach in protection forest area? (2) What is the ecological impact of protection forest area encroachment? (3) .How is the effort in overcoming and preventing the encroachment at protection forest area?
The objectives of this research= are to identify and analyze: (1) the factors that causing to encroach in the protection forest area, (2) the ecological impact of protection forest area encroachment, and (3) the effort in overcoming and preventing that causing to encroach in protection forest area. The hypothesis of this research are: (1) The factors of encroachment are: (a) The local people didn't know the existence of protection forest area, (b) They didn't know the regulations on protection forest area, (c) They knew it, however there is economical condition, (2) Encroachment caused to flood, lack of ground water, erosion, and landslide. (3) If the effort in overcoming and preventing of encroach conducted through consequent low enforcement, tied in synergic cooperation between related parties, and there is community participation, so the encroaching of protection forest area can be overcome and prevented. The method applied in this research was descriptive method. The research was conducted in RPH Dieng, which located at Dieng plateau, comprising of block 8, 10, 11, and 12. It used in-dept interview and documentary collects primary and secondary data.
The result of the analysis showed that 98% respondents know the existence of the protection forest area. 98% respondents said that to encroach the protection forest is forbidden. 88% respondents agreed that exploitation on protection forest should carry out with permission. 98,3% respondents said that encroaching the protection forest is good for better income. 70% respondents said that landslide is one of the impacts, while another 23,4% respondents said that the impact is flood in the rainy season and 3,3% respondents said there is lack of ground water in dry season. Reforestation, law enforcement and socialization are the efforts conducted in overcoming and preventing the encroachment.
The conclusions of the research are:
1. The factors that causing the encroachment are: a) the local community doesn't have proper awareness to keep environment preservation, b) the local community doesn't have less awareness on law, c) the local community wants to have more income.
2. The impact on ecology which is caused by the encroachment on the protection forest area was landslide, erosion, flood, and lack of ground water.
3. The efforts to prevent encroachment on the protection forest area is by re-function the protection forest through consequent low enforcement, simultaneous and synergic cooperation among Perhutani, Local Government, and the local community.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2004
T14893
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Faris Alaudin
"Ruwatan cukur rambut gembel sebagai sebuah tradisi lisan yang dimiliki oleh masyarakat Dataran Tinggi Dieng masih bertahan hingga kini. Tradisi lisan ini berpusat pada ritual peralihan bagi bocah gembel di Dataran Tinggi Dieng. Ruwatan cukur rambut gembel dilaksanakan dengan cara memenuhi bebana yang diminta oleh bocah gembel, memotong dan melarung rambut gembel, serta mengadakan slametan. Sejak tahun 2010, ruwatan cukur rambut gembel di Dataran Tinggi Dieng rutin diadakan satu tahun sekali dan menjadi bagian dari gelaran Dieng Culture Festival. Atas dasar ini, penulis ingin mengkaji alasan masyarakat Dataran Tinggi Dieng mempertahankan ruwatan cukur rambut gembel. Dalam mengumpulkan data, penulis menggunakan pendekatan folklor holistik yang dilakukan dengan cara menyaksikan pertunjukan secara langsung dan mewawancarai masyarakat pemilik tradisi lisan ini. Data dikumpulkan melalui penelitian lapangan dan studi pustaka. Kemudian, penulis menganalisis struktur ruwatan cukur rambut gembel dan makna tradisi lisan ini bagi masyarakat Dataran Tinggi Dieng. Sebagai hasil, keinginan untuk mempertahankan warisan nenek moyang yang bersifat sakral menjadi alasan masyarakat Dataran Tinggi Dieng mempertahankan ruwatan cukur rambut gembel.

Ruwatan cukur rambut gembel as an oral tradition preserved by the Dieng Plateau society survives today. This oral tradition is centered on the rites of passage for bocah gembel in Dieng Plateau. The traditional ceremony is executed by fulfilling bebana requested by the kids, cutting and washing the dreads away as offerings to gods, and followed by slametan. Since 2010, ruwatan cukur rambut gembel in Dieng Plateau has been held annually and has become a part of Dieng Culture Festival. On this basis, the writer wants to review the reasons why its local people preserve the tradition. In collecting the data, the writer used holistic folklore approach, which was done by watching the performance first hand and interviewing the people who have had this oral tradition. The data was gathered through field researches and literature studies. Afterward, the writer analyzed the structure of ruwatan cukur rambut gembel and its meaning for Dieng Plateau society. The writer concludes that the desire to preserve the ancestors’ sacred heritage becomes the reason why Dieng Plateau society keep ruwatan cukur rambut gembel alive.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2018
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Sany Ustman
"Candi merupakan bangunan suci yang digunakan sebagai tempat ibadah. Di halaman pertama Percandian Prambanan terdapat delapan candi kecil yang terletak pada delapan arah mata angin. Penelitian ini membahas mengenai bentuk dan fungsi Candi ldquo;Mata Angin rdquo; tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa candi-candi ldquo;Mata Angin rdquo; mempunyai bentuk, ukuran, dan arah hadap yang sama, serta ragam hias yang sederhana. Fungsi Candi ldquo;Mata Angin rdquo; yaitu sebagai Candi Patok atau penanda titik-titik penting yang terdapat pada halaman percandian. Empat Candi ldquo;Mata Angin rdquo; yang letaknya berdekatan dengan gapura juga berfungsi sebagai kelir, penghalang magis agar kekuatan jahat tidak memasuki halaman candi.

Temple is a sacred building used as a place of worship. On the first courtyard of Prambanan Temple, there are eight small temples located on its eight cardinal points. This research discuss about the shape and function of those lsquo cardinal rsquo temples. The result shows that all the lsquo cardinal rsquo temples has the same size, same shape with simple decoration, and facing the same direction. These temples serve as a patok or a marker of important points on the temple courtyard. Four temples that located near the gates also have a function as kelir, a magical barrier to prevent evil force from entering the temple grounds.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2016
S70174
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"[Candi Blandongan merupakan salah satu candi di Komplek Percandian Batujaya,
Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Candi ini belum diketahui bentuk dan
fungsinya secara pasti. Bentuk dan fungsi pada candi ini penting untuk diketahui
guna merekonstruksi tingkah laku manusia pada masa lampau terutama dalam hal
pembangunan candi pada masa awal perkembangan agama Buddha di daerah
Jawa bagian barat. Penelitian mengenai bangunan Candi Blandongan dimulai
dengan pendeskripsian yang dilanjutkan dengan melakukan analisis khusus dan
kontekstual terhadap bangunan candi. Analisis dilakukan dengan cara
membandingkan bangunan Candi Blandongan dengan bangunan candi lain yang
ada di Komplek Percandian Batujaya. Hasil dari analisis tersebut adalah sebuah
eksplanasi bahwa bangunan Candi Blandongan diperkirakan merupakan bangunan
candi yang memiliki stupa pada bagian atasnya dan berfungsi sebagai pusat
pemujaan pada masa awal perkembangan agama Buddha di daerah Jawa bagian
barat., Blandongan Temple is one of the temples in Batujaya Enshrinement Complex.
The form and function is important to note in order to reconstruct human behavior
in the past, particularly in temple constructing matters in the early days of the
development of Buddhism teachings in western Java. The research is started by
describing the temple physical building and followed by performing form analysis
and contextual analysis. Analysis is done with comparing Blandongan Temple
building to other building temples inside Batujaya Enshrinement Complex. The
result of said analysis explains that Blandongan Temple building probably is a
temple with stupa on top of it and had been used as worship place in the early
days of the development of Buddhism teaching in western Java.]"
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marcenda Pangestuti
"ABSTRAK
Skripsi ini menganalisis komodifikasi upacara ruwatan rambut gimbal yang merupakan warisan budaya Dieng dalam festival tahunan kebudayaan masyarakat Dieng bernama Dieng Culture Festival (DCF) yang dimulai sejak tahun 2010 di Dataran Tinggi Dieng, Jawa Tengah. Seiring pesatnya perkembangan industri pariwisata budaya di Indonesia, upacara ruwatan rambut gimbal dikembangkan menjadi sebuah ?spectacle? (tontonan) yang bertujuan untuk menarik wisatawan. Upacara ruwatan yang bernilai sakral kini berubah menjadi sesuatu yang profan, dari tuntunan bergeser menjadi tontonan belaka sebagai dampak dari pengembangan pariwisata. Keistimewaan anak gimbal sebagai objek ruwatan tersebut kini dimaknai dan diperlakukan berbeda oleh pelaku wisata hingga pemerintah setempat. Proses komodifikasi dikuatkan melalui proses pemasaran melalui media online. Skripsi ini menggunakan konsep utama ?Spectacle? dari Guy Debord, dilengkapi dengan konsep komodifikasi dalam isu ekonomi politik pariwisata yang dikemukakan oleh beberapa ilmuwan kepariwisataan (tourism scholar)mulai dari Kevin Fox Gotham, Melanie K. Smith, dan John Urry. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya komodifikasi budaya upacara ruwatan rambut gimbal dalam Dieng Culture Festival yang berdampak terhadap kehidupan sosial-budaya masyarakat Dieng. Dampak sosial terkait dengan adanya ketegangan yang terjadi di dalam masyarakat sebagai bentuk resistensi terhadap komersialisasi budaya. Sedangkan dampak kultural lebih terkait dengan isu keaslian (authenticity) budaya dimana dalam ruwatan festival terjadi beberapa pengubahan pelaksanaan ritual rambut gimbal yang dilakukan oleh penyelenggara Dieng Culture Festival.

ABSTRAK
This paper analyzes the commodification of dreadlocks hair children?s ritual ceremony in Dieng Culture Festival at the Dieng Plateau, Central Java. With the rapid development of cultural tourism industries, those ritual developed into a spectacle that aims to attract tourists in the annual cultural festival named Dieng Culture Festival which began in 2010. The sacred value of ritual now being transformed by the social actors, including Dieng Culture Festival organizer, local government with the use of online media into something profane. The dreadlock hair children as main objects of ritual now is being understood and treated differently. This paper uses the ?Spectacle? from Guy Debord as a main concept and concept of commodification in the political economy of tourism discussed and developed by three tourism scholar; Kevin Fox Gotham, Melanie Smith, and John Urry. The result indicates the existence of cultural commodification of dreadlocks hair children?s ritual ceremony in Dieng Culture Festival which is causes both social and cultural impact. The social impacts relate to the tensions between local people who confront with the rise and dominanve of tourism development within Dieng Culture Festivaland the cultural impact is focuson the issue of cultural authenticity because there are some increments and alterations of dreadlocks hair children?s ritual.
"
2016
S63604
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raudhotun Arbangiyah
"Dalam penulisan skripsi ini selain menggunakan metode sejarah, yaitu heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi, penulis juga menggunakan metode oral hstory (sejarah lisan), yaitu dengan menggunakan sumber wawancara sebagai sumber utama. Hal ini disebabkan sumber-sumber tertulis mengenai desa Sembungan tidak ada.
Adapun skripsi ini merupakan tulisan dari serangkaian hasil penelitian yang dilakukan di Desa Sembungan, Dataran Tinggi Dieng. Penelitian yang dilakukan menyangkut masalah perubahan pola pertanian dari yang sebelumnya bersifat tradisional menjadi modern. Desa Sembungan terletak di Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo, berjarak 28 km dari pusat kota kabupaten.
Dengan iklimnya yang dingin, lingkungan di desa ini sangat cocok untuk pertumbuhan kentang. Apabila sebelumnya petani hidup subsisten maka setelah mengusahakan budidaya kentang berubah diatas garis subsisten. Sejak saat itu petani memutuskan kentang sebagai komoditas utama dalam pertanian. Salah satu hal yang menjadi fokus utama ialah adanya perubahan pola pertanian ini telah membawa dampak terhadap aspek ekonomi, sosial budaya dan lingkungan di Sembungan.
On writing this thesis, writer not only using history method which consist of heuristic, critic, interpretation, and historiography but also using oral history method by using interview as primary source. It is because the written source about Sembungan Village does not available.
This thesis is the result of the research that the writer did at Sembungan Village, Dieng Plateu. The research carried out the problem concerning transition patterns of family farming from traditional to modern. Sembungan Village is located at District Kejajar, Wonosobo Regency, within 28 miles of downtown regency having cold climate, so the environment in this village is very suitable for growing potatoes.
If foregoing peasants lived in such a subsistence life, after cultivating potato their life has been brought over the line of subsistence. After that time peasants decide the potato as a major commodities in agricultural. One of the main focus is the transition patterns of family farming which has an impact on the economic, social and cultural environment in Sembungan.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2012
S43305
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>