Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 112064 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ita Roikhatul Jannah
"Pengadaan pesawat udara melalui perjanjian leasing di Indonesia menjadi salah satu cara maskapai penerbangan untuk mengembangkan bisnisnya dikarenakan mahalnya biaya pengadaan pesawat udara jika melalui jual beli. Untuk membantu pengadaan pesawat udara tersebut, Indonesia telah mengaksesi Konvensi Cape Town 2001 beserta protokolnya dan telah melakukan penyesuaikan dalam Undang-Undang Penerbangan 2009. Namun demikian, aksesi tersebut menyebabkan ketentuan mengenai lembaga jaminan hipotek atas pesawat yang sebelumnya terdapat dalam Undang-Undang Penerbangan 1992 hapus. Dalam Undang-Undang Penerbangan 2009 hanya menyebutkan bahwa pesawat untuk dapat dibebani kepentingan internasional yang merupakan terjemahan dari istilah international interest dalam Konvensi Cape Town 2001. Hal tersebut menimbulkan permasalahan lembaga jaminan apakah yang berlaku atas pesawat udara setelah diaksesinya Konvensi Cape Town 2001. Dalam penulisan ini akan digunakan metode penelitian yuridis normatif yang menggunakan data sekunder.
Dari hasil penelitian, penulis mendapatkan bahwa jaminan yang berlaku atas pesawat udara di Indonesia setelah diaksesinya Konvensi Cape Town 2001 adalah hipotek sebagaimana diatur dalam Pasal 1162-1232 KUH Perdata dan Pasal 314-315 KUHD. Selain itu, sesuai ketentuan Pasal 82 Undang-Undang Penerbangan 2009 yang menyatakan bahwa ketentuan Konvensi Cape Town 2001 beserta Protokolnya berlaku sebagai lex specialis dalam undang-undang ini sehingga ketentuan Article VIII II Protokol Konvensi Cape Town 2001 yang mengatur mengenai pilihan hukum para pihak berlaku pula untuk menentukan hukum jaminan atas pesawat udara. Dengan demikian, ketiadaan peraturan yang mengatur mengenai jaminan atas pesawat udara secara tegas dalam Undang-Undang Penerbangan 2009 tidak mengakibatkan terjadi kekosongan hukum karena ketentuan dalam KUH Perdata dan KUHD tentang hipotek dan ketentuan dalam Konvensi Cape Town 2001 beserta protokolnya mengenai pilihan hukum berlaku untuk mengatur hukum jaminan atas pesawat udara.

Aircraft procurement through leasing agreement in Indonesia is one of several ways for airlines to develop their business due to the high cost of aircraft procurement by buying and selling. To assist the procurement of an aircraft, Indonesia has accessioned The Cape Town Convention 2001 and its protocol and also adopted it in Law Number 1 Year 2009 on Aviation. After the accession, the provisions regarding mortgage in Law Number 15 Year 1992 on Aviation is revoked. In the Cape Town Convention 2001, the term international interest is defined by Law Number 1 Year 2009 on Aviation as an ldquo kepentingan internasional rdquo . It raises the question of what securities under Indonesian law applies to the aircraft after the accession of the Cape Town Convention 2001. In this thesis will uses juridical normative research method using secondary data.
From the results of the research, the author found the law under Article VIII II of the Protocol to Cape Town Convention 2001 applies to the aircraft security after the accession of Cape Town Convention 2001. The provision of Article 1162 1232 Civil Code Indonesia and Article 314 315 Commercial Code Indonesia on mortgage still valid. Beside that, the provision of the Cape Town Convention 2001 and Its Protocol is applicable under the virtue of the Article 82 of Law Number 1 Year 2009 on Aviation states that the provisions of the Cape Town Convention 2001 as lex specialis in this law. The absence of aircraft security regulations in the Law Number 1 Year 2009 on Aviation cannot be considered as a legal vacuum as the provision in the Civil Code Indonesia, Commercial Code Indonesia and the Cape Town Convention 2001 and Its Protocol provide the laws governing aircraft security."
Depok: Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Astri Widita Kusumowidagdo
"ABSTRAK
Kegiatan leasing merupakan hal yang umum dilakukan di Indonesia dan merupakan
jenis pengadaan utama yang biasanya dilakukan dalam kegiatan komersil terkait
pesawat udara. Perjanjian leasing pesawat udara yang dilakukan di Indonesia
cenderung bersifat melintasi batas negara (internasional) sehingga masuk ke dalam
ruang lingkup Hukum Perdata Internasional (HPI). Aspek-aspek HPI yang terdapat
dalam skripsi ini diantaranya mengenai status personal badan hukum, pengakuan dan
pelaksanaan putusan (Recognition and Enforcement), pilihan hukum dan pilihan
forum dalam kontrak. Skripsi ini termasuk penelitian hukum normatif. Skripsi ini
juga membahas perbandingan ketentuan hukum Indonesia dengan ketentuan
UNIDROIT Model Law on Leasing dan bagaimana leasing internasional diterapkan
di Indonesia.

Abstract
Leasing transactions are common commercial practice and is one of the main
methods of aircraft financing in Indonesia and around the world. Aircraft leasing
agreements in Indonesia commonly have an international or cross-border
characteristic, making it a scope of study in Private International Law (PIL). PIL
aspects analysed in the thesis includes personal status of legal entities, recognition
and enforcement of court judgments, choices of law and forum in a cross-border
commercial agreement. This thesis adopts a normative method for research. This
thesis also includes a comparison of Indonesian Law and the UNIDROIT Model Law
on Leasing and its? implementation in international leasing contracts in Indonesia."
Universitas Indonesia, 2012
S43674
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Carolus Bitho Wirawan
"Pemenuhan kebutuhan akan sarana transportasi udara tentu menjadi sangat penting. Salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan transportasi udara ini adalah dengan melakukan sewa pesawat. Untuk memberikan suatu proteksi kepada pemberi sewa agar aman untuk menyewaan pesawatnya lintas negara maka Cape Town Convention on International Interest in Mobile Equipment memberikan suatu upaya pemulihan yang dikenal sebagai tindakan sementara. Tindakan sementara ini merupakan suatu upaya pemulihan yang dapat dimintakan sebelum putusan final diberikan saat terjadi cidera janji. Permasalahan yang muncul dalam perkara tindakan sementara ini adalah forum manakah yang berwenang untuk mengadili tindakan sementara ini. Penelitian ini menyajikan penjelasan (i) Bagaimana kewenangan pengadilan terhadap tindakan sementara berdasarkan Hukum Perdata Internasional Indonesia. (ii) Bagaimana pertimbangan hakim di pengadilan Indonesia dalam kewenangan pengadilan dalam menetapkan permohonan kasus tindakan sementara. Dengan metode penelitian doktrinal serta dengan pendekatan kualitatif, dapat diambil kesimpulan bahwa: Pertama, pengertian mengenai tindakan sementara sendiri berbeda dalam Cape Town Convention on International Interest in Mobile Equipment dan dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 2009 tentang Penerbangan. Kedua, berdasarkan HPI Indonesia untuk menentukan kualifikasi mana yang tepat maka hakim seharusnya menggunakan lex fori berdasarkan Hukum Perdata Internasional Indonesia terkhusus mengikuti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2009 tentang Penerbangan. Oleh karena itu dalam hal ini forum yang berwenang adalah pilihan forum para pihak.

Meeting the need for air transportation is certainly very important. One way to address this need is by renting a plane. To provide protection to lessors and ensure the safety of renting aircraft across countries, the Cape Town Convention on International Interest in Mobile Equipment offers a remedy known as interim measures. This interim measure serves as a remedy that can be sought before a final decision is made when a breach of contract occurs. The challenge that arises in this interim measure case is determining which forum has the authority to adjudicate this matter. This research aims to provide an explanation of two key aspects: (i) How the court exercises authority over interim measure based on the Indonesian Private International Law. (ii) How judges in Indonesian courts consider the court's authority when deciding on requests for interim measure. Employing doctrinal research methods and a qualitative approach, the study concludes that: First, the definition of interim measure differs between the Cape Town Convention on International Interest in Mobile Equipment and Law Number 1 of 2009 concerning Aviation. Second, based on the Indonesian HPI, judges should determine the appropriate qualifications by using lex fori based on Indonesian Private International Law, specifically following Law Number 1 of 2009 concerning Aviation. Therefore, in this case, the authorized forum is the forum chosen by the parties."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Aulia Gislir
"[Pemberian kredit oleh perbankan membutuhkan dukungan kepastian hukum yang
setidaknya meliputi kepastian mengenai bentuk pengikatan jaminan yang dapat
dilakukan, kelengkapan lembaga yang mendukung pelaksanaan pengikatan
jaminan tersebut, kedudukan bank selaku kreditor pemegang jaminan, Pokok
permasalahan yang dibahas adalah bagaimanakah kedudukan kreditor dalam
pembebanan kepentingan internasional atas obyek pesawat udara yang timbul
akibat perjanjian pemberian hak jaminan kebendaan, serta bagaimanakah
perlindungan terhadap kreditor pemegang kepentingan internasional atas obyek
pesawat udara yang timbul akibat perjanjian pemberian hak jaminan kebendaan.
Penulisan Tesis ini menggunakan penelitian yuridis normatif dengan data
sekunder sebagai sumber data utama yang diperoleh melalui studi kepustakaan.
Dalam melakukan analisa, sumber hukum primer utama yang digunakan adalah
Undang-undang Nomor 1 tahun 2009 tentang Penerbangan, Kitab Undang-undang
Hukum Perdata (Burgerlijke Wetboek), Undang-undang Nomor 4 tahun 1996
tentang Hak Tanggunan Atas Tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan
Dengan Tanah, Undang-undang Nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia,
Walaupun UU Penerbangan telah menyatakan bahwa pembebanan kepentingan
internasional atas obyek pesawat udara yang timbul dari perjanjian pemberian hak
jaminan kebendaan menimbulkan hak prioritas kepada penerimanya, pengaturan
dalam UU Penerbangan masih menimbulkan pertanyaan mengenai kedudukan
kreditor yang menerima pembebanan kepentingan internasional tersebut untuk
menjamin utang atau kredit yang diberikannya, karena peraturan perundangundangan
tidak memberikan penjelasan mengenai bentuk hak jaminan kebendaan
yang dapat digunakan dalam perjanjian pemberian hak jaminan kebendaan
berdasarkan UU PenerbanganPenulisan Tesis ini memiliki tujuan untuk
memperoleh jawaban atas permasalahan-permasalahan tersebut
The extension of credit by banks, requires the support of at least the legal
certainty which includes certainty about the form of security that can be
exercised, the avalibility of institutions that support the implementation of the
execution of the security, the position of the bank as creditor holders of collateral,
The subject matter discussed herein, is how the position of creditors in the
imposition of international interest on aircraft object arising from the security
agreement, as well as how is the protection of the interests of creditor as the
holders of international interest againts aircraft arising from the security
agreement. The wiriting of this thesis use a normative juridical research approach
with secondary data as the primary data source obtained through library
research. In conducting the analysis, the main source of primary law used is Law
No. 1 of 2009 on Aviation, Code of Civil Law (Burgerlijke Wetboek), Law No. 4 of
1996 on the Hak Tanggungan, Law No. 42 of 1999 on Fiduciary, Although the
Aviation Law has stated that the imposition of international interest on aircraft
object arising from the security agreement granting the right of priority to the
recipient, the regulation in the Aviation Law still raises questions about the
position creditors who receive the imposition of international interest arising from
security agreement for guaranteeing a debt or credit that it provides, because the
legislation does not define the form of security interest that might be used in the in
the security agreement under the Aviation Law. The writing of this thesis has the
aim to obtain answers to these problems. , The extension of credit by banks, requires the support of at least the legal
certainty which includes certainty about the form of security that can be
exercised, the avalibility of institutions that support the implementation of the
execution of the security, the position of the bank as creditor holders of collateral,
The subject matter discussed herein, is how the position of creditors in the
imposition of international interest on aircraft object arising from the security
agreement, as well as how is the protection of the interests of creditor as the
holders of international interest againts aircraft arising from the security
agreement. The wiriting of this thesis use a normative juridical research approach
with secondary data as the primary data source obtained through library
research. In conducting the analysis, the main source of primary law used is Law
No. 1 of 2009 on Aviation, Code of Civil Law (Burgerlijke Wetboek), Law No. 4 of
1996 on the Hak Tanggungan, Law No. 42 of 1999 on Fiduciary, Although the
Aviation Law has stated that the imposition of international interest on aircraft
object arising from the security agreement granting the right of priority to the
recipient, the regulation in the Aviation Law still raises questions about the
position creditors who receive the imposition of international interest arising from
security agreement for guaranteeing a debt or credit that it provides, because the
legislation does not define the form of security interest that might be used in the in
the security agreement under the Aviation Law. The writing of this thesis has the
aim to obtain answers to these problems. ]"
Universitas Indonesia, 2015
T43958
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muthia Sekar Saraswati
"Mobilitasnya yang tinggi dan kemampuan menempuh jarak jauh lebih cepat dibandingkan transportasi lainnya adalah beberapa alasan yang membuat pesawat menjadi mode transportasi yang penting sekarang ini. Secara ilmiah, dengan alasan tersebut, pesawat dapat dikategorikan sebagai benda bergerak, begitu juga konvensi internasional terkait pesawat mengaturnya. Namun undang-undang di Indonesia menyatakan sebaliknya. Meskipun dianggap sebagai benda tidak bergerak, jaminan hipotek atas pesawat tidak lagi berlaku sejak berlakunya UU No. 1/2009 tentang Penerbangan, yang menyatakan jaminan atas pesawat adalah kepentingan internasional sebagaimana diatur dalam Cape Town Convention. Akan tetapi, kepentingan internasional ini tidak diakui dalam hukum jaminan yang berlaku di Indonesia, sehingga jaminan atas pesawat di Indonesia menjadi tidak pasti. Selain itu, benda terdaftar juga belum diakui di Indonesia, sehingga prinsip lex rei sitae berkembang dan memunculkan prinsip lex registri. Meskipun tidak diatur dalam suatu ketentuan hukum tersendiri, lex registri sudah diakui di Indonesia. Dengan mendaftarkan pesawat untuk dapat beroperasi dan terbang di, dari, dan ke Indonesia sudah secara implisit menghadirkan situs artifisial bagi pesawat. Sehingga dalam skripsi ini akan membicarakan tentang status kebendaan pesawat yang akan mempengaruhi hukum yang akan berlaku terhadap pesawat, sekaligus perkembangan dari cara penentuannya.Mobilitasnya yang tinggi dan kemampuan menempuh jarak jauh lebih cepat dibandingkan transportasi lainnya adalah beberapa alasan yang membuat pesawat menjadi mode transportasi yang penting sekarang ini. Secara ilmiah, dengan alasan tersebut, pesawat dapat dikategorikan sebagai benda bergerak, begitu juga konvensi internasional terkait pesawat mengaturnya. Namun undang-undang di Indonesia menyatakan sebaliknya. Meskipun dianggap sebagai benda tidak bergerak, jaminan hipotek atas pesawat tidak lagi berlaku sejak berlakunya UU No. 1/2009 tentang Penerbangan, yang menyatakan jaminan atas pesawat adalah kepentingan internasional sebagaimana diatur dalam Cape Town Convention. Akan tetapi, kepentingan internasional ini tidak diakui dalam hukum jaminan yang berlaku di Indonesia, sehingga jaminan atas pesawat di Indonesia menjadi tidak pasti. Selain itu, benda terdaftar juga belum diakui di Indonesia, sehingga prinsip lex rei sitae berkembang dan memunculkan prinsip lex registri. Meskipun tidak diatur dalam suatu ketentuan hukum tersendiri, lex registri sudah diakui di Indonesia. Dengan mendaftarkan pesawat untuk dapat beroperasi dan terbang di, dari, dan ke Indonesia sudah secara implisit menghadirkan situs artifisial bagi pesawat. Sehingga dalam skripsi ini akan membicarakan tentang status kebendaan pesawat yang akan mempengaruhi hukum yang akan berlaku terhadap pesawat, sekaligus perkembangan dari cara penentuannya.

High mobility and ability to reach far destination in a short span of time compared to other transportation modes are some of the reasons as to why airplane is becoming significant in modern life. Scientifically speaking, with the same reasoning, an aircraft can be categorized as a movable object. International conventions regarding airplane assumes the same. However, recurring Indonesian regulation states the otherwise. Even though aircraft is considered immovable object in Indonesia, mortgage upon an aircraft no longer prevails after Aviation Act 2009 puts into force, in which stated security rights of an aircraft is international interest as defined in Cape Town Convention. Even though recognized, the form of international interest is not known under any security rights in Indonesia, which makes security rights of an aircraft is not yet determined. Other than that, registered object is not yet recognized in Indonesia. This leads lex rei sitae enforcability developed into lex registri and is now applicable to registered ones. By registering the airplane in Indonesia in order to be able to operate and fly in, from, and to Indonesian air territory, lex registri has been acknowledged, though implicitly, and this leads an aircraft to have artificial situs. This article will discuss about property law aspects of an aircraft and its effect on applicable law towards an aircraft, as well as development of determinating manner of the applicable law."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anggrita Sudrajiningrum
"[ABSTRAK
Kegiatan Leasing pesawat terbang merupakan salah satu kepentingan
internasional. Hampir semua maskapai penerbangan di Indonesia menggunakan
leasing dalam pembiayaan pesawat terbang. Di Indonesia pengaturan mengenai
leasing pesawat terbang kurang memadai. Dengan adanya Model Law on Leasing,
UNIDROIT Convention on International Financial Leasing dan Cape Town
Convention on International Interests in Mobile Equipment diharapkan dapat
mempermudah para pihak untuk melakukan kegiatan leasing pesawat terbang.
Dalam penelitian ini, akan membahas mengenai perbandingan peraturan leasing
pesawat terbang di Indonesia dengan Konvensi Model Law on Leasing,
UNIDROIT Convention on International Financial dan Cape Town Convention
on International Interests in Mobile Equipment sehingga metode penelitian yang
digunakan ialah perbandingan dan peraturan perundang-undangan serta jenis
penelitian yang digunakan yaitu penelitian yuridis normatif.
ABSTRACT
Aircraft leasing is one of the international interests. Almost all of Indonesian
airline use leasing of aircraft financing. Indonesia doesn?t have any satisfy
regulation about aircraft leasing. Model Law on Leasing, UNIDROIT Convention
on International Financial Leasing and Cape Town Convention on International
Interests in Mobile Equipment are expected to facilitate the parties to engage in
aircraft leasing. This thesis will discuss about Comparative Law of Aircraft
Leasing Based on Indonesian Law with Model Law on Leasing, UNIDROIT
Convention on International Financial Leasing and Cape Town Convention on
International Interests in Mobile Equipment. The methods in this research are
comparative approach and statute approach and the type of this research is
normative juridical method.;Aircraft leasing is one of the international interests. Almost all of Indonesian
airline use leasing of aircraft financing. Indonesia doesn?t have any satisfy
regulation about aircraft leasing. Model Law on Leasing, UNIDROIT Convention
on International Financial Leasing and Cape Town Convention on International
Interests in Mobile Equipment are expected to facilitate the parties to engage in
aircraft leasing. This thesis will discuss about Comparative Law of Aircraft
Leasing Based on Indonesian Law with Model Law on Leasing, UNIDROIT
Convention on International Financial Leasing and Cape Town Convention on
International Interests in Mobile Equipment. The methods in this research are
comparative approach and statute approach and the type of this research is
normative juridical method., Aircraft leasing is one of the international interests. Almost all of Indonesian
airline use leasing of aircraft financing. Indonesia doesn’t have any satisfy
regulation about aircraft leasing. Model Law on Leasing, UNIDROIT Convention
on International Financial Leasing and Cape Town Convention on International
Interests in Mobile Equipment are expected to facilitate the parties to engage in
aircraft leasing. This thesis will discuss about Comparative Law of Aircraft
Leasing Based on Indonesian Law with Model Law on Leasing, UNIDROIT
Convention on International Financial Leasing and Cape Town Convention on
International Interests in Mobile Equipment. The methods in this research are
comparative approach and statute approach and the type of this research is
normative juridical method.]"
Universitas Indonesia, 2016
S61537
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gadis Azkarilla
"Codeshare agreement merupakan kontrak transportasi udara dimana suatu pengangkut memberikan izin kepada pengangkut kedua untuk menggunakan kode penanda penerbangannya dalam sebuah penerbangan, atau dimana dua pengangkut berbagi kode penanda penerbangan dalam suatu penerbangan. Dengan demikian, penumpang diangkut oleh perusahaan penerbangan yang bukan merupakan pihak yang diidentifikasikan dalam tiket penerbangan. Codeshare agreement melibatkan contracting carrier dan actual carrier yang dapat berbeda status personalnya, sehingga menimbulkan permasalahan di bidang Hukum Perdata Internasional. Praktik codesharing memungkinkan pengalihan tanggung jawab dari contracting carrier kepada actual carrier yang berpengaruh terhadap konsep dan sistem tanggung jawab pihak actual carrier dan pihak contracting carrier yang berlaku terhadap penumpang.

Codeshare agreement is an air transportation contract, by which one carrier permits a second carrier to use its airline designator code on a flight, or by which two carriers share the same airline code on a flight. Passengers actually fly on an airline other than the one identified on the ticket. The contracting carrier and the actual carrier might have different nationalities, which cause Private International Law issues. In the operation of codesharing, there might be a transfer of liability from the contracting carrier to the actual carrier, which give an impact regarding the concept and system of liability which will be applied towards passengers."
2014
S55546
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bella Ziva Nurmansyah
"Studi ini membahas perlindungan hukum yang diberikan pada ekspresi budaya tradisional, baik secara internasional maupun nasional, terutama terhadap penggunaan dan klaim komersial oleh pihak asing. Studi kasus tentang klaim dan penggunaan komersial oleh pihak asing pada ekspresi budaya tradisional ditinjau dari perspektif internasional hukum perdata untuk mengetahui hukum yang akan diterapkan jika peristiwa serupa terjadi di masa depan. Penelitian ini adalah studi literatur-normatif menggunakan data sekunder, dan dibantu dari wawancara dengan pihak terkait sebagai data pelengkap. Hasil penelitian menunjukkan bahwa regulasi ekspresi budaya tradisional di tingkat nasional dan ruang lingkup internasional sudah ada, tetapi belum dapat melindunginya sepenuhnya. Studi ini juga menunjukkan perlindungan hukum yang diberikan di tingkat nasional dan nasional tingkat internasional belum efisien hukum perdata internasional dapat digunakan dalam menentukan hukum yang digunakan dalam menyelesaikan perselisihan.

This study discusses the legal protection given to traditional cultural expressions, both internationally and nationally, especially against commercial uses and claims by foreign parties. Case studies of claims and commercial use by foreign parties on traditional cultural expressions are reviewed from an international perspective on civil law to find out which laws will be applied if similar events occur in the future. This research is a literature-normative study using secondary data, and is assisted from interviews with related parties as supplementary data. The results showed that regulation of traditional cultural expression at the national level and international scope already existed, but could not protect it fully. This study also shows that legal protection provided at the national level and at the national level has not been efficient. International civil law can be used in determining the law used in resolving disputes."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Salsabilah Shafa
"Perceraian dari perkawinan di luar negeri dan perkawinan campuran internasional dapat dikatakan sebagai perceraian dengan unsur asing. Dalam perkara perceraian dengan unsur asing ini jika ditinjau dari segi HPI memiliki persoalan pokok yang menyangkut pada penentuan hukum yang berlaku serta kewenangan mengadili dari sebuah forum. Dalam prakteknya, ketika perkara perceraian yang melibatkan unsur asing diajukan di hadapan pengadilan Indonesia, maka hukum yang digunakan dalam perkara-perkara perceraian tersebut selama ini adalah lex fori, yakni hukum Indonesia. Sementara itu, dengan adanya perbedaan hukum yang mengatur perceraian serta forum tempat mengadili perceraian yang mungkin berbeda dengan hukum dan forum perkawinan menyebabkan permasalahan perceraian dengan unsur asing menjadi kompleks, Penelitian ini akan membahas serta menganalisis mengenai pertimbangan hakim terhadap forum yang berwenang dan lex fori sebagai hukum yang berlaku dalam perkara-perkara perceraian di Indonesia yakni Putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat Nomor 0304/Pdt.G/2014/PA.JP, Putusan Pengadilan Agama Tangerang Nomor Register Perkara 1978/Pdt.G/2017/PA.Tng.Nomor, dan Putusan Pengadilan Negeri Singaraja Nomor 449/Pdt.G/2015/PN.Sg. Penelitian ini akan mengaitkan pertimbangan-pertimbangan tersebut dengan teori-teori HPI.

Divorce from marriage abroad and international mixed marriage in Indonesia can be considered as divorce with foreign elements. In the case of divorce with foreign elements, if viewed from the Private International Law (PIL) point of view, has the main problem concerning the determination of the applicable law and the competent to adjudicate from a forum. In practice, when cases such as divorce with foreign elements are presented before an Indonesian court, then the law used in divorce cases so far is lex fori, specifically Indonesian law. In fact, due to the differences of the laws governing divorce as well as forums where the divorce proceedings may be different from the law and marriage forums, the problem of divorce with foreign elements becomes complex. This research will discuss and analyze the judges' consideration of the authorized forum and lex fori as the applicable law in the case of Central Jakarta Religious Court Decision Number 0304 / Pdt.G / 2014 / PA.JP, Tangerang Religious Court Decision Case Registration Number 1978 / Pdt.G / 2017 / PA.Tng, and Singaraja District Court Decision Number 449 / Pdt.G / 2015 / PN.Sg. This research will correlate these considerations with PIL theories."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dimas Aqshal Indratta
"Perkawinan campuran terjadi terutama di Arab Saudi dan Malaysia, tempat banyak pekerja Indonesia bekerja. Dokumentasi pernikahan terkadang diabaikan. Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU 1 Tahun 1974 menyatakan, “Perkawinan adalah sah jika dilakukan menurut hukum masing-masing agama” dan “Setiap perkawinan didokumentasikan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Pasal 2 ayat 1 dan 2 tidak dapat dipisahkan; perkawinan agama dapat dilakukan walaupun tidak memenuhi alinea kedua. Perkawinan membutuhkan hukum agama dan keyakinan serta kriteria administratif melalui proses dokumentasi. Aturan dan prosedur dokumentasi pernikahan yang rumit, ketidaktahuan masyarakat tentang hukum pernikahan Indonesia, dan Kefektifan upaya pemerintah untuk mensosialisasikan dokumentasi pernikahan memperburuk hal ini. Perkawinan ini menyakiti istri dan anak-anaknya. Untuk mempelajari topik tersebut, wawancara serta undang-undang, dan peraturan dilakukan. Penulis ingin mengkaji tentang status hukum anak yang lahir dari perkawinan yang tidak dicatatkan dalam bentuk skripsi yang berjudul “STATUS HUKUM ANAK DARI PERKAWINAN CAMPURAN YANG TIDAK DI DOKUMENTASI DALAM PERSPEKTIF HUKUM PERDATA INTERNASIONAL INDONESIA”.

Mixed marriages happened especially in Saudi Arabia and Malaysia, where many Indonesian workers works. Marriage documentation is sometimes overlooked. Article 2 paragraphs (1) and (2) of Law 1 of 1974 state, "Marriage is valid if performed according to each faith's laws" and "Each marriage is documented according to applicable laws and regulations." Article 2 paragraphs 1 and 2 are inseparable; a religious marriage can be performed even if it doesn't meet the second paragraph. Marriage requires religious law and belief as well as administrative criteria through the documentation process. Complex wedding documentation regulations and procedures, public ignorance of Indonesian marriage law, and the government's effort to socialize marriage documentation exacerbated this. These marriages hurt the wife and her children. In order to study about the topic, interviews as well as laws, and regulations are conducted. The author wants to examine the legal status of children born from unrecorded marriages in the form of a thesis entitled "LEGAL STATUS OF CHILDREN FROM UNDOCUMENTED MIXED MARRIAGES IN THE PERSPECTIVE OF INDONESIAN PRIVATE INTERNATIONAL LAW"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>