Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7370 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Groenendael, Victoria M. Clara van
"Much of the storytelling in Java is profession of the puppeteers (dalang; also spelled dhalang) who perform and direct shadow theatre plays (wayang). They improvise their stories in the context which their performance requires. Unless commissioned to do so by a patron, it is very unusual for a dalang to sit down and actually write out a story (lakon). In the early decades of the twentieth century in the area of Yogyakarta, a kind of storytelling mini-industry arose at the instigation of some western scholarly patrons and laymen interested in Javanese popular culture. One such patron was Ir. J. L. Moens. He encouraged dalangs to write down folk tales and, as they were dalangs, they clothed these in the wayang idiom. After Moen's death in 1954, his unpublished collection of wayang stories was dispersed. In 1964 one part found its way into the Leiden University Library. The topic discussed are: how the Collectie Moens originated and what its purpose was; who its authors were; which tradition they acknowledged; and the relationship between the Collectie Moens and the court collections of Surakarta and Yogyakarta."
Depok : Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2016
909 UI-WACANA 22:3 (2021)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Groenendael, Victoria M. Clara van
"Much of the storytelling in Java is the profession of the puppeteers (dalang; also spelled dhalang) who perform and direct shadow theatre plays (wayang). They improvise their stories in the context which their performance requires. Unless commissioned to do so by a patron, it is very unusual for a dalang to sit down and actually write out a story (lakon). In the early decades of the twentieth century in the area of Yogyakarta, a kind of storytelling mini-industry arose at the instigation of some western scholarly patrons and laymen interested in Javanese popular culture. One such patron was Ir. J.L. Moens. He encouraged dalangs to write down folk tales and, as they were dalangs, they clothed these in the wayang idiom. After Moens? death in 1954, his unpublished collection of wayang stories was dispersed. In 1964 one part found its way into the Leiden University Library. The topics discussed are: how the Collectie Moens originated and what its purpose was; who its authors were; which tradition they acknowledged; and the relationship between the Collectie Moens and the court collections of Surakarta and Yogyakarta."
Depok: Faculty of Humanities University of Indonesia, 2016
909 UI-WACANA 17:3 (2016)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Kanti W. Walujo
Jakarta: Direktorat Publikasi Ditjen Pembinan Pers Dan Grafika Departemen Penerangan, 1994
791.538 Wal p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
"Naskah ini merupakan salinan yang berisi dua adegan peperangan yang dipetik dari siklus cerita Rama. Naskah disalin oleh Sumahatmaka pada tahun 1937. Bagian pertama berisi cuplikan tentang gugurnya Indrajit, Dasamuka, dan Dewi Sinta, disalin dari MSB/L.47. Bagian kedua tentang Prabu Parajana Manimantaka beradu dengan para Pandhawa, mungkin disalin dari MSB/L.296, pupuh 4. Bandingkan dengan FSUI/CP.63 yang merupakan ringkasan dari teks bagian pertama naskah ini."
[Place of publication not identified]: [publisher not identified], [date of publication not identified]
CW.1-A 40.07
Naskah  Universitas Indonesia Library
cover
"Naskah Lampahan Jaka Pramana ini merupakan salinan dari pertunjukan wayang yang dipentaskan di Ambarukma pada tanggal 25 Desember 1929, bertepatan dengan hari kelahiran Ratu Kencana. Penyalinan dikerjakan pada Januari 1930 sebanyak dua eksemplar. Kedua eksemplar itu kini tersimpan dalam koleksi FSUI dengan kode A 19.03a dan A 19.03b (tembusan karbon). Hanya ketikan asli yang dimikrofilm. Cerita lakon ini secara ringkas adalah sebagai berikut: Prabu Jayalengkara atau Sri Kandhilawan, raja di negara Medhangkamulan/Purwacarita menggantikan kedudukan Sri Mapanggung II. Sri Mapunggung II kemudian berganti nama menjadi Prabu Bagawan Jayabaya. Prabu Jayalengkara berputra Retna Pambayun, Arya Parijata, Arya Jaka Wida, Arya Suwita, dan Arya Lembu Subrata. Jaka Santa dan adiknya yang masih saudara sepupu bernama Jaka Jarudi. Keduanya cacat dan senang menembang. Setelah sampai waktunya mereka menghadap kakeknya Sri Manuhun. Prabu Manuhun di Pagelen dihadap putranya. Mereka sedang membicarakan adiknya yang bernama Prabu Sri Kala di Prambanan, yang tidak hadir di Purwacarita karena berburu di hutan bersama kedua putranya, yairu Jaka Sangkala dan Jaka Makala. Jaka Sangkala dikutuk oleh ayahnya menjadi banteng, sedangkan Jaka Sakala menjadi burung tiung. Mereka menyesal dan minta ampun. Keduanya lalu dianjurkan bertapa. Jaka Sangkala yang berwujud banteng diminta agar menolong orang-orang yang menyangga beban berat. Jaka Makala yang berwujud burung tiung diminta agar menolong orang dengan perkataannya. Jaka Pramana didatangi oleh Jaka Prasanta dan Jaka Jarudi. Jaka Prasanta dan Jaka Jarudi mengimbau agar Jaka Pramana mau menghadap ayahnya, karena sudah lama tidak menghadap. Ia kemudian pergi ke hutan sekaligus mencari burung tiung kesenangannya, tetapi tidak diutarakannya. Di tengah hutan bertemu para raksasa. Terjadi peperangan berakhir dengan tewasnya prajurit raksasa. Kyai Cemporet mengasuh buyut yang bernama Jaka Kulampis, dan cucu bernama Rara Kumenyar. Ia bercerita pada istrinya bahwa ketika menyabit rumput di desa Babadan, ada banteng dan burung tiung yang dapat berkata seperti manusia, banyak kepandaiannya. Desa Babadan dapat menjadi lebih makmur karena keduanya. Tersebutlah Raden Jaka Makala yang berbentuk menco bertapa di dekat Dukuh Babadan. Ia mendapat bisikan dari dewa agar menghadap kakak sepupunya yaitu Raden Jaka Pramana agar segera berjalan ke Pagelen dan hendaknya berganti nama menjadi Jamang. Jamang kagum akan kecantikan Rara Kumenyar yang sedang tidurmakemudian bersenandung. Rara Kumenyar terbangun dan melihat ke kanan kiri, tetapi tak ada orang. Rara Kumenyar mengira bahwa itu adalah suara peri parayangan. Jamang hinggap di para-para dan berkata kalau ia yang bersuara. Rara Kumenyar baru yakin kalau ada binatang yang dapat berlaku seperti manusia. Tak lama kemudian Jamang pulang dan berjanji akan kembali. Jamang bercerita kepada Raden Jaka Pramana tentang Rara Kumenyar. Mendengar ceritanya, Jaka Pramana jatuh hati pada Rara Kumenyar. Suatu hari Jamang disuruh membawa cincin manik arja kepada Rara Kumenyar dan dipesan agar segera terbang ke langit. Jamang menyerahkan cincin pemberian tuannya kepada Rara Kumenyar. Setelah diperiksa tampak seorang satria. Lama ia tak berkata-kata. Kemudian cincin diusap-kan pada wajahnya, maka gambaran Jaka Pramana hilang dan berganti menjadi Rara Kumenyar. Rara Kumenyar menyesal, menangis, dan pingsan, jatuh di batu. Jamang pulang ke hutan kembali, bertemu dengan dua burung tiung, di mana yang satu pernah dipelihara orang dan yang lain belum. Jamang berkata-kata dengan mereka memakai bahasa burung tiung. Ketiganya kemudian menghadap Jaka Pramana. Jaka Pramana melepas cincin yang terikat pada leher Jamang dan terlihat wajah Rara Kumenyar. Kedua burung tiung tersebut kemudian diberi nama Cundhuk dan Sumping. Cincin kemudian diusapkan ke wajahnya kembali, dan terlihat mereka berdua. Jamang disuruh segera ke Babadan kembali dan menyerahkan akar beringin pada Kyai Cemporet agar ditanam di wilayah desa Babadan. Akar beringin ditanam hingga membuat para nahkoda bingung untuk keluar dari Babadan dan akhirnya menetap. Babadan kemudian menjadi kota yang ramai dan semakin makmur. Prabu Sri Manuhun dihadap Raden Jaka Pratama dan Raden Jaka Sengara. Prasanta dan Jarudi disuruh Raden Jaka Pramana menyampaikan pesan pada Sri Manuhun. Sri Manuhun melihat ada dua ekor burung tiung yang bermain di istana, lalu dipanah, yang satu mati dan yang lain terbang. Jaka Pramana marah dan segera mendatangi Babadan. Jaka Sangkala, putra raja Prambanan yang berwujud banteng mendapat bisikan dewa agar menghadap kakaknya Jaka Pramana. Sewaktu ia menolong orang yang membawa beban berat, ia bertemu dengan adiknya yang berwujud burung tiung. Kyai Cemporet dihadap istrinya. Kemudian datang dua burung tiung dengan banteng menyampaikan permohonan agar Rara Kumenyar bersedia menikah dengan tuannya Jaka Pramana, putra raja di Bagelen. Sri Sadana di Jepara mendengar berita kalau Kyai Cemporet mempunyai menantu. Prabu Sri Kala di Prambanan menyuruh Patih Anirpringga mencari anaknya yang berubah bentuk dan sekarang sedang bertapa. Raden Jaka Pramana menjadi raja di negara Cengkalsewu/Mendhangsewu bergelar Prabu Dewasraya. Kemudian datang Raden Jatiwisesa, putra raja di Majagaluh yang mengembara karena diusir ayahnya, karena ingin menundukkan Prabu Dewasraya. Kemarahan Jatiwisesa dihadapi burung tiung dan banteng. Akhirnya burung tiung dan banteng dipanah, dan berubah menjadi manusia. Keterangan bibliografl lihat SMP/KS.313. Tentang daftar lakon wayang madya selengkapnya lihat FSUI/WY.79."
[Place of publication not identified]: [publisher not identified], [date of publication not identified]
WY.53-A 19.03a
Naskah  Universitas Indonesia Library
cover
"Naskah ini berisik teks sejumlah adegan dari berbagai cerita wayang krucil dan wayang purwa, dimulai dari cerita Damarwulan, episode Menak Jingga Bali sampai dengan cerita lahirnya Retnagawa, dan setiap adegan diberi judul."
[Place of publication not identified]: [publisher not identified], [date of publication not identified]
WY.14-KS 61
Naskah  Universitas Indonesia Library
cover
Hazeu, G.A.J. (Godard Arend Johannes)
"Buku ini berisi tentang pertunjukan yang mempergunakan sarana wayangan. Pembuatan wayang purwa, wayang gedog beserta perlengkapannya. Umur wayang purwa, asal mula wayang purwa, asal usul wayang, pertunjukan topeng, pertunjukan wayang beber. Bab kemajuan pengetahuan tontonan wayang di kemudian hari."
Semarang: H.A. Benjamin, 1914
BKL.0282-WY 10
Buku Klasik  Universitas Indonesia Library
cover
"Naskah terdiri atas beberapa teks, yaitu: 1. Kawruh padhalangan: bagian 4 bab ringgitan. Menurut keterangan pada halaman depan, teks ini merupakan teks asli berasal dari sekolah padhalangan di Musiyum Sri Wedari Surakarta. Miliknya Rd. Jayasuwarna di Jagalan, Surakarta tanggal 2 Januari 1865 atau tahun Masehi 17 April 1934. Halaman 1 s/d 24 berisi tentang peralatan pagelaran panggung, mantra, alat musik gamelan; 2. Halaman 25--37 berisi tentang sususnan nama raja-raja di Kerajaan Surakarta; 3. Halaman 39?47 berisi serat wedhatama, sejarah tanah Jawa berdasarkan cerita; 4. Halaman 49?55 berisi tentang jangka Jayabaya, murka Allah terhadap tanah Jawa. Pada teks ini disebut-sebut pula tokoh Sang Hyang Semar dan Sang Hyang Togog. Menurut keterangan di akhir teks, teks berasal dari Kitab Mukarar. Daftar pupuh sebagai berikut: 1. Sinom; 2. Gambuh; 3. Dhandhanggula; 4. Sinom; 5. Kinanthi; 6. Sinom; 7. Pangkur."
[Place of publication not identified]: [publisher not identified], [date of publication not identified]
WY.16-KS 94
Naskah  Universitas Indonesia Library
cover
Surakarta: Institut Seni Indonesia, 2007
819 TEO
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Aris Dwi Saputro
"ABSTRAK
Skripsi ini merupakan penelitian terhadap naskah koleksi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia yang berjudul Serat Dewa Ruci Muruhita Sari dengan nomor koleksi KBG 917. Penelitian pada naskah tersebut bertujuan untuk menghasilkan suntingan teks supaya dapat dipahami oleh masyarakat pada umumnya. Metode penelitian Filologi yang diterapkan pada naskah tersebut adalah Metode Naskah Tunggal dan disunting menggunakan edisi standar. Naskah ini berisi tentang ajaran-ajaran moral yang digambarkan melalui tokoh Warkudara dan petuah-petuah yang diwejangkan Dewa Ruci dalam naskah ini. Teks pada naskah ini ditulis dalam bentuk macapat yang terdiri dari 8 pupuh, sedangkan metrum yang digunakan antara lain Pangkur, Dhandhanggula, Sinom, dan Durma.

ABSTRACT
This research focuses on PNRI (national library of Indonesia) manuscript collection with a title Serat Dewa Ruci Muruhita Sari, manuscript collection number KBG 917. The aim of this research is transliterating of Javanese letters manuscripts in to Latin letters in order to be understood by public in general. The critical method of philology study that was applied on the manuscript is standard edition. This text contains moral values which are illustrated by figures of Warkudara and the sermons of Dewa Ruci. The text form is macapat (traditional Javanese poem) that consists of eight stanzas, while poetic meters that used are namely Pangkur, Dhandhanggula, Sinom, and Durma.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2016
S64829
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>