Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 182317 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Budi Setiawan
"Program-program pembangunan nasional jangka panjang dua puluh lima tahun pertama telah berlalu dan kini mulai memasuki dua puluh lima tahun kedua, telah membawa dampak perubahan masyarakat dan kebudayaan yang cukup berarti. Perubahan tersebut dapat dibedakan antara wilayah perkotaan dan pedesaan , hal ini terjadi karena dalam hal penerimaan dan tanggapan masyarakat dan kebudayaan setempat.
Untuk masyarakat dan kebudayaan di pedesaan yang masih berciri tradisi onal, dorongan untuk berubah lebih dikarenakan oleh faktor dari luar dari pada dorongan yang berasal dari dalam masyarakat dan kebudayaan setempat. Akibatnya perrnasalahan yang berlangsung akan lebih merupakan kekacauan atau disorganisasi pada sistem sosial dan sistem budayanya. Hal ini meru pakan suatu adaptasi sistem untuk mencapai keseirnbangan baru. Sebagaimana komuniti Islam di desa Pegayaman , Kecarnatan Sukasada, kabupaten Buleleng, Dati I -Bali .
Disamping dorongan kuat dari p rogram-program pernbangunan melalui pemerintahan desa, dorongan perubahan yang berasal dari dalam kumuniti itu sendiri mendesakkan adanya suatu perubahan adaptif dari bertambahnya komposisi dan jumlah penduduk yang berakibat terjadinya perubahan struktur pemilikkan atas lahan perkebunan dan sawah-ladang mereka. Keadaan tersebut terjadi karena tradisi waris yang masih tetap berlangsung, sementara luas lahan tidak pernah bertambah.
Kombinasi dorongan perubahan dari luar maupun dari dalam tersebut berdampak secara lebih jauh dalam kehidupan politik lokalnya, sebagai sub--sistem politik nasional yang berkaitan dengan kehidupan ekonomi subsisten. Sehingga setiap akses ke arah perbaikan mutu kehidupan menjadi peluarig-peluang yang kompetitif. Selanjutnya kelompok-kelornpok kepentingan diantara bilarga, komuniti terbentuk dalarn upayanya memperebutkan sumber-sumber daya alarn dan sosial-budaya yang terbatas.
Keberadaan setting komuniti Islam di desa Pegayarnan sebagai minonitas dari mayonitas komuniti-komuniti Hindu memang berkaitan erat dengan sejarah masuknya agama Islam di Buleleng khususnya dan Bali pada umumnya. Aspek kesejarahan ini mempengaruhi cmi kebudayan yang berlaku dalam komuniti Islam di desa Pegayaman tersebut, yaitu agama (Islam) sebagai cetak bi ru hagi kehidupan meraka, sebagaimana yang terwujud melalui pranata--pranata sosialnya, tradisi dan upacara-upacara keagamaannya - Secara tersamar tetapi mantab sistem keyakinarinya itu menyelimuti etos dan pandangari hidup mereka, sebagaimana yang diperlihatkan dalam kehidupan sosial mereka sehani-hari.
Akhirnya hila ditil:ik dalam kehidupan .sosial mereka seharihari melaiui data empirik yang dikumpulkan dari penelitian ini, perrnasalahan disorganisasi sistem sosial dan sistem budaya mewarnai corak interaksi sosialnya (konflik dan integrasi). Semua hal itu ber1angsung tidak lain dalam rangka sebagai upaya-upaya atau strategi strategi untuk memenuhi kebutuhan-kebUtUhan hidup mereka, melalui berbagai perebutan akses pemenuhan kebutuhan-kebutuhan kehidupannya."
Depok: Universitas Indonesia, 1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sulaiman
Semarang: Balai Penelitian Aliran Kerohanian/Keagamaan, 1995
297 SUL p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Sjaich Mahmoud Sjaltout
Jakarta: Bulan Bintang, 1972
297 SJA f
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Sjaich Mahmoud Sjaltout
Jakarta: Bulan Bintang, 1972
297 SJA f
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Belanawane S.
"Pergeseran-pergeseran teoretis dalam studi antropologi pada beberapa dekade terakhir telah memberikan cara pengenalan yang diperbaharui dalam memandang isu identitas, yaitu bahwa kehidupan sosial, arena di mana identitas itu bermain, harus secara fundamental dipahami sebagai penegosiasian makna-makna (meanings). Di sinilah posisi pendekatan interpretatif Clifford Geertz menjadi penting sekaligus problematik.
Penting karena Geertz, menawarkan pendekatan humanis yang melihat bagaimana makna dan simbol itu menjadi penting dalam pandangan masyarakat itu sendiri. Karena itu menurutnya, interpretasi budaya membutuhkan analisis yang lebih mendalam, cerdas dan kompleks, yang mana maksud-maksud, bentuk-bentuk budaya yang kompleks itu tidak bisa begitu saja direduksi kepada efek-efeknya terhadap mesin dan organisme sosial seperti yang dikatakan oleh para sarjana strukturalis dan fungsionalis sebelum dia. Pada saat yang bersamaan ia juga problematik karena, posisi Geertz yang mencari makna membuat dia seperti mengabaikan atau meremehkan proses dalam hal bagaimana interaksi?arena di mana makna bekerja, itu diproduksi? Dalam hal ini, para pengkritiknya telah ?membantu? Geertz dengan mengingatkan akan apa yang disebut power relations.
Penelitian ini, dengan menggunakan analisis kekuasaan, di dalam discourse-discourse yang berkembang di antara bukan hanya masing-masing kelompok ke-Islaman?salafî di antaranya, tetapi juga aktor-aktor sosial lainnya yang memiliki kepentingan berbeda-beda, akan terjadi negosiasi-negosiasi yang masing-masingnya berangkat dari posisi kekuasaan yang berbeda. Melalui hubungan-hubungan kekuasaan inilah interaksi itu diproduksi, yang nantinya akan membentuk konstruksi makna tentang identitas.
Oleh karena itu, penulis menawarkan metode lain dalam memahami identitas, yaitu melalui konsep ?agency.? Melalui agency, ada cara untuk melihat perdebatan ini dari sisi pertengahan. Sisi yang bukan untuk menghilangkan signifikansi pengaruh Geertz dan juga bukan untuk mengabaikan signifikansi argumen pengkritiknya, namun menjembatani antara keduanya (meaning dan power relations). Upaya menjembatani teori ini melalui konsep agency, dengan begitu akan mencakup signifikansi salah satu pihak dan sekaligus memperbaiki insignifikansinya melalui kritik pihak yang lainnya, dan begitu juga sebaliknya.
The on-going theoretical shift in anthropology?s approaches in the last few decades has give somewhat a newly identifying methods in approaching the issue of identity, which is that the social life, arenas in which identity plays, must fundamentally understood as a negotiation of meanings. Here?s where Geertz?s interpretative approach became important and problematic in the same time.
Important because Geertz provides the so-called humanistic point of view that sees meanings and symbols became so much important in their own subjectivity. That being said, Geertz thinks that the cultural interpretations needs a more deep, clever, complexs analysis, where these particular complexs culture and intentions can not reduces into mere it?s effects to social machine and organism like what the structuralists, functionalists used to say before him. In the mean time, it?s also problematic because, Geertz position in search of meanings somehow makes him diminished the process in which how social interactions?arenas where meanings works, being reproduced. In this particular acpects, ?the Power scholars? critiques of Geertz helps to reminds Geertz himself (and eventually, us of course, the wider spectator of the debates) with the so-called ?power relations.?
That?s why through this research, author wants to provide a different methods in order to build a better understanding on the concept of identity, using the concept of ?agency.? With agency, there?s way to see this debates in a more middle, moderat view. View in which we?re not going to eliminate the Geertz significant impact, and at the same time, we?re also have the chance to make use of Geertzian critiques in a more broader, yet sharper context. This is also means that with agency, we?re able to embrace Geertzian significanties in a way, and fix their insignificanties through other?s critique in another way, and vice versa.
I have long been interested in the question of how people sustain a culturally meaningful life in situations of large-scale domination by powerful others. This ia a central theme for this research, where I discussed the ways in which Salafîs, despite having been greatly affect by centuries of intimate involvement in the ever-present debates about the co-called true representations of Islam?through discourses, nonetheless retain arenas of culturally ?authentic? life. By this I mean not that those arenas are untouched by the massive presence of ever-present theological-ideological debates between these various sects, but simply that they are shaped less by these sects encounter and more by the Salafîs? own social and political relations, and by their own culturally constituted intentions, desires, and projects. By quoting Ortner, we may shorthand this idea as a cultural life, or in a smaller contexts, an identity formation, ?on the margins of power.?
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2008
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Masjfuk Zuhdi
Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1993
297 ZUH s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Nasution, Harun
Jakarta: Bulan Bintang, 1975
297 NAS p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Alwi Shihab
Bandung: Mizan, 2001
297.09 ALW i
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Alwi Shihab
Bandung: Mizan, 2001
297.09 ALW i
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Ade Rina Farida
"Studi ini memfokuskan pada pemberitaan Islam liberal. Pemikiran Islam liberal melakukan konsolidasi diri di Indonesia pada awal 2001. Secara historis, ide-ide dasar wacana Islam liberal sebenarnya telah lama bersemi dalam bentang sejarah pemikiran Islam. Pada masa modern, fondasinya dimulai sejak awal abad ke-19. Sedangkan pada zaman klasik, ada yang berpendapat, benihnya telah muncul sejak Khalifah Umar bin Khattab pada abad ke-7.
Di Indonesia sendiri, Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid yang mulai tampil sebagai pemikir pembaharu pada tahun 1970-an, kerap dicatat sebagai "maskot" pemikiran jenis Islam liberal ini. Islam liberal berusaha mengembangkan pemikiran yang kritis, pluralis dan membawa misi pembebasan. Wacana Islam liberal belakangan kembali menggaung setelah berdirinya sebuah komunitas yang menamakan diri Jaringan Islam Liberal (JIL) pada Maret 2001. Jaringan ini lahir sebagai protes dan perlawanan terhadap dominasi Islam ortodoks. Kampanye Islam liberal dalam perjalannya kemudian mendapat penentangan dari kalangan lawan pemikirannya yang biasa disebut kalangan fundamentalis. Mereka menilai kampanye Islam Liberal sebagai upaya pengaburan Islam dengan dalih pluralisme.
Memanasnya kembali wacana Islam liberal tak luput dari sorotan media massa. Majalah Gatra dan Sabili secara intens memberitakannya dalam rubrik laporan utama dan laporan khusus. Perbedaan idiologi kedua majalah ini jelas terlihat dalam pemberitaanya. Majalah Gatra yang notabenenya sebagai majalah umum memposisikan wacana Islam liberal sebagai suatu hal yang wajar dalam ruang demokrasi sedangkan Sabili sebagi majalah yang menyuarakan aspirasi umat Islam memandang Islam liberal sebagai ancaman bagi kemurnian ajaran Islam.
Penelitian ini ingin menjawab pertanyaan: (1) bagaimana majalah Gatra dan Sabili memberitakan Islam liberal?(2) Landasan idiologis bagaimana yang melatarbelakangi pemberitaan majalah Gatra dan Sabili? Dan (3) Bagaimana perbedaan pemilihan isi berita oleh majalah Gatra dan Sabili yang berkaitan dengan pemberitaan Islam liberal? Penemuan tentang wacana Islam liberal dilakukan melalui analisis framing dengan konsep Gamson dan Modigliani.
Penelitian dilakukan terhadap 4 edisi majalah Gatra dan 5 edisi majalah Sabili, Periode Janurai 2001 sampai dengan Desember 2003, periode dimana Wacana Islam Liberal kembali hangat diberitakan media massa, seiring dengan dibentuknya Jaringan Islam Liberal (I L) sebagai wadah untuk menyalurkan ide-ide Islam liberal.
Dari analisis jelas terlihat bahwa majalah Gatra cenderung menyambut positif kehadiran ide-ide yang dibawa pemikiran Islam liberal. Hal ini dapat dilihat dari pemberitaanya pada edisi khusus lebaran, 6 Desember 2003: "Lepas dari beragam kontroversinya, bagaimanapun, ada segmen masyarakat tertentu yang membutuhkan Islam model Jaringan Islam Liberal dalam merawat spiritualitas mereka. Tentu mereka bukanhanya kalangan mualaf dan abangan, tapi juga para akademisi, peneliti, aktivis, dan mahasiswa yang berpikir kritis, pluralis, dan menjunjung kebebasan. Matra, biarkan Jaringan Islam Liberal melayani konstituennya."
Sedangkan majalah Sabili cenderung menganggap Islam liberal sebagai pemikiran berbahaya karena dapat mendangkalkan aqidah, mengancam kemurnian ajaran Islam, tidak memiliki orisinalitas, dan dipandang sebagai kelanjutan pembaharuan ide kaum sekuler seperti terdapat dalam tulisannya pada edisi Januari 2002: "Semangat dan kesadaran umat untuk menerapkan syari 'at Islam kini menghadapi tantangan serius dari Jaringan Islam Liberal. Meski dibungkus dengan kemasan "ilmiah " yang memukau sesungguhnya gagasan sekularisasi mereka sangat rapuh. Kesesatan dibalut kebebasan?".
Selain itu dari penggunaan tata bahasa dalam teks terlihat majalah Gatra cenderung menggunakan istilah apa adanya sedangkan majalah Sabili seringkali menggunakan kata-kata yang pejorative. Dari segi nara sumber yang dikutip terlihat majalah Gatra berusaha memenuhi etika jurnalistik untuk menurunkan berita yang cover both side, baik dari kalangan Islam liberal maupun konservati£ Tetapi Majalah Sabili banyak menyuarakan kalangan yang anti Islam liberal, walaupun ada yang pro Islam liberal porsinya sangat minim.
Dari segi ekonomi dan industri, Baik majalah Gatra maupun Sabili lahir dari perusahaan besar dan memiliki segmen pasar tertentu. Majalah Gatra sebagai majalah umum, memiliki segmen dari kalangan yang lebih bervariatif latar belakang idiologi pembacanya, sehingga berusaha tampil lebih dernokratis. Sedangkan majalah Sabili yang jelas memiliki misi sebagai majalah pergerakan dakwah yang professional dan inovatif dengan menampilkan keaslian dan keutuhan Islam ini, sangat wajar jika cenderung bersikap keras menentang hal-hal yang dianggap mengancam kemurnian ajaran Islam."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T12242
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>