Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 184195 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Anak Agung Ngurah Anom Kumbara
"ABSTRAK
Artikel ini hendak membahas hasil penelitian tentang : (1) potensi dan faktor konflik sosial, (2) mekanisme resolusi konflik sosial yang terjadi, dan (3) strategi pencegahan, penyelesaian, dan antipasi konflik sosial, agar tidak bersifat distruktif bagi masyarakat Kota Denpasar. Fenomenan konflik sosial di Kota Denpasar menarik untuk dikaji lebih mendalam karena Kota Denpasar menjadi kota metropolitan yang multietnik, ras dan budaya akibat perkembangannya sebagai pusat perdagangan, pariwisata, dan pendidikan. Pesatnya perkembangan tersebut, disamping memberikan dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi Kota Denpasar, juga telah menimbulkan tekanan, ketegangan sosiao-kultural, dan ekologis bagi masyarakat Kota Denpasar. Selain itu, semakin tidak terkendalinya pertumbuhan penduduk di Kota Denpasar akibat migrasi, juga menyebabkan semakin ketatnya persaingan antar penduduk lokal dengan pendatang, yang kemudian berpotensi besar sebagai sumber konflik. MEtode pengumpulan data ini dilakukan dengan observasi, wawancara mendalam, analisis dokumentasi, dan focus group discussion (FGD). Teknik analisis data dilakukan seacara kualitatif/interpretatif melalui siklus triangulasi, yakni reduksi data, pemaparan hasil dan verifikasi atau penarikan kesimpulan. Kerangka teori untuk analisis berdasarkan teori konflik dari Karl Max dan Ralf Dahrendorf. Melalui metode pengumpulan data dan teknik analisis tersebut, penelitian ini menemukan bahwa potensi dan faktor konflik sosial di Kota Denpasar menyangkut tiga aspek, yaitu suprastruktur ideologis, struktur sosial, dan infrastruktur material dalam seluruh ranah sistem sosiokultural masyarakat Kota Denpasar. Suprastruktur ideologis meliputi faktor agama, adat-istiadat, dan kepastian hukum. Faktor struktur sosial meliputi keberadaan dan perilaku ORmas dan faktor batas kewenangan antara banjar dinas dan adat dalam pengelolahan sumber daya. Faktor infrastruktur material meliputi aspek klaim wilayah dan batas wilayah, dan faktor kepentingan ekonomi. Mekanisme resolusi konflik sosial dilakukan melaui : paksaan/koresif, abitrasi, mediasi, negosiasi dan upaya antisipasi. Sedangkan medel kebijakan dalam penanggulangan konflik sosial dilakukan dengan pendekatan sosiokulturan dan legal-konstitusional melalui langkah-langkah, yaitu mendefinisi masalah, memprediksi atau peramalan, dan memprekrepsi langkah-langkah konkrit yang bisa dilakukan untuk mencegah dan mengantisipasi konflik sosial di Kota Denpasar."
Bali: Balai Pelestarian Nilai Budaya, 2017
902 JNANA 22:1 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Denpasar: LPPM Universitas Udayana, 2013
364.132 PEM
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Bali: Departemen P & K. Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Bali 1996, 1996
303.37 IND p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Zamzami
"ABSTRAK
Dukuh Jeruk dan Mundu adalah dua desa dalam wilayah kecamatan Karangampel yang kondisi penduduknya dari segi profesi lebih kurang menunjukkan adanya ketimpangan. Jumlah buruh tani di desa Dukuh Jeruk adalah empat kali lipat lebih banyak dibanding petani pemilik lahan sawah. Sedangkan di desa Mundu, perbandingannya hampir mencapai 2: 1.

Struktur sosial ekonomi yang cenderung timpang itu beserta akibat-akibat sosial yang mengikutinya pada masa lalu juga telah memberi kontribusi terbentuknya budaya kekerasan (culture ofviolence) di wilayah ini. Akan tetapi, pada masa lalu budaya kekerasan itu -berkat kearifan lokal, terwadahi dalam kesenian rakyat seperti: (a) pertujukan adu jawara (centeng) pasca panen; (b) satron atau tradisi perang antar kelompok tani pasca panen menjelang musim tanam dan (b) sampyong, tradisi adu kekuatan kaki dengan sa ling mencambukkan rotan dalam bentuk duel satu lawan satu sebagai sarana mencari pemuda tangguh, jujur dan gagah berani. Kearifan lokal ini merupakan sistem budaya yang ada di masyarakat untuk mengembalikan konflik pada isu yang sesungguhnya yang bersifat realistik yaitu sumber-sumber ekonomi, seperti terpenuhinya aliran air ke lahan sawah dan kesempatan untuk menggarap sawah milik petani bagi para buruh tani.

Akan tetapi, ketimpangan sosial ekonomi yang tetap terjaga serta semakin berkembangnya kebutuhan ekonomi warga Dukuh Jeruk dan Mundu sejalan dengan arus industrialisasi (terutama paska beroperasinya Pertamina di kedua desa tersebut sejak 1972, mengakibatkan terkikisnya kesenian yang berbasiskearifan lokal tersebut. Karena masalah perebutan sumber-sumber ekonomi (resources) semakin kompleks, maka bakat-bakat "kekerasan" sebagian kelompok masyarakat disalurkan pada bentrok fisik setiap kali terjadi pertentangan di antara mereka. Awalnya perseteruan yang terjadi bersifat individual tetapi kemudianberkembang menjadi konflik antar kelompok.

Masalah pertanian yang cukup kompleks yang dialami oleh warga kedua desa (sebagaimana umumnya masyarakat petani Jawa) ditambah dengan keengganan para pemuda untuk bergelut di bidang pertanian tidak didukung oleh kapasitas mereka untuk beralih ke sektor industri, menyebabkan kelompok ini mengalami dislokasi dan disorientasi. Beroperasinya Pertamina sejak 1972 di kedua desa ini tidak menjadi tidak berarti apa-apa bagi mereka dan malah mendorong minat mereka untuk bermigrasi atau bekerja di sektor-sektor lain semakin tinggi, meskipun hanya menjadi buruh.

Hubungan masyarakat Dukuh Jeruk dan Mundu tidak lepas dari berbagai konflik yang sering melibatkan kekerasan fisik, baik dalam konteks antar individu maupun tarwuran antar kelompok (desa). Pemicunya adalah masalah-masalah sederhana seperti perebutan sumber air di sawah, perebutan simpati kaum perempuan di kalangan para pemuda atau sekedar perasaan tersinggung akibat permintaan tak terkabul melalui pemalakan yang dilakukan oleh sebagian pemuda yang membiasakan diri dengan perilaku menyimpang.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa, akumulasi masalah sosial ekonomi dan legitimasi budaya yang berasal dari kesenian adu jawara, sampyong dan satron yang bentuk dan nilai estetiknya sebagai sebuah kesenian telah memudar -sementara masalah-masalah perebutan resources tidak pernah berhenti, merupakan faktor yang melatar belakangi kekerasan. Yang pertama memberi basis realistik pada konflik sedangkan yang kedua memberi basis non realistik. Kolaborasi basis ini melahirkan komunalisasi pada saat pemicu konflik hadir di tengah-tengah masyarakat. Inilah yang kemudian mendorong kekerasan terjadi dalam konflik.

Tawuran yang terjadi selama 1998-2000 antara warga kedua desa tersebut merupakan peristiwa fundamental di mana terjadi pergeseran dalam faktor-faktor tersebut, sehingga berakhirnya peristiwa tersebut menandai perubahan yangberarti di masyarakat. Meningkatnya kesadaran masyarakat akan kerugian-kerugian konflik serta peluang pengembangan usaha kecil dan menengah, termasuk pertanian yang terbuka pasca krisis 1997 mendasari lahirnya situasi kondusif resolusi konflik. Sehingga, sejak berkhirnya tawuran tiga tahun terse but, konflik-konflik yang terjadi tidak bisa lagi membangkitkan komunalisme buta. Adapun temuan di lapangan menunjukkan, faktor langsung yang berperan dalam meredakan konflik besar itu adalah: (1) strategis dan efektifnya pendekatan keamanan; (2) peran dan aksi simpatik para tokoh masyarakat dan pemerintah setempat; serta (3) rasionalitas dan penguatan sosial ekonomi.

Di atas semua itu, sesungguhnya dinamika konflik antara warga Dukuh Jeruk dan Karangampel merupakan masalah pergeseran masyarakat dari sektor pertanian ke sektor industri modern. Oleh sebab itu, sejauh mana kekuatankekuatan sosial dan kultural masyarakat mampu beradaptasi dengan tuntutan-tuntutan industrialisasi, maka sejauh itu pula kekerasan-kekerasan dalam konflik bisa dieliminasi menjadi kompetisi yang wajar.

"
2007
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"The life of the Indonesian community that was plural and heterogeneous could cause and have an impact the view emergence that was positive or the negative towards that. The plurality and heterogeneity preferably should be not seen as two different poles but preferably that was responded to with the wise attitude. The phenomenon of Indonesia culture that was bipolar could be responded to with the human attitude through the studying process in understanding multiculturalism and education for the younger generation. Through multiculturalism and ethics consciousness, the person could learn to minimise the conflict that happened in Indonesia."
JUETIKA
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Vincentia Irmayanti Meliono
"The life of the Indonesian community that was plural and heterogeneous could cause and have an impact the view emergence that was positive or the negative towards that. The plurality and heterogeneity preferably should be not seen as two different poles but preferably that was responded to with the wise attitude. The phenomenon of Indonesia culture that was bipolar could be responded to with the human attitude through the studying process in understanding multiculturalism and education for the younger generation. Through multiculturalism and ethics consciousness, the person could learn to minimise the conflict that happened in Indonesia."
Depok: Departemen kewilayaan Fakultas ilmu Pengetahuan Budaya UI, 2009
360 JETK 1:2 (2009)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Usman Pelly
"This paper is written based on the author's research on the policy of Chinese assimilation in two types of high school in Medan (1985-1986). Based on education policy issued in 1975,Indonesian students of Chinese descent are brought to contact with 'local students' to absorb so-called National culture through assimilation in schools. The author specifies two models of assimilation school, one is public schools, and the other is private schools with certain religious affiliations. There are seven indicators to measure successful assimilation (cultural, structural, amalgamations, identification, attitude, behaviour, and civic education) which show that the overall success of the assimilation agenda is still open to question if not unexpected. However, the author remarks that surprisingly, the assimilation process seems to have met with greater success in religious schools rather than public schools and he also critically points out that the basic assumption of assimilation is misleading and does not support the enrichment of a multicultural society."
2003
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Usman Pelly
"This paper is written based on the author's research on the policy of Chinese assimilation in two types of high school in Medan (1985-1986). Based on education policy issued in 1975,Indonesian students of Chinese descent are brought to contact with 'local students' to absorb so-called National culture through assimilation in schools. The author specifies two models of assimilation school, one is public schools, and the other is private schools with certain religious affiliations. There are seven indicators to measure successful assimilation (cultural, structural, amalgamations, identification, attitude, behaviour, and civic education) which show that the overall success of the assimilation agenda is still open to question if not unexpected. However, the author remarks that surprisingly, the assimilation process seems to have met with greater success in religious schools rather than public schools and he also critically points out that the basic assumption of assimilation is misleading and does not support the enrichment of a multicultural society."
2003
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>