Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5849 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Lucky Aziza Bawazier
"Lupus nephritis (LN) is involvement of the kidney in patient with systemic lupus erythematosus (SLE) and one of the most common target organ in SLE. The diagnosis of LN will significantly impact the clinical outcome and therapy of the patient. Therapy regiment of LN is divided into two stages, induction and maintenance treatment. The main objective of the induction therapy is to achieve complete or partial remission as soon as possible since it is correlated with better prognosis and fewer relapse incidence. In the maintenance stage, the main aim of the therapy is to maintain the remission status and avoid future relapse. It is also important to evaluate the effectiveness of the therapy as it will affect the duration and the regiment therapy being used. Corticosteroid, cyclophosphamide, mycophenolate mofetil, azathrioprine, cyclosporine and tacrolimus are example of drugs used in LN therapy. Currently, studies are being conducted to evaluate and develop targeted drug therapy to further add treatment options for LN.

Nefritis lupus (NL) adalah keterlibatan organ ginjal pada pasien lupus eritematosus sistemik (LES) dan merupakan salah satu keterlibatan organ yang paling sering ditemukan. Ditemukannya NL pada pasien LES akan berdampak besar baik secara prognosis dari pasien maupun dalam pengobatan itu sendiri. Pengobatan NL dibagi menjadi dua tahap, induksi dan rumatan. Target dari pengobatan tahap induksi adalah untuk secepatnya mencapai remisi, baik parsial ataupun komplit, karena akan memberikan prognosis yang lebih baik dan kejadian relapse yang lebih rendah. Pada tahap rumatan, target yang ingin dicapai adalah untuk mempertahankan status remisi dan mencegah terjadinya relapse. Evaluasi keberhasilan dari masing-masing tahap juga sangat penting karena akan berpengaruh pada kelanjutan pengobatan. Kortikosteroid, siklofosfamid, mikofenolat mofetil, azatioprin, siklosporin dan takrolimus adalah obat-obat yang biasa dipakai dalam pengobatan NL. Berbagai target pengobatan baru juga terus berkembang guna memberikan pilihan yang lebih luas dalam menangani kejadian NL."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
610 UI-IJIM 49:4 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Alisa Nurul Muthia
"Latar Belakang: Mikofenolat adalah salah satu imunosupresan yang efektif pada berbagai manifestasi LES. Penggunaan jangka panjang dihubungkan dengan teratogenisitas, risiko infeksi, dan biaya yang besar. Strategi "think-to-untreat" adalah strategi potensial untuk mengurangi beban imunosupresan jangka panjang pada pasien LES remisi, namun dihadapkan pada risiko eksaserbasi. Penelitian terkait risiko eksaserbasi dan faktor prediktornya pada penurunan dosis imunosupresan masih sangat terbatas. Tujuan: Mengetahui dampak penurunan dosis mikofenolat pada pasien LES yang telah mencapai remisi. Metode: Data diambil dari rekam medis Rumah Sakit Umum Nasional Cipto Mangunkusumo periode Januari 2021-Desember 2024. Desain penelitian kohort retrospektif. Pemilihan subjek dengan consecutive sampling. Kriteria inklusi: usia ≥18 tahun, diagnosis LES sesuai klasifikasi EULAR 2019, remisi sesuai kriteria DORIS 2021, mendapatkan terapi mikofenolat hingga tercapai remisi yang kemudian dosisnya diturunkan, kontrol >1 kali dalam 12 bulan pemantauan. Kriteria eksklusi: memiliki kondisi autoimun selain LES, mendapat mikofenolat untuk indikasi selain LES, dalam terapi imunosupresan lain selain mikofenolat, mengalami infeksi berat saat pengamatan, tidak memiliki data yang lengkap. Analisis kesintasan menggunakan kurva Kaplan Meier dan log-rank test. Faktor prediktor dievaluasi melalui analisis bivariat dan multivariat dengan metode regresi Cox. Hasil: Kesintasan bebas eksaserbasi 1 tahun pasca penurunan dosis mikofenolat pada LES remisi adalah 60,5%, dengan mean survival time 9,9 bulan. Berdasarkan analisis multivariat, anti-dsDNA yang tinggi saat remisi dan durasi remisi <6 bulan meningkatkan risiko ekaserbasi dengan HR 1,998 dan 1,985. Usia saat terdiagnosis, riwayat nefritis, riwayat neuropsikiatrik, kadar komplemen rendah, dan penurunan dosis steroid tidak terbukti sebagai faktor prediktor eksaserbasi. Simpulan: Hasil penelitian ini menunjukkan penurunan dosis mikofenolat dapat dilakukan pada LES remisi, namun diperlukan stratifikasi risiko. Pasien dengan kadar anti-dsDNA yang tinggi saat remisi memerlukan pemantauan lebih ketat. Durasi remisi perlu dipertimbangkan sebelum memutuskan untuk menurunkan dosis mikofenolat

Background: Mycophenolate is one of the effective immunosuppressants for various SLE manifestations. Long-term use is associated with teratogenicity, infection risk, and high costs. The "think-to-untreat" strategy is a potential approach to reduce the long-term immunosuppressant burden in SLE patients in remission, but faces the risk of flare. Research regarding flare risks and their predictive factors during immunosuppressant dose reduction remains very limited. Objective: To determine the impact of mycophenolate dose reduction in SLE patients who have achieved remission. Methods: Data was collected from medical records at Cipto Mangunkusumo National General Hospital from January 2021 to December 2024. This was a retrospective cohort study. Subjects were selected using consecutive sampling. Inclusion criteria: age ≥18 years, SLE diagnosis according to EULAR 2019 classification, remission according to DORIS 2021 criteria, received mycophenolate therapy until remission was achieved followed by dose reduction, >1 follow-up visit during 12 months of monitoring. Exclusion criteria: having autoimmune conditions other than SLE, receiving mycophenolate for non-SLE indications, on other immunosuppressant therapy besides mycophenolate, experiencing severe infection during observation, incomplete data. Survival analysis used Kaplan Meier curves and log-rank test. Predictive factors were evaluated through bivariate and multivariate analysis using Cox regression. Results: One-year exacerbation-free survival after mycophenolate dose reduction in SLE remission was 60.5%, with a mean survival time of 9.9 months. Based on multivariate analysis, high anti-dsDNA during remission and remission duration <6 months increased exacerbation risk with HR 1,998 and 1.985. Age at diagnosis, history of nephritis, neuropsychiatric history, low complement levels, and steroid dose reduction were not proven to be predictive factors for exacerbation. Conclusion: This study shows that mycophenolate dose reduction can be performed in SLE remission, but risk stratification is needed. Patients with high anti-dsDNA levels during remission require closer monitoring. Remission duration needs to be considered before deciding to reduce mycophenolate dose."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2025
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lucky Aziza Bawazier
Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
610 LUC n
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Angie Shabira Permata H
"Latar belakang : Nefritis lupus (NL) memiliki renal outcome yang buruk meliputi, doubling serum kreatinin, atau penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG) ≥ 50% terhadap baseline, atau gagal ginjal terminal. Baik penyakit ginjal kronik maupun gagal ginjal terminal berdampak pada masalah kesehatan global, mortalitas, hospitalisasi, dan beban pembiayaan kesehatan. Identifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi renal outcome yang buruk pada nefritis lupus diharapkan meningkatkan pengelolaan pasien NL dan mencegah perburukan fungsi ginjal. Tujuan : Mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi renal outcome yang buruk pada pasien NL di RSUPN Cipto Mangunkusumo. Metode : Studi kohort retrospektif dengan penelusuran rekam medis pasien nefritis lupus yang berobat ke RSCM periode Januari 2011-Juni 2019. Analisis bivariat dilakukan pada faktor anemia, proteinuria, fungsi ginjal, aktivitas penyakit LES baseline, rerata mean arterial pressure (MAP), obesitas, histopatologi, remisi, dan relaps terhadap renal outcome yang buruk pada nefritis lupus selama 3 hingga 5 tahun paska terdiagnosis, menggunakan metode Chi-square. Analisis multivariat dilakukan dengan metode binary regresi terhadap variabel dengan nilai p < 0,25 pada analisis bivariat. Hasil : Didapatkan subjek sebanyak 128 pasien untuk diteliti. Renal outcome yang buruk berupa doubling serum kreatinin, atau penurunan LFG ≥ 50% terhadap baseline, atau gagal ginjal terminal selama follow-up didapatkan sebesar 25% dengan status obesitas (31,6%), rerata MAP ≥ 100 mmHg (45,2%), serum kreatinin baseline ≥ 0,9 mg/dl (21,4%), proteinuria baseline ≥ 3,5 g/24 jam (38,5%), anemia baseline (23,7%), gagal remisi (78,3%), relaps (48%), aktivitas penyakit LES derajat berat (25,9%), NL proliferatif (32,1%), indeks aktivitas ≥ 12 (80%), dan indeks kronisitas ≥ 4 (45,5%). Faktor-faktor yang memengaruhi renal outcome yang buruk pada pasien NL di RSCM meliputi rerata MAP ≥ 100 mmHg, proteinuria baseline ≥ 3,5 g/24 jam, dan gagal remisi dengan RR (IK 95%) masing-masing 2,241 (1,468-3,419), p < 0,001, 1,756 (1,283-2,403), p < 0,001, dan 5,438 (3,268-9,047), p < 0,001. Kesimpulan: Persentase renal outcome yang buruk pada pasien NL di RSCM sebesar 25% yang dipengaruhi rerata MAP ≥ 100 mmHg, proteinuria baseline ≥ 3,5 g/24 jam, dan, gagal remisi.

Background : Lupus nephritis (LN) is associated with poor renal outcomes, such as doubling serum creatinine, or reduced estimated glomerular filration rate (eGFR) ≥ 50% from baseline, or end-stage renal disease. Either chronic kidney disease or end-stage renal disease (ESRD) affect the global health problem, mortality, hospitalization, and medical expenses. Identification of factors that influence poor renal outcome in lupus nephritis might increase the awareness in management of patient with lupus nephritis to reduce health burden due to worsening renal outcome. This study aims to identify factors that influence poor renal outcome in patient with lupus nephritis in an Indonesian tertiary hospital. Methods: Retrospective cohort study tracing medical records in patients with lupus nephritis during January 2011-June 2019. Chi-squared bivariate analysis was conducted among influencing factors; baseline anemia, proteinuria, renal function, disease activity, the time average of mean arterial pressure (MAP), obesity, histopathology, achieving remission, and the occurence of relapse. Binary regression is used in multivariate analysis for variables with p ≤ 0,25 in bivariate analysis. Results: This study consists of 128 patients with lupus nephritis. Poor renal outcome was defined by doubling serum creatinine or reduced eGFR ≥ 50% from baseline or end-stage renal disease. During the follow-up, poor renal outcome was found 25% among obesity (31,6%), the time average of mean arterial pressure (MAP) ≥ 100 mmHg (45,2 %), baseline serum creatinine ≥ 0,9 mg/dl (21,4%), baseline proteinuria ≥ 3,5 g/24 h (38,5%), baseline anemia (23,7%), failure to achieve remission (78,3%), renal relapse (48%), severe disease activity (25,9%), proliferative histopathology (32,1%), activity index ≥ 12 (80%), and chronicity index ≥ 4 (45,5%). The time average of MAP ≥ 100 mmHg, baseline proteinuria 3,5 g/24 h, and failure to achieve remission influenced poor renal outcome in patients with LN consecutively with RR (95% CI) 2,241 (1,468-3,419), p < 0,001, 1,756 (1,283-2,403), p < 0,001, and 5,438 (3,268-9,047), p < 0,001. Conclusion: Poor renal outcome in LN patients in the Indonesian tertiary hospital was 25 % that influenced by the time average of MAP ≥ 100 mmHg, baseline proteinuria ≥ 3,5 g/24 h, and failure to achieve remission. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
"Conn's Current Therapy 2014 is an easy-to-use, in-depth guide to the latest advances in therapeutics for common complaints, acute disease and chronic illness. Family medicine experts, Drs. Edward T. Bope and Rick D. Kellerman present the expertise and knowledge of hundreds of skilled international leaders on evidence-based clinical management options. With key diagnostic points and treatment recommendation tables, you'll have access to the information you need to make accurate clinical decisions. Apply the proven treatment strategies of hundreds of top experts in family and internal medicine.Get quick access to critical information with "Current Diagnosis" and "Current Therapy" boxes at the beginning of each chapter as well as standardized diagnostic points and clinical recommendation tables."
Philadelphia: Saunders, 2014
R 615.5 CON (1)
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
"Latar Belakang: Tujuan studi ini adalah membandingkan terapi antara siklofosfamid dan mikofenolat mofetil pada remisi nefritis lupus melalui sebuah laporan kasus berbasis bukti (evidence-based case report) yang diperoleh dari telaah sistematis dan meta-analisis.
Metode: Metode yang digunakan pada studi ini adalah laporan kasus berbasis bukti menggunakan telaah sistematis dan meta-analisis. Pertanyaan klinis adalah manakah terapi imunosupresan yang memberikan hasil lebih baik pada remisi nefritis lupus; siklofosfamid atau mikofenolat mofetil? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kami melakukan pencarian dari situs PubMed dengan kata kunci ?lupus nephritis AND mycophenolate mofetil AND cyclophosphamide? dengan batasan telaah sistematis dan/atau meta-analisis, bahasa Inggris, dan hanya melakukan perbandingan secara spesifik terhadap kedua obat.
Hasil: Dari pencarian awal, kami memperoleh 11 artikel telaah sistematis dan/atau meta-analisis terkait terapi nefritis lupus. Satu artikel dieksklusi karena berbahasa Yahudi, empat artikel lain dieksklusi karena tidak spesifik melakukan perbandingan terhadap mikofenolat mofetil dan siklofosfamid sehingga diperoleh enam studi yang ikut serta dalam telaah kritis dan diskusi laporan kasus kami.
Kesimpulan: Berdasarkan bukti-bukti ilmiah yang diperoleh, mikofenolat mofetil memberikan efektivitas yang sama (non-inferior) dengan siklofosfamid dalam mencapai remisi pada nefritis lupus, tetapi memiliki tingkat keamanan yang lebih baik daripada siklofosfamid. Pasien pada kasus mendapatkan mikofenolat mofetil dan telah menunjukkan perbaikan secara klinis ke arah remisi pada evaluasi pasca-rawat inap

Background: The aim of this case study is to compare the effectiveness between cyclophosphamide and mycophenolate mofetil to achieve remission of lupus nephritis in an evidence-based case report from meta-analyses.
Methods: Method in this case study is evidence-based case report using meta-analyses. Clinical question used in this paper is; which immunosuppressant gives better result in achieving remission in lupus nephritis patient: cyclophosphamide or mycophenolate mofetil? To answer this question, we search the evidence from PubMed with the keywords: ?lupus nephritis AND mycophenolate mofetil AND cyclophosphamide? with inclusion criteria of meta-analysis, written in English, and focused comparing cyclophosphamide and mycophenolate mofetil.
Results: From the searching method, we found 11 articles which is relevant. One has been excluded since it written in Hebrew, 4 articles excluded since are not focus answering the clinical question. At the end, 6 studies were included to the critical appraisal step.
Conclusion: Based on the evidences, mycophenolate mofetil is non-inferior to cyclophosphamide in achieving remission in lupus nephritis patients, but with the better safety profile. Patient in our case study get mycophenolate mofetil and shows better clinical condition towards remission as she are evaluated in the outpatient clinic.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Try Nirmala Sari
"ABSTRAK
Pengobatan TB lini kedua pada pasien TB lini MDR diketahui memiliki beberapa efek samping. Etionamid adalah salah satu obat dalam pengobatan TB MDR lini kedua. Hipotiroid merupakan efek samping dari pemberian etionamid. Sikloserin merupakan salah satu dari komponen pengobatan kedua yang bersifat bakteriostatik. Efek samping psikiatri seperti antesietas, halusinasi, depresi, euforia, perubahan kebiasaan, dan bunuh diri dilaporkan sebanyak 9,7-50% pada pasien yang menjalani pengobatan dengan sikloserin. Seorang perempuan berusia 46 tahun dengan diagnosis TB MDR, menjalani pengobatan TB lini kedua sejak januari 2016. Regimen pengobatan terdiri dari levofloksasin, sikloserin, etionamid, pirazinamid, etambutol, dan PAS. Evaluasi pengobatan dibulan pertama menunjukan adanya lelah, komunikasi yang berkurang, dan perubahan perilaku. Pasien sering merasa sedih, putus asa, dan sangat memikirkan penyakitnya. Pasien juga berpikir untuk mengakhiri hidupnya. Kemudian pasien menjalani rawat inap dan didiagnosis sebagai depresi imbas pengobatan TB, kemungkinan disebabkan sikloserin. Kemudian pemberian sikloserin dihentikan. Dalam waktu yang bersamaan, pemeriksaan laboratorium menunjukan adanya peningkatan TSH tanpa disertai gejala klinis hipotiroid. Dilakukan pemberian levotiroksin sebesar 1x100mkg. Pada akhir minggu ke-3 pengobatan, kadar TSH tetap meningkat sehingga pemberian etionamid dihentikan selama 3 bulan. Evaluasi setelah penghentian pemberian etionamid menunjukkan kadar TSH terkendali. Pemberian etionamid kemudian dilanjutkan dengan dosis titrasi per bulan. Kesimpulannya, pada pengobatan TB MDR, timbul efek samping pemberian etionamid perlu diperhatikan. Neorotoksisitas berat yang disebabkan sikloserin dapat ditangani dengan penundaan pemberian obat sementara. Hal lain yang perlu diingat adalah kondisi hipotiroid dapat memperlihatkan gejala depresi. Oleh karena itu, pemantauan efek samping pada obat TB diperlukan. "
Jakarta: Departement of Internal Medicine. Faculty of Medicine Universitas Indonesia, 2016
616 UI-JCHEST 3:3 (2016)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Khan, M. Gabriel
Totowa, NJ.: Human Press, 2015
610 KHA c
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
R. Fera Ibrahim
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
PGB-pdf
UI - Pidato  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>