Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 86819 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Lisyawati Nurcahyani
Yogyakarta: Kepel Pess, 2017
959.84 LIS d
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Purba, Juniar
Yogyakarta: Kepel Pess, 2017
959.84 PUR m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Hilmi Muhammadiyah
"Penelitian ini difokuskan pada pembahasan seputar reposisi perempuan Bugis di tengah masyarakatnya sebagai upaya meningkatkan status sosialnya yang didasarkan atas hasil penelitian lapangan yang dilakukan selama sekitar 3 bulan dari bulan Nopember 2005 hingga Januari 2006. Penulis secara khusus meneliti status haji yang melekat pada perempuan Bugis serta relasinya dengan aktivitas mereka di ranah publik, misalnya di bidang ekonomi, sosial dan budaya.
Posisi perempuan Bugis dalam struktur makro masyarakat Bugis dalam perspektif budaya berada pada tingkat yang cukup terhormat. Namun realitas struktur sosial perempuan Bugis jika disejajarkan dengan struktur sosial lainnya dinilai cukup rendah dan secara otomatis tidak sesuai dengan bangunan adat istiadatnya. Maka untuk mengembalikan nilai struktur sosial perempuan Bugis diperlukan perubahan sosial. Haji kemudian dipandang sebagai status yang dapat mengembalikan posisi perempuan Bugis pada tempat yang semestinya. Reposisi perempuan Bugis dalam konteks ini dilihat sebagai suatu proses pengembalian perempuan Bugis pada posisi yang sesuai dengan budaya Bugis.
Kelurahan Kalabbirang merupakan daerah yang masih didominasi oleh suku Bugis dengan perempuannya yang berpandangan bahwa haji merupakan simbol sosial yang dapat menyangga nilai-nilai sosial kelompoknya. Mereka menjadikan haji sebagai identitas untuk mengembalikan status sosialnya. Nilai-nilai haji ini kemudian mengatur interaksi-interaksi mereka dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam konteks interaksi dengan sesama perempuannya maupun dengan kelompok laki-laki; atau pada saat beraktivitas di ruang publik. Berarti simbol haji mempunyai makna tersendiri bagi perempuan Bugis yang dirasakan ketika ia berada dalam ruang pentas dalam ritus-ritus yang beraspek sosial.
Konstruk haji sebagai simbol bagi perempuan Bugis membutuhkan tindakan sosial. Di sini kemudian perempuan Bugis mengambil peranan. Ia memandang simbol haji sebagaimana orang lain memandangnya. Sebelum bertindak perempuan Bugis memformulasikan suatu gagasan mengenai proyeksi tindakan orang lain dalam hubungannya dengan simbol haji. Perempuan Bugis berhaji juga memformulasikan proyeksi yang akan ia lakukan, termasuk peranan yang ia wujudkan melalui simbol haji.
Maka ketika perempuan Bugis telah melaksanakan haji, mereka telah mempunyai formulasi tindakan sosial. Jadi tindakan sosial dikonsepsikan dalam imajinasi sebelum melaksanakan haji. Dalam tataran ide mereka telah mengkonstruk haji sebagai proses penyempurnaan keislamannya sehingga dirinya merasa berhak untuk dikategorikan ke dalam ranah sosial haji. Mereka melakukan konstruksi atas kehidupannya untuk memberikan penyegaran baru terhadap identitas, life style dan lingkungannya dalam suatu komunitas baru yang penulis istilahkan dengan "tradisi lokal haji".
Tradisi lokal haji pada masyarakat Bugis merupakan ruang sosial unik yang terdiri dari nilai-nilai yang telah disepakati. Perempuan Bugis yang sudah berhaji berinteraksi dengan budaya Bugis secara makro dengan menggunakan norma-norma yang terkonstruk dalam tradisi lokal haji. Sub kultur ini tentunya mempunyai spesifikasi simbolik yang mengindikasikan suatu keterwakilan dari sebuah komunitas baru di tengah kelompok besar masyarakat Bugis. Pada proses interaksi sosial dengan kelompok lain inilah kemudian muncul simbol-simbol baru yang menggambarkan spesifikasi sub kultur, seperti sebagai orang yang "beriman", "taat", "jujur" dan lainnya. Sehingga bagi perempuan Bugis yang sudah berhaji secara otomatis mendapatkan modal simbolik yang dapat digunakan untuk memperluas jaringan sosialnya di tengah masyarakat. Simbol haji laksana mahkota ratu yang tiba-tiba dapat mendatangkan kekayaan sosial dan ekonomi.
Pada saat inilah terjadi proses reposisi perempuan Bugis, yaitu dari posisinya yang dirugikan oleh realitas kehidupan masyarakat padahal sebenarnya secara adat dimuliakan dan dihargai, kembali menjadi terhormat dalam kehidupan keseharian. Proses reposisi ini berlangsung cukup cepat, instan dan sangat ditentukan oleh faktor finansial individu perempuan Bugis."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
T21507
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Retno Sekarningrum
"Sebagai penghubung antara pelabuhan utama, seperti Malaka, Singapura, Ternate, dan Makassar, Gorontalo memainkan peran penting dalam jaringan pelayaran dan perdagangan di wilayah utara Sulawesi. Kondisi ini diperkuat oleh ketersediaan beragam komoditas, terutama emas dan budak. Dua komoditas penting ini telah diekspor, terutama oleh para pedagang Bugis dan Mandar, ke pasar internasional sejak abad XVI. Sayangnya, kajian mengenai perkembangan pelabuhan Gorontalo masih kurang mendapat perhatian dari para sejarawan yang hanya berfokus pada peranan pelabuhan-pelabuhan besar. Tulisan ini melihat arah perkembangan pelabuhan Gorontalo dalam mengekspor emas dan budak pada abad XVIII hingga abad XIX. Dengan menerapkan metode sejarah yang meliputi heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi, tulisan ini memperlihatkan bahwa perkembangan pelabuhan Gorontalo dalam mengekspor emas dan budak mengalami dinamikanya sendiri. Dinamika itu tercermin dari hilangnya akses para pedagang Bugis dan Mandar terhadap perdagangan komoditas emas dan budak di Gorontalo sejak monopoli perdagangan VOC pada abad XVII. Monopoli perdagangan VOC atas komoditas tersebut berujung pada ketidakamanan aktivitas pelayaran-perdagangan di sekitar Gorontalo akibat maraknya perompakan oleh bajak laut dan penyelundupan"
Kalimantan Barat : Balai Pelestarian Nilai Budaya , 2023
900 HAN 6:2 (2023)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Bahasoan, Mardiani
"Abad XIX di Perancis merupakan masa yang penuh gejolak akibat keadaan politik yang tidak stabil, namun memperlihatkan perkembangan dalam dunia ilmu pengetahuan dan kemajuan yang pesat dalam bidang industri dan ekonomi.
Dari tahun 1800 sampai 1900, Perancis mengalami sembilan kali perubahan bentuk pemerintahan yaitu : Consular, Kekaisaran, Restorasi, Monarki Juli, Republik Kedua, Kekaisaran Kedua dan Republik Ketiga sebagai rangkaian akibat dari Revolusi Perancis 1789.
Periode yang tidak stabil itu membawa pengaruh pula dalam kehidupan sosial dan ekonomi bangsa. Dengan adanya perubahan bentuk pemerintah tersebut, peranan kaum bangsawan dan gereja dalam kehidupan sosial dan ekonomi, beralih kepada golongan baru yaitu kaum borjuis dan para cerdik pandai.
Ketidakstabilan politik ternyata tidak menghambat perkembangan dalam dunia ilmu pengetahuan yang telah dimulai oleh para pernikir dari abad Pencerahan. Pada umumnya dapat dikatakan bahwa pemikiran-pemikiran tradisional mengenai cara-cara memecahkan masalah kehidupan yang berdasarkan pada doktrin agama, digantikan oleh filsafat Positivisme Auguste Comte yang mendasarkan segala pemikiran pada ilmu pengetahuan (rains). Saat itu hanya ilmu pengetahuan sajalah yang diakui sebagai satu-satunya cara untuk memecahkan berbagai masalah dan misteri di atas bumi ini. Maka terjadilah pemujaan terhadap ilmu pengetahuan. Dalam dunia sastra sikap tersebut melahirkan para pengarang realis dan naturalis seperti Balzac, Flaubert, dan Zola.
Perkembangan yang cepat dalam bidang industri pada saat itu, membuat masyarakat Perancis yang agraris dan statis bergerak menuju kota yang berkembang pesat menjadi pusat industri dan perdagangan. Ditemukannya mesin uap untuk kereta api dan kapal, telah mempercepat proses perubahan tersebut, dengan demikian terjadi pula perubahan dalam gaya hidup masyarakat. Di samping golongan borjuis, urbanisasi..."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Achmad Ubbe
"Melalui UU RI. No. 1 Daruxat Tanun 1951, hukum pidana adat, kembali diakui keberadaannya. Hakim "wajib" rnemperhatikan hukum pidana adat dalam memutuskan suatu perkara yang terkait dengan delik adat. Kewajiban itu dimaksudkan agar putusan hakim sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Keberadaan malaweng (pelanggaran kesusilaan siri) dan penyelesaiannya di masyarakat Bugis, diselimuti ketidakcoookan antara nilai-nilai hukum yang dianut oleh masyarakat dan yang dimuat dalam hukum pidana negara. Ketidakcocokan itu tergambarkan pada kenyaiaanz (1) Perbuaian malaweng, seperti incect, zina dan perkosaan, pencabulan yang merusak kehormatan wanita, merupakan perbuatan yang sangat tercela menurut kesusilaan siri' diancam hukuman cambuk atau mati. Sementara menurut hukum pidana negara, hanya dihukum penjara dalam bilangan bulan; (2) Tindakan penegakan siri', sebagai akibat malaweng, meskipun dilakukan dengan penganiayaan dan pembxmuhan, merupakan tindakan legal, legitim, dan diterima oleh masyarakat Bugis, sebagai pemenuhan kewajiban moral. Namun perbuatan itu, merupakan kejahatan yang diancam hukuman berat menurut KUHP dan rnemang dihukum berat oleh pengadilan. Penelitian ini, pada intinya menyoai dan menjawab secara teoritis dan faktual, (1) kebcradaan malaweng dalam masyarakat Bugis; (2) penyelesaian malaweng dan penegakan siri' di masyarakat Bugis; (3) keberadaan malaweng dan pcnegakan siri' dalam putusan hakim selama 10 tahun terakhir. Orang Bugis berani menegakkan siri'-nya dan siri' sanak keluarganya, sekalipun hams membunuh atau terbunuh, karena alasan, (1) percaya orang yang menegakkan siri? tidak akan terbunuh dan bila pun terbunuh, mereka menerimanya sebagai kemalian yang gurih (mati bersantan dan bergula); (2) percaya wanita dan tubuh manusia (seperti muka dan kepala), adalah lambang harga diri- Oleh karena ilu melanggar kehormatan wanita, melakukan percabulan, perkosaan, hubungan scksual dan perkawinan yang melanggar adat, menampar muka atau memukul kepala, menghina dengan kata-kata, adalah pelanggaran terhadap kesusilaan sirii Malaweng dalam masyamkat meliputi, (1) Malaweng Ati, pelanggamn hati; (2) Malaweng Care-care, pelanggaran busana; (3) Malaweng Pakkila 'pelanggaran mata; (4) malaweng udajpelangaran kata-kata'; (5) Malaweng Kedo/Pangkaukeng, 'pelanggaran gerak-gerild, atau yang sekarang disebut porno aksi, seperti: (a) memegang, mencium, merabah buah dada, mencoba memperkosa, mencabuli atau bersetubuh; (b) berpacaran dan bercumbuh rayu; (c) mengumbar gairah seks atau nafsu sahwat (to mangure), (d) pergaulan bebas antara wanita dan laki-laki; (6) Malaweng Luse 'hubungan seks yang tidak sah'. Malaweng kedo/pangkaukeng dan malaweng luse sebagian diselesaikan sendiri oleh masyarakat, baik dengan cara damai maupun dengan 'bertindak sendiri' (self help), sebagain Iagi diselesaikan melalui pengadilan. Kawin lari dan wanita hamil di luar nikah pada umumnya, diselesaikan secara adat, sedangkan yung lainnya, seperti perzinaan, pencabulan dan perkosaan diselesaikan secara yuridis formal di pengadilan, yang didasarkan pada Pasal 5 ayat (3) sub b Undang-Undang Nomor 1 Darurat Tahun 1951 dikaitkan dengan Pasal-Pasal tertentu KUHP, sesuai dengan delik yang diperkarakan.
By virtue of Emergency Law Number 1 Year 1951, the customary penal law was once again readopted. A judge is obliged to take the customary penal law into consideration when deciding custom-related criminal cases. The obligation seeks to adapts judge's decision to the living law and the local sense of justice. The practice of malaweng (moral offence of siri) and its handling in the Bugis community is cloaked by discrepancies between the values of the local, living law and those of the positive law. The research took place in South Sulawesi, and tried particularly to study in theory and practice, (1) the practice of maiaweng in the Bugis community; (2) the handling of malaweng and the enforcement of sirf' in the Bugis community; (3) the handling of malaweng and the enforcement of siri ' in court decisions during the last 10 years. The Buginese is proud to enforce his siri ' and the siri' of kirnsman, even when it causes him to kill or be killed, because of the believe that (I) person who upholds his siri? can not be killed and although he is killed, the death is a ?tasty? death (a death coated with spice and curry); (2) woman and human body is a symbol of honor and sellldignity, so a violation against woman dignity, obscenity, rape, sexual intercourse and marriage against the custom, a slap or a blow on the head, insulting words, are all seen as offences against siri'. Malaweng consists of (1)Malaweng Ati, heart offence': a person who likes to fancy a sexual intercourse between man and woman: (2) Malaweng Care-care, dress off'ence: a person who likes to dress up in the manner of the opposite sex; (3) Malaweng Palckira, eye offence: looking at a woman with lust, peeping at bathing person or sleeping couple: (4) Malaweng Ada, word offence: talking and speaking dirty words; (5)Malaweng Kedo/Pangkaukeng, gesture offence: nowadays popular as the porn action, such as (a) holding, kissing, touching a woman breast, attempt to rape or to make a sexual intercourse; (b) flirting; (c) uncontrolled sexual desire (tomangure), (d) loose relationship between man and woman; (6) Malaweng Luse, ?illegatimate sexual intercourse. Malaweng Kedo/Pangkaukeng and Malaweng Luse is handled partly by the community itself, either through peaceful settlement or through selg action and partly by the court of justice. Runaway marriage and pregnancy outside the marriage is generally settled by custom, while offences such as adultery and rape is brought to and resolved by the court of justice, in accordance with Article 5 of Emergency Law Number 1 Year 1951."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
D1111
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Achmad Ubbe
"Melalui UU RI. No. 1 Daruxat Tanun 1951, hukum pidana adat, kembali diakui keberadaannya. Hakim "wajib" memperhatikan hukum pidana adat dalam memutuskan suatu perkara yang terkait dengan delik adat. Kewajiban itu dimaksudkan agar putusan hakim sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Keberadaan malaweng (pelanggaran kesusilaan siri) dan penyelesaiannya di masyarakat Bugis, diselimuti ketidakcoookan antara nilai-nilai hukum yang dianut oleh masyarakat dan yang dimuat dalam hukum pidana negara. Ketidakcocokan itu tergambarkan pada kenyaiaanz (1) Perbuaian malaweng, seperti incect, zina dan perkosaan, pencabulan yang merusak kehormatan wanita, merupakan perbuatan yang sangat tercela menurut kesusilaan siri' diancam hukuman cambuk atau mati. Sementara menurut hukum pidana negara, hanya dihukum penjara dalam bilangan bulan; (2) Tindakan penegakan siri', sebagai akibat malaweng, meskipun dilakukan dengan penganiayaan dan pembxmuhan, merupakan tindakan legal, legitim, dan diterima oleh masyarakat Bugis, sebagai pemenuhan kewajiban moral. Namun perbuatan itu, merupakan kejahatan yang diancam hukuman berat menurut KUHP dan rnemang dihukum berat oleh pengadilan. Penelitian ini, pada intinya menyoai dan menjawab secara teoritis dan faktual, (1) kebcradaan malaweng dalam masyarakat Bugis; (2) penyelesaian malaweng dan penegakan siri' di masyarakat Bugis; (3) keberadaan malaweng dan pcnegakan siri' dalam putusan hakim selama 10 tahun terakhir. Orang Bugis berani menegakkan siri'-nya dan siri' sanak keluarganya, sekalipun hams membunuh atau terbunuh, karena alasan, (1) percaya orang yang menegakkan siri? tidak akan terbunuh dan bila pun terbunuh, mereka menerimanya sebagai kemalian yang gurih (mati bersantan dan bergula); (2) percaya wanita dan tubuh manusia (seperti muka dan kepala), adalah lambang harga diri- Oleh karena ilu melanggar kehormatan wanita, melakukan percabulan, perkosaan, hubungan scksual dan perkawinan yang melanggar adat, menampar muka atau memukul kepala, menghina dengan kata-kata, adalah pelanggaran terhadap kesusilaan sirii Malaweng dalam masyamkat meliputi, (1) Malaweng Ati, pelanggamn hati; (2) Malaweng Care-care, pelanggaran busana; (3) Malaweng Pakkila 'pelanggaran mata; (4) malaweng udajpelangaran kata-kata'; (5) Malaweng Kedo/Pangkaukeng, 'pelanggaran gerak-gerild, atau yang sekarang disebut porno aksi, seperti: (a) memegang, mencium, merabah buah dada, mencoba memperkosa, mencabuli atau bersetubuh; (b) berpacaran dan bercumbuh rayu; (c) mengumbar gairah seks atau nafsu sahwat (to mangure), (d) pergaulan bebas antara wanita dan laki-laki; (6) Malaweng Luse 'hubungan seks yang tidak sah'. Malaweng kedo/pangkaukeng dan malaweng luse sebagian diselesaikan sendiri oleh masyarakat, baik dengan cara damai maupun dengan 'bertindak sendiri' (self help), sebagain Iagi diselesaikan melalui pengadilan. Kawin lari dan wanita hamil di luar nikah pada umumnya, diselesaikan secara adat, sedangkan yung lainnya, seperti perzinaan, pencabulan dan perkosaan diselesaikan secara yuridis formal di pengadilan, yang didasarkan pada Pasal 5 ayat (3) sub b Undang-Undang Nomor 1 Darurat Tahun 1951 dikaitkan dengan Pasal-Pasal tertentu KUHP, sesuai dengan delik yang diperkarakan.
By virtue of Emergency Law Number 1 Year 1951, the customary penal law was once again readopted. A judge is obliged to take the customary penal law into consideration when deciding custom-related criminal cases. The obligation seeks to adapts judge's decision to the living law and the local sense of justice. The practice of malaweng (moral offence of siri) and its handling in the Bugis community is cloaked by discrepancies between the values of the local, living law and those of the positive law. The research took place in South Sulawesi, and tried particularly to study in theory and practice, (1) the practice of maiaweng in the Bugis community; (2) the handling of malaweng and the enforcement of sirf' in the Bugis community; (3) the handling of malaweng and the enforcement of siri ' in court decisions during the last 10 years. The Buginese is proud to enforce his siri ' and the siri' of kirnsman, even when it causes him to kill or be killed, because of the believe that (I) person who upholds his siri? can not be killed and although he is killed, the death is a ?tasty? death (a death coated with spice and curry); (2) woman and human body is a symbol of honor and sellldignity, so a violation against woman dignity, obscenity, rape, sexual intercourse and marriage against the custom, a slap or a blow on the head, insulting words, are all seen as offences against siri'. Malaweng consists of (1)Malaweng Ati, heart offence': a person who likes to fancy a sexual intercourse between man and woman: (2) Malaweng Care-care, dress off'ence: a person who likes to dress up in the manner of the opposite sex; (3) Malaweng Palckira, eye offence: looking at a woman with lust, peeping at bathing person or sleeping couple: (4) Malaweng Ada, word offence: talking and speaking dirty words; (5)Malaweng Kedo/Pangkaukeng, gesture offence: nowadays popular as the porn action, such as (a) holding, kissing, touching a woman breast, attempt to rape or to make a sexual intercourse; (b) flirting; (c) uncontrolled sexual desire (tomangure), (d) loose relationship between man and woman; (6) Malaweng Luse, ?illegatimate sexual intercourse. Malaweng Kedo/Pangkaukeng and Malaweng Luse is handled partly by the community itself, either through peaceful settlement or through selg action and partly by the court of justice. Runaway marriage and pregnancy outside the marriage is generally settled by custom, while offences such as adultery and rape is brought to and resolved by the court of justice, in accordance with Article 5 of Emergency Law Number 1 Year 1951."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
D877
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Sudirman
"ABSTRAK
Penelitian yang berjudl Penduduk dan Kenegerian di Pantai Barat Daya Aceh pada Abad XIX ini membahas asal-usul dan persebaran penduduk, serta bentuk dan sebab munculnya kenegerian di Pantai Barat Daya Aceh. Untuk pengumpulan data digunakan metode sejarah. Penggunaan metode sejarah dimaksudkan supaya mendapatkan data yang akurat. Melalu metode sejarah dilakukan studi secara mendalam sehingga diperoleh pemahaman yang meneluruh tentang objek penelitian ini. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka dan wawancara. Hasil penelitian menunjukan bahwa sebelum masuk pengaruh Islam, penduduk Aceh berasal dari suku-suku bangsa yang datang dari India, Siam, Funan, Kamboja, dan Campa. Mereka adalah pecahan dari bangsa Mon Khmer dan suku Mantra (Mantir), orang Aceh menyebutnya dengan Manteu, sedangkan penduduk pertama yang mendiami daerah Pantai Barat Daya Aceh adalah orang Batak. Orang Batak terdesak oleh pendatang baru dari Sumatera Barat, Aceh Besar, dan Pidie. Faktor ekonomi dan konflik sosial di daerah asal merupakan sebab kedatangan mereka ke Pantai Barat Daya Aceh. Mereka membentuk unit-unit teritorial berupa kenegerian setelah tiba di tempat tersebut. Hal itu dimaksudkan untuk memudahkan dalam berbagai hal, seperti memenuhi kebutuhan hidup dan keamanan."
Denpasar: Balai Pelestarian Nilai Budaya Bali, 2017
902 JPSNT 24:1 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>