Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 127525 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Maria Immaculatus Djoko Marihandono
Depok: RajaGrafindo Persada, 2014
352.23 DJO p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Immaculatus Djoko Marihandono
Depok: RajaGrafindo Persada, 2014
352.23 DJO p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Andriyani Dwi Astuti
"Pemilukada langsung menghasilkan kepala daerah dan wakil kepala daerah dengan beragam latar belakang dan profesi yang berpengaruh terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah. Kurangnya kemampuan kepala daerah dalam melaksanakan fungsinya berdampak pada kinerja pemerintahan daerah. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa fungsi kepala daerah dalam kerangka manajemen kinerja pemerintahan daerah. Dipilihnya Kabupaten Tangerang dan Kota Tasikmalaya dikarenakan latar belakang Bupati Tangerang dan Wali Kota Tasikmalaya yang non birokrat sehingga kedua kepala daerah tersebut memiliki strategi tersendiri dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Selain itu, pemilihan didasarkan pada peringkat dan status kinerja Kabupaten Tangerang dan Kota Tasikmalaya Tahun 2012-2013. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori tentang kerangka manajemen kinerja pemerintahan daerah yang terdiri dari 4 kuadran. Dengan menggunakan teori ini dapat dipetakan fungsi kepala daerah yang mendominasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan metode pemilihan kasus most different cases. Hasil dari penelitian ini adalah dapat diketahui fungsi Bupati Tangerang yang mendominasi dalam kerangka manajemen kinerja Pemerintah Kabupaten Tangerang terletak pada kuadran 1 dimana bupati berfungsi dalam koordinasi dan komunikasi serta mengajak masyarakat berpartisipasi aktif. Selain itu, fungsi lain yang mendominasi terletak pada kuadran 3 dimana bupati berfungsi dalam perubahan budaya organisasi dan pola pikir pegawai. Selanjutnya pada kuadran 4 dimana bupati dapat melaksanakan fungsinya dalam pembentukan sistem pelayanan dan kepatuhan terhadap prosedur hukum. Fungsi Wali Kota Tasikmalaya yang mendominasi dalam kerangka manajemen kinerja Pemerintah Kota Tasikmalaya berada pada kuadran 1 dimana wali kota dapat membina hubungan yang baik dengan masyarakat, pegawai, dan stakeholders lainnya. Kemudian fungsi lain terletak pada kuadran 2 dimana wali kota dapa tmelakukan perencanaan dan penganggaran dengan strategi yang baik.

Direct election generates regional head and deputy regional head with diverse backgrounds and professions who influence the regional administration. The lack of ability to carry out the regional head's function has an impact on the performance of local government. This study aims to analyze the function of regional head in the local government performance management framework. The researcher has chosen Tangerang Regency and Tasikmalaya Municipality because the Tangerang Regent's and Tasikmalaya Mayor's background are non bureaucrats so that both the regional head have its own strategies in local governance. In addition, the selection is based on the ratings and performance status of Tangerang Regency and Tasikmalaya Municipality in 2012-2013. The theory used in this research is the theory of local government performance management framework that consists of four quadrants. By using this theory can be mapped the function that dominates the regional heads in local governance. The method used in this research is qualitative method with a method of case' selection is most different cases. The results of this study are the function that dominates Tangerang Regent within the performance management framework of Tangerang Regency located in quadrant 1 where the regent's function in coordination and communication, and invites the public to participate actively. In addition, other functions that dominate located in quadrant 3 where the regent's function in changing organizational culture and employee mindset. Later in the fourth quadrant where the regent can carry out its function in establishing the service system and compliance with legal procedures. The Tasikmalaya Mayor's function that dominates in the performance management framework are in quadrant 1 where the mayor can establish a good relationship with the community, employees, and other stakeholders. Then other functions located in quadrant 2 where the mayor is able to make planning and budgeting with a good strategy"
2015
T43988
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amin Nugrah Santoso
"Pemilihan Kepala Daerah tahun 2020 di Kota Bandar Lampung merupakan sebuah proses pemilihan yang telah di atur dalam Undang-Undang No.10 Tahun 2016. Namun dalam mekanisme tahapan terdapat pelanggaran Terstruktur Sistematis dan Masif menurut temuan Bawaslu Provinsi Lampung yang berdasarkan laporan yang ditindaklanjuti oleh Bawaslu Provinsi Lampung. Terdapat pelanggaran sebelum dan sesudah dalam penetapan calon, pelanggaran tersebut melibatkan penggunaan ASN, pembagian uang kepada masyarakat serta penyalahgunaan bantuan sosial Covid-19 untuk tujuan kampanye yang dilakukan oleh pasangan calon No. urut 03 Eva Dwiana dan Deddy Amrullah. Dalam keputusan KPU membatalkan pasangan calon No. urut 03 dan pasangan No. urut 03 mengajukan banding ke Mahkamah Agung membatalkan atas keputusan KPU Kota Bandar Lampung dengan permohonan untuk mecabut diskualifikasi. Dalam hal ini pasangan No. urut 02 Yusuf Kohar dan Tulus Purnomo meregistrasi perkara terkait penetapan rekapitulasi perhitungan perolehan suara pemilihan Calon Walikota dan Wakil Walikota Bandar Lampung, lalu penggugat menarik kembali permohonan tersebut kepada Mahkamah Konstitusi. Metode penelitian dalam penulisan tesis ini yaitu penelitian hukum doktrinal dengan metode pengumpulan data studi kepustakaan untuk menjawab permasalahan yang kemudian hasilnya diharapkan akan bertujuan memberikan jalan keluar atau saran untuk mengatasi permasalahan. Berangkat dari pembahasan, sengketa proses administrasi pemilihan dan sengketa hasil Pilkada yang menjadi akar permasalahan dalam Pemilihan Kepala Daerah Tahun 2020 di Kota Bandar Lampung. Solusi yang ditawarkan ialah regulasi Pilkada 2020 berdasarkan pada UU Nomor 10 Tahun 2016 mengatur penyelenggaraan Pilkada dalam keadaan normal artinya belum terjadi pandemi Covid-19. Akan tetapi, UU tersebut harus dilakukan revisi karena Indonesia dalam kondisi pandemi Covid-19, dan perubahan regulasi Pilkada oleh KPU RI tidak secara tiba-tiba bagi KPU di Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota, tetapi perubahan regulasi dilakukan secara koordinatif dan sesuai tahapannya sehingga partisipasi masyarakat dapat terjaga secara kondusif untuk mengikuti proses demokrasi atau memberikan suaranya di TPS.

The 2020 Regional Head Election in Bandar Lampung City is an election process that has been regulated in Law No. 10 of 2016. However, in the stage mechanism there are Systematic and Massive Structured violations according to the findings of the Lampung Provincial Bawaslu based on reports followed up by the Lampung Provincial Bawaslu. There were violations before and after in determining candidates, the violations involved the use of ASN, the distribution of money to the community as well as the misuse of Covid-19 social assistance for campaign purposes carried out by the candidate pair No. 03 Hj. Eva Dwiana and Deddy Amrullah. In the decision of the KPU to cancel the candidate pair No. 03 and the pair No. 03 appealed to the Supreme Court to cancel the decision of the Bandar Lampung City KPU with an application to revoke the disqualification. In this case, the couple No. 02 Yusuf Kohar and Tulus Purnomo registered a case related to the determination of the recapitulation of the calculation obtained votes for the election of Mayor and Deputy Mayor Candidates of Bandar Lampung, then the plaintiff withdrew the application to the Constitutional Court. The research method in writing this thesis is doctrinal legal research with a method of collecting literature study data to answer problems which then the results are expected to aim at provide solutions or suggestions to overcome problems. Departing from the discussion, disputes over the election administration process and disputes over the results of the regional elections are the root of the problem in the 2020 Regional Head Election in Bandar Lampung City. The solution offered is the regulation of the 2020 Regional Elections based on Law Number 10 of 2016 regulating the implementation of the Regional Elections under normal circumstances, meaning that the Covid-19 pandemic has not occurred. However, the law must be revised because because Indonesia is in the condition of the Covid-19 pandemic, and the change in Regional Election regulations by the KPU RI is not sudden for the KPU in the Province and the Regency/City KPU, but the change in regulations is carried out in a coordinated manner and according to the stages so that public participation can be maintained in a conducive manner to follow the democratic process or vote at the polling station."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Al-Amin Ihza
"Pemungutan suara ulang adalah suatu prosedur yang diambil ketika terdapat kondisi- kondisi yang diatur oleh undang-undang seperti kecurangan-kecurangan berupa beberapa pemilih menggunakan hak pilih lebih dari satu kali dan terdapat beberapa pemilih tidak terdaftar yang terbukti ikut memilih. Hal ini dapat dilaksanakan di dalam Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia. Hal ini ditujukan untuk memberikan keadilan bagi seluruh pihak di dalam pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah namun di dalam pelaksanaannya dapat memakan waktu yang cukup lama. Di lain sisi, jabatan pemerintahan harus segera diisi untuk dapat memberikan kepastian hukum kepada masyarakat. Dengan melihat hal tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pelaksanaan pemungutan ulang dapat menyebabkan terhambatnya pelantikan bagi pasangan calon terpilih yang merupakan awalan dari masa jabatan pejabat tersebut. Skripsi ini akan membahas mengenai mekanisme pemungutan suara ulang di Indonesia. Pembahasan akan dititikberatkan kepada kasus Pemilihan Kepala Daerah di Labuhanbatu pada tahun 2020 yang berujung pada dilaksanakannya pemungutan suara ulang sebanyak dua kali di daerah pemilihan tersebut. Skripsi ini dituliskan dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif untuk menganalisis Pemilihan Kepala Daerah dan pemungutan suara ulang di Indonesia.

Re-election is the procedure that can be happened when there are some conditions which stated according to the law such as several voters used their voting right more than once and several unregistered voters using the right to vote. This thing also can be used in the election of the regional head officer in Indonesia. The purpose of this is to bring justice for everyone in the process of the election of the regional head officer but it also can consume a lot of times. On the other hand, the head of regional officer position needs to be changed in short period of time to bring the legal certainity for the people. Looking into this condition, we can conclude that this thing can impact the delay on the time of the inaugration for the elected candidate, which also the delay on the beginning of govern period. This thesis will discuss about the mechanism od the re-election in Indonesia. The discussion will be focused about the case of the regional head officer election in Labuhanbatu in 2020 which led into two times re-election in that region. This thesis is using the juridical normative method to analyze the election of the regional head officer and re-election in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sisri Rizky
"ABSTRAK
Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota yang diterbitkan oleh Presiden SBY pada tanggal 2 Oktober 2014 bertujuan untuk mengembalikan mekanisme pemilihan kepala daerah dari dipilih melalui DPRD yang diatur dalam UU Nomor 22 Tahun 2014 menjadi dipilih langsung oleh rakyat. Perppu ini bertentangan dengan sikap politik Koalisi Merah Putih KMP yang semula mendukung mekanisme pemilihan kepala daerah melalui DPRD. Akan tetapi, akhirnya KMP menyetujui untuk mengesahkan Perppu tersebut menjadi Undang-undang. Mengapa KMP mengubah sikap politiknya terhadap mekanisme pemilihan kepala daerah dengan menyetujui Perppu Nomor 1 Tahun 2014? Teori yang digunakan untuk menjawab pertanyaan penelitian ini adalah teori decision making yang dikemukakan oleh Giovanni Sartori. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif, dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara sebagai sumber data primer dan risalah serta media sebagai sumber data sekunder. Kesimpulan penelitian menunjukkan bahwa perubahan sikap politik KMP diakibatkan oleh adanya tekanan publik, melemahnya soliditas koalisi dan upaya menghindari kekosongan hukum yang kemudian diperkuat dengan adanya kesepakatan politik antara KMP dengan SBY dan Partai Demokrat. Kompensasi yang diterima oleh KMP dari perubahan sikap politiknya adalah berupa dukungan Partai Demokrat di DPR, yang direalisasikan dalam pembagian kursi pimpinan di DPR dan MPR serta kursi pimpinan Komisi DPR.

ABSTRACT
Perppu number 1 of 2014 on The Election of Governors, Regents, and Mayors which published by President SBY on 2nd October 2014 is an effort to restore the mechanism of local elections from elections through the DPRD as regulated in UU Number 22 of 2014 on the Election of Governor, Regent And the Mayor, becomes directly elected by the people. This Perppu is certainly contrary to the political stance of the Koalisi Merah Putih KMP which originally supported the election of regional heads through the DPRD. However, at last KMP agreed to ratify Perppu No. 1 of 2014 to become UU No. 1 of 2015 on the Election of Governors, Regents and Mayors. Why has the KMP changed their political stance on the local elections mechanism by approving the Perppu No. 1 of 2014 The decision making theory proposed by Geovani Sartori is the main theory of this research. This research uses qualitative research method, with two data collection techniques that are obtained from interviews as primary data sources and minutes and mass media as secondary data sources. The conclusion of the study is that the change over in KMP political stance is due to public pressure, weak coalition and avoiding legal gap which is then strengthened by political agreement between KMP, SBY, and Democratic Party. The compensation received by the KMP from the change of their political stance towards the electoral mechanism of the regional head by approving the Perppu No. 1 of 2014 is in the form of Democratic Party support to the KMP in the DPR, which is realized in the division of position on Head DPR and MPR and also DPR Commission positions."
2017
T47907
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bima Satria Ramadhan
"Pemilihan kepala daerah (Pilkada) merupakan suatu mekanisme untuk menentukan pemimpin di daerah yang berasal dari pilihan masyarakatnya. Hal ini sejalan dengan konsep kedaulatan kepada rakyat dan negara hukum sebagaimana telah diamanatkan oleh UUD 1945. Berbicara mengenai pelaksanaannya tidak terlepas dari peran Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara Pilkada di Indonesia. Dan juga kerangka hukum Pilkada yang telah dibuat sedemikian rupa untuk memberikan pengaturan dalam pelaksanaannya. Pada pelaksanaan Pilkada 2020 telah ditemukan calon kepala daerah yang sedang terlibat kasus hukum pada Pilkada Kabupaten Pesisir Selatan tahun 2020. Meskipun kepala daerah tersebut menyandang status terdakwa, ternyata tidak mempengaruhi KPUD Pesisir Selatan untuk tidak meloloskannya sebagai peserta Pilkada. Sampai kemudian ditetapkan sebagai kepala daerah yang terpilih. Berdasarkan fakta inilah timbul pertanyaan- pertanyaan terkait legalitas calon kepala daerah yang ditetapkan sebagai tersangka, terdakwa dan terpidana, serta legalitas terkait kemenangannya di Pilkada. Selain itu juga menimbulkan pertanyaan terkait jabatan yang diperoleh apakah memiliki legitimasi sesuai dengan UU tentang Pilkada dan UU tentang Pemerintahan Daerah. Metode yang digunakan dalam penelitian skripsi ini adalah yuridis normatif dengan pendekatan kualitatif dan menggunakan bahan studi pustaka serta wawancara. Penelitian ini menjadi penting untuk membahas implikasi hukum kepala daerah terpilih yang terlibat kasus hukum pada contoh kasus di Pilkada tahun 2020 serta mencarikan solusinya. Sehingga, selain dapat bermanfaat bagi pengembangan pembahasan secara teoritis, juga bermanfaat bagi Instansi Pemerintah terkait.

Regional head elections (Pilkada) are a mechanism to determine leaders in regions that come from the choices of the people. This is in line with the concept of sovereignty to the people and the rule of law as mandated by the 1945 Constitution. Talking about its implementation cannot be separated from the role of the General Elections Commission (KPU) as the organizer of Pilkada in Indonesia. And also, the Pilkada legal framework has been designed in such a way as to provide regulation in its implementation. During the Pilkada in 2020, a regional head candidate who was involved in a legal case in the 2020 Pesisir Selatan Regency election was discovered. Even though the regional head had the status of a defendant, it did not affect the Pesisir Selatan KPUD not to pass him as a Pilkada participant. Until then appointed as the elected regional head. Based on this fact, questions arise regarding the legality of the candidates for regional heads who are designated as suspects, defendants and convicts, as well as the legality of his victory in the Pilkada. In addition, it also raises questions regarding the position obtained whether it has legitimacy in accordance with the Law on Regional Elections and the Law on Regional Government. The method used in this thesis research is normative juridical with a qualitative approach and uses literature and interviews. This research is important to discuss the legal implications of elected regional heads who are involved in legal cases in the examples of cases in the 2020 Pilkada and find solutions. So, besides being able to be useful for the development of theoretical discussions, it is also beneficial for the relevant Government Agencies."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diffaryza Zaki Rahman
"Pada 2005, Bupati Bojonegoro menulis Surat Bupati Bojonegoro No. 050/872/412/12/2005 yang dianggap mengikat PT Asri Dharma Sejahtera untuk bekerja sama dengan PT Surya Energi Raya. Walaupun Surat a quo pada esensinya hanya merupakan surat balasan, Surat a quo dianggap sebagai suatu Keputusan Tata Usaha Negara yang mengikat PT Asri Dharma Sejahtera. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kewenangan kepala daerah dalam pengelolaan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), khususnya Bupati Kabupaten Bojonegoro untuk melakukan penyetujuan badan usaha sebagai rekanan kerjasama BUMD. Penelitian ini meninjau kasus Surat Bupati Bojonegoro No. 050/872/412/12/2005 yang menyetujui kerjasama pendanaan Participating Interest Blok Cepu antara PT Surya Energi Raya dengan PT Asri Dharma Sejahtera selaku BUMD serta untuk meninjau bagaimana keberlakuan serta kekuatan hukum Surat Bupati Bojonegoro No. 050/872/412/12/2005. Penelitian ini diselenggarakan dengan jenis penelitian yuridis-normatif. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa kepala daerah khususnya Bupati Kabupaten Bojonegoro hanya dapat bertindak sebagai pemegang saham dalam pengelolaan BUMD, bukan sebagai Direksi dan Surat Bupati Bojonegoro No. 050/872/412/12/2005 tidak memiliki keberlakuan dan kekuatan hukum yang mengikat serta tidak dapat dikategorikan sebagai sebuah Keputusan Tata Usaha Negara.

In 2005, the Regent of Bojonegoro release the Bojonegoroâ??s Regent Letter No. 050/872/412/12/2005 which is presumed to binds PT Asri Dharma Sejahtera to partner with PT Surya Energi Raya. Though the letter was only meant as a reply note, the letter still presumed by many as a State Administrative Decree that binds PT Asri Dharma Sejahtera. This study was conducted to determine the existence of the authority of the regional head regarding the management of Regional Owned Enterprises (ROE), especially the Regent of Bojonegoro to make approval of business entities as partners in the cooperation with Regional Owned Enterprises (ROE). This study examines the case of Bojonegoroâ??s Regent Letter No. 050/872/412/12/2005 which approved the cooperation in funding the Blok Cepu Participating Interest between PT Surya Energi Raya and PT Asri Dharma Sejahtera as ROE and to examine how is the legal strength of the Bojonegoro Regent Letter No. 050/872/412/12/2005. This study was conducted with a juridical normative research type. The results of this study indicate that the regional head, especially the Regent of Bojonegoro can only act as a shareholder in the management of the ROE, not as the Board of Directors and the Bojonegoro Regent Letter No. 050/872/412/12/2005 has no binding legal force and cannot be categorized as a State Administrative Decree."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
JIP 44(2014)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Budi Eko Wardani
"Perubahan partai politik setelah rezim Orde Baru membawa konsekuensi serius bagi peran partai politik. Pertama, adanya pergeseran peran partai politik dari aktor di pinggiran kekuasaan menjadi aktor utama yang berperan membentuk kekuasaan politik. Kedua, adanya keharusan partai politik melakuka reformasi internal untuk tujuan memenangkan kekuasaan politik sekaligus menjawab tuntutan publik. Ketiga, terkait keterlibatan partai politik dalam pemilihan untuk mengisi jabatan politik dan jabatan politik.
Partai politik lalu dihadapkan pada paradigma baru yaitu bekerja profesional, memiliki kemampuan bekerjasama atau bernegosiasi dengan partai lain dalam meraih kemenangan, serta melihat konstituen sebagai aset atau kapital yang harus terus dikumpulkan dan dipelihara. Salah satu strategi memenangkan pemilihan umum adafah melalui koalisi politik. Koalisi partai politik membentuk pemerintahan dan untuk memperkuat posisi tawar dalam proses politik di parlemen atau kabinet, menjadi hal tak terhindarkan dalam kehidupan partai di era reformasi ini. Fenomena tersebut dianggap wajar mengingat hasil Pemilu 2004 menghasilkan kekuatan partai yang terfragmentasi secara berimbang. Hal ini membuat keputusan membentuk koalisi menjadi tak terhindarkan. Salah satunya yang terjadil dalam pemilihan kepala daerah secara langsung (Pilkada).
Pilkada yang dimuiai pada Juni 2005 menjadi arena politik baru bagi partai-partai politik. Dari 211 Pilkada pada 2005, ada 126 Pilkada yang dimenangkan oleh pasangan yang diusung koalisi partai. Sedang 85 lainnya dimenangkan oleh pasangan salon yang didukung partai tanpa koalisi. Bagi partai, koalisi dalam Pilkada memiliki kekhasan yang patut dicatat, yaitu: (1) secara kuantitas formasi koalisi bisa sangat banyak yang disebabkan oleh banyaknya pemilihan; (2) adanya kebutuhan pemetaan yang memungkinkan pengurus pusat partai memberikan kebebasan relatif pada pengurus daerahnya untuk memutuskan koalisi; dan (3) kecenderungan pofa koalisi dalam Pilkada yang sangat menyebar dan nyaris sulit untuk diramalkan. Salah satu kasus yang diamati untuk menunjukkan kecenderungan tersebut adalah Pilkada Provinsi Banten pada 26
Tesis ini menggunakan tiga kerangka teori untuk menjawab pertanyaan penelitian. Pertama adalah teori koalisi politik dari William Riker yang menekankan prinsip ukuran (Minimal Winning Coalitions) dan Robert Axelrod yang menekankan prinsip kedekatan preferensi kebijakan (Minimal Connected Winning). Kedua, teori pilihan rasional untuk melihat kontestasi pilihan-pilihan kepentingan yang menjadi dasar pengambilan keputusan para aktor untuk berkoalisi. Keputusan berkoalisi adalah sebuah pilihan rasional dalam rangka memaksimalkan kepentingan atau keuntungan yang dapat diraih. Ketiga, adalah teori oligarki dari Robert Michels. Teori ini digunakan untuk melihat pengaruh struktur partai dalam mempengaruhi pembentukan koalisi partai.
Setidaknya ada lima faktor yang diuji dalam tesis ini - mengacu pada kasus Pilkada Banten- untuk melihat pengaruhnya dalam pembentukan koalisi partai. Pertama adalah pemetaan kekuatan politik di DPRD. Tingkat pengaruh faktor ini sedang karena diperlukan untuk memenuhi persyaratan pencalonan 15% suara atau kursi. Tetapi calon dapat saja membentuk koalisi dengan partai-partai non parlemen jika diperlukan. Kedua, pertimbangan platform partai dalam pembentukan koalisi, apakah sifatnya ideologis atau pragmatis. Tingkat pengaruh faktor ini rendah karena partai pada dasarnya dapat membangun koalisi dengan partai manapun tergantung pemaksimalan kepentingan yang dapat diraih.
Faktor ketiga adalah mekanisme internal penjaringan oleh partai politik. Tingkat pengaruh faktor ini rendah karena tidak ada keharusan partai melakukan penjaringan internal, dan kalaupun dilakukan, hasilnya tidak mengikat atau dapat dibatalkan oleh pengurus pusat. Keempat adalah peran dewan pengurus pusat (DPP) partai. Tingkat pengaruh faktor ini tinggi karena rekomendasi atau persetujuan DPP bersifat mutlak sehingga tidak ada alternatif lain bagi pengurus daerah selain mengikuti petunjuk DPP. Dan kelima adalah peran figur bakal calon kepala daerah. Tingkat pengaruh faktor ini tinggi dalam pembentukan koalisi karena figur yang mendanai penggalangan dukungan selama pencalonan. Partai politik secara institusi biasanya tidak rnengeluarkan materi untuk mendukung pencalonan kepala daerah.

The post new order change within political parties brought serious consequences towards their role: These include: the shift within the political parties' role from being marginal actors in the national power sphere, towards assuming a main role in the formation of political power; political parties being obliged to conduct internal reforms for the sake of winning the contested political power and in order to answer public demands; political parties' involvements in elections dedicated towards filling political position slots.
Political parties were then introduced to a new paradigm which encompassed virtues such as professionalism, ability to cooperate and negotiate with other parties in the attempt of winning the election, and in how they were to view constituents as valuable assets of which supports must always be gathered and preserved. One of the strategies in winning political elections is by creating political coalition(s). Political coalitions in building a new government and in order to create a better bargaining power in the parliamentary or cabinet political processes have become an inevitable phenomenon in this post-reform era. This phenomenon was considered as an obvious one due to the fact that the 2004 election had bred out a fragmentated and balanced political party power configuration. Such configuration later induced many parties to form coalitions as a necessity to anticipate the situation in other elections, as can be seen in the direct regional leader election ("Pemilihan Kepala Daerah Langsung" - PiLKADA).
The Pilkada, which began on June 2005, became a new arena for political parties. From over 211 Pilkada held in 2005, 126 of them were won by candidates supported by party coalitions, while another 85 were won by candidates supported by parties not engaging in coalitions. For many parties, the coalitions made during the Pilkada had certain features: (1) Quantitatively, the abundance of coalitions was made possible due to the many elections held; (2) mapping requirements made many central party officials to allow greater freedom for their local agents to decide coalitions; (3) the tendency within Pilkada coalition patterns exhibited a divergent and unpredictable trend. One of the examined which showed such tendency was the Banten Province Pilkada held on November 26, 2006 in which 4 candidate pairs who participated in this event were all supported by political party coalitions.
This thesis applies three theoretical frameworks in order to answer its research question. The first one is political coalitions theory by William Riker, which emphasizes the measurement principle (Minimal Winning Coalitions), and Robert Axelrod, which emphasizes the policy preference connectedness principle (Minimal Connected Winning). The second one is the rational choice theory which will be used to analyze the contestation of interest choices, which serves as a basis for actors' decision making to form coalitions. Such decision can be seen as a rational choice in order to maximize an actor's interest and benefits. The third theoretical framework applied here is oligrarchic theory by Robert Michels. This theory will be used to view how party structures influence the decision to form coalitions.
There at least five factors which this thesis seeks to analyze, referring to the Banten Pilkada case, in order to see their effect to party coalition formations. The first factor is the political power mapping in DPRD level. This factor's level of influence is medium, due to its function to fulfill the 15% vote or chair requirement. However, candidates may likely form coalitions with non-parliamentary parties if necessary. The second factor is the party platform considerations in coalition formations, whether they include the involvement of ideological preferences or more pragmatic stances. The influence level of this factor can bee deemed low due to the fact that most parties are likely to build coalitions with any party depending on the interest maximization which can be gained.
The third factor is the internal networking mechanisms by political parties. This factor's level of influence is low due to the inexistence of requirements by parties to conduct internal networkings. However, if such mechanism is to occur, the results would likely to be non-bounding or cancellable according to the decision of central organizers. The fourth factor is the role of party's central organizing board (Dewan Pengurus Pusat - DPP). This factor has a high level of influence due to the absolute recommendation or agreement made by the DPP which in turn negates all other alternatives for local organizers to follow except the ones established by the DPP. The fifth factor is the role of local leader candidates. This factor is highly influential in determining the coalition formation due to the role of certain figures who financially support the candidates. Political parties are normally refrained from committing material supports during the local leader elections."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2007
T19281
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>