Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 36516 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yanuardi
"ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi basil implementasi kebijakan sosial bagi Lanjut Usia Terlantar (LUT) di DIY. Metode Penelitian deskriptif kualitatif dengan menggunakan analisis data primer dan data sekunder yang diperoleh dari wawancara, FGD, observasi, dan studi dokumentasi. Teknik pengecekan keabsahan data yang digunakan adalah dengan triangulasi sumber. Hasil penelitian ini menunjukkan, bahwa implementasi kebijakan sosial bagi LUT di DIY masih belum optimal, yang dapat dibuktikan dari ju mlah LUT yang terkover dalam keb ij akan masih sangat sedikit, kualitas layanan yang diberikan untuk LUT masih minimal, pelibatan masyarakat dalam mengurus lansia belum maksimal, dan kebijakan yang khusus mengelola LUT belum ada. Hal ini terjadi karena, pertama kebijakan sosial khusu s untuk LUT belum tersedia, akibatnya kebijak an yang ada masih sangat parsial dan tumpang tindih dengan kebijakan kemiskinan,sehingga pelaksanaannya tidak sensitif lansia. Kedua, dana dan infrastruktur yang tersedia baik di panti dan non panti masih sangat minim dibandingkan dengan jumlah total LUT di DIY. Ketiga,jumlah sumberdaya (SDM) berkualitas pelaksana kebijakan masih terbatas dan sedikit."
Yogyakarta: Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pelayanan Kesejahteraan Sosial (B2P3KS), 2017
300 JPKS 16:1 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Wahyuni Pudjiastuti
Jakarta: Dharma Ilmu Press, 2011
352.3 WAH e
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Dodi Priyowahono
"Pinjaman daerah sebagai alternatif pembiayaan daerah perlu direncanakan dan dikendalikan secara matang dan komprehensif sehingga dalam pengelolaannya tidak memberatkan keuangan daerah. Namun yang lebih penting dan mesti dijadikan pegangan adalah harus dihindari jumlah pinjaman di luar kemampuan kapasitas keuangan daerah. Oleh karenanya, Pemerintah perlu mengatur secara hati-hati kebijakan pinjaman daerah agar tidak terjadi distorsi dalam implementasinya serta tidak akan bertentangan dengan spirit otonomi daerah itu sendiri. Tujuan penelitian ini adalah evaluasi terhadap formulasi kebijakan pemerintah, khususnya formulasi DSCR pada Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2005 tentang Pinjaman Daerah, untuk dikaji apakah sebagai instrument kebijakan cukup efektif dalam pengukuran kapasitas fiskal daerah.
Desain penelitian merupakan penelitian kualitatif dengan mengintegrasikan metode evaluasi, metode studi literatur, dan metode wawancara, dengan model penguraian dalam bentuk analisis deskriptif berdasarkan teori analisis kebijakan mempergunakan model retrospektif (model evaluatif). Teknik pengumpulan data dilakukan dengan teknik studi literatur (data skunder) sebagai sumber data utama dan teknik wawancara (data primer) sebagai data pelengkap. Sehubungan obyek penelitian adalah formulasi kebijakan pemerintah, maka locus penelitian diarahkan pada institusi tingkat penyusun kebijakan, yaitu Departemen Keuangan cq. Ditjen Perbendaharaan dan Ditjen Perimbangan Keuangan di Jakarta. Sedang teknik analisis data dilakukan melalui klasifikasi, kompilasi dan komparasi data APBD tahun 2005 dan 2006, kemudian dilakukan kajian berdasarkan analisis kebijakan retrospektif menyangkut : (a) analisa DSCR dengan komponen PAD, DAU, DBH, Belanja Wajib; dan (b) kapasitas fiskal daerah beserta faktor-faktor pendukungnya.
Temuan dalam penelitian ini adalah : (1) adanya ketidaksesuaian (mismacht) komponen pembagi dalam formulasi DSCR serta terlalu kecilnya angka rasio DSCR yang ditetapkan yaitu sebesar > 2,5 menyebabkan kurang efektifnya analisa DSCR dalam pengukuran kapasitas fiskal daerah; dan (2) dilematis permasalahan investasi daerah terkait dengan kebijakan Peningkatan Iklim Investasi dan kebijakan Percepatan Pembangunan Kawasan dan Daerah Tertinggal.
Sehubungan hal tersebut, peneliti menyarankan dalam penetapan pinjaman daerah, disamping menggunakan parameter analisa DSCR, perlu mempertimbangkan manfaat langsung proyek dan dampak sosial kepada masyarakat. Disamping itu, dalam upaya penyempurnaan formulasi DSCR, untuk memperoleh refleksi kapasitas daerah yang lebih realistis, khusus menyangkut komponen DAU selain dikurangi biaya wajib (belanja pegawai dan belanja legislatif) juga perlu diperhitungkan dengan belanja rutin (belanja barang, pemeliharaan serta belanja operasional pemerintahan umum lainnya) yang sifatnya termasuk dalam belanja mengikat (committed expenditure). Hal ini mempertimbangkan realita porsi terbesar dana DAU (hampir 70 persen) dialokasikan untuk belanja pegawai/rutin operasional, sehingga sisanya sebesar 30 persen merupakan dana bebas yang dapat dipergunakan untuk pembayaran pinjaman. Diharapkan dengan format baru tersebut hasil perhitungan DSCR akan menjadi lebih akurat dan obyektif. Sedangkan penetapan ambang minimum sebesar 2,5 dipandang cukup moderat sebagai batas ukuran untuk sekaligus mengakomodir dua kepentingan, yaitu : kesempatan yang adil bagi daerah-daerah yang memiliki kapasitas fiskal rendah, dan mengamankan prudent borrowing policy yang telah digariskan pemerintah.

Local borrowing as alternative for local financing must be planned and controlled thoughtfully and comprehensively in order for its management not putting any burden on local finance. Yet more importantly and the thing to be held on is the avoidance on the amount of borrowing beyond the ability of the local finance capacity. For that reason, the government must regulate carefully policies on local borrowing so there wouldn’t be any distortion in its implementations as well as not contrary to the spirit of the local autonomy itself. The aim of this research is evaluation on government policy formulation, especially DSCR formulation in Government Regulation Number 54 Year 2005 concerning Local Borrowing, in order to be analyzed whether as policy instrument it is effective enough in measuring local fiscal capacity.
The research design is qualitative kind which its integrated evaluation method, literature study method, and interview method, with explanation model using descriptive analysis based on policy analysis theory using retrospective model (evaluative model). Data collecting technique is performed by literature book study technique (secondary data) as the primary data source and interview technique (primary data) as supplementary data source. Since the research object is government policy formulation, therefore the research locus is directed toward policy making institution level that is Ministry of Finance in this case Directorate General of Trasury and Directorate General of Finance Balance in Jakarta. The data analysis technique is performed through classification, compilation, and comparison on local budget data in 2005 and 2006, afterward analysis is performed based on retrospective policy analysis related to : (a) DSCR analysis with the components of PAD, DAU, DBH, Obligatory Expenditures; and (b) local fiskal capacity along with its supplementary factors.
The findings of this research are : (1) the existence of mismatch on the dividing component in DSCR formulation as well as the too small figure of DSCR ratio determined that is > 2,5 resulting in lack of effectiveness on DSCR analysis in measuring local fiskal capacity; and (2) dilemmatic local investment problems related to the policy of Investment Climate Improvement and policy of Acceleration on Left Behind Region and Local Development.
Related to the above thing, the researcher suggest that in determining local borrowing, besides using DSCR analysis parameter, it is also necessary to consider the immediate benefits of the project and its social effects on community. Besides that, in the efforts to perfect DSCR formulation, to obtain more realistic local capacity reflection, especially related to DAU component other than reducing obligatory costs (employee expenditures and legislative expenditures), it is also necessary to calculate the routine expenditures (expenditures on goods, maintenance, and other general government operational expenditures) with its characteristic included in committed expenditures. These by considering the reality that the largest portion of DAU funds (almost 70 percent) is allocated for employee expenditure/operational routines, therefore the remaining of 30 percent is free funds that can be used for borrowing payment. It is expected that with that new format the calculation results of DSCR will be more accurate and objective. As for the determination of minimum threshold of 2,5 it is considered moderate enough as measuring limit in order simultaneously accommodate two interests those are : fair opportunities for local areas with low fiscal capacities, and securing prudent borrowing policy already determined by the government.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2007
T19248
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sinaga, Suryantika
"Penelitian ini berangkat dari ketertarikan peneliti mengenai dampak sosial relokasi terhadap pedagang kaki lima. Pokok masalah penelitiannya adalah bagaimana para pedagang kaki lima (PKL) untuk dapat berkesinambungan melakukan kegiatannya di lokasi binaan? Dan fokus tersebut, peneliti mempertanyakan mengenai tindakan para PKL dalam menjalankan usahanya terkait dengan adanya kebijakan relokasi ke wilayah binaan, termasuk faktor-faktor yang menyebabkan pedagang mendukung atau menolak adanya relokasi. Munculnya pertanyaan-pertanyaan demikian, karena belakangan ini banyak para pedagang yang melakukan aksi keluar dari lokasi pasar binaan ini. Sebagian diantara mereka membuka tempat dagangnya di lokasi semula, yakni di sepanjang jalan Pal Merah hingga ke dekat perempatan jalan dekat Tol Gatot Subroto.
Padahal relokasi yang diberlakukan Gubernur DKI Jakarta terhadap beberapa pedagang kaki lima di lokasi Paal Merah sedikit banyak dapat merubah kondisi sosial ekonomi pedagang maupun lingkungan disekitarnya. Setidaknya di kalangan pedagang kaki lima sendiri terdapat kesadaran bahwa kebijakan Pemda DKI ini akan membawa, pada perbaikan usaha mereka. Begitu pula dari segi ketentraman dan ketertiban, relokasi telah membawa pada kondisi yang lebih baik, yakni dapat mengurangi kemacetan lalu lintas, mengurangi kekumuhan, serta membuat lingkungan menjadi nyaman dan aman.
Secara metodologis, penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan mendasarkan pada metode deskriptif. Ada tiga teknik metode penggalian data, diantaranya: kajian literatur (literature review), wawancara mendalam (indepth interview), dan pengamatan (observation). Hasil data yang terkumpul kemudian dideskripsikan dan dianalisa.
Sedangkan landasan teori yang digunakan adalah teori sektor informal dan teori pedagang kaki lima. Dan untuk menopang kedua teori tersebut, peneliti juga menggunakan teori Weber mengenai tindakan ekonomi dapat dipandang sebagai tindakan sosial selama tindakan tersebut memperhatikan tingkah laku orang lain. Pada sisi ini peneliti mencoba memahami bagaimana para pedagang memahami (verstehen) kebiasaan-kebiasaan, norma, hubungan sosial, dan jaringan yang dibentuk para pedagang.
Dari penetitian ini diperoleh gambaran bahwa dilakukannya relokasi terhadap para pedagang kaki lima ke Lokasi Binaan Pal Merah Kelurahan Gelora, ternyata membawa dampak yang cukup positif bagi usaha dan ketertiban lingkungan. Bagi para pedagang, relokasi tidak menghambat kelangsungan usaha mereka. Bahkan di lokasi yang barn ini mereka dapat lebih berkembang karena ditopang oleh adanya modal yang cukup dan jaringan yang memadai dengan pemasok dan pembeli.
Kenyataan ini disebabkan oleh beberapa faktor yang melingkupinya, diantaranya: Panama, karena mereka ingin mendapatkan konsumen lebih banyak lagi. Kedua, karena fasilitas di lokasi pasar yang kurang terawat. Ketiga, kurangnya kepatuhan para pedagang kaki lima. Keempat, kurangnya ketegasan Pemda dan Pengelola pasar dalam melakukan penertiban di luar pasar. Kelima, adanya beberapa pedagang yang mendapatkan pekerjaan baru. Hal ini karena ada sebagian pedagang yang menjadikan kaki lima sebagai pekerjaan sampingan atau sementara sebelum diterima di tempat kerja yang lain. Keenam, mereka kembali ke kampung karena bekerja di Jakarta temyata dihadapkan pada persaingan yang ketat.
Meski demikian, pedagang yang tetap memilih berdagang di Lokasi Binaan ini masih cukup banyak. Ada beberapa faktor yang menjadi pendukung tetapnya mereka berjualan di lokasi tersebut, diantaranya: Pertama, pendapatan yang diperoleh para pedagang jika hanya untuk memenuhi kehidupan sehari-hari dianggap sudah cukup. Kedua, adanya kepatuhan yang dimunculkan oleh para pedagang. Sikap patuh menjadi salah satu elemen penting dalam implementasi suatu kebijakan Ktliga, tidak perlu menambah modal lebih besar lagi untuk pembuatan lapak dan biaya-biaya pungutan lainnya. Keempat, merasa lebih aman karena terhindar dari premanisme.
Sedangkan kesimpulan teori pada penelitian ini adalah bahwa usaha kaki lima sebagai salah satu bentuk sektor informal memang masih dipandang sebagai golongan nomor dua. Meski demikian, upaya pemerintah untuk meningkatkan taraf hidup mereka sudah mulai nampak dengan dilakukannya relokasi. Namun ini pun masih belum optimal. Sementara terkait dengan teori Weber mengenai tindakan ekonomi dapat dipandang sebagai tindakan sosial selama tindakan tersebut memperhatikan tingkah laku orang lain, maka pengertian ini bersifat menguatkan teori tersebut. Sebab secara umum, di kalangan pedagang kaki lima terdapat intraksi sosial, hubungan sosial, dan jaringan yang dibangun untuk menopang usaha mereka."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13729
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
R. Aju Eko Suprapti
"Krisis moneter yang melanda Indonesia telah memberi dampak negatif bagi semua pelaku ekonomi. Bukan cuma importir dan eksportir yang masih bertumpu pada komponen impor yang merasa risau, tapi berjuta rakyat jelata harus menjerit-jerit karena naiknya harga barang dan bahkan mengalami PHK akibat perusahaan tempat mereka bekerja tidak mampu lagi membiayai kegiatan produksi.
Pemerintah melalui Departemen Tenaga Kerja R.I. sudah berupaya melindungi pekerja dalam hal pengupahan, yaitu tertuang dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. PER-QIJMEN11999 tentang Upah Minimum yang wajib dilakukan oleh semua pengusaha. Untuk penyesuaian besarnya upah minimum dalam PERMENAKER tersebut dalam pasal 4 ayat (5) dijelaskan bahwa besarnya upah minimum tersebut diadakan peninjauan kembali selambat-Iambatnya 2 (dua) tahun sekali. Dalam pasal 6 ayat (1) disebutkan bahwa UMR tersebut ditetapkan dengan rnempertimbangkan kebutuhan hidup, indeks harga konsumen, kemampuan, perkembangan dan kelangsungan perusahaan, upab pada umumnya, kondisi pasar dan tingkat perkembangan perekonomian serta pendapatan perkapita.
Tujuan peraturan upah minimum adalah untuk meningkatkan upah para pekerja yang masih berpendapatan di bawah upah minimum. Jika tidak ada hal lain yang berubah, maka upah rata-rata semua pekerja juga akan meningkat. Sayangnya, kenyataan tidaklah sesederhana itu. Penerapan upah minimum oleh pemerintah mempengaruhi pasokan maupun permintaan dalam pasar tenaga kerja. Karena itu dampak upah minimum tidak terbatas hanya pada masalah upah, tetapi juga pada penyerapan tenaga kerja.
Upah bagi pekerja memiliki manfaat sebagai imbalan terhadap output produksi yang dihasilkan dan sebagai perangsang bagi peningkatan produktifitas. Bagi perusahaan, upah merupakan salah satu komponen biaya produksi yang dipandang dapat mengurangi tingkaat laba yang dihasilkan. Oleh karena dipandang sebagai biaya faktor produksi, maka pengusaha berusaha untuk menekan upah tersebut sampai pada tingkat yang paling minimum, sehingga laba perusahaan dapat ditingkatkan.
Dampak positif dari kebijakan upah minimum adalah upah yang diterima oleh pekerja akan meningkat. dni akan meningkatkan taraf hidup pekerja tersebut. Namun karena upah oleh perusahaan dianggap sebagai salah satu faktor produksi yang harus ditekan pengeluarannya, maka perusahaan akan mengurangi jumlah pekerjanya dengan cara memberhentikan tenaga kerja yang kurang/tidak produktif untuk mengurangi biaya produksi.
Dampak negatifnya, jumlah pengangguran akan semakin besar, hal ini akan menambah beban bagi pemerintah, kemiskinan akan bertambah banyak. Padahal.tujuan dari upah minimum adalah meningkatkan kehidupan pekerja, sementara dengan adanya PHK terhadap pekerja-pekerja yang tidak berpotensi oleh perusahaan yang tidak mampu membayar sesuai ketentuan upah minimum akan menyebabkan penganguran semakin meningkat."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2003
T12571
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rushdy Hoesein
"Pemilihan judul "Kebijakan Politik Kabinet Sjahrir" sebagai objek penelitian didasarkan atas ketertarikan peneliti pada hal-hal yang muncul dalam periode ketika Sutan Sjahrir berkuasa sebagai Perdana Menteri, mulai 14 November 1945 sampai 27 Juni 1947.
Sebagaimana diketahui masa kerja kabinet berlangsung dalam 3 babak Pemerintahan yaitu Kabinet Sjahrir pertama (14 November 1945 - 12 Maret 1946), Kabinet Sjahrir kedua (13 Maret 1946 - 2 Oktober 1946) dan Kabinet Sjahrir ketiga (2 Oktober 1946 - 27 Juni 1947).
Periode 14 November 1945 - 27 Juni 1947 menjadi panting karena merupakan awal perjuangan Revolusi Kemerdekaan dimana unsur konflik militer yang memunculkan pertempuran merupakan bagian yang sukar dipisahkan dalam kehidupan sehari-hari. Semestinya, Kabinet Sjahrir adalah kabinet perang. Namun Sutan Sjahrir tidak memfungsikan pemerintahannya sebagai kabinet yang kuat dan rniliteristik tapi justru memulai fondasi sistim pemerintahan yang demokratis. Tapi perhatiannya pada masalah militer tidak dikesampingkan begitu saja. Dalam hal ini peneliti ingin mengetahui bagaimana kebijakan militer selama 20 bulan pemerintahan tersebut. Apa yang terjadi dan usaha-usaha politik militer apa yang dilakukan guna mempertahankan kemerdekaan. RI sejak proklamasi 17 Agustus 1945 ?
Sjahrir bercita-cita mewujudkan kemerdekaan RI yang merupakan jembatan untuk mencapai tujuan sebuah Negara yang menjunj ung kerakyatan, kemanusiaan, kebebasan dari kemelaratan, menghindari tekanan dan penghisapan, menegakkan keadilan, membebaskan bangsa dari genggaman feodalisme dan menuju pendewasaan bangsa. Tujuan itu tidak disebut-sebut dalam program awal kabinet pertama RI (18 Agustus 1945 - 14 November 1945) yang dipimpin Soekamo yang berbentuk Kabinet Presidensial.
Kesempatan untuk mewujudkan cita-cita itu datang dalam persidangan pertama Komite Nasional Indonesia Pusat di Jakarta tanggal 16 Oktober 1945. Ketika itu Sjahrir diminta duduk sebagai ketua Badan Pekerja K.N.I.P dimana sebagian besar anggotanya sedang mengusulkan perubahan fungsi K.N.I.P dari hanya sebagai badan pembantu Presiden, menjadi lembaga legislatif. Hal itu didukung Hatta yang menerbitkan Maklumat Wakil Presiden No.X tentang pemberian kekuasaan legislatif kepada K.N.I.P. Bersama Presiden KN.I.P juga ditetapkan ikut menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara.
Setelah menjabat, di lembaga tersebut Sjahrir menyusun Haluan Negara yang menggambarkan kedudukan R.I sebagai perwujudan hak menentukan nasib sendiri suatu Negara demokratis.
Untuk mewujudkan Republik Indonesia sebagai negara hasil perjuangan Bangsa Indonesia yang demokratis, atas pemikiran Sjahrir pada tanggal 1 November 1945 diterbitkan Manifesto Politik oleh Pemerintah. Haluan Politik Pemerintah tersebut ditandatangani Wakil Presiden Mohammad Hatta.
Untuk mendukung kebijakan nasional baru, pada tanggal 3 November 1945 diterbitkan Maklumat Pemerintah lainnya yang isinya antara lain, berdasarkan usul badan pekerja K.N.I.P, bahwa Pemerintah memberi kesempatan pendirian partai-partai politik.
Kemudian, sebagai ketua BY K.N.I.P, Sjahrir mengajukan maklumat K.N.I.P no.5 tanggal 11 November 1945 yang isinya pembentukan kabinet dengan susunan menteri yang bekerja kolektif yang dipimpin Perdana Menteri. Perdana Menteri ditunjuk oleh Kepala Negara. Format itu terpaksa disetujui Presiden Soekarno. Proses selanjutnya, pada tanggal 14 November 1945 terbentuk Kabinet R.I kedua yang berbetuk kabinet ministerial dengan Sjahrir sebagai Perdana Menteri."
Depok: Universitas Indonesia, 2003
T2327
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Sri Milawati
"Industri rokok di Indonesia termasuk salah satu industri yang memberikan sumbangan-pajak non migas yang besar kepada pemerintah. Cukai yang diterima pemerintah dalam APBN, meningkat terus dari tahun 1998 dengan realisasi penerimaan 8,6 triliun sampai dengan tahun 2001 sebesar 18,2 triliun dan pada tahun 2002 realisasi penerimaan 23,34 triliun.
Industri rokok saat ini menghadapi masalah yaitu peningkatan penerimaan pajak dengan kenaikan tarif cukai dan HJE. Disini penulis satu masalah yang menarik untuk dipela jari yaitu : apakah kebijakan pemerintah mengenai tarif cukai & HJE yang hampir setiap tahun mengalami perubahan akan berdampak pada produksi rokok dan penerimaan cukai rokok? Bagaimana perbedaan kebijakan pemerintah pada rokok kretek dan rokok putih, dan dampaknya terhadap penerimaan cukai rokok?
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian terhadap masalah yang dikemukakan diatas adalah melihat hubungan tarif cukai dari HJE dengan produksi, melihat hubungan tarif cukai dan HJE dengan penerimaan cukai, menganalisa peluang usaha bagi perusahaan kecil untuk masuk pasar industri rokok yang bersifat oligopoli dan melihat dampak dari perubahan tarif cukai & HJE terhadap produksi rokok perusahaan dominan, dan pengaruhnya pada penerimaan cukai pemerintah.
Untuk meneliti digunakan metodologi Structure, Conduct, Performance (SCP). Pendekatan SCP digunakan untuk menganalisa hubungan antara struktur, perilaku dan kinerja industri rokok dan didukui Ig oleh metode regresi dengan model OLS(Qrdinary Least Squares) sistem time series dan panel data. Untuk melihat hubungan statistik antara variabel-variabel yang telah dijelaskan secara kualitatif pada pendekatan SCP.
Terdapat hubungan antara tarif cukai, produksi dan HJE dengan penerimaan cukainya. Pada panel data probabilita t untuk produksi, tarif cukai dan ME nilainya signifikan secara sendiri-sendiri, sedangkan untuk probabilita F statistik nilainya signifikan secara bersama-sama, untuk jenis SKM dan SKT. Pada time series untuk jenis SKM dan 5PM probabilita t pada produksi nilainya signifikan, tetapi probabilita t untuk tarif cukai pada SKM, SKT dan SPM tidak signifikan, probabilita F statistik nilainya pada SKT, SKM dan SPM signifikan secara bersama-sama.
Berdasarkan penelitian diatas, ditemukan bahwa tarif cukai dan HJE mempengaruhi penerimaan cukai. Perubahan tarif cukai dan HJE juga dapat mempengaruhi perilaku perusahaan rokok dalam penjualannya. Untuk 3 tahun terakhir periode 2000 - 2002, terlihat penurunan total produksi rokok. Bila dikaitkan dengan tujuan utama cukai dalam rokok, kebijakan pemerintah dalam perubahan tarif cukai dan HJE periode tahun 2000 - 2002 yang dalam setahun bisa 2-4 X berubah adalah cukup-efektif."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2004
T12057
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Priyanto Wibowo
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2002
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Triharto Hari Sadino
"Penelitian ini difokuskan pada analisis implementasi kebijakan oleh pemerintah, dalam hal ini Direktorat Jenderal Imigrasi pada pengunaan visa elektronik bagi pelaku bisnis Ekonomi APEC yang akan melakukan perdagangan dan investasi. Penelitian ini termasuk penelitian kualitatif dengan desain deskriptif.
Model operasional penelitian mengunakan teori Implementasi Kebijakan George Edward III Tahun 1980, yaitu ada 4 (empat) variabel penting yang menentukan apakah suatu kebijakan yang dikatakan efektif atau tidak efektif, variabel itu adalah komunikasi, sumber daya, disposisi (sikap), dan struktur birokrasi. Informan dalam penelitian ini terdiri 8 (delapan) responden yang mewakili steakholder kebijakan KPP APEC. Pengumpulan data dilakukan dengan studi literatur dan wawancara mendalam, sedangkan analisis dilakukan mengunakan analisis GAP, yaitu analisis perbedaan antara persepsi harapan yang diinginkan dengan adanya kebijakan di bidang keimigrasian dengan implementasi kebijakan KPP APEC pada Ekonomi Indonesia, dengan terdiri dari Regulator Kebijakan; Operator Kebijakan; dan Penguna Kebijakan.
Dari analisis GAP terhadap hasil wawancara dengan survei lapangan, memperoleh kesimpulan bahwa implementasi kebijakan KPP APEC pada Ekonomi Indonesia, berdasarkan 4 (empat) variabel penting, George Edward III Tahun 1980 dinyatakan belum efektif. Hal ini dapat dilihat dari analisis implementasi kebijakan pada komponen Operator Kebijakan, penguna kebijakan belum efektif, meskipun dari sisi komponen Regulator sudah efektif. Hasil penelitian menyarankan bahwa kepada Regulator kebijakan: 1. untuk membuat kebijakan yang lebih memudahkan pemberian KPP APEC pada pelaku bisnis domestik; 2. untuk membuat kebijakan yang lebih transparan pada proses pre-clearance bagi pelaku bisnis Ekonomi Skema KPP APEC. Kepada pihak operator kebijakan perlu terus dilakukan penelitian terhadap kualitas pelayanan bagi pemegang KPP APEC di Tempat Pemeriksaan Imigrasi (TPI) yang telah ditentukan. Selain itu, kepada masyarakat umum, dalam hal ini pelaku usaha untuk terus menerus melakukan pengawasan dan penilaian, agar kebijakan tersebut betul-betul terlaksana sesuai dengan persepsi harapan kebijakan tersebut dimunculkan.

The research focuses on the analysis of implementation of government policy, in this matter the Directorate General of Immigration is using the electronic visa for the APEC Economy Business user who does trading and investing.
The research included as qualitative with descriptive design.
The operational research model used a theory of George Edward III Policy Implementation in the year of 1980, there are 4 (four) important variables which decide whether a policy is effective or not. The variables are communication, resources, behaviors and bureaucratic structures. There are 8 (eight) respondents who became the informants and represent the stakeholders in the policy of KPP APEC. Data gathering was done by studying literature and close encounters interview, while analysis done by using GAP analysis. Analysis the differences between hope-perception that needed with policies in Immigration sector with the implementation of KPP APEC policy on the Indonesian Economy, consist of Policy Regulator; Policy Operator; and Policy user.
From the GAP analysis of the result of the interview with field survey, have a end result that KPP APEC policy implementation on the Indonesian Economy, based on the 4 (four) valuables variable, The George Edward III in the year of 1980 is not yet effective. This matter can be viewed from the analysis of the policy implementation on the Policy Component Operator, policy user isn?t yet effective, even though from the Regulator component side is already effective. The result of this research suggest the Policy Regulator; 1) to make policy that may be easier in providing KPP APEC as domestic business user; 2) to make policy becomes more transparent on the process of pre-clearance as Economy Business user Scheme for KPP APEC. The Policy operator should continue with their research on the service quality of KPP APEC holder at the Immigration Checkpoint stated. Beside that, as for the general public, in this matter concern on the business user to continue their controlling and evaluating, so that the concern policy is real and on based on the hope-perception policy itself."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2008
T 25358
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Suprihartini
"Akselerasi globalisasi terns meningkat seiring dengan pesatnya kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Kemampuan teknologi informasi dan komunikasi saat ini akan mengalihkan organisasi dan masyarakat pada cara bagaimana mereka mengelola dan kecepatan merespon terhadap informasi yang diperoleh. Teknologi informasi telah dimanfaatkan secara luas dihampir semua aspek kehidupan manusia. Pemanfaatan secara luas ini mengakibatkan perubahan mendasar pada jenis pekerjaan yang menggunakan teknologi tersebut secara umum.
Sejalan dengan perkembangan era globalisasi dan informasi, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sebagai infrastruktur politik dan lembaga representasi rakyat tidak bisa menghindar dan arus besar tuntutan perubahan Iingkungan globalisasi yang bercirikan dengan terbukanya akses melalui perkembangan teknologi informasi. Sejalan dengan perkembangan era globalisasi tersebut, Sekretariat Jenderal DPR-RI sebagai Kesekretariatan Lembaga Tinggi Negara yang mempunyai togas pokok memberikan dukungan teknis administrasi dan keahlian kepada DPR-RI jugs harus melakukan perubahan/penyesuaian yang signifikan dan tidak dapat terlepas dan pengaruh perkembangan teknologi informasi dalam menjalankan tugasnya sehari-hari.
Untuk itulah guna menunjang pelaksanaan tugasnya dalam memberikan dukungan teknis administrasi dan keahlian kepada DPR-Rl serta untuk meningkatkan kinerjanya, Sekretariat Jenderal DPR-Rl telah mengeluarkan suatu Kebijakan berupa penyediaan Sistem Teknologi Informasi. Saiah satu sarana teknologi informasi tersebut adalah teknologi informasi berupa sistem informasi sumber daya manusia. Hal ini dikaitkan dalam pengelolaan Sumber Daya Manusia di Sekretariat Jenderal DPR-RI dalam meningkatkan kinerjanya dan memberikan dukungan teknis administrasi dan keahlian kepada DPR-RI.
Dengan bertitik tolak dari hal-hal tersebut di atas, Peneliti mencoba mengevaluasi pelaksanaan dari kebijakan tersebut, untuk kemudian dapat diketahui sejauhmana pelaksanaan dari kebijakan penyediaan teknologi informasi dalam peningkatan kinerja Sekretariat Jenderal DPR-Rl guna memberikan dukungan teknis adminstrasi dan keahlian kepada DPR-Rl. Evaluasi kebijakan dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan yang dikemukakan oleh William N. Dunn dengan kriteria evaluasi kebijakan meliputi : efektivitas, efisiensi, kecukupan, kesamaan, responsivitas dan ketepatan. Disamping itu juga melihat aspek-aspek Iainnya, antara lain sumber daya manusia yang mengelola teknologi informasi tersebut dan kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan kebijakan tersebut.
Untuk mendukung kegiatan evaluasi diperlukan data primer maupun data sekunder yang diperoleh dari cara melakukan teknik wawancara maupun penyebaran kuesioner. Metodelogi yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Populasi dad penelitian ini adalah Pegawai Sekretariat Jenderal DPR-RI.
Dari hasil penelitian menunjukan bahwa :
1. Dalam kegiatan pemasukan data, kriteria efektivitas, efisiensi, kecukupan, responsivitas dan ketepatan menunjukan tingkat yang baik, sedangkan kriteria kesamaan menunjukan tingkat yang cukup.
2. Dalam kegiatan pemeliharaan/pengolahan data, kriteria efektivitas, efisiensi, kecukupan dan ketepatan menunjukan tingkat yang baik, sedangkan kriteria kesamaan dan responsivitas menunjukan tingkat yang cukup.
3. Dalam kegiatan keluaran data, kriteria efektivitas, efisiensi, responsivitas dan ketepatan menunjukan tingkat yang baik, sedangkan kesamaan dan kecukupan menunjukan tingkat yang cukup.
Disamping itu juga ditemukan bahwa kualitas sumber daya manusia yang mengelola dari teknologi informasi tersebut masih dirasakan kurang dan juga ditemukan kendala-kendala dalam pelaksanaan dari kebijakan tersebut antara lain kerusakan pada peralatan yang ada dan lambatnya proses perbaikan.
Berdasarkan analisis tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa meskipun pelaksanaan kebijakan tersebut telah berjalan dengan baik, namun perlu diitingkatkan dalam pelaksanaan selanjutnya antara lain dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia, adanya pemerataan dalam pemanfaatan dari teknologi informasi tersebut serta dilakukan peningkatan upaya-upaya dalam mengatasi kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan kebijakan tersebut."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13733
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>