Hasil Pencarian

Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 161093 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nainggolan, Gissela Octavianty
"Debitor merupakan salah satu pihak yang dapat mengajukan kepailitan berdasarkan Undang-Undang No. 37 Tahun 2004. Untuk dapat dinyatakan pailit terdapat syarat yang harus dipenuhi sebagaimana yang dinyatakan dalam Undang-Undang Kepailitan. Setelah diterbitkannya SEMA No. 2 Tahun 2016 tentang Peningkatan Efisiensi Dan Transparansi Penanganan Perkara Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang di Pengadilan, dalam mengajukan permohonan kepailitan secara sukarela (voluntary petition) terdapat syarat lain yang harus dipenuhi. Tidak dipenuhinya syarat sebagaimana yang diatur dalam SEMA ini akan mengakibatkan permohonan pernyataan pailit akan ditolak oleh Pengadilan. Diterbitkannya SEMA tersebut memiliki pengaruh yang besar terhadap pemenuhan syarat kepailitan dan dengan sistem pembuktian. Berdasarkan Undang-Undang Kepailitan sistem pembuktian acara kepailitan adalah pembuktian sederhana. Permohonan harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang menunjukan bahwa syarat kepailitan dalam Undang-Undang Kepailitan telah terpenuhi. Adanya penamban syarat formil dalam SEMA merupakan tambahan syarat kepailitan yang wajib dipenuhi Debitor agar permohonan dapat dikabulkan oleh Hakim. Dalam konteks ini, penambahan syarat dalam SEMA unutk dapat dinyatakan pailit dalam mengajukan voluntary petition telah bertentangan dengan pembuktian sederhana dalam hukum kepailitan.

Debtor is one of the parties who can file bankruptcy based on Law No. 37 Year 2004. In order to be declared bankrupt there is a requirement that must be fulfilled as stated in the Bankruptcy Act. After the issuance of SEMA No. 2 Year 2016 on Improving Efficiency and Transparency of Bankruptcy Case Handling and Delay of Obligation of Debt Payment at the Court, on the phase of filling voluntary petition there is another requirement that the Debtor must fulfill. The failure fulfillment of the conditions set forth in this SEMA will result in a petition for declaration of bankruptcy to be rejected by the Court. The issuance of such SEMA has a great influence on the fulfillment of bankruptcy requirements and with the evidentiary system. Under the Bankruptcy Act, the bankruptcy procedural evidentiary system is a simple verification. An application must be granted if there is a fact or circumstance indicating that the insolvency requirement in the Bankruptcy Act has been fulfilled. The presence of a formal requirement in SEMA is an additional requirement of bankruptcy that must be fulfilled by the Debtor so that the request can be granted by the Judge. In this context, the addition of a requirement in SEMA to be declared bankrupt in proposing voluntary petition contradicts the simple proof of bankruptcy law."
Lengkap +
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adis Nur Hayati
"Pokok permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini ialah mengenai eksistensi atas berhak atau tidaknya debitor pailit mengajukan permohonan renvooi procedure dalam rapat pencocokan piutang suatu sengketa kepailitan. Pokok permasalahan tersebut akan dianalisa dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif yakni penelitian yang mengacu kepada peraturan perundang-undangan dan penelitian kepustakaan.
Berdasarkan analisa yang dilakukan disimpulkan bahwa debitor pailit tidaklah berhak mengajukan permohonan renvooi procedure, hal ini karena pada saat proses tersebut berlangsung kewenangan pengurusan dan/atau pemberesan harta pailit tidak lagi berada pada debitor melainkan telah berpindah kepada kurator.
Hasil penelitian menyarankan bahwa pemerintah sepatutnya memperjelas pengaturan terkait renvooi procedure dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

The subject matter that would be discussed in this paper is about the existence of the right or wrong of the bankrupt debtor to indict a renvooi procedure in verification meeting of debts claims of a bankruptcy dispute. The subject matter will be analyzed by using normative juridical research method which menas the research is based in regulation and library research.
Based on the analysis, it is concluded that the bankrupt debtor is not entitled to indict for renvooi procedure, that is because at the time the process takes place, the authority of the management and or the settlement of bankruptcy assets is no longer on the debtor but has moved to the curator.
The research results suggest that the government should improve the regulation related to the renvooi procedure in Law Number 37 Of 2004 On Bankruptcy And Suspension Of Obligation For Payment Of Debts.
"
Lengkap +
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wanda Ayu Agustin
"Debitor pailit seringkali melakukan tindakan untuk mengakali kewajibannya dalam memenuhi pembayaran utang terhadap kreditor pailit. Salah satunya adalah dengan melakukan tindakan fraudulent transfer, yaitu tindakan pengalihan aset yang diduga sengaja dilakukan agar nilai aset debitor pailit berkurang. Atas tindakan ini kurator dapat melakukan upaya pembatalan hukum dengan melakukan gugatan actio pauliana. Gugatan actio pauliana terhadap tindakan fraudulent transfer ini dianalisis secara yuridis-normatif dengan tujuan memberikan kontribusi pada diskursus hukum kepailitan mengenai proses pembuktian suatu penerapan upaya hukum. Penelitian ini juga bertujuan untuk melihat bagaimana proses hakim membentuk suatu putusan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembuktian itikad buruk dari sisi kurator dalam gugatan actio pauliana di dalam putusan ini tidaklah kuat sehingga putusan Majelis Hakim yang memenangkan kreditor pailit tidak memenuhi asas keadilan dan perlindungan hukum. Argumentasi tersebut berlandaskan pada kenyataan bahwa Majelis Hakim hanya memperhatikan unsur legal-formal dalam proses pembuktian, tanpa melihat unsur pembuktian dan konteks subtantif-materiil yang diajukan oleh debitor pailit. Hal ini tidak sesuai dengan fungsi kekuasaan kehakiman yang diatur dalam pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman dan Intruksi Mahkamah Agung No. KMA/015/INST/VI/1998 tanggal 1998, yang menegaskan bahwa hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, tidak hanya yang bersifat legal-formal, namun juga subtantif-materil. Penulis memberikan saran berupa adanya standar pengukuran untuk pembuktian itikad buruk dalam dunia hukum di Indonesia, sehingga diharapkan putusan hakim dapat memenuhi rasa keadilan dan perlindungan hukum di masyarakat.

Bankrupt debtors often take actions to circumvent their obligations in fulfilling debt payments to bankrupt creditors. One of them is by carrying out fraudulent transfers, namely the act of transferring assets that are allegedly deliberately carried out so that the value of the bankrupt debtor's assets decreases. For this action, the curator can make efforts to annul the law by filing an actio pauliana lawsuit. Actio pauliana's lawsuit against fraudulent transfers is analyzed in a juridical-normative manner with the aim of contributing to the bankruptcy law discourse regarding the process of proving an application of legal remedies. This study also aims to see how the process of judges forming a decision. The results of the study show that the curator's bad faith evidence in the actio pauliana lawsuit in this decision is not strong so that the decision of the Panel of Judges in favor of the bankrupt creditor does not fulfill the principles of justice and legal protection. This argument is based on the fact that the Panel of Judges only pays attention to the legal-formal elements in the verification process, without looking at the elements of evidence and the substantive-material context submitted by the bankrupt debtor. This is not in accordance with the function of the judicial power which is regulated in article 5 paragraph (1) of the Law on Judicial Powers and Supreme Court Instructions No. KMA/015/INST/VI/1998 dated 1998, which emphasized that judges are obliged to explore, follow, and understand legal values and a sense of justice that lives in society, not only those that are legal-formal, but also substantive-material. The author provides suggestions in the form of a measurement standard for proving bad faith in the world of law in Indonesia, so it is hoped that the judge's decision can fulfill a sense of justice and legal protection in society."
Lengkap +
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Problem occurs when there are some creditors and in fact debtor breaches the contact or goes bankrupt. The holder of mortgage guarantee has a right called "separatis", right given by law to creditor that collateral good encumbered with mortgage is not part of bankrupt asset, so creditor has a right to execute it bassed on self-authority given by mortgage law, however, Bankruptcy Law disobeys the "separatis: right so it raises inconsistency, where right of the mortgage holder disobeyed."
340 JIHAG 13:3 (2005)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
cover
Asri Aprilia Fadhilah
"Skripsi ini membahas mengenai pembebasan sisa utang pailit sebagai upaya perlindungan bagi debitor pailit perseorangan. Di Indonesia ketentuan mengenai pembebasan sisa utang pailit tidak berlaku karena menurut Undang ndash; Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yaitu UU No. 37 Tahun 2004 memyatakan bahwa kepailitan tidak membebaskan seorang yang dinyatakan pailit dari kewajiban membayar utang ndash; utangnya. Hal ini yang tentunya menimbulkan ketidakadilan bagi debitor pailit khususnya debitor pailit perseorangan yang beritikad baik dan memang sudah benar-benar tidak mampu lagi melunasi sisa utang kepailitannya tersebut. Oleh karena itu, penulis akan membandingkan hal ini dengan ketentuan hukum kepailitan yang berlaku dinegara lainnya yaitu negara Australia dan Negara Jepang sebagai negara pembanding. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan metode penelitian yuridis normatif serta perbandingan. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi usulan untuk peraturan yang akan datang sebagai salah satu upaya perlindungan debitor apabila dikemudian hari kreditor memintakan sisa utang yang telah lampau.

This thesis discusses the Discharge of bankruptcy debts as a safeguard for individual bankruptcy debtor. In Indonesia, the provisions concerning the discharge of the remaining debts of bankruptcy are not applicable because according to the Law of Bankruptcy and Resctructuring of Debt Payment, Law No. 37 of 2004, states that the bankruptcy does not release a person who is declared bankrupt from the obligation to pay its debts. This, of course, creates an injustice to the bankrupt debtor, especially the individual bankruptcy debtor with a good faith who is indeed completely unable to pay off the remaining bankruptcy debts. Therefore, the authors will compare this with the provisions of bankruptcy law applicable in other countries, namely Australia and Japan as a comparison country. This research is a qualitative research with normative juridical research method and comparison. This research is expected to be a proposal for the coming regulation as one of the debtor protection efforts if in the future the creditor asks for the rest of the past debt.
"
Lengkap +
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Banu Windyasmara
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2000
S23553
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Epstein, David G.
St. Paul, Minn: West Pub., 1995
346.73 EPS b
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>