Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 171320 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sipayung, Paulus J. J.
"ABSTRAK
Pencegahan Pejabat Tata Usaha Negara sebagai tergugat di Pengadilan tata Usaha Negara agar tidak digugat di Pengadilan Tata Usaha Negara merupakan komitmen Pemerintah yang bersih dan berwibawa dalam Negara hukum Republik Indonesia. Atas dasar ini Keputusan-keputusan tata Usaha negara (Beschiking) yang dikeluarkan Pejabat Tata Usaha Negara adalah sangat penting fungsinya, sebagai instrumen dalam pelaksanaan pembangunan Nasional untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera. Dalam pelaksanaannya keputusan-keputusan yang dikeluarkan Pejabat Tata Usaha Negara menimbulkan kerugian warga masyarakat yang menerima keputusan tersbeut/dikenai keputusan tersebut. Hal ini disebabkan antara lain Pejabar membuat keputusan Tata Usaha Negara berada diluar wewenangnya, dapat juga terjadi subtansi keputusan tersbeut bertentangan dengan azas hukum yang memayungi (umbrella rule) peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, juga dapat terjadi bertentangan dengan keputusan yang dibuatnya dan masih berlaku dan bisa juga bertentangan dengan prosedur hukum yang berlaku.
Untuk menghindarkan perihal tersbeut diatas harus meperhatikan azas-azas umum pemberintahan yang baik sebelum mengeluarkan suatu keputusan . hal ini sangat penting dan baik agar pejabat tidak terjerumus dalam perbuatan sewenang-wenang yang melanggar hukum, sehingga pada akhirnya para pejabat tidak digugat oleh warga masyarakat atau badan hukum perdata di Pengadilan Tata Usaha Negara."
1994
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sitorus, Hendrika
"Tesis ini membahas mengenai akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang tercantum didalam sertifikat yang telah diterbitkan oleh Kepala Kantor Pertanahan yang digugat di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) karena adanya pihak lain yang menggugat sertifikat yang dimiliki oleh pemegang hak atas tanah tersebut karena pihak tersebut adalah pemilik hak atas tanah atas sebidang /lebih tanah yang sama dengan pemegang hak atas tanah. Kantor Pertanahan sebagai pelaksana pendaftaran tanah dan penerbit sertipikat merupakan pihak yang digugat oleh pihak lain tersebut sedangkan PPAT yang membuat akta perjanjian peralihan hak dan mendaftar akta tersebut ke Kantor Pertanahan bukan merupakan pihak yang dapat digugat karena PPAT bukan merupakan Pejabat TUN dan akta yang dibuat oleh PPAT bukan putusan TUN menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara; berdasarkan hal tersebut yang menjadi permasalahan ialah bagaimana kedudukan akta PPAT yang dicantumkan oleh Kantor Pertanahan dalam sertipikat hak yang digugat seseorang di Pengadilan Tata Usaha Negara? Apabila Tata Usaha Negara membatalkan sertipikat tersebut apakah akta PPAT yang dicantumkan dalam sertipikat juga dibatalkan ? Bagaimana akta PPAT yang asli 1 (satu) rangkap yang disimpan oleh PPAT dan salinan akta yang diserahkan PPAT kepada pihak penjual dan pembeli? Penelitian ini menggunakan metode penelitian kepustakaan dengan data sekunder sebagai sumber datanya.Keputusan Pengadilan TUN yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap membatalkan secara otomatis akta yang tercantum dalam sertipikat tanah yang bersangkutan, diharapkan adanya kerja sama antara organisasi PPAT dengan Kantor Pertanahan yang baik, sehingga informasi berkenan dengan sertipikat yang dibatalkan dapat diperoleh dengan mudah bagi PPAT yang bersangkutan.

This thesis discusses about a deed made by Land Deed Officer (PPAT) cited in a certificate issued by Head of Land Administration Agency in State Administration Court in relation to the claim offered by another party to the said certificate because the party is the owner of the similar land plot. Land Administration Agency as an institution to register and issue the land certificate is a defendant by the said another party and PPAT who prepared a deed of assignment and register the said deed to the Land Administration Agency can?t be contested because PPAT is not a State Administration Officer and the deed prepared by PPAT is not a decree of State Administration in pursuant to Law Number 5 of 1986 on Code of the Administration Law amended by Law Number 9 of 2004 On Amendment to Law Number 5 of 1986 on Code of the Administration Law; based on this law, what is the position of a deed prepared by PPAT cited by Land Administration Agency in the right certificate which is contested by another party in the State Administration Court? Provided that, the Court cancels the certificate, is a deed prepared by PPAT cited in the said certificate also cancelled? How about one counterpart original deed prepared by PPAT and copy of deed delivered by PPAT to seller or buyer? This research used library research method with secondary data as its resources. Decision of the State Administration Court with legal effect automatically cancels the deed cited in the relevant certificate. It is expected that PPAT organization and Land Administration Agency cooperate well, so that information related to the cancelled certificate can be accessed by the relevant PPAT."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T26164
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
"Decision of official of the state administrative court is a written policy containing action of the state administrative law based on prevailing laws, which is concrete, individual and final, and final, and causing a legal consequence of the state administrative laws between a person/a civil legal body and the official of the state administrative court due to the issuance of the state administrative decision. To the test validity and to annul the decisions disputed in the court, two standards can be used, namely the decision disputed in the state administrative court colliding the prevailing laws and the decision disputed in the state administrative court colliding the general principles of good governance. As known, the principles of good governance are unwritten laws in implementing the governance affairs."
JHHP 4:1 (2006)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: C.V.Sri Rahayu, 1989
342.066 4 PEJ I
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Hevi Dwi Oktaviani
"ABSTRAK
Pasca disahkannya Pasal 87 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, terjadi perluasan dalam pemaknaan Keputusan Tata Usaha Negara KTUN . Sehingga, perlu dipahami perbedaan definisi sebelum dan sesudah munculnya pasal tersebut. KTUN dimaknai secara sempit pada Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Setelah itu, perluasan redefinisi KTUN berdampak pada wewenang PTUN karena KTUN merupakan objek sengketa di PTUN. Pembahasan terakhir akan mencoba mencari putusan-putusan PTUN yang sudah menerapkan ketentuan Pasal 87 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 dalam pertimbangan hukum hakim. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif, dengan menggunakan data sekunder serta menggunakan bahan hukum primer, sekunder dan tertier yang diperoleh dari studi kepustakaan. Kesimpulan dari penelitian ini adalah tidak adanya penambahan wewenang PTUN pasca munculnya Pasal 87 karena pada intinya wewenang PTUN tetap mengadili dan memutus sengketa Tata Usaha Negara yang disebabkan oleh terbitnya suatu KTUN. Tetapi, saat ini PTUN harus memaknai KTUN berdasarkan Pasal 87. Selanjutnya, terdapat putusan PTUN yang telah menerapkan Pasal 87 dalam pertimbangan hukumnya yaitu pada Putusan No.45/B/2016/PT.TUN.MKS yang khususnya menggunakan dalil unsur KTUN pada Pasal 87 huruf e ldquo;berpotensi menimbulkan akibat hukum rdquo;. Pasca disahkannya Pasal 87 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, terjadi perluasan dalam pemaknaan Keputusan Tata Usaha Negara KTUN . Sehingga, perlu dipahami perbedaan definisi sebelum dan sesudah munculnya pasal tersebut. KTUN dimaknai secara sempit pada Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Setelah itu, perluasan redefinisi KTUN berdampak pada wewenang PTUN karena KTUN merupakan objek sengketa di PTUN. Pembahasan terakhir akan mencoba mencari putusan-putusan PTUN yang sudah menerapkan ketentuan Pasal 87 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 dalam pertimbangan hukum hakim. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif, dengan menggunakan data sekunder serta menggunakan bahan hukum primer, sekunder dan tertier yang diperoleh dari studi kepustakaan. Kesimpulan dari penelitian ini adalah tidak adanya penambahan wewenang PTUN pasca munculnya Pasal 87 karena pada intinya wewenang PTUN tetap mengadili dan memutus sengketa Tata Usaha Negara yang disebabkan oleh terbitnya suatu KTUN. Tetapi, saat ini PTUN harus memaknai KTUN berdasarkan Pasal 87. Selanjutnya, terdapat putusan PTUN yang telah menerapkan Pasal 87 dalam pertimbangan hukumnya yaitu pada Putusan No.45/B/2016/PT.TUN.MKS yang khususnya menggunakan dalil unsur KTUN pada Pasal 87 huruf e ldquo;berpotensi menimbulkan akibat hukum rdquo;.

ABSTRACT
After the passing of Article 87 of Law Number 30 Year 2014 on Government Administration, there is an expansion in the meaning of the State Administrative Decision KTUN . Thus, it is necessary to understand the difference of definition before and after the emergence of the article. KTUN is interpreted narrowly in the Law on State Administrative Court. After that, the redefinition extension of KTUN affects the authority of the PTUN because KTUN is a dispute object in the PTUN. The last discussion will try to find the decision of the Administrative Court which has applied the provisions of Article 87 of Law Number 30 Year 2014 in the judge 39 s judicial consideration. The research method used is normative juridical, using secondary data and using primary, secondary and tertiary legal material obtained from literature study. The conclusion of this research is the absence of additional authority of PTUN after the emergence of Article 87 because in essence the authority of PTUN still adjudicates and decides the State Administration dispute caused by the issuance of a KTUN. However, the current State Administrative Court must interpret the KTUN under Article 87. Furthermore, there is a decision of the Administrative Court which has applied Article 87 in its legal considerations, namely Decision No.45 B 2016 PT.TUN.MKS which specifically uses the KTUN elementary argument in Article 87 letter e has the potential to cause legal consequences ."
2018
T49058
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Azharil
"Lahirnya sistem lahirnya otonomi daerah telah memberikan kewenangan penuh kepada kepala daerah tidak hanya sebagai pemimpin daerah namun juga sebagai kepala Aparatur Sipil Negara (ASN) di daerah. Terkadang seorang kepala daerah mempergunakan kewenangan yang dimilikinya untuk melakukan mutasi terhadap ASN yang dilakukan bukan karena kebutuhan ataupun kualitas SDM yang dimiliki oleh seorang ASN, melainkan karena faktor yang tidak sejalan dengan hukum atau karena kepentingan lainnya. Padahal esensi dari suatu mutasi dalam tata kelolah ASN, bertujuan
untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia ASN, meningkatkan pelaksanaan kinerja ASN yang profesional, serta untuk mewujudkan pelaksanaan birokrasi yang bertanggung jawab dan terbuka kepada publik Pada tataran implementasi masih terdapat beberapa kepala daerah yang melakukan mutasi terhadap ASN bukan karena aspek kebutuhan maupun karena perintah dari peraturan perundang-undangan. Hal ini telah dibuktikan dalam Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Palangkaraya Nomor : 18/G/2020/PTUN.PLK dan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Palembang Nomor 13/G/2020/PTUN.PLG. Sistem merit dalam manajemen ASN di Indonesia yang telah dituangkan dalam peraturan perundang-undangan merupakan sistem manajemen ASN yang mengutamakan kualitas, kebutuhan dan tidak membeda-bedakan latar belakang, akan tetapi dalam
tataran implementasinya, belum terlaksana dengan optimal, hal ini menurut hemat penulis salah satunya disebabkan oleh karena lahirnya otonomi daerah sehingga kepala daerah pun ikut terlibat didalam proses mutasi ASN. Meskipun sistem merit merupakan sistem yang ideal dan telah mempunyai payung hukum yang kuat akan tetapi untuk merealisasikan hal ini membutuhkan sumber daya manusia yang memiliki integritas kuat.

The Changes of Indonesian state administration system during the reform period, on the one hand, were a factor that affected the low quality of public services performed by State Civil Apparatus. The problem caused by the reforms to this constitutional system is that the regional head as the regional
leader whose job is to serve the needs of the people in the region, in fact uses the authority he has to carry out mutations of State Civil Apparatus, which sometimes mutations are carried out not because of the need or the quality of the human resources possessed by a person. State Civil Apparatus, but because of collusion or other interests. In this study, the authors used normative legal research
methods. Respective law research is defined as research that makes law and literature the primary legal material. The authority of regional heads to carry out transfers and promotions of their State Civil Apparatus in the regions sometimes creates polemics, namely because the transfer and promotion policies they carry out are not based on aspects of need but because of elements of political or other closeness. One of the factors causing transfers and promotions is not due to quality
or need, namely due to regional head election events. Whereas Indonesia in its personnel management system basically applies a merit system, this has been stipulated in the State Civil Apparatus Act, however, due to the authority of regional heads or institutional leaders, this is sometimes not implemented.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Anton Afrizal Candra
"Sejarah konfigurasi politik di Indonesia memperlihatkan pasang surut dan pasang naik secara bergantian anatara demokratis dart otoriter. Tarik menarik konfigurasi politik dengan karakter produk hukum yang berkarakter responsifpopulistik dan produk hukum yang berkarakter ortodoks-konservatif dengan kecenderungan linier yang sama. Rezim Orde Baru terutama pada 1967-1981 senantiasa curiga akan gerakan-gerakan Islam. Konfigurasi politik pada peciode ini cenderung otoriter dengan berbagai tipologi perpolitikan. Di tahun 1970-an ini lahir berbagai produk hukum seperti UU No. 14 Tahun 1970 dan UU No. 1 tahun 1974 yang berkarakter ortodoks/konservatif atau elitis. Pada saat slap akomodatif (1985-1998) antara Islam dari negara maka pada era ini lahir Undang-undang No. 7 tahun 1989 tentang peradilan agama maka karakter produk hukum ini bisa dikatakan berkarakter responsif/populistik. Era Reformasi, konfigurasi politik yang tampil adalah demolantis dengan terlibatnya seluruh komponen masyarakat dalarn pembentukan UU No. 4 tahun 2004 maka produk hukum ini berkarakter responsi populistik.
Setiap produk hukum merupakan pencerminan dari konfigurasi politik yang melahirkannya. Karakter produk hukum sangat ditentukan oleh visi politik yang berkembang dimasyarakat. Semakin demokratis suatu rezim, semakin responsif dan aspiratif produk hukum yang dihasilkan dan sebaliknya. Karena itu setiap produk hukum yang berkarakter responsif/populistik akan mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi lebih demokratis.

The history of political configuration in Indonesia shows the ups and downs in turns between democratic and authority. The pulling of political configuration between the law product which have the characteristics of responsive-populistic and the other Iaw product which have the characteristics of orthodoks-conservative, with the same similarity in line. The New Order regime especially in the year of 1967-1982 have suspicions settlements on the Islamic movements. Political configurations in this period tends to rule with an authoritic attitude with many political typhologies. In the year of 1970-s, were created many law products such as the UU No. I4 Year 1970 and the UU No. 1 Year 1974 which have the orthodoks conservative characteristics or clitic law products. At the time of accontridative ( 1985 - 1998 ) between Islam and the state, in this era was created the UU No. 7 Year 1989 which issues about the religic court which then this product of Iaw can be said to have the characteristic of responsive I populistic. In the Reformation Era, the political configurations that shows up is democratic which involves all the components of society inside the structuring of UU No. 4 Year 2004, and so this product of law has the characteristic of responsive 1 populistic.
Every products of law are the turner of every political configurations which creates them. The characteristic of product of law depends on the political visions which are growing inside the society. The more democratic one regime is, the more responsive and aspirative product of law they creates and it goes the same for the opposite. Because of that, every product of law which have the characteristic of responsive populistic will make the nation more democratic.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2004
T14919
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Indah Anggraini Wijaya
"Penelitian ini membahas tentang kebijakan mengenai SBKRI dan praktik yang dilakukan oleh para aparatur penyelenggara negara terhadap kelompok etnis Tionghoa, pasca diberlakukannya UU No.12 Tahun 2006, dimana didalamnya menyebutkan bahwa persyaratan SBKRI telah ditiadakan. Penelitian ini bermaksud untuk menjelaskan perilaku yang bersifat diskriminatif, dengan memberlakukan persyaratan SBKRI dalam mengurus surat kependudukan bagi Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan sejarah serta wawancara. Pada penelitian ini terlihat bahwa, masih terdapat kasus-kasus pemberlakuan SBKRI sebagai syarat dalam mengurus surat kependudukan terhadap Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa, yang membuktikan bahwa masih terdapat perilaku diskriminasi terhadap Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa yang dilakukan oleh sejumlah aparatur negara. Meskipun di era 2019 s/d sekarang SBKRI sudah tidak dijadikan prasyarat utama, namun masih dijadikan alat pembuktian kewarganegaraan bagi kelompok etnis Tionghoa.

This research discusses policies regarding SBKRI and practices carried out by state administration apparatus against Indonesian citizens of the Chinese ethnic group, after the enactment of Law No.12 of 2006, which stipulated the elimination of the SBKRI requirement. The purpose of this study is to explain the discriminatory behavior by implementing the SBKRI requirement for processing citizenship documents for Indonesian citizens of Chinese ethnic. The research adopts a qualitative method with historical study and interviews as the approach. It is evident from this study that there are still cases where SBKRI is imposed as a condition for processing citizenship documents for Indonesian citizens of Chinese ethnic, demonstrating the existence of discriminatory practices carried out by certain state officials. Although since 2019, SBKRI is no longer the main prerequisite, it is still used as a means of proof for Chinese ethnic Indonesian citizens.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>