Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 159465 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhammad Falih Aryanto
"ABSTRACT
Penelitian ini merupakan studi empiris untuk menganalisis peristiwa internasional dan dampaknya terhadappasar modal indonesia. peristiwa internasional yang diteliti adalah pengumuman kebijakan moneter ekspansif yang dikeluarkan oleh Bank Sentral amerika Serikat, yaitu quantitative easing yang dilakukan dalam tiga tahapan pengumuman pada tanggal 26 november 2008, 4 november 2010 dan 14 september 2012 (hari perdagangan bursa di Indonesia). Penelitian ini dilakukan dengan menganalisis abnormal return dan trading volume activity yang terjadi di setiap periode peristiwa. Penelitian menggunakan periode pengamatan yang terdiri dari120 hari periode sesimasi dan 11 hari periode peristiwa disetiap tahapan pengumuman quantitative easing. Analisis studi peristiwa dilakukan pada pasar modal Indonesia yang diwakili oleh 127 saham yang pernah masuk dalam indeks kategori LQ45 dan secara akti diperdagangkan disetiap periode peristiwa. Asumsi bahwa pasar modal Indonesia terkointegrasi dengan pasar modal internasional internasional menyebabkan pengumuman kebijakan quantitative easing dapat menjadi informsai yang positif bagi pemodal di Indonesia. Hasil analisis menunjukkan bahwa terjadi abnormal return positif yang signifikan di sekitar tanggal peristiwa dan peningkatan setelah peristiwa pengumuman kebijakan quantitative easing. HAsil pengujian efesiensi pasar menunjukkan bahwa pasar modal Indonesia efesien secara informasi dalam bentuk setengah kuat sehinnga pemodal tidak dapat menggunakan informasi yang dipublikasikan untuk mendapatkan keuntungan (abnormal return positif) dalam jangka waktu yang lama (hanya di sekitar tanggal peristiwa)."
Direktorat Jenderal Pembendaharaan Kementerian Keuangan Republik Indonesia, 2016
336 ITR 1:1 (2016)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Silalahi, Pinondang Meilan
"ABSTRAK
Kebijakan Quantitative Easing (QE) dijalankan The Fed untuk menggerakan perekonomian Amerika Serikat (AS) yang terpuruk akibat krisis subprime mortgage. Kebijakan QE yang telah tiga kali dilaksanakan sejak 2008, juga dianggap mendorong masuknya investor asing ke emerging markets. Penelitian ini fokus pada korelasi dinamis antara bursa saham AS dengan emerging markets dalam ASEAN 6 dan Fragile Five. Menggunakan metode Dynamic Conditional Correlation, hasil penelitian menunjukan bahwa bursa saham Brazil dan Afrika Selatan merupakan emerging market yang memiliki korelasi terkuat dengan AS. Selain itu, aset saham juga terlihat merupakan jenis investasi yang paling dominan dipilih investor asing di hampir semua emerging markets, kecuali di Thailand dan Filipina saat periode QE1 berjalan.

ABSTRACT
Quantitative Easing (QE) is a policy implemented by The Fed to stimulate U.S. economy after subprime mortgage crisis. Implemented three times since 2008, QE is also considered as the cause of foreign short term capital flows to emerging markets. This research focuses on the dynamic correlation between the U.S. stock market and emerging stock markets in ASEAN 6 and Fragile Five. Using Dynamic Conditional Correlation method, the results shows that Brazil and South Africa are strongly correlated with the U.S. Additionally, foreign investors seem to pick stocks as their main asset class during QE in almost all emerging markets, except in Thailand and The Philippines during the first QE period.
"
Jakarta: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Friady Amaluddin
"Dalam rangka implementasi kebijakan moneter, Otoritas Moneter harus memiliki pemahaman yang mendalam mengenai mekanisme kerja perekonomian termasuk mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui berbagai saluran ke sektor ril perekonomian. Setidak-tidaknya terdapat lima saluran transmisi kebijakan moneter yang dikenal scat ini. Dalam penelitian ini efektivitas kebijakan moneter melalui perbankan konvensional dan perbankan syariah dipelajari dalam kerangka saluran transmisi pinjaman bank (bank lending channel). Data yang digunakan adalah data time series bulanan dari bulan Oktober 2000 s.d. Maret 2005. Variabel-variabel yang digunakan mewakili variabel kebijakan moneter, variabel neraca bank syariah, variabel neraca bank konvensional dan variabel nilai tukar serta variabel sektor ril perekonomian.
Setelah dilakukan pengujian data dan model, dapat disirnpulkan bahwa model ekonometrika yang paling sesuai digunakan dalam penelitian ini adalah Model Vector Error Correction (VECM). Pengujian lanjutan seperti uji kausalitas atau uji eksogenitas menghasilkan kesimpulan bahwa di dalam model VECM yang dibangun terdapat delapan variabel endogen, yaitu: LSBI, LDEPO, LSEK, LKRED, LDIM, LNBHP, LIHK dan LNT, dan dua variabel eksogen, yaitu: LPDB dan LSKS.
Selanjutnya kesimpulan yang dapat ditarik setelah dilakukan proses pengukuran dan pembandingan efektivitas kebijakan moneter antara bank syariah dan bank konvensional adalah sebagai berikut:
1. Kebijakan moneter (suku bunga SBI) mempengaruhi variabel-variabel neraca bank konvensional (suku bunga kredit, suku bunga deposito dan jumlah sekuritas yang dimiliki).
2. Pengaruh kebijakan moneter (suku bunga SBI) terhadap variabel neraca bank syariah terbatas pada tingkat bagi basil deposito investasi mudharabah.
3. Variabel neraca bank konvensional (suku bunga kredit) mentransmisikan kebijakan moneter (suku bunga SBI) ke variabel nilai tukar dan variabel sektor ril perekonornian yaitu: indeks harga konsumen.
4. Variabel neraca bank syariah tidak mentransmisikan kebijakan moneter (suku bunga SBI) ke variabel nilai tukar dan variabel sektor ril perekonornian yaitu: indeks harga konsumen.
5. Kebijakan moneter (suku bunga SBI) mempengaruhi variabel nilai tukar dan variabel sektor ril perekonornian yaitu: indeks harga konsumen.
6. Bank konvensional dan bank syariah tidak bersifat independen.
7. Variabel-variabel neraca bank syariah mempengaruhi variabel neraca bank konvensional. Sementara variabel-variabel neraca bank konvensional tidak mempengaruhi variabel-variabel neraca bank syariah.
8. Kebijakan moneter melalui bank konvensional lebih efektif daripada melalui bank syariah.
9. Pengaruh kebijakan moneter (suku bunga SBI) terhadap bank konvensional (suku bunga kredit) amat sangat kecil sehingga kebijakan moneter cenderung kurang efektif.
Sebagai penutup, hal-hal yang dapat disarankan berkenaan dengan hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Dalam penetapan target indikatif suku bunga SBI, Otoritas Moneter disarankan untuk lebih menitikberatkanperhatian pada suku bunga kredit daripada suku bunga deposito. Pertimbangannya adalah setidak-tidaknya terdapat 12 saluran pengaruh suku bunga SBI terhadap variabel-variabel neraca bank konvensional dan syariah, variabel nilai tukar dan variabel sektor ril perekonomian (indeks harga konsumen) melalui suku bunga kredit, sementara suku bunga deposito sama sekali tidak mentransmisikan kebijakan moneter ke variabel-variabel lainnya.
2. Dengan mempertimbangkan fakta bahwa walaupun suku bunga kredit mentransmisikan suku bunga SBI ke nilai tukar dan indeks harga konsumen, namun pengaruh suku bunga SBI terhadap suku bunga kredit amat sangat kecil sehingga Otoritas Moneter perlu meningkatkan upaya untuk menyempurnakan prosedur operasi moneter yang saat ini diterapkan danlatau mencari piranti-piranti moneter alternatif yang dapat menggantikan posisi SBI sebagai piranti moneter utama.
3. Perlu dilakukan penelitian lebih ]anjut mengenai hubungan kausalitas antara suku bunga deposito dan suku bunga kredit bank konvensional dengan tingkat bagi hasil deposito investasi mudharabah dan nisbah bagi basil pembiayaan bank syariah, mengingat penelitian ini menghasilkan puzzle yang sulit dijelaskan dimana variabel neraca bank syariah mempengaruhi variabel neraca bank konvensional dan sebaliknya variabel neraca bank konvensional tidak mempengaruhi variabel neraca bank syariah."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T20389
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Donaya Azhar
"

Penelitian ini melihat pengaruh dari pelonggaran kuantitatif atau quantitative easing yang diumumkan oleh bank sentral Amerika dan penurunan suku bunga pada returns indeks saham LQ45. Studi ini menggunakan data bulanan dengan periode observasi dari Bulan November 2008 sampai Oktober 2014, sesuai dengan 13 pengumuman yang dikeluarkan oleh FOMC dan dari Bulan Agustus 2019 sampai April 2020 (durasi penurunan suku bunga). Dengan metode EGARCH, hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa pengumuman quantitative easing memiliki dampak yang signifikan terhadap volatilitas returns saham LQ45. Selain itu, hubungan antara penurunan suku bunga dan returns saham LQ45 memiliki hubungan yang berlawanan. Ketika suku bunga di Amerika turun, returns indeks LQ45 meningkat sehingga ketika interest rate turun sebesar 1 unit, returns indeks LQ45 naik sebesar 0.42 persen selama periode penurunan suku bunga di Amerika.

 

 

 


This research examines the impact of quantitative easing announced by the FED and interest rates or Fed Funds Rate cut on LQ45 stock index returns. The study uses monthly data with the observation period of November 2008 until October 2014, according to 13 announcements stated by FOMC and August 2019 until April 2020 (the duration of interest rate cut). With EGARCH method, the result of the research exhibits that the announcement of quantitative easing has a significant impact on the volatility of LQ45 stock returns. Moreover, the relation of Fed Funds Rate cut and LQ45 stock returns has a negative correlation. During the slash of interest rate, LQ45 index return climbs up. Therefore, if interest rates increase by 1 unit, LQ45 index returns increases by 0.42 percent.

 

"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia , 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Gede Sthitaprajna Virananda
"State-owned banks could help stabilize the business cycle if their lending is less procyclical. Such behavior might be driven by stronger reaction to monetary policy, which is likely influenced by government pressure or jawboning. This study investigates the effect of state ownership on lending cyclicality and monetary policy transmission using quarterly bank-level data covering virtually all conventional banks in Indonesia, where centrally state-owned banks are dominant and frequently subject to jawboning. State ownership is found to be associated with lower procyclicality in lending, even countercylicality by some measures, with the effect more pronounced during downcycles compared to upcycles. This might be explained by countercyclicality on their deposit side, which implies that state-owned banks are perceived to be more secure. Finally, there is some evidence that state-owned banks respond more to policy rate, which offers a novel explanation behind their lower procyclicality. These results affirm that some degree of state ownership in the banking system is beneficial for macroeconomic stability.

Bank BUMN dapat membantu menstabilkan siklus bisnis jika penyaluran kredit mereka tidak begitu prosiklikal. Perilaku tersebut dapat disebabkan oleh reaksi yang lebih kuat terhadap kebijakan moneter, di mana kemungkinan terdapat tekanan politik. Studi ini meneliti dampak dari kepemilikan negara terhadap siklisitas kredit dan transmisi kebijakan moneter menggunakan data triwulanan tingkat bank yang mencakup hampir semua bank umum di Indonesia, di mana bank BUMN sangat dominan dan dipengaruhi oleh agenda pemerintah. Hasilnya mengindikasi bahwa kepemilikan negara berhubungan dengan prosiklisitas yang lebih rendah, bahkan sampai kontrasiklikal, dengan efeknya lebih kuat saat siklus ekonomi sedang turun. Hal ini mungkin disebabkan oleh sisi deposito yang juga kontrasiklikal, misalnya karena bank BUMN dipercaya lebih aman. Terakhir, terdapat indikasi bahwa bank BUMN merespons lebih terhadap suku bunga kebijakan, yang memberikan penjelasan baru di balik prosiklisitas kredit bank BUMN yang lebih rendah. Temuan studi ini menunjukkan bahwa kepemilikan negara di sektor perbankan dapat bermanfaat bagi stabilitas makroekonomi.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan BIsnis Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Daffa Ihsan
"Economic openness between countries is now increasingly visible as it can certainly have a good impact on the countries themselves. However, behind this benefit, there is a risk, namely the existence of a spillover effect on a country's policies that has a negative impact on other countries. This study attempts to see and project the impact of the Fed's two monetary policies, namely Quantitative Easing and Tapering, on foreign capital flows in the Indonesian stock and bond markets during the 2008 Global Financial Crisis and the 2020 Covid-19 pandemic. Using the Vector Autoregression (VAR), this study finds the impact of Quantitative Easing (QE) and tapering on foreign capital flows, stock market performance and government bond yields. The impact of QE led to foreign capital inflows, an increase in the composite index, and a decrease in government bond yields. Meanwhile, tapering led to a decrease in capital inflows, a decrease in the composite index, and an increase in government bond yields. However, the effects caused by Quantitative Easing (QE) and tapering are only temporary and do not affect the financial market significantly.

Keterbukaan ekonomi antar negara kini semakin terlihat karena tentunya dapat berdampak baik bagi negara itu sendiri. Namun dibalik keuntungan tersebut terdapat resiko yaitu adanya spillover effect terhadap kebijakan suatu negara yang berdampak negatif bagi negara lain. Studi ini mencoba melihat dan memproyeksikan dampak dua kebijakan moneter The Fed, yaitu Quantitative Easing dan Tapering, terhadap aliran modal asing di pasar saham dan obligasi Indonesia selama Krisis Keuangan Global 2008 dan pandemi Covid-19 2020. Dengan menggunakan Vector Autoregression (VAR), penelitian ini menemukan dampak Quantitative Easing (QE) dan tapering terhadap aliran modal asing, kinerja pasar saham dan imbal hasil obligasi pemerintah. Dampak QE menyebabkan aliran masuk modal asing, peningkatan indeks komposit, dan penurunan imbal hasil obligasi pemerintah. Sementara itu, tapering berdampak pada penurunan aliran modal masuk, penurunan IHSG, dan peningkatan imbal hasil obligasi pemerintah. Namun, efek yang ditimbulkan oleh Quantitative Easing (QE) dan tapering hanya bersifat sementara dan tidak mempengaruhi pasar keuangan secara signifikan."
Depok: Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Moch. Doddy Ariefianto
"Tesis ini melakukan penelitian pada keberadaan dan karakteristik ekonomi co-movement mata uang ASEAN 4. Secara lebih spesifik, penelitian ditujukan untuk menjawab tiga pertanyaan, yakni (1) apakah pergerakan bersama tersebut berarti secara statistik?, (2) jika signifikan, mekanisme fundamental apakah yang melandasinya? Studi literatur lebih lanjut menunjukkan kemungkinan teori Optiumm Currency Area (OCA) berperan sebagai penjelas dan (3) apakah fenomena co-movement ini adalah dampak faktor global (pergerakan JPY).
Untuk menjawab pertanyaan penelitian, tesis ini menggunakan model Vecfor Error Correction Model (VECM) untuk merangkum dinamika jangka pendek dan jangka panjang co-movement mata uang ASEAN 4 dan variabel karakteristik OCA. Stalistik koefisien yang melebihi nilai kritis merupakan syarat untuk menyatakan bahwa fenomena co-movement mata uang ASEAN 4 adalah berarti dan dapat dijelaskan oleh OCA. Statistik yang dianalisis ini meliputi: koelisien kointegrasi, stabilitas, dan pemenuhan persyaratan asumsi klasik. Variabel karakteristik OCA yang dipilih meliputi jumlah uang bcredar (MI), tingkat bunga deposito, inflasi dan pendapatan riil domestik. Semua variabel diukur terhadap suatu benchmark tertentu, yakni Amerika Serikat, mengingat co-movement mata uang ASEAN 4 diamati terhadap USD. Disamping itu pergerakan nilai tukar USD/JPY juga dimasudkan sebagai variabel kontrol, untuk membuka kemungkinan keberadaan faktor global lain yang berpengaruh pada co-movement ASEAN 4.
lnferensi terhadap hasil estimasi memberikan tiga kesimpulan panting, yakni:
1. Co-movement diantara mata uang ASEAN4 merupakan suatu fenomena yang kurang didukung oleh data. Hal ini bisa dilihat dari tingkat signifikansi yang rendah dari hasil estimasi persamaan jangka pendek dan jangka panjang baik pada OCA bivariat maupun model lengkap. Disamping itu tanda dari koeflsien yang diperoleh juga tidak homogen.
2. Teori OCA tidak terlihat cukup robust didalam menjelaskan fenomena co-movement yang ada. Hal ini berlaku baik pada model Iengkap maupun model bivariat. Indikasi atas hal ini dapat dilihat dari rendahnya signifikansi dari variabel eksogen didalam ECM.
3. Keberadaan OCA juga merupakan fenomena global. Hal ini terindikasi dari homogenitas tanda koefisien dan juga signifikansi parameter yangcukup baik dari variabel pengaruh JPY."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2006
T17175
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amrullah
Depok: Universitas Indonesia, 2009
T27340
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Suyanti
"Tulisan ini mengungkapkan masalah kegagalan kebijaksanaan Sanering dalam menaham laju inflasi pada masa Ekonomi Terpimpin. Kebijaksanaan Sanering tersebut oleh pemerintah dilakukan pada awal dan menjelang berakhirnya pembangunan sistem ekonomi terpimpin dengan munculnya pemerintahan baru dibawah Presiden Soeharto. Kebijaksanaan sanering tersebut kemudian dikenal sebagai Tindakan Moneter I, tanggal 25 Agustus 1959 yang dituangkan dalam Lembaran Negara No. 89 dan dan Tindakan Sanering II pada tanggal 13 I7esember 1965 dalam Lembaran Negara No. 102 tahun 1965.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa Tindakan Moneter 1, secara kuantitatif berhasil mencapai target kebi/aksanaan, yaitu:
a. Pengurangan secara drastis jumlah uang yang beredar, yang menurut pemerintah sebagai sumber yang paling mendasar terjadinya inflasi.
b. Sebagai sumber penerimaan negara yang akan digunakan untuk menutup hutang pemerintah kepada Bank Indonesia Unit I yang telah mencetak uang baru untuk memenuhi pinjaman pemerintah tersebut.
Dengan tindakan Sanering 1, pemerintah berhasil menghimpun dana melalui penurunan nilai uang Rp 500 dan Rp 1000 masing-masing menjadi Rp 50 dan Rp 100 dan pembekuan sebagian tabungan masyarakat sebesar Rp 8264 juta. Sebagian dari jumlah tersebut dapat menutup hutang pemerintah kepada Bank Indonesia Unit I, sehingga hutang pemerintah pada Bank Indonesia, khususnya dalam Triwulan 111/1959 menjadi minus sebesar Rp 4154, (Lampiran II Sub A) sedangkan jumlah uang yang beredar menjadi minus sebesar Rp 7622 juta (Lampiran II Sub E).
Tindakan Moneter I tersebut juga berhasil mengurangi prosentasi kenaikan inflasi yang termasuk dalam golongan inflasi berat inflasi diatas 30%). Pada tahun 1958 inflasi telah mencapai kenaikan 45,76% dan pada tahun 1959 dengan kebijakan Sanering I intensitas inflasi hanya mengalami kenaikan 22,22%. Namun harga tetap menunjukkan kenaikan.
Tetapi sejak tahun 1960 inflasi kembali mengalami peningkatan. Bahkan pada tahun 1962 inflasi telah meningkat menjadi hyperinflasi. Sejak saat itu harga barangbarang pada umumnya dan tahun ke tahun semakin tidak terkendali.
Pada bulan November tahun 1965 telah terjadi kenaikan harga Bahan Bakar Minyak sebesar 600%. Dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri Urusan Minyak dan Gas Bumi No. 160 M/Migas/1965, pemerintah telah menaikan harga bensin dari Rp 4 per liter menjadi Rp 250 per liter, sedangkan harga minyak tanah naik menjadi Rp 100. Kenaikan harga Bahan Bakar Minyak tersebut mendorong kenaikan harga barang-barang pada umumnya.
Kenaikan tersebut mendorong pemerintah untuk kembali melaksanakan tindakan Sanering yang dikenal sebagai Tindakan Moneter II, pada tanggai 13 Desember 1965 untuk mengurangi jumlah uang yang beredar dengan harapan pemerintah berhasil mengendalikan lajunya hyperinflasi tersebut. Namun dengan Tindakan Moneter II, pemerintah secara kuantitatif tidak berhasil mencapai target kebijaksanaan yaitu menutup hutang pemerintah pada Bank Indonesia dan mengurangi jumlah uang yang beredar.
Karena dana yang berhasil dihimpun oleh pemerintah melalui penurunan nilai rupiah (Rp 1000 uang lama) menjadi (Rp 1 uang baru) dengan pajak penukaran 10% tidak berhasil menutup hutang pemerintah pada Bank Indonesia pada Triwulan I tahun 1966 telah bertambah sebesar Rp 3.180 juta. (Lampiran XIV Sub E).
Beberapa hari setelah pemerintah melakukan Tindakan Moneter II, pada tanggal 13 Desember 1959 beberapa hari kemudian pada tanggal 3 Januari 1966 pemerintah kembali menaikkan harga Bahan Bakar Minyak sebesar 400%. Dengan Surat Keputusan Minyak dan Gas Bumi No. 216/M/Migas11965, pemerintah menaikkan harga bensin dari Rp 250 per liter menjadi Rp 1000 per liter, minyak tanah dari Rp 100 per liter menjadi Rp 400 per liter.
Dengan adanya desakan dari masyarakat untuk segera menurunkan harga BBM tersebut, maka pada tanggal 21 Ianuari 1966 pemerintah segera menurunkan harga bensin sebesar 50%. Dengan Surat Keputusan Minyak dan Gas Bumi No. 34/M/Migas/1966 harga bensin yang semula Rp 1000 turun menjadi Rp 500 per liter dan harga minyak tanah dari Rp 400 per liter turun menjadi Rp 200 per liter.
Dengan kenaikan harga bahan bakar tersebut dengan sendirinya diikuti dengan kenaikan harga-harga baru lainnya yang mendorong inflasi mencapai puncaknya pada tahun 1966 naik sebesar 635,26%.
Untuk menganalisis causal faktor perkembangan intensitas inflasi yang semakin tidak terkendali sebagaimana tersebut di atas, sehingga dapat menjawab permasalahan yang telah penulis rumuskan sebagaimana tersebut diatas, selain menggunakan beberapa temuan teori inflasi sebagai dasar untuk menganalisa permasalahan yang telah penulis rumuskan, maka penulis bertitik tolak dari Teori Transformasi struktur oleh Hollis Chinery, yang menekankan bahwa sebagai modal utama Pembangunan Ekonomi adalah suatu negara yang mengalami transformasi dari pertanian tradisional (sub sistem) ke sektor industri.
Karena tulisan ini penulis tempatkan dalam kerangka metodologi struktural, maka masalah meningkatnya inflasi yang semakin tidak terkendali pada masa Ekonomi Terpimpin, sangat berkaitan dengan beberapa kelemahan kebijakan sistem ekonomi yang dirumuskan oleh kelompok radikal khususnya PKI, militer yang mulai masuk dalam perekonomian, maupun Presiden Soekarno dan pendukungnya khusus PNI yang berhaluan kiri yang bertindak sebagai agent of change telah gagal mentransformasi struktur ekonomi kolonial ke nasional (sektor ekonomi yang bersifat esensial dikuasai/ dikelola penguasa pribumi).
Dengan gagalnya kelompok radikal mentransformasi struktur ekonomi kita yang terletak pada sektor tradisional (pertanian) menuju sektor industri telah mengakibatkan terjadinya penurunan Produksi Nasional Bruto yaitu rata-rata pertahun hanya mencapai 2%. Pada masa ekonomi liberal, pemerintah telah berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 3,2%, perkembangan penduduk Indonesia rata-rata pertahun pada masa Ekonomi Terpimpin mencapai 2,3% maka pertumbuhan ekonomi perkapita menjadi minus.
Terjadinya penurunan produksi nasional dan pertumbuhan ekonomi perkapita yang telah mengalami stagnasi secara langsung berdampak pada menurunnya penerimaan Negara. Dengan semakin menurunnya penerimaan Negara secara maka untuk membiayai pengeluarannya, pemerintah terus menerus menggunakan anggaran defisit dengan jumlah semakin meningkat. Bahkan sejak tahun 1962 defisit APBN telah melampaui penerimaannya yang mengakibatkan intensitas hyperinflasi semakin tidak terkendali, dengan semakin menurunnya produk nasional kita dan menurunnya penerimaan Negara kita secara bersama.
Dalam tulisan ini dibahas bagaimana proses transformasi sosial mengalami kemunduran yang berdampak pada menurunnya Produk Nasional Bruto yang berakibat menurunnya pendapatan pemerintah yang pada gilirannya mendorong terjadinya defisit anggaran sebagai dasar untuk menganalisa masalah mengapa kebijakan Sanering pada masa ekonomi terpimpin gagal mengendalikan inflasi."
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T11120
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Argamaya
"Diduga bahwa inflasi lebih persisten dan kebijakan moneter lebih akomodatif terhadap inflasi di bawah rezim nilai tukar mengambang. Penelitian di Indonesia menunjukan hasil yang berbeda dari dugaan semula, yaitu rata-rata persistensi inflasi di Indonesia baik sebelum dan sesudah memperhitungkan rata-rata perbedaan pengaruh oil shocks di bawah rezim nilai tukar tetap cenderung lebih persisten. Sedangkan kebijakan moneter datam mengakomodasi inflasi baik dalam rezim nilai tukar tetap maupun rezim nilai tukar mengambang setelah memperhitungkan rata-rata perbedaan pengaruh oil shocks cenderung tidak menunjukkan adanya perbedaan yang berarti. Hal ini terutama disebabkan oleh karakteristik laju inflasi di Indonesia lebih kuat dipengaruhi masalah di sisi penawaran dibandingkan dengan sisi permintaan, atau jumlah uang beredar, Selain itu, diduga akibat tidak independennya bank sentral dalam menentukan kebijakan moneter khususnya dalam jumlah uang beredar, sebagaimana dapat dilihat pada hasil pengujian kebijakan sterilisasL Dengan demikian, otoritas moneter memilHd keterbatasan dalam mengendalikan laju inflasi
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2000
T257
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>