Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 64007 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yuzar Purnama
"Buleng adalah tradisi lisan yang tumbuh kembang di Betawi. Tradisi lisan ini diperkirakan punah tahun 1978. Upaya revitalisasi terus dilakukan, tahun 2015 Atin Hisyam sempat manggung dan mendapatkan apresisasi yang cukup baik dari penonton. Upaya pelestarian lainnya dapat dilakukan dengan pengkajian. Penulis akan melakukan kajian tentang nilai budaya Raja Tanpaingan dalam tradisi lisan Buleng. Diharapkan dari kajian ini selain untuk mendokumentasikan juga hasilnya dapat menggugah semua pihak untuk bersama-sama mendukung updaya revitalisasi tradisi lisan Buleng. Tulisan dibatasi, apa yang dimaksud tradisi lisan buleng, cerita Raja Tanpaingan, dan nilai budaya yang terkandung dalam cerita tersebut. Kesimpulan dari ulasan ini, nilai budaya yang terdapat dalam cerita Raja Tanpaingan adalah etos kerja, nilai agama, politik, filsafat, dan nilai kuasa."
Yogyakarta: Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta, 2017
959 PATRA 18:3 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
I Ketut Sudharma Putra
"Tradisi Marebu Mala merupakan salah satu tradisi yang terdapat di desa adat Beraban. Marebu Mala sangat terkait dengan suatu ritual yang berkenaan dengan pembersihan atau pensucian buana agung atau pembersihan terhadap alam semesta dalam ruang lingkup yang lebih kecil adalah lingkungan tempat pakraman desa adat setempat. Tradisi Marebu Mala diselenggarakan pada saat-saat tertentu tatkala adanya suatu kejadian atau peristiwa wabah penyakit atau hal lain yang mengancam keharmonisan hubungan manusia dengan lingkungan sekitarnya. Penelitian ini menggunakan metode pengamatan, wawancara, dan perpustakaan. Sedangkan, teori yang digunakan adalah teori neofungsional dan semiotik. Adapun perumusan masalahnya adalah apa fungsi dari tradisi Marebu Mala dan yang kedua bagaimana prosesi tradisi Marebu Mala dilakukan. Adapun pembahasannya yakni. Marebu Mala merupakan suatu tradisi yang telah ada dan dilakukan secara turun-menurun oleh masyarakat setempat. Ritual ini sangat sakral karena berkaitan dengan religi atau kepercayaan masyarakat. Fungsi dari Marebu Mala adalah melakukan penetralisiran terhadap energi-energi negatif baik yang disebabkan oleh alam maupun oleh ulah manusia sehingga keadaan yang buruk itu dapat dikontrol dan diredam, tidak menimbulkan impek yang buruk terhadap lingkungan kehidupan manusia. "
Denpasar: Balai Pelestarian Nilai Budaya Bali, 2017
902 JPSNT 24:2 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Meutia Swarna Maharani
"Balian adalah istilah yang umum digunakan dalam budaya masyarakat Dayak untuk merujuk pada dua pengertian, yakni sebagai ritual adat yang biasanya ditujukan untuk mengusir penyakit atau sebagai bentuk syukur, dan balian sebagai pemangku ritual adat tersebut. Adalah novel Lampau karya Sandi Firly yang diterbitkan oleh GagasMedia pada 2013 yang menceritakan kisah tentang seorang anak Dayak Meratus dalam perjalanannya dalam mengejar mimpi. Novel tersebut mengangkat tradisi dan figur balian sebagai pemantik konflik para tokohnya yang kurang lebih menyoroti tentang terbatasnya pilihan hidup keturunan balian dan peran perempuan menjadi figur balian. Ditemukan rumusan masalah berupa gambaran representasi tokoh dan ritual balian yang terdapat di dalam novel ini. Penelitian ini menggunakan teori representasi dengan pendekatan sosiologi sastra dan penelitian kualitatif dengan metode deskriptif. Hasil dari penelitian ini ialah penggambaran tentang tokoh utama novel Lampau yang pada akhirnya memilih untuk mengikuti jalannya tradisi walau tidak sesuai dengan apa yang ia yakini selama ini.

Balian is a term that is frequently used in the culture of the Dayak people and has two meanings: it can refer to either the leader of a traditional rite or the ritual itself that is typically performed to banish disease and as a sign of gratitude. A novel titled Lampau by Sandi Firly, which was published by GagasMedia in 2013, tells the story about a Dayak Meratus youngster who attempts to pursue his dream. The depiction of balian as a ritual and a figure in this novel is used to raise the conflict, which circulated between the limitation of life a balian descendant should face and the role played by woman in the balian ritual. The representation of balian in the novel as a ritual and as a figure is the issue that is explored in this paper. This paper used qualitative research with a descriptive methodology combined with theory of representation in literary sociology approach. The paper’s concluded in the depiction of the main character who ultimately decides to follow the route of tradition even though it is not accordance to what he believes all this time."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
"Russian interested to the great tradition of science and civilization such as Byzantium and Arab as reference in building their scientifical tradition in any disciplines and fields of studies like astronomy, astrology and medical."
297 TURAS 12 (1-3) 2006
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Jérôme Samuel
"This paper examines with a particular affixe (keter-/-an) consisting in two primary
affixes. Through the analyse of terms coined by the Pusat Bahasa and spontaneous
terms, the paper distinguishes between ?double? and ?complex? affixation,
corresponding to different operating modes of affixation. The first deals with
an already affixed and lexicalized word, then reaffixed and relexicalized. The
second, almost only found in documents produced by the Pusat Bahasa, refers
to a base getting a first affix in a poorly (or not) lexicalized form, constituting
no more than a morphological stage towards the wished form, which is intent
as lexicalized. Complex affix keter-R-an is basically a morphological calque and
the author argues that it has been promoted and used during New Order on an
ideological basis, as a mean to modernize Indonesian terminology by keeping
its shape indigenous rather than by direct borrowing of English terms."
University of Indonesia, Faculty of Humanities, 2009
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Jérôme Samuel
"This paper examines with a particular affixe (keter-/-an) consisting in two primary
affixes. Through the analyse of terms coined by the Pusat Bahasa and spontaneous
terms, the paper distinguishes between ?double? and ?complex? affixation,
corresponding to different operating modes of affixation. The first deals with
an already affixed and lexicalized word, then reaffixed and relexicalized. The
second, almost only found in documents produced by the Pusat Bahasa, refers
to a base getting a first affix in a poorly (or not) lexicalized form, constituting
no more than a morphological stage towards the wished form, which is intent
as lexicalized. Complex affix keter-R-an is basically a morphological calque and
the author argues that it has been promoted and used during New Order on an
ideological basis, as a mean to modernize Indonesian terminology by keeping
its shape indigenous rather than by direct borrowing of English terms."
University of Indonesia, Faculty of Humanities, 2009
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Sainul Hermawan, 1973-
"Selama ini balamut hanya dilihat sebagai tradisi untuk menghibur, menunaikan nadar dan pengobatan. Penelitian ini berupaya mengisi rumpang tersebut dengan mengkaji bahwa di balik ketiga praktik tersebut ada beragam bentuk resistensi baik yang bersifat individual maupun kolektif terhadap momentum kekuasaan yang ada dalam setiap pertunjukannya. Kemungkinan adanya praktik resistensi ini terabaikan dalam kajian terdahulu karena tradisi balamut cenderung dilihat sebagai sastra lisan dan mendekatinya seperti membaca sastra tulis atau cetak untuk mengidentifikasi makna dan nilai dengan menganalisis unsur-unsur intrinsiknya. Pendekatan tersebut mengabaikan peran penting palamutan dan audiens sebagai faktor pembentuk makna. Oleh karena itu, penelitian ini mendekati tradisi balamut dengan teori dan metode yang disediakan oleh etnografi, tradisi lisan, pertunjukan, dan ritual untuk mengkaji kemungkinan adanya praktik resistensi.Resistensi yang dilakukan palamutan termasuk jenis resistensi individual nirkekerasan yang dilakukan dengan menggunakan simbol-simbol budaya baik di ranah publik maupun domestik untuk melawan sekaligus membela tradisinya, merespons politik identitas dan mengeritik kondisi sosial kontemporer yang dihadapinya. Dinamika inilah yang membuat tradisi ini tetap bertahan.Dengan melihat tradisi balamut sebagai praktik resistensi berarti menempatkan palamutan sebagai pelaku tradisi yang memiliki kesadaran sosial dan ideologis. Ia bukan sekadar pelaku yang mentransmisikan tradisi secara pasif tetapi ikut menciptakan kembali tradisi tersebut secara aktif dan kreatif.

So far balamut oral tradition in Banjarmasin, South Kalimantan, has been seen only as a tradition to entertain, to perform nadar and treatment. This study attempts to fill these gaps by examining that behind the such three practices there are various forms of resistance to the momentum of the powers individually and collectively in every moment of its performance. The possibility of this resistance practices was overlooked in previous studies because balamut tradition tends to be seen as oral literature and approached as printed literature to identify its meaning and values by analyzing its intrinsic elements. Such approach ignores the important role of palamutan the storyteller of the tale of Lamut and audience as the determining factors of meaning. Therefore, this research approaches balamut tradition in the framework of theories and methods provided by ethnography, oral traditions, performance, and ritual practices to assess the possibility of resistance.Resistance that is conducted by palamutan the storyteller of Lamut Story is a kind of nonviolent individual resistance using cultural symbols both in the public and domestic spheres to fight as well as defend its traditions, respond to politics of identity and criticize the contemporary social conditions he faces. Such cultural dynamic makes this tradition survive.By looking at balamut tradition as a practice of resistance means to place palamutan as a social actor who has social and ideological awareness. He is not just actor who transmits his tradition passively but go on recreating the tradition actively and creatively."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2017
D2322
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Gusti Ayu Agung Sumarheni
"Upacar ngaben alit (mebretanem) ini memiliki suatu keunikan khusus diantara upacara-upacara keagamaan yang lain yang ada di Desa Busungbiu yang telah mereka lakukan secara turun-temurun. Keunikan upacara ngaben alit adalah upacaranya dilakukan hanya dikubur saja dan kuburannya itu rata dengan tanah. Setelah itu menggunakan upacara pada umumnya orang meninggal dan orang yang sudah meninggal itu dianggap sudah bersih atau ngabe, dimana secara umum dalam melaksanakan upacara ngaben tanpa dibakar dianggap belum ngaben yang sah. Jika hal tersebut tidak dipatuhi maka desa setempat akan memperoleh bencana. Untuk memperoleh data, digunakan teknik pengumpulan data primer yaitu data langsung dari sumber utama. Dalam hal ini peneliti menggali sumber dengan melakukan penelitian secara langsung terhadap masyarakat di Banjar Timbul Gegel Desa Busungbiu Kecamatan Busungbiu Kabupaten Buleleng. Sumber data sekunder yaitu data yang dikumpulkan, diolah dan disajikan oleh pihak lain mencakup buku-buku, maupun hasil penelitian yang berbentuk laporan data. Kajian pustaka literatur perlu juga dilakukan untuk menguasai teori-teori yang relevan dengan masalah penelitian. Upacara ngaben alit mempunyai tujuan khusus untuk mengetahui prosesi pelaksanaan dan untuk mengetahui landasan filosofis yang terkandung dalam pelaksanaan upacara ngaben alit. Karena upakara dan upacara yang mempunyai hubungan erat dengan pendidikan moral atau susila maupun filsafat, ini merupakan hal yang sangat perlu ditingkatkan. Dan dengan terpeliharanya ajaran-ajaran agama serta ajaran-ajaran budi pekerti, etika yang berdasarkan kitab suci maka budaya Bali akan dapat hidup terus."
Denpasar: Balai Pelestarian Nilai Budaya Bali, 2017
902 JPSNT 24:1 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Christina Suprihatin
"R.M. Noto Soeroto was one of the Indonesian writers who wrote in Dutch.
His poems and essays in Dutch were well appreciated by both the Dutch and
the Indonesian society in the Netherlands. He published his works in Oedaya:
Majalah bergambar untuk Indonesia, a magazine (1923-1931) that was founded by
him. His works can be categorized as Dutch-East Indies literature. Most of his
works in Dutch were written when he lived in the Netherlands and describe
the Javanese culture. This article is an analysis on three of Soeroto?s poems.
These three poems present flowers as theme, two poems are from his anthology
Melatiknoppen: gedichten in proza (1915) and one poem from De geur van moeders
haarwrong (1922). Flowers are most usually seen as a symbol for women, and
thus represent the idea of femininity. However, the flowers in these three poems
refer to the idea of masculinity. Jasmine is no longer a symbol limited to the
feminine gender. In Javanese culture, the jasmine flower attached to the hair
is a symbol of femininity. The flower wrapped around the kris is a symbol of
masculinity. Furthermore jasmine is a symbol for struggle. This article tries to
demonstrate the presence of masculinity through the use of flowers and their
role as an image of masculinity in Noto Soeroto?s poems."
University of Indonesia, Faculty of Humanities, 2008
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>