Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 196636 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Lonah
"Pendahuluan: Hiperemesis gravidarum adalah keluhan mual dan muntah pada perempuan hamil yang mengganggu aktivitas sehari-hari dan menimbulkan komplikasi. Komplikasi yang dapat terjadi adalah ketonuria, dehidrasi, hipokalemia, dan penurunan berat badan lebih dari 3 kg atau 5 berat badan. Untuk mengatasi hal ini diperlukan tatalaksana farmakoterapi berjenjang menggunakan metoklopramid atau ondansetron. Harga ondansetron yang lebih mahal daripada metoklopramid dapat meningkatkan biaya perawatan pasien hiperemesis gravidarum. Dengan efektivitas yang sama dan harga yang berbeda, perlu dilakukan kajian farmakoekonomi. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efektivitas dan biaya obat ondansetron yang digunakan pada pasien hiperemesis gravidarum dengan biaya BPJS di RSCM periode tahun 2012 sampai 2016.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang, dengan menggunakan rekam medis dari 60 pasien hiperemesis gravidarum yang dirawat di ruang perawatan kelas-3 RSCM dalam periode 2012-2016. Analisis farmakoekonomi dilakukan berdasarkan keluaran klinis yang terdiri dari efektivitas dan biaya perawatan biaya langsung . Efektivitas dinilai berdasarkan jumlah hari sampai keluhan mual dan muntah menghilang setelah pemberian tatalaksana antiemetik ondansetron atau tatalaksana antiemetik tanpa ondansetron.
Hasil: Sebagian besar subjek penelitian menderita hiperemesis gravidarum tingkat I sampai II, dengan rentang usia antara 18 tahun hingga 39 tahun, rerata usia gestasi 12 minggu, dan jumlah graviditas ke-1 sampai ke-5. Efektivitas kedua obat antiemetik, secara statistik tidak berbeda bermakna, yang dilihat dari hari ke berapa keluhan menghilang P=0,370 . Tidak diperoleh informasi efek samping obat ondansetron atau metoklopramid dari rekam medis pasien. Dari perhitungan analisis minimalisisasi biaya AMiB diperoleh hasil bahwa biaya rerata per pasien dengan ondansetron dibandingkan tanpa ondansetron tidak berbeda bermakna P=0,966.
Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan efektivitas dan efisiensi biaya pada penggunaan ondansetron dibandingkan metoklopramid untuk tatalaksana hiperemesis gravidarum. Diperlukan penelitian prospektif dengan jumlah subjek penelitian yang lebih banyak di pusat pelayanan kesehatan primer.

Introduction: Hyperemesis gravidarum is defined as presence of nausea and vomiting in pregnancy which interfere daily activities and cause complications. Complications that can occur are ketonuria, dehydration, hypokalemia, and weight loss more than 3 kg or 5 weight. In order to overcome this problem, it is necessary to have a pharmacotherapy course with metoclopramide or ondansetron. Ondansetron is more expensive than metoclopramide. It can increase the cost of treating hyperemesis gravidarum patients. With the same effectiveness and different prices, a pharmacoeconomic study needs to be done. This study aims to analyze the effectiveness and cost of ondansetron drugs used for hyperemesis gravidarum patients in RSCM Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo period 2012 until 2016.
Method: This is a cross sectional study, using a medical record of 60 hyperemesis gravidarum patients treated in RSCM 3rd class treatment rooms within the period 2012 2016. Pharmacoeconomic analysis is performed on the basis of clinical outcomes consisting of effectiveness and direct cost. Effectiveness is assessed by the number of days of clinical improvement following administration of ondansetron antiemetics or non ondansetron antiemetic management.
Result: Most of the study subjects are grade I to II hyperemesis gravidarum patients, with a study subject span between 18 years to 39 years old, the mean of gestational age was 12 weeks gestation, and the number of gravidities 1 to 5. The effectiveness of both antiemetic drugs, statistically not significantly different, seen from day to how the complaint disappeared P 0.370 . No information on side effects of ondansetron or metoclopramide drugs from patient medical records was obtained. From the calculation of cost minimization analysis AMiB obtained the result that the average cost per patient with ondansetron compared without ondansetron not significantly different P 0,966.
Conclusion: There is no difference in effectiveness and cost efficiency in use ondansetron versus metoclopramide for the management of hyperemesis gravidarum. A prospective study is required with a larger number of study subjects in primary care centers.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Lonah
"ABSTRAK
Pendahuluan: Hiperemesis gravidarum adalah keluhan mual dan muntah pada perempuan hamil yang mengganggu aktivitas sehari-hari dan menimbulkan komplikasi. Komplikasi yang dapat terjadi adalah ketonuria, dehidrasi, hipokalemia, dan penurunan berat badan lebih dari 3 kg atau 5 berat badan. Untuk mengatasi hal ini diperlukan tatalaksana farmakoterapi berjenjang menggunakan metoklopramid atau ondansetron. Harga ondansetron yang lebih mahal daripada metoklopramid dapat meningkatkan biaya perawatan pasien hiperemesis gravidarum. Dengan efektivitas yang sama dan harga yang berbeda, perlu dilakukan kajian farmakoekonomi. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efektivitas dan biaya obat ondansetron yang digunakan pada pasien hiperemesis gravidarum dengan biaya BPJS di RSCM periode tahun 2012 sampai 2016.Metode: Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang, dengan menggunakan rekam medis dari 60 pasien hiperemesis gravidarum yang dirawat di ruang perawatan kelas-3 RSCM dalam periode 2012-2016. Analisis farmakoekonomi dilakukan berdasarkan keluaran klinis yang terdiri dari efektivitas dan biaya perawatan biaya langsung . Efektivitas dinilai berdasarkan jumlah hari sampai keluhan mual dan muntah menghilang setelah pemberian tatalaksana antiemetik ondansetron atau tatalaksana antiemetik tanpa ondansetron.Hasil: Sebagian besar subjek penelitian menderita hiperemesis gravidarum tingkat I sampai II, dengan rentang usia antara 18 tahun hingga 39 tahun, rerata usia gestasi 12 minggu, dan jumlah graviditas ke-1 sampai ke-5. Efektivitas kedua obat antiemetik, secara statistik tidak berbeda bermakna, yang dilihat dari hari ke berapa keluhan menghilang P=0,370 . Tidak diperoleh informasi efek samping obat ondansetron atau metoklopramid dari rekam medis pasien. Dari perhitungan analisis minimalisisasi biaya AMiB diperoleh hasil bahwa biaya rerata per pasien dengan ondansetron dibandingkan tanpa ondansetron tidak berbeda bermakna P=0,966 .Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan efektivitas dan efisiensi biaya pada penggunaan ondansetron dibandingkan metoklopramid untuk tatalaksana hiperemesis gravidarum. Diperlukan penelitian prospektif dengan jumlah subjek penelitian yang lebih banyak di pusat pelayanan kesehatan primer.

ABSTRACT
Introduction Hyperemesis gravidarum is defined as presence of nausea and vomiting in pregnancy which interfere daily activities and cause complications. Complications that can occur are ketonuria, dehydration, hypokalemia, and weight loss more than 3 kg or 5 weight. In order to overcome this problem, it is necessary to have a pharmacotherapy course with metoclopramide or ondansetron. Ondansetron is more expensive than metoclopramide. It can increase the cost of treating hyperemesis gravidarum patients. With the same effectiveness and different prices, a pharmacoeconomic study needs to be done. This study aims to analyze the effectiveness and cost of ondansetron drugs used for hyperemesis gravidarum patients in RSCM Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo period 2012 until 2016.Method This is a cross sectional study, using a medical record of 60 hyperemesis gravidarum patients treated in RSCM 3rd class treatment rooms within the period 2012 2016. Pharmacoeconomic analysis is performed on the basis of clinical outcomes consisting of effectiveness and direct cost. Effectiveness is assessed by the number of days of clinical improvement following administration of ondansetron antiemetics or non ondansetron antiemetic management. Result Most of the study subjects are grade I to II hyperemesis gravidarum patients, with a study subject span between 18 years to 39 years old, the mean of gestational age was 12 weeks gestation, and the number of gravidities 1 to 5. The effectiveness of both antiemetic drugs, statistically not significantly different, seen from day to how the complaint disappeared P 0.370 . No information on side effects of ondansetron or metoclopramide drugs from patient medical records was obtained. From the calculation of cost minimization analysis AMiB obtained the result that the average cost per patient with ondansetron compared without ondansetron not significantly different P 0,966 . Conclusion There is no difference in effectiveness and cost efficiency in use ondansetron versus metoclopramide for the management of hyperemesis gravidarum. A prospective study is required with a larger number of study subjects in primary care centers. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T58895
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fitriyani
"ABSTRAK
Diabetes mellitus (DM) tipe 2 diketahui sebagai salah satu masalah kesehatan yang memberikan beban ekonomi yang cukup besar pada sistem pelayanan kesehatan di seluruh dunia. Bervariasinya penggunaan terapi obat akan mengakibatkan adanya perbedaan dalam efektivitas dan biaya terapi, sehingga perlu dilakukan analisis efektivitas-biaya. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis efektivitas-biaya terapi kombinasi metformin-insulin dan metformin-sulfonilurea pada pasien rawat jalan dengan DM tipe 2. Penelitian ini menggunakan desain studi kohort, pengambilan data dilakukan secara retrospektif di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo menggunakan rekam medik pasien rawat jalan dengan DM tipe 2 dari tahun 2016-2019 dan data billing rumah sakit. Efektivitas terapi (∆HbA1c) dan biaya medis langsung antara kedua kelompok dibandingkan. ∆HbA1c antara kelompok metformin-insulin dan kelompok metformin-sulfonilurea tidak memiliki perbedaan yang bermakna secara statistik (rerata perbedaan 0,123%; p=0,608). Sedangkan median biaya medis langsung kelompok metformin-insulin lebih tinggi dibandingkan kelompok metformin-sulfonilurea (p < 0,001). Hasil analisis efektivitas-biaya menunjukkan bahwa terapi kombinasi metformin-sulfonilurea lebih cost-effective dibandingkan kombinasi metformin-insulin.

ABSTRACT
Type 2 diabetes mellitus (DM) has been recognized as one of the health problems that imposes economic costs to health care systems around the world. Variation of drug therapy will result in differences in effectiveness and cost of therapy, thus cost-effectiveness analysis has been regarded paramount. The purpose of this study is to analyze the cost-effectiveness of metformin-insulin and metformin-sulfonylurea combination therapy in outpatients with type 2 DM. This cohort study was conducted retrospectively at RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo using medical records of outpatients with type 2 DM from 2016-2019 and hospital billing. The effectiveness of therapy (∆HbA1c) and direct medical costs between the two groups were compared. ∆HbA1c between the metformin-insulin group and the metformin-sulfonylurea group did not have statistically significant differences (mean difference 0,123%; p=0,608). While the median of direct medical costs of the metformin-insulin group was higher than metformin-sulfonylurea group (p < 0.001). The results of the cost-effectiveness analysis showed that the combination therapy of metformin-sulfonylurea was more cost-effective compared to the combination of metformin-insulin."
2019
T55097
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Della Rosalynna Stiadi
"Hipertensi dan diabetes melitus menjadi salah satu faktor risiko kejadian kardiovaskuler. Tidak terkontrolnya hipertensi dapat menyebabkan perburukan kesehatan dan ekonomi pada penderitanya. Kombinasi terapi antihipertensi dinilai adekuat untuk mencapai target tekanan darah <140/90 mmHg. Obat antihipertensi golongan ACEI, ARB, dan CCB merupakan terapi yang sesuai untuk pasien dengan diabetes melitus tipe 2 dan harganya bervariasi. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa golongan ARB lebih cost-effective dibandingkan yang lainnya. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis efektivitas biaya dari kombinasi terapi amlodipin-kandesartan dibandingkan dengan amlodipin-ramipril pada pasien hipertensi dengan diabetes melitus tipe 2. Penelitian cross-sectional ini dilakukan di RSUPN dr. Cipto mangunkusumo dengan menggunakan rekam medis pasien tahun 2017-2019. Subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi sebanyak 87 pasien. Pasien dibagi menjadi dua kelompok: kelompok yang mendapat terapi amlodipin-kandesartan dan kelompok yang mendapat terapi amlodipin-ramipril. Analisis efektivitas biaya diperoleh dari perhitungan biaya medik langsung, menghitung efektivitas terapi berdasarkan jumlah pasien yang mencapai target tekanan darah <140/90 mmhg, serta menghitung nilai ACER. Kombinasi amlodipin-kandesartan memiliki efektivitas terapi 48.9%, sedangkan efektivitas terapi amlodipin-ramipril 45,2%. Nilai ACER kelompok amlodipin-kandesartan dan kelompok amlodipin-ramipril adalah Rp. 1.604.736,2 per efektivitas and Rp 1.811.278,8 per efektivitas. Dapat disimpulkan bahwa amlodipin-kandesartan lebih cost-effective dibandingkan amlodipin-ramipril.

Hypertension and diabetes mellitus are risk factors for cardiovascular events. Uncontrolled hypertension can cause health and economic burdens in patients. The combination of antihypertensive therapy is considered adequate to achieve the targeted blood pressure <140/90 mmHg. Antihypertensive drugs class such as ACEIs, ARBs, and CCBs are appropriated therapies for patients with type 2 diabetes mellitus and the price differences. Previous studies have shown that the ARBs are more cost-effective than others. The aim of this study was to analyze the cost-effectiveness of combination of amlodipine-candesartan compared to amlodipine-ramipril in hypertensive patients with type 2 diabetes mellitus. This cross-sectional study was conducted at Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital by using patient medical records in 2017-2019. Research subjects who met the inclusion criteria were 87 patients. Patients were divided into two groups: group receiving amlodipine-candesartan and group receiving amlodipine-ramipril. Cost effectiveness analysis obtained from the calculation of direct medical costs, calculated the effectiveness of therapy based on the number of patients who reached the target blood pressure <140/90 mmHg, and calculated the value of ACER. Amlodipine-candesartan has a therapeutic effectiveness of 48.9%, while the effectiveness of amlodipine-ramipril is 45.2%. The ACER value of the amlodipine-candesartan group and the amlodipine-ramipril group were Rp 1,604,736.2 per effectiveness and Rp 1,811,278.8per effectiveness. To conclude, amlodipine-candesartan is more cost-effective than amlodipine-ramipril."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2019
T55093
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arnaz Fahdika
"Latar Belakang: Post Aneshesia Shivering (PAS) adalah gerakan involunter satu otot rangka atau lebih yang biasanya terjadi pada masa awal pemulihan pascaanestesia. Kekerapannya mencapai 60% pada pasien yang mendapatkan anestesia umum. PAS dapat menyebabkan hipoksia arterial, meningkatnya curah jantung, risiko terjadinya infark miokard, dan mengganggu interpretasi alat-alat pemantauan tanda vital. Tatalaksana kejadian PAS diantaranya dengan menggunakan metode farmakologi diantaranya dengan pemberian ondansetron dan meperidin. Penelitian ini bertujuan membandingkan keefektifan pencegahan PAS dengan pemberian ondansetron 4 mg dengan meperidin 0.35 mg/kgBB intravena.
Metode:Uji klinis, acak, tersamar ganda pada 92 pasien yang menjalani operasi elektif sederhana di kamar operasi RSCM Kirana. Pasien dibagi dalam dua kelompok yaitu kelompok ondansetron dan kelompok meperidin. Pasien mendapatkan ondansetron atau meperidin sesaat sebelum anestesia, lalu seluruh pasien mendapatkan anestesia yang distandarisasi (premedikasi dengan midazolam 0.05 mg/kgBB dan fentanyl 2 mcg/kgBB, induksi dengan propofol 12.5 mg/kgbb, intubasi atau insersi LMA difasilitasi rokuronium 0.6 mg/kgBB, pemeliharaan dengan sevofluran 2 vol% dengan compressed air:O2 = 2:1). Kekerapan dan derajat menggigil dicatat tiap lima menit selama tiga puluh menit pascaanestesia. Efek samping pascapemberian juga dicatat.
Hasil: Tidak terdapat perbedaan bermakna secara statistik (p>0.05) dalam kekerapan PAS pada kedua kelompok. Kekerapan kelompok ondansetron sebesar 15.2%, sedangkan kekerapan kelompok meperidin sebesar 6.5%.
Kesimpulan: Ondansetron 4 mg intravena sama efektifnya dengan meperidin 0.35 mg/kgBB dalam mencegah kejadian PAS.

Background: Post Anesthesia Shivering (PAS) is the involuntary movements of one or more skeletal muscles that usually occur in the early time of postanesthesia recovery. The incidence reached 60% in patients receiving general anesthesia. PAS can cause arterial hypoxia, cardiac output increased, the risk of myocardial infarction, and interfere with interpretation tools vital sign monitoring. Management of the incidence of PAS such as by using pharmacological methods such as by administration of ondansetron and meperidine. This study aimed to compare the effectiveness of prevention PAS by administering ondansetron 4 mg with meperidine 0.35 mg / kg intravenously.
Methods: Clinical trials, randomized, double-blind on 92 patients undergoing elective surgery in the RSCM-Kirana operating room. Patients were divided into two groups: group ondansetron and meperidine. Patients received ondansetron or meperidine shortly before anesthesia and all patients receive standardized anesthesia (premedication with midazolam 0.05 mg / kg and fentanyl 2 mcg / kg, induced with propofol 1-2.5 mg / kg, intubation or LMA insertion is facilitated with rocuronium or 0.6 mg / kg, maintenance with sevoflurane 2 vol% to compressed air: O2 = 2: 1). The frequency and degree of shivering recorded every five minutes for thirty minutes post-anesthesia. The side effects were also recorded.
Result: There was no statistically significant difference (p> 0.05) in the frequency of PAS in both groups. Ondansetron group frequency of 15.2%, while the frequency of meperidine group was 6.5%.
Conclusion: Ondansetron 4 mg intravenously as effective as meperidine 0.35 mg/kgBW in preventing the incidence of PAS."
Depok: Universitas Indonesia, 2015
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Vincent Pratama
"Infeksi kaki diabetik (IKD) menjadi masalah utama secara global untuk pasien dan sistem pelayanan kesehatan. Selain mempertimbangkan efektivitas antibiotik, beban biaya medis pengobatan juga menjadi perhatian utama dalam penelitian ini. Tujuan penelitian ini adalah analisis efektivitas-biaya antara ampisilin/sulbaktam dan non-ampisilin/sulbaktam pada pasien IKD rawat inap. Desain penelitian ini kohort retrospektif dengan menggunakan data rekam medis dan data biaya pengobatan di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Perbaikan klinis infeksi kaki dinilai pada periode 5-7 hari dan dihitung total biaya medis langsung. Total 135 pasien IKD rawat inap teriklusi terdiri dari 93 pasien kelompok ampisilin/sulbaktam dan 42 pasien kelompok non-ampisilin/sulbaktam. Tidak ada perbedaan signifikan dalam efektivitas perbaikan klinis IKD pada kedua kelompok (55,9% vs 64,3%; p = 0,361). Pada analisis bivariat, derajat infeksi luka ringan 1,63 kali lebih berpeluang mencapai perbaikan klinis infeksi dibandingkan dengan pasien derajat sedang-berat (p = 0,026). Tidak ada perbedaan signifikan pada total biaya medis langsung antara ampisilin/sulbaktam dengan non-ampisilin/sulbaktam (Rp30.645.710 vs Rp32.980.126; p = 0,601). Pada perhitungan ACER dan model decision-tree, kelompok non-ampisilin/sulbaktam lebih cost-effective dibandingkan ampisilin/sulbaktam. Pada perhitungan ICER non-ampisilin/sulbaktam, untuk penambahan 1% perbaikan klinis IKD, dibutuhkan biaya tambahan sebesar Rp 277.907.

Diabetic foot infections (DFI) is a major problem globally and health system services. In addition to considering effectiveness of antibiotics, the burden of medical treatment costs is also a major concern in this study. This study aimed to analyze cost-effectiveness between ampicillin/sulbactam and non-ampicillin/sulbactam in hospitalized DFI patients. The design of this study was a retrospective cohort using medical record data and medical cost data at Dr. Cipto Mangunkusumo National Referral Hospital. Assessment of clinical improvement of foot infections in 5-7 days and calculated total direct medical costs. A total of 135 inpatients with DFI, consisting of 93 patients in the ampicillin/sulbactam group and 42 patients in the non-ampicillin/sulbactam group. There was no significant difference in the effectiveness of clinical improvement between two groups (55.9% vs. 64.3%; p = 0.361). In bivariate analysis, mild infection had a 1.63 times probability of clinical improvement compared to moderate-severe infection (p = 0.026). There was no significant difference in total direct medical costs (IDR 30,645,710 vs IDR 32,980,126; p = 0.601). In ACER and decision-tree models, non-ampicillin/sulbactam group was more cost-effective. In ICER of non-ampicillin/sulbactam, for an additional 1% of clinical improvement in DFI, an additional fee of IDR 277,907 is required."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lorreta, Elisabeth
"Pneumonia merupakan salah satu masalah kesehatan yang terjadi di daerah perkotaan. Lingkungan perkotaan yang padat, udara yang tidak sehat, dan gaya hidup yang tidak sehat merupakan faktor risiko yang meningkatkan angka kejadian pneumonia pada masyarakat kota. Salah satu masalah yang dapat terjadi pada penderita pneumonia adalah gangguan bersihan jalan napas. Tujuan penulisan ini adalah untuk melakukan analisis evidence based mengenai terapi batuk efektif dalam mengatasi masalah gangguan bersihan jalan napas pada pasien pneumonia. Hasil dari pelaksanaan batuk efektif ini terbukti efektif dalam meningkatkan pengeluaran sekret pada pasien. Rekomendasi penulisan ini agar perawat mengajarkan terapi batuk efektif.

Pneumonia is one of the health problems that occur in urban areas. Dense environment, polluted air, and unhealthy lifestyle are risk factors that increase the incidence of pneumonia in urban community. One of the problems that can occur in patients with pneumonia is impaired airway clearance. This study is aimed to do evidence based analyze about effective cough therapy to overcome impaired airway clearance in pneumonia patient. The result of effective cough therapy exercise is proved in increasing the excretion of secret in patient. Recommendation of this study is that nurses teach this effective cough therapy to pneumonia patients in order to overcome airway clearance disorders.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2014
PR-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Adrielona Jms
"ABSTRAK
Pengelolaan Administrasi Klaim Piutang Jamkesmas sangat penting artinya bagi
kelancaran cash flow RSUPN Cipto Mangunkusumo. Verifikator Independen
Jamkesmas selaku verifikator klaim Jamkesmas sangat penting peranannya, maka
perlu dianalisis produktivitasnya yaitu efisiensi dan efektivitasnya. Efisiensi diukur
dengan pengelolaan waktu kerja dan jumlah SDM dengan mempergunakan teknik
analisis beban kerja work sampling dan perhitungan WISN. Sedangkan untuk
efektivitas diukur dengan proses kerja, mengamati waktu penyelesaian dan kualitas
hasil verifikasi. Diperoleh hasil bahwa jumlah VIJ seharusnya adalah 4 (empat)
sedangkan VIJ yang ada saat ini adalah 5 (lima). Berdasarkan hasil pengamatan
proses kerja, VIJ telah efektif dengan pencapaian kualitas dan tenggat waktu
verifikasi.

ABSTRACT
The managing of Jamkesmas Claim Administration process is very important for
RSUPN Cipto Mangunkusumo. The role of Jamkesmas Independence Claim (VIJ) is
very important therefor is needed to be analyze the productivity, which are the
efficiency and effectiveness. Work Sampling and Workload Indicators Staffing
Need’s tool are the main idea of efficiency. Effectiveness is how the process of
analyzing claim, the accuracy of process and time limit.. The result of WISN is 4
(four) VIJ is appropriate for their workload and according to the observation, VIJ are
processing all the claim correctly according to the Standard Of Jamkesmas Claim
Procedures. The process takes 4 weeks (deadlines)."
2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Rezaalka Helto
"Latar Belakang: malformasi arteri-vena (MAV) adalah struktur abnormal yang menyebabkan fistula antara arteri dan vena tanpa perantara kapiler. MAV serebral memiliki risiko ruptur yang tinggi, dimana keadaan ruptur dapat menyebabkan kondisi katastrofik bagi pasien. Terdapat berbagai modalitas penatalaksanaan dalam manajemen MAV, seperti reseksi, embolisasi endovaskular, pembedahan stereotaktik, atau kombinasi tindakan-tindakan tersebut. Penelitian mengenai MAV sudah banyak dilakukan di luar negeri, namun masih sedikit dilakukan di Indonesia.
Tujuan: memperoleh data profil klinis, manajemen, luaran, dan gambaran pembiayaan pasien MAV serebral di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, serta memperoleh hubungan antara variabel tersebut.
Metode: penelitian ini merupakan penelitian observasional deskriptif dengan memperoleh data dari rekam medis pasien sejak tahun 2012 hingga 2021.
Hasil: sebanyak 128 tindakan dilakukan pada pasien MAV serebral di RSCM. Jenis tindakan terbanyak adalah DSA diagnostik, disusul dengan GKRS dan embolisasi. Pada tindakan embolisasi,  luaran klinis yang memiliki perbedaan signifikan atara pra dan pasca operasi adalah kejang, nyeri kepala, dan penurunan kesadaran. Pada tindakan GKRS, luaran klinis yang memiliki perbedaan signifikan pra dan pasca operasi adalah kejang, nyeri kepala, mual muntah, penurunan kesadaran, hemiparesis, dan hemihipestesia. Median persentase obliterasi GKRS adalah 51,86%. Data tindakan reseksi tidak dianalisis karena jumlah sampel tidak mencukupi. Biaya tindakan paling tinggi adalah tindakan GKRS, dengan rerata pembiayaan tindakan sebesar Rp. 134.878.643,00.
Kesimpulan: dibandingkan dengan embolisasi dan reseksi, tindakan GKRS menunjukkan luaran klinis yang lebih baik dengan nilai median obliterasi 51,86%, namun merupakan tindakan dengan pembiayaan paling tinggi dan tidak ditanggung oleh asuransi negara.

Backgrounds: Arteriovenous malformation (AVM) is an abnormal structure that causes fistulas between arteries and veins without capillary intermediaries. Cerebral AVM has a high risk of rupture, where the state of rupture can cause catastrophic conditions for the patient. There are various treatment modalities in the management of AVM, such as resection, endovascular embolization, stereotactic surgery, or a combination of the treatments above. Many researches on AVM have been carried out abroad, but little has been done in Indonesia.
Objective: to obtain data on clinical profiles, management, outcomes, and costs of cerebral AVM patients at Dr. Cipto Mangunkusumo, and to obtain the relationship between the variables.
Method: this study is a descriptive observational study by extracting data from patient medical records from 2012 to 2021.
Results: a total of 128 procedures were performed on cerebral AVM patients at RSCM. The most common type of procedure was diagnostic DSA, followed by GKRS and embolization. In the embolization procedure, the clinical outcomes that had a significant difference between pre and post-procedure were seizures, headache, and decreased consciousness. In the GKRS procedure, the clinical outcomes that had significant differences before and after the procedure were seizures, headache, nausea and vomiting, decreased consciousness, hemiparesis, and hemihypesthesia. The median percentage of GKRS obliteration was 51.86%. Resection data were not analyzed because the number of samples was insufficient. The highest cost of procedure is GKRS, with an average cost of action of Rp. 134,878,643.00.
Conclusion: compared to embolization and resection, the GKRS procedure showed a better clinical outcome with a median obliteration value of 51.86%, but it was the procedure with the highest cost and was not covered by national health coverage.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Riski Oktafia
"Hiperemesis gravidarum merupakan kondisi mual dan muntah berlebihan yang dapat menyebabkan penurunan berat badan, ketidakseimbangan cairan, elektrolit, gangguan nutrisi dan ketonuria. Upaya yang dapat dilakukan dalam membantu beradaptasi dengan mual dan muntah melalui tindakan nonfarmakologi dan farmakologi. Model konservasi Levine berfokus pada peningkatan adaptasi melalui prinsip konservasi untuk mencapai interigritas diri dan teori dukungan sosial berfokus pada peningkatan sistem dukungan.
Laporan kasus dilakukan terhadap lima ibu hamil yang mengalami hiperemesis gravidarum dengan pendekatan proses keperawatan melalui model konservasi Levine dan teori dukungan sosial. Penerapan model konservasi Levine dan teori dukungan sosial dalam lima kasus ini ditemukan masalah keperawatan ketidakseimbangan nutrisi yang disebabkan kurang asupan makanan, mual yag disebabkan proses adaptasi kehamilan, kecemasan yang disebabkan krisis situasional dan kehamilan yang tidak direncanakan, resiko kekurangan volume cairan yang disebabkan muntah berlebih, dan kesiapan peningkatan koping keluarga.
Hasil intervensi yang dilakukan berdasarkan prinsip konservasi dan dukungan sosial pada kelima kasus menunjukkan bahwa status nutrisi klien menjadi adekuat, status hidrasi klien menjadi adekuat, status maternal meningkat, mual berkurang, pengetahuan klien tentang proses kehamilan meningkat, kecemasan menurun, koping adekuat dan dukungan sosial meningkat.

Hyperemesis gravidarum is a condition of excessive nausea and vomiting that can lead to weight loss, fluid imbalance, electrolytes, nutritional disorders and ketonuria. Efforts can be made to help adapt to nausea and vomiting through nonpharmacological and pharmacological actions.The Levine Conservation Model focuses on improving adaptation through conservation principles to achieve self interdependence and social support theories focus on improving the support system.
Case reports were made on five pregnant women with hyperemesis gravidarum with a nursing process approach through the Levine conservation model and social support theory. Implementation of the Levine conservation model and social support theory in these five cases found nutritional problems of nutritional imbalance caused by lack of food intake, nausea due to pregnancy adaptation, anxiety caused situational crisis and unplanned pregnancy, risk of fluid volume deficiency caused by excessive vomiting, And family coping readiness.
The results of interventions based on conservation and social support in the five cases indicate that the nutritional status of the client is adequate, the client 39 s hydration status becomes adequate, the maternal status increases, decreased nausea, the client 39 s knowledge of the pregnancy process increases, anxiety decreases, coping adequately and social support increases.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>