Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 149464 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Alfan Halifa Pasha
"Tesis ini membahas mengenai implikasi yuridis perjanjian perkawinan yang dibuat dalam proses kepailitan berkaitan dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII-2015, serta peranan Notaris dalam pembuatan perjanjian perkawinan yang dibuat setelah perkawinan berlangsung postnuptial agreement serta akibatnya bagi pihak ketiga. Metode penelitian yang digunakan dalam tesis ini adalah yuridis normatif. Sebelum adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII-2015, pasangan harus mengajukan tuntutan ke pengadilan berupa pemisahan harta kekayaan sepanjang perkawinan dengan alasan yang limitatif sebagaimana diatur pada Pasal 186 KUHPerdata, sedangkan setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, pasangan suami isteri tidak memerlukan suatu alasan tertentu untuk membuat perjanjian perkawinan yang dibuat setelah perkawinan berlangsung postnuptial agreement . Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII-2015 memberi tafsir konstitusional terhadap Pasal 29 Ayat 1 , 3 , dan 4 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dengan memperluas makna perjanjian perkawinan sehingga perjanjian perkawinan tak lagi dimaknai hanya sebagai perjanjian yang dibuat sebelum perkawinan prenuptial agreement tetapi juga bisa dibuat setelah perkawinan berlangsung postnuptial agreement . Hal ini kemudian dapat berdampak pada dimungkinnya seseorang pasangan suami isteri yang dalam proses kepailitan untuk membuat perjanjian perkawinan yang kemudian merugikan pihak ketiga.

This thesis discusses the juridical implications of marriage agreements made in the bankruptcy proceedings in relation to the decision of the Constitutional Court Number 69 PUU XIII 2015, as well as the role of Notary in the making of marriage agreements made after the postnuptial agreement and its consequences for third parties. The research method used in this thesis is normative juridical. Prior to the Ruling of the Constitutional Court Number 69 PUU XIII 2015, couples must file a lawsuit in the form of separation of property throughout the marriage for the limitative reason as provided for in Article 186 of the Civil Code, whereas after the Constitutional Court ruling, married couples do not require a particular reason for making a marriage agreement made after marriage takes place postnuptial agreement . Decision of the Constitutional Court Number 69 PUU XIII 2015 provides a constitutional interpretation of Article 29 Paragraph 1 , 3 , and 4 Law no. 1 Year 1974 on Marriage by extending the meaning of the marriage agreement so that the marriage agreement is no longer interpreted only as a contract made before the marriage prenuptial agreement but also can be made after the marriage took place postnuptial agreement . This can then have an impact on the possibility of a married couple who are in bankruptcy process to make a marriage agreement that then harms the third party."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
T49592
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raden Gitawati Purwana
"Semestinya perjanjian perkawinan memuat harta benda perkawinan saja. Namun, dalam kasus Putusan Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta No. 62/PDT/2022/PT DKI, perjanjian perkawinan yang dibuat oleh para pihak mengatur mengenai akibat hukum putusnya perkawinan karena perceraian. Sementara itu, di dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 69/PUU-XIII/2015 terdapat frasa “disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan atau Notaris” dan frasa “harta perkawinan atau perjanjian lainnya” yang selanjutnya menimbulkan ketidakpastian. Untuk itu, penelitian ini mengangkat permasalahan terkait keabsahan perjanjian perkawinan yang tidak disahkan oleh Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) dan akibat hukum pembuatan perjanjian perkawinan yang mengatur akibat putusnya perkawinan karena perceraian dalam Putusan a quo dari PT DKI Jakarta dengan mempertimbangkan kedua frasa dalam Putusan a quo dari MK. Penelitian ini berbentuk yuridis-normatif. Data sekunder yang berupa bahan-bahan hukum dikumpulkan melalui studi dokumen yang dianalisis secara kualitatif. Dari hasil analisis dapat dijelaskan bahwa perjanjian perkawinan hanya sah terhadap para pihak yang membuatnya saja, tetapi tidak berlaku terhadap pihak ketiga apabila belum dicatatkan di Disdukcapil. Hal ini karena yang dapat mencatatkan perjanjian perkawinan hanyalah Disdukcapil sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2018 dan Surat Edaran Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri No. 472.2/5876/DUKCAPIL. Sedangkan Notaris hanya mengakomodir keinginan para pihak ke dalam Akta Perjanjian Perkawinan. Adapun akibat hukum pembuatan perjanjian perkawinan yang mengatur akibat putusnya perkawinan karena perceraian tidak dapat berlaku secara langsung karena tidak sesuai dengan esensi tujuan perkawinan dan harus diputuskan melalui pengadilan. Begitu pula klausul yang dimuat dalam perjanjian perkawinan yakni hanya mengatur harta perkawinan. Adapun sebab dan akibat hukum putusnya perkawinan karena perceraian telah diatur secara limitatif dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

The postnuptial agreement should only contain marital assets. However, in the case of DKI Jakarta High Court (HC) Verdict No. 62/PDT/2022/PT DKI, the postnuptial agreement made by the parties regulate the legal consequences of breaking up a marriage due to divorce. Meanwhile, in the Verdict of the Constitutional Court (CC) No. 69/PUU-XIII/2015 there is the phrase "ratified by a Marriage Registrar or Notary" and the phrase "marital asset or other agreement." For this reason, this study raises issues related to the validity of postnuptial agreements that were not ratified by the Population and Civil Registry Service (Disdukcapil) and the legal consequences of making a postnuptial agreement that regulates the consequences of marriage breakup due to divorce in the a quo verdict from HC DKI Jakarta by considering the two phrases in the a quo verdict from CC. This research is in the form of juridical-normative. Secondary data in the form of legal materials were collected through document studies which were analyzed qualitatively. From the analysis results, it can be explained that the postnuptial agreement is only valid for the parties who made it, but does not apply to third parties if it has not been registered at Disdukcapil. This is because only Disdukcapil can register postnuptial agreements as referred to in the Presidential Regulation No. 96 of 2018 and Circular Letter of the Directorate General of Population and Civil Registration of the Ministry of Home Affairs No. 472.2/5876/DUKCAPIL.  Meanwhile, the Notary only accommodates the parties' desires in the Deed of Postnuptial Agreement. As for the legal consequences of making a postnuptial agreement that regulates the consequences of breaking up a marriage due to divorce, it cannot apply directly because it is not in accordance with the essence of the purpose of marriage and must be decided through a court. Likewise, the clause contained in the postnuptial agreement only regulates marital assets. As for the legal causes and consequences of breaking up a marriage due to divorce, it has been regulated in a limited manner in Law No. 1 of 1974 concerning Marriage."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurmaida Delviana
"Di Indonesia, terdapat dua jenis perjanjian perkawinan yang dibuat pada saat perkawinan berlangsung, perjanjian tersebut dibuat sebelum dan setelah adanya Putusan MK No. 69/PUU-XII/2015. Dari hal itu timbul pertanyaan bagaimanakah perbandingan perjanjian perkawinan yang dibuat pada saat perkawinan belangsung sebelum dan setelah adanya Putusan MK No. 69/PUU-XIII/2015? Dengan menggunakan metode penelitian kepustakaan yang bersifat yuridis normatif, dapat disimpulkan bahwa perjanjian perkawinan saat perkawinan berlangsung sebelum adanya Putusan MK No. 69/PUU-XIII/2015 didahului dengan menggunakan Penetapan ke Pegadilan. Sedangkan mengenai bentuk perjanjian perkawinan pada saat perkawinan berlangsung setelah adanya Putusan MK No. 69/PUU-XIII/2015 seharusnya berupa Akta Otentik Notaris saja. Serta terdapat saran atas berlakunya ketentuan pasal 29 Ayat 1 UU Perkawinan jo. Putusan MK Nomor 69/PUU-XIII/2015 bahwa peraturan tersebut seharusnya segera dirubah demi kepastian dan keadilan hukum.

In Indonesia, there is two kind of marriage agreement that made into postnuptial agreement, that agreement made before and after the Decision of the Constitutional Court No. 69 PUU XIII 2015. From that, it arises the question of how the comparison of postnuptial agreement before and after the Decision of the Constitutional Court No. 69 PUU XIII 2015 By using literature research method that is juridical normative, it can be concluded that the marriage agreement before the Decision of the Constitutional Court. 69 PUU XIII 2015 to be made into Postnuptial Agreement preceded by the Decree of State Court. While on the form of marriage agreement on Postnuptial Agreement after the Decision of the Constitutional Court. 69 PUU XIII 2015 suupposed to be just in the form of notary authentic act. And there are suggestions on the application of the provisions of Article 29 Paragraph 1 of Marriage Law jo. Decision of the Constitutional Court Number 69 PUU XIII 2015 that the regulation should be immediately changed for the sake of legal certainty and justice. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Lenggo Sari
"Tesis ini membahas mengenai perjanjian kawin yang dibuat sepasang suami istri sepanjang perkawinan saat Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 69/PUU-XIII/2015 (Putusan MK) belum diputuskan. Perjanjian kawin yang tujuan utamanya untuk mengatur harta benda perkawinan wajib dibuat secara tertulis oleh suami istri sebelum atau saat dilangsungkannya perkawinan serta disahkan ke Pegawai Pencatat Perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU 1/1974). Perihal inilah yang dibahas dalam penelitian ini, dengan berdasarkan pada kasus dalam Putusan Pengadilan Tinggi Jawa Tengah Nomor 534/PDT/2019/PT SMG, dengan permasalahan yang ditemukan yaitu keabsahan dan pertanggungjawaban Notaris terkait dengan legalisasi perjanjian kawin bawah tangan, keabsahan perjanjian kawin yang dibuat sepanjang masa perkawinan dan tidak disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, dan keabsahan pembagian hutang bersama dan harta bersama oleh Majelis Hakim dengan berdasarkan pada perjanjian kawin yang tidak memenuhi ketentuan dalam Pasal 29 ayat (1) UU 1/1974. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, Penulis melakukan penelitian dengan bahan pustaka berupa peraturan dan literatur terkait. Dan setelah dilakukan penelitian tersebut, Penulis menyimpulkan bahwa perjanjian kawin dapat berupa akta bawah tangan yang dilegalisasi Notaris, karena Pasal 29 ayat (1) UU 1/1974 hanya mensyaratkan perjanjian kawin dibuat secara tertulis. Penulis menyimpulkan bahwa membuat perjanjian kawin sepanjang masa perkawinan bertentangan dengan Pasal 29 ayat (1) UU 1/1974 dan mengakibatkan perjanjian kawin menjadi batal demi hukum, sedangkan ketidakpatuhan untuk mengesahkannya ke Pegawai Pencatat Perkawinan mengakibatkan perjanjian kawin hanya mengikat diantara para pihak dan tidak kepada pihak ketiga. Lebih lanjut, penggunaan perjanjian kawin yang bertentangan dengan Pasal 29 ayat (1) UU 1/1974 sebagai dasar membagi harta dan hutang bersama dirasa kurang tepat, sekalipun perjanjian kawin tersebut dapat dibuat pada masa perkawinan sebagaimana tafsir Putusan MK, suatu perjanjian kawin tidaklah diperbolehkan untuk merugikan pihak ketiga. 

This thesis analyzes marriage agreement between husband and wife during the marriage in times where the Verdict of the Constitutional Court of Republic of Indonesia Number 69/PUU-XIII/2015 have not been sentenced yet. Objective of marriage agreement is to regulate wealth and property between husband and wife during their marriage. Marriage agreement can only be made before or while marriage and must be registered to Marriage Registrar Official as regulated by Article 29 Law Number 1 Year 1974 regarding to Marriage (UU 1/1974). In a case in Central Java as documented in Central Java’s High Court Verdict Number 534/PDT/2019/PT SMG, several issues were found which are the validity of the notary regarding authorization of marriage agreement, validity of marriage agreement which did not authorized by Marriage Registrar Official and validity of  joint wealth and debt sharing which did not comply with Article 29  paragraph (1) Law 1/1974. Using normative juridical method, the writer did this research using reference to related regulations and literature. After conducting the research, the writer concluded that a marriage agreement can be authorized through legalization in front of a notary because Article 29 paragraph (1) Law 1/1974 only requires a marriage agreement to be made in written form. The writer also concluded that a marriage agreement which was made during the times of marriage did not comply with Article 29 paragraph (1) UU 1/1974 hence null and void in front of the law. Meanwhile, marriage agreement that had not been authorized by Marriage Registrar Official will only binding between the parties, not binding the third party.  Lastly, the use of unlawful agreement as the base of wealth and debt sharing between husband and wife is not rightly did by Council of the Judges, because although the marriage agreement can be made during the marriage as interpreted in the Verdict of the Constitutional Court of Republic of Indonesia Number 69/PUUXIII/2015, a marriage agreement made is not allowed to harm the third party. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agnes Natasia
"Perjanjian perkawinan menurut Pasal 29 UU Nomor 1 Tahun 1974 dapat dibuat pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan. Isi dari perjanjian perkawinan tersebut berlaku bagi pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut. Skripsi ini membahas mengenai Penetapan No. 381/Pdt.P/2015/PN.Tng, yang dalam pertimbangannya terdapat pengesahan perjanjian perkawinan yang dibuat setelah perkawinan dilangsungkan sebelum adanya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 69/PUU-XIII/2015, dan pasca adanya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 69/PUU-XIII/2015. Dengan menggunakan metode yuridis normatif, penulis dalam tulisan skripsi ini mengacu pada aturan-aturan hukum yang ada untuk kemudian dapat menjawab permasalahan. Bahwa hal tersebut dimungkinkan atau tidak untuk membuat perjanjian perkawinan yang dibuat setelah perkawinan dilangsungkan dan akibat perjanjian tersebut bagi pihak ketiga. Dalam kesimpulannya, meskipun telah ada putusan Mahkamah Konstitusi atas Pengujian Undang-Undang No. 69/PUU-XIII/2015 yang menyatakan bahwa perjanjian perkawinan dapat dibuat pada waktu, sebelum atau selama perkawinan berlangsung, tetap memerlukan suatu peraturan pelaksana dan pengaturan khusus untuk Notaris terkait dengan mekanisme hukum pembuatan perjanjian perkawinan dengan tujuan untuk memberikan perlindungan kepada pihak ketiga agar tidak dirugikan atas pembentukan perjanjian perkawinan.

Prenuptial Agreement based on Article 29 Law Number 1 of 1974 can be made during the marriage period or before the marriage take place that will be legalized by the officer of marriage registration. The content of the prenuptial agreement apply to the third party as long as the third party is involved. This Final Assignment discuss the Court Decision No. 381 Pdt. P 2015 PN. Tng, which in it rsquo s consideration legalized the prenuptial agreement, where agreement is made after the marriage is legalized before Constitutional Court Decision Number 69 PUU XIII 2015, and after Constitutional Court Decision Number 69 PUU XIII 2015. By using Normative Jurisdiction Method, the writer in this final assignment strictly follow to the existing rules of law to then be able to answer whether is it possible or not to make the prenuptial agreement after the marriage is being legalized and what are the consequences for the third party. In conclusion eventhough there rsquo s a constitutional court decision on Judicial Review No. 69 PUU XIII 2015 which stated that the prenuptial agreement can be made before the marriage take place or during the marriage period, still needs of a legal guidelines for the related field Notary which involve law mechanism for the creation of a prenuptial agreement that will provide more legal protection for the third party in order not to the harmed due the creation of the Prenuptial Agreement."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rita Leowan
"Putusan Mahkamah Konstitusi No. 69/PUU-XIII/2015 yang memaknai Pasal 29 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 memperbolehkan pembuatan perjanjian perkawinan selama dalam ikatan perkawinan postnuptial agreement serta pencabutan perjanjian perkawinan. Ketentuan tersebut menimbulkan permasalahan yaitu keberlakuan perjanjian perkawinan yang dibuat selama dalam ikatan perkawinan serta akibat hukum pencabutan perjanjian perkawinan. Metode penelitian yang digunakan bersifat yuridis normatif dengan menelaah Putusan Mahkamah Konstitusi No. 69/PUU-XIII/2015 dan menganalisanya dengan teori untuk mendapatkan jawaban dari permasalahan. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menyatakan bahwa perjanjian perkawinan berlaku sejak perkawinan dilangsungkan kecuali ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Dapat disimpulkan, berlaku surutnya postnuptial agreement sejak perkawinan dilangsungkan akan mengakibatkan perubahan kedudukan harta perkawinan yang berpotensi merugikan pihak ketiga. Selain itu, perubahan kedudukan harta perkawinan dari harta bersama menjadi harta pribadi menyebabkan harta bersama yang telah ada harus dilakukan pemisahan dan pembagian padahal harta bersama merupakan pemilikan bersama yang terikat yang hanya dapat diakhiri karena berakhirnya perkawinan. Pencabutan perjanjian perkawinan berpotensi merugikan pihak ketiga karena itu akta pencabutan perjanjian perkawinan sebaiknya diberitahukan dan diumumkan serta dicatatkan agar dapat diketahui pihak ketiga. Akibat hukum pencabutan perjanjian perkawinan terhadap harta perkawinan adalah kedudukan harta perkawinan kembali pada kedudukan semula sehingga berlaku ketentuan Pasal 35 dan 36 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, sedangkan akibat hukum terhadap pihak ketiga tidak berlaku mutlak, tetap berlaku kedudukan harta perkawinan sebelum pencabutan perjanjian perkawinan.

Constitutional Court Decision Number 69 PUU XII 2015 which interprets article 29 of The 1974 Marriage Law Law No. 1 of 1974 allows execution of postnuptial agreement, an agreement entered into after a marriage has taken place, as well as to repeal marriage agreement prenuptial, postnuptial. The Decision raised the question on the validity of an existing postnuptial agreement and what would be the impact of the repeal of marriage agreement. The method used in this research is normative juridical by reviewing and analyzing theorically The Decision of The Constitutional Court Number 69 PUU XIII 2015 to answer the question. The Decision of The Constitutional Court stipulates that ldquo The agreement valid since the wedding took place, unless otherwise specified in marriage agreement. rdquo The conclusion from this study is that the retroactive validity of postnuptial agreement caused changes in the status of marital property which may cause disadvantage to any third party. In addition, the change in the status of marital property from joint property to private property causes existing joint property to be split and division whereas joint property is a bonded joint ownership that can only be terminated due to the end of marriage. The repeal of marriage agreement potentially has a negative impact to third parties, hence should be notified, announced and registered. The law impact of marital property due to the repeal of marriage agreement is the fact that joint property will be reinstated, matters relating thereto shall be afforded the same status as that applicable prior to repealed, therefore article 35 and 36 of The 1974 Marriage Law applied, whereas impact on third parties shall not apply absolute, retain the status of the marital property prior to repealed."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
T48402
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizki Amalia Yuliani
"Dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015, kini perjanjian perkawinan yang dibuat sepanjang perkawinan dapat dilakukan tanpa adanya penetapan pengadilan negeri terlebih dahulu dan dapat disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris. Pengesahan perjanjian perkawinan yang dibuat sepanjang perkawinan oleh pegawai pencatat perkawinan dilakukan dengan cara melaksanakan pencatatan perjanjian perkawinan pada Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil atau Kantor Urusan Agama, sedangkan pengesahan oleh Notaris dianggap membingungkan karena dianggap tidak jelas maksudnya. Hal ini menimbulkan permasalahan karena belum ada ketentuan mengenai tata cara pencatatan perjanjian perkawinan pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015, sehingga pegawai pencatat perkawinan menolak melakukan pencatatan terhadap perjanjian perkawinan yang dibuat sepanjang perkawinan dan meminta adanya penetapan pengadilan negeri untuk pengesahan perjanjian perkawinan tersebut. Penelitian ini dilakukan dengan metode yuridis normatif yang menggunakan data primer dan data sekunder sebagai sumber data, dimana penulis dalam meneliti mengkaji aturan hukum mengenai perkawinan dan perjanjian perkawinan untuk dapat menjawab permasalahan secara dekriptif analitis. Melalui penelitian ini penulis menemukan jawaban bahwa pengesahan dan pencatatan perjanjian perkawinan yang dibuat sepanjang perkawinan kini dapat dilakukan tanpa adanya penetapan pengadilan negeri terlebih dahulu dengan berpedoman kepada Surat Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil tanggal 19 Mei 2017 No. 472.2/5876/Dukcapil tentang petunjuk mengenai pencatatan perjanjian perkawinan yang dibuat sepanjang perkawinan.

With the Constitutional Court Decision Number 69 PUU XIII 2015, postnuptial agreement can be done without any approval from the district court. It can also be legitimated by the marriage officer or the notary. The legalization of postnuptial agreement by the marriage officer is done by registering the postnuptial agreement to the Office of Population and Civil Registration Agency or the Office of Religious Affairs, while the legalization done by the notary is considered confusing as its main point is not that clear. It causes problem since there is no other regulation yet about the procedure of postnuptial agreement registration beside the Constitutional Court Decision Number 69 PUU XIII 2015 so that the marriage officer refuses to accept the registration of postnuptial agreement and asks the approval from district court to legalize it. This research uses normative juridical method using primary and secondary data as the source as I examine the law of marriage and postnuptial agreement to find the descriptive and analytical answer for the problems occur. The findings reveal that the legalization and the registration of postnuptial agreement now can be done without any approval from the district court, based on the regulation on Surat Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil, May 19, 2017 No. 472.2 5876 Dukcapil about the guidance of postnuptial agreement registration."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
S68822
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indira Maya Audina
"Perkawinan merupakan hubungan pria dan wanita untuk hidup bersama yang mana hubungan itu bersifat kekal dan diakui negara. Selama masa perkawinan terkumpul harta yang menjadi milik bersama. Namun, ada dorongan untuk dapat mengelola sendiri harta yang diperoleh selama masa perkawinan, adapun upaya yang dapat ditempuh untuk pemisahan harta benda dalam perkawinan yaitu dengan membuat perjanjian perkawinan. Dengan ini penulis ingin membuat penelitian dengan rumusan masalah sebagai berikut : 1) Bagaimana mekanisme dalam pembuatan perjanjian perkawinan yang berlaku surut dengan adanya Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 818/Pdt.P/2018/PN.Jkt.Sel 2) Bagaimana ketentuan untuk melindungi kepentingan pihak ketiga dalam perjanjian perkawinan yang berlaku surut? 3) Bagaimana peran Notaris dalam pembuatan perjanjian perkawinan pasca Putusan MK No. 69/PUU-XIII/2015?; Penelitian ini dibuat dengan metode penelitian Yuridis Normatif. UU Perkawinan mengatur perjanjian perkawinan dibuat sebelum atau pada saat perkawinan berlangsung. Sejalan dengan perkembangan masyarakat dan kebutuhan hukum, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan Nomor 69/PUU-XIII/2015 yang mengubah perjanjian perkawinan dapat dibuat selama dalam masa perkawinan. Di sisi lain. Adanya perubahan berdasarkan putusan tersebut membuat potensi bagi pasangan suami istri ingin mengatur harta bersama yang telah diperoleh selama perkawinannya. Perjanjian perkawinan tersebut dapat dibuat dengan cara pasangan suami istri terlebih dahulu meminta penetapan pengadilan untuk harta benda apa saja yang akan diatur pemisahannya, dengan begitu Notaris dapat membuat akta perjanjian perkawinan berdasarkan penetapan pengadilan tersebut.

Marriage is a relationship between a man and a woman to live together in which such a relationship is eternal and recognized by the state. Throughout the marriage period, the jointly owned assets are collected. However, there is an urge to be able to manage the assets acquired during the marriage period personally, as for the efforts that can be taken for the separation of property in marriage, namely by making a marriage agreement. Based on the description above, the writer desires to make a research with the formulation of the problem as follows: 1) What are the provisions for making a marriage agreement in Indonesia? 2) What is the mechanism for making a retroactive marriage agreement? 3) What are the roles of the Notary in making a marriage agreement after the Judgment of the Constitutional Court No. 69/PUU-XIII/2015?. This research was made by applying a normative juridical research method. Marriage Law stipulates that a marriage agreement shall be made before or at the time of the marriage. In line with the development of society and legal needs, the Constitutional Court issued Judgment Number 69/PUU-XIII/2015 which amends that the marriage agreement can be made during the marriage period. Besides, the changes based on such judgment create the potential for married couples wanting to regulate joint assets that have been obtained during their marriage. The marriage agreement can be made by the marriage couple first requesting a court order for any property to be separated, so that the notary can make a marriage agreement deed based on the court's judgment."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syariful Alam
"Penelitian ini membahas perbandingan pengaturan mengenai perjanjian perkawinan yang dibuat sepanjang perkawinan menurut hukum Indonesia, Belanda, dan Kanada Ontario , dengan melakukan analisis terhadap peraturan di Indonesia yaitu KUHPerdata dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, peraturan di Belanda yaitu Nieuw Burgerlijk Wetboek NBW , serta peraturan di Kanada Ontario yaitu Family Law Act 1990.
Penelitian ini bersifat yuridis normatif dengan metode analisis data yang menggunakan pendekatan kualitatif. Pada peraturan dari masing-masing negara ini, terdapat beberapa perbedaan dalam hal pengaturan mengenai perjanjian perkawinan yang dibuat sepanjang perkawinan.
Hasil penelitian ini menunjukan bagaimana pengaturan mengenai perjanjian perkawinan yang dibuat sepanjang perkawinan di Indonesia, Belanda, dan Kanada Ontario, dengan tujuan untuk memperbaiki pengaturan di Indonesia mengenai perjanjian perkawinan yang dibuat sepanjang perkawinan.

This research discusses about comparison of regulation for postnuptial agreement in Indonesia, Netherland and Canada Ontario by doing analysis on Indonesia rsquo s regulation such as Indonesian Civil Code KUHPerdata and Law No. 1 1974 about Marriage, Netherlands rsquo regulation such as Nieuw Burgerlijk Wetboek NBW and Canada rsquo s Ontario regulation such as Family Law Act 1990.
This is a normative juridical research using qualitative approach method. Among those countries rsquo regulations, the Author found some similarities and differences regarding postnuptial agreement among those countries.
This research shows how is postnuptial agreement regulated in Indonesia, Netherland and Canada Ontario in order to find suggestions to amend regulation regarding postnuptial agreement in Indonesia."
Depok: Universitas Indonesia, 2017
S69845
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bella Fabiola
"Pembuatan Perjanjian Perkawinan Sepanjang Perkawinan (Postnuptial Agreement) yang isinya mengatur mengenai pembagian dan pemisahan atas harta campur bulat yang telah ada, selain harus dibuat dengan diikuti pencatatan pada Instansi yang berwenang, Postnuptial Agreement tersebut pun harus mendapatkan pengesahan melalui Penetapan Pengadilan. Hal ini dilakukan agar tidak menimbulkan batalnya Postnuptial Agreement tersebut serta memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada pihak ketiga. Perubahan isi Pasal 29 UU Perkawinan, menyebabkan banyak dibuatnya Postnuptial Agreement. Pada praktiknya, ditemukan adanya Postnuptial Agreement bermasalah, dikarenakan isinya mengatur mengenai pembagian dan pemisahan harta campur bulat yang telah ada, dan Postnuptial Agreement tersebut hanya dilakukan pencatatan kepada Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil tanpa diikuti dengan Penetapan Pengadilan. Salah satu Postnuptial Agreement yang bermasalah yaitu, akta Perjanjian Perkawinan Nomor 00 yang dibuat di hadapan IM Notaris di KB.
Permasalahan yang diangkat pada penelitian ini adalah mengenai (1) keabsahan Postnuptial Agreement yang telah dicatatkan tanpa diikuti dengan Penetapan Pengadilan yang isinya mengatur mengenai pembagian dan pemisahan harta campur bulat dan (2) keabsahan transaksi jual beli tanpa persetujuan pasangan pihak penjual dan perlindungan terhadap kepentingan pihak ketiga selaku kreditur yang menerima jaminan harta campur bulat dikarenakan adanya pembagian dan pemisahan harta campur bulat pada Postnuptial Agreement yang telah dicatatkan tanpa diikuti dengan Penetapan Pengadilan. Untuk menjawab permasalahan tersebut, pada penelitian ini telah digunakan metode penelitian yuridis-normatif dengan tipologi penelitian preskriptif. Data yang digunakan ialah data sekunder serta wawancara sebagai data pendukung, dengan metode analisis data kualitatif.
Hasil analisis, (1) keabsahan Postnuptial Agreement yang telah dicatatkan tanpa diikuti dengan Penetapan Pengadilan yang isinya mengatur mengenai pembagian dan pemisahan harta campur bulat adalah tidak sah atau batal demi hukum jika yang dilakukan yaitu, pembagian dan pemisahan terhadap harta yang telah ada. Agar Postnuptial Agreement ini dapat sah dan mengikat, maka harus dilakukan permohonan pengesahan pada Pengadilan Negeri. (2) Keabsahan transaksi jual beli yang dilakukan tanpa adanya persetujuan pasangan pihak penjual dikarenakan adanya pembagian dan pemisahan harta campur bulat yang telah ada pada Postnuptial Agreement yang telah dicatatkan tanpa diikuti dengan penetapan pengadilan adalah tidak sah atau batal demi hukum, akan tetapi pembeli beriktikad baik dilindungi. Adapun kepentingan pihak ketiga selaku kreditur yang menerima jaminan harta campur bulat dikarenakan adanya pembagian dan pemisahan harta campur bulat yang telah ada pada Postnuptial Agreement telah dilindungi oleh hukum baik dalam bentuk perlindungan hukum preventif maupun represif.

The drawing up of a Postnuptial Agreement setting out terms regarding the distribution and separation of existing community property, other than having to be registered to the regulatory authorities, such Postnuptial Agreement must acquire validation through a Court Order. This is done so as not to cause the voiding of the Postnuptial Agreement and to provide legal certainty to third parties. The existence of Article 29 of Marriage Law, has caused the creation of many Postnuptial Agreements. In practice, the existence of Postnuptial Agreements is problematic, as the contents set out terms regarding the distribution and separation of existing community property, and towards such Postnuptial Agreement a simple registration is done to the Department of Population and Civil Registration without being followed by a Court Order. An example of a problematic Postnuptial Agreement is Deed of Marriage Agreement Number 00 made before IM, Notary in KB.
The problem raised within this research is on (1) the validity of a Postnuptial Agreement containing terms on the distribution and separation of existing community property that is registered without being followed by a Court Order and (2) the validity of a sale purchase transaction without the spousal consent of the seller and the protection towards third party interests as a creditor receiving collateral in the form of community property due to the distribution and separation of community property within the Postnuptial Agreement that has been registered but is not followed by a Court Order. To address such problem, this research uses a judicial-normative method through prescriptive research typology. The data used is secondary data with interviews as supporting data, with a qualitative data analysis method.
The result of such analysis is that, (1) the validity of the Postnuptial Agreement that has been registered but is not followed by a Court Order that sets out terms related to the distribution and separation of joint marital property is that it is not valid or should be null and void if what is set out is the distribution and separation of existing community property. In order for the Postnuptial Agreement to be valid and binding, an application for the validation by a District Court. (2) the Validity of the sale purchase transaction conducted without the spousal consent of the seller due to the existence of distribution and separation of existing community property within a Postnuptial Agreement that has been registered but is not followed by a court order is invalid or null and void, however a buyer in good faith is protected. Third party interests as a creditor receiving collateral in the form of community property due to the existence of separation and division of existing joint marital property within a Postnuptial Agreement is also protected by law, whether through preventive or repressive legal protection.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>