Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 89260 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dayu Swasti Kharisma
"ABSTRAK
Infeksi oleh bakteri Staphylococcus aureus terutama Methicillin Resistant Staphylococcus aureus MRSA menjadi masalah kesehatan utama di seluruh dunia. Antibiotik pilihan untuk pengobatan MRSA sangat terbatas, salah satunya adalah vankomisin yang hanya tersedia dalam bentuk sediaan injeksi. Pengunaan yang terbatas hanya untuk infeksi sistemik dengan berbagai efek samping yang ditimbulkannya, menyebabkan perlu dipikirkan mencari antibiotik baru yang dapat digunakan sebagai alternatif pilihan. Produk antibiotik dari tanaman seperti belimbing wuluh merupakan salah satu pilihan yang menjanjikan. Tujuan penelitian ini untuk mendapatkan fraksi jamur endofit yang paling berpotensi untuk dikembangkan sebagai antibiotik untuk infeksi yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus, termasuk MRSA. Jamur endofit diisolasi dari ranting belimbing wuluh yang diambil dari enam lokasi di Jabodetabek, menggunakan medium agar Sabouraud dengan kloramfenikol. Hasil uji dengan metode agar difusi didapatkan bahwa Aspergillus brunneoviolaceus merupakan isolat jamur endofit belimbing wuluh, yang paling berpotensi dikembangkan sebagai anti-stafilokokus Analisis selanjutnya dilakukan dengan metode ekstraksi dan fraksinasi. Crude ekstrak dan tiga fraksi dianalisis dengan Thin Layer Chromatography dan diuji kembali aktivitas anti-stafilokokus dengan metode agar difusi. Kandungan senyawa kimia dari crude extract dianalisis menggunakan uji Gas Chromatography Mass Spectrometry GC-MS . Hasil uji agar difusi memperlihatkan bahwa ketiga fraksi fraksi metanol, n-heksan dan etil asetat mempunyai daya hambat yang lebih baik dari crude extractnya terhadap Staphylococcus aureus, termasuk MRSA. Dibandingkan dengan vankomisin sebagai antibiotik pilihan MRSA, konsentrasi 5000 ppm ketiga fraksi memiliki aktivitas yang lebih baik, terutama fraksi n-heksan mempunyai daya hambat yang terbaik. Analisis senyawa kimia yang terkandung di dalam crude extract jamur Aspergillus brunneoviolaceus adalah asam lemak, yang beberapa dari senyawanya sudah pernah dilaporkan terbukti memiliki aktivitas antimikroba.

ABSTRACT
Infection caused by Staphylococcus aureus bacteria especially Methicillin Resistant Staphylococcus aureus MRSA become primary health concern around the world. Antibiotics option for MRSA treatment is very limited, one of it is Vancomycin which only available in injection form. Limited usage of systemic infection with a variety of side effects, causing a need to find a new alternative option of antibiotics. Antibiotic product extracted from plants such as star fruit become a promising choice. The purpose of this research is to obtain a fraction of endophytic fungi which has the best potential for antibiotics development to treat infection caused by Staphylococcus aureus, including MRSA. Endophytic fungi isolated from star fruit branch which was taken from six locations at Jabodetabek, using Sabouraud agar with chloramphenicol as a medium. Test result from agar diffusion method shown that Aspergillus brunneoviolaceus, endophytic fungi isolated from star fruit has the best potential to be developed as anti staphylococcus. Further analysis was done using extraction and fractionation method. Crude extract and three fractions were analyzed using Thin Layer Chromatography and then tested again for anti staphylococcus activities using agar diffusion method. Chemical compound content from crude extract was analyzed using Gas Chromatography Mass Spectrometry GC MS test. Agar diffusion test result shown that all three fractions methanol fraction, n hexane, and ethyl acetate have better resistance against Staphylococcus aureus, including MRSA, compared to its crude extract. Compared to Vancomycin as antibiotic for MRSA, 5000 ppm concentration of all three fractions have better activity, especially n hexane fraction has the best activity. Analysis of chemical compound from a crude extract of Aspergillus brunneoviolaceus fungi shown contains of fatty acid, which several of its compounds had reportedly proven to have antimicrobe activity."
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Christine Lieana
"Latar Belakang: Methicillin resistant Staphylococcus aureus (MRSA) merupakan bakteri Staphylococcus aureus yang telah resisten terhadap antibiotik methicillin. Saat ini, MRSA masih merupakan ancaman di seluruh dunia. Infeksi MRSA dapat menimbulkan berbagai komplikasi. Oleh karena itu, diperlukan pengobatan yang mampu menangani MRSA di masa mendatang. Daun kelor atau Moringa oleifera dikenal memiliki banyak khasiat, salah satunya adalah sebagai antibakteri. Maka dari itu, peneliti mengusulkan untuk melakukan penelitian terkait potensi ekstrak etanol daun kelor (Moringa oleifera) sebagai antibakteri terhadap MRSA. Metode: Penelitian dilakukan dengan uji eksperimental melalui metode makrodilusi. Makrodilusi dilakukan baik pada ekstrak etanol daun kelor maupun vankomisin. Makrodilusi pada ekstrak etanol daun kelor dilakukan untuk mengetahui efek antibakteri ekstrak tersebut terhadap bakteri MRSA. Sedangkan makrodilusi pada vankomisin dilakukan sebagai pembanding. Hasil: Pada penelitian ini tidak ditemukan efek antibakteri ekstrak etanol daun kelor (Moringa oleifera) terhadap bakteri MRSA. Hal tersebut terbukti dengan tidak ditemukannya konsentrasi hambat minimun (KHM) maupun konsentrasi bunuh minimum (KBM) pada percobaan ini. Pembahasan: Hasil pada penelitian ini berbeda dengan beberapa penelitian yang sudah pernah dilakukan. Perbedaan tersebut dapat terjadi akibat beberapa faktor. Peran ekstrak etanol daun kelor (Moringa oleifera) sebagai antibakteri terhadap MRSA dapat diteliti lebih lanjut dengan metode yang berbeda ataupun konsentrasi yang lebih tinggi.

Background: Methicillin resistant Staphylococcus aureus (MRSA) is a group of bacteria (Staphylococcus aureus) which are found to be resistant against antibiotics called methicillin. Nowadays, MRSA is still becoming a threat across the globe. Infections caused by MRSA may cause various complications. Due to this fact, proper-management is needed to deal with MRSA in the future. Moringa oleifera has been popularly known for its benefits, one of which is the antibacterial effect. Therefore, the author proposed to do a research on the potential of Moringa oleifera ethanol extract as an antibacterial agent against MRSA. Method: The research done is an experimental test using macrodilution method. Macrodilution was done on both the ethanol extract and vancomycin. Macrodilution on the extract was done to discover its antibacterial effect against MRSA, while macrodilution on vancomycin was done as a comparison. Results: In this research, there is no antibacterial effect found from Moringa oleifera extract against MRSA. This result is supported by the absence of minimum inhibitory concentration (MIC) and minimum bactericidal concentration (MBC) in this experiment. Discussion: The result in this research was different from some previous research findings. The difference might be caused by several factors. The role of Moringa oleifera extract as antibacterial agent against should be further studied using different methods or higher concentration."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diyah Ayu Rosalinda
"Penyakit infeksi masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia. Salah satu bakteri penyebab infeksi yang perlu mendapatkan perhatian adalah Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus MRSA karena sifat resistensinya terhadap berbagai antibiotik golongan beta laktam. Hingga saat ini vankomisin masih menjadi antibiotik pilihan untuk infeksi MRSA namun telah berkembang galur MRSA yang mengalami penurunan sensitivitas terhadap vankomisin, sehingga perlu dicari antibiotik alternatif untuk pengobatan infeksi MRSA. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas antibakteri ekstrak daun nangka Artocarpus heterophyllus Lam. terhadap bakteri MRSA dengan melihat konsentrasi hambat minimum KHM dan konsentrasi bunuh minimum KBM. Penelitian dilakukan menggunakan uji in-vitro dengan cara makrodilusi tabung. Ekstrak daun nangka digunakan dengan variasi konsentrasi 1280 ?g/mL, 640 ?g/mL, 320 ?g/mL, hingga 0,625 ?g/mL. KHM ekstrak daun nangka terhadap MRSA ditemukan pada konsentrasi 320 ?g/mL ditandai dengan larutan yang bening pada tabung dengan konsentrasi ekstrak sebesar 320 ?g/mL, 640 ?g/mL, dan 1280 ?g/mL. KBM ekstrak daun nangka ditemukan pada konsentrasi 1280 ?g/mL ditandai dengan tidak adanya pertumbuhan koloni bakteri pada agar Mueller-Hinton. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ekstrak daun nangka berpotensi sebagai antibakteri untuk melawan MRSA.

Infectious diseases are still a public health problem in Indonesia. Methicillin Resistant Staphylococcus aureus MRSA is one of bacteria causing infections that is a concern because of the nature of resistance to various beta lactam class of antibiotics. Vancomycin is still the drug of choice for MRSA infections but in recent years research shows that it has been found strains of MRSA that decreased sensitivity to vancomycin. Therefore, it is necessary to find an alternative antibiotic for the treatment of MRSA infections. This study aims to determine the antibacterial activity of jackfruit Artocarpus heterophyllus Lam. leaf extract against MRSA by the minimum inhibitory concentration MIC and the minimum bactericidal concentration MBC . The study was conducted using in vitro test with broth macrodilution method. Jackfruit leaf extract were used in various concentration of 1280 g mL, 640 g mL, 320 g mL, until 0,625 g mL. MIC of jackfruit leaf extract against MRSA was found at a concentration of 320 g mL showed by a clear solution in the tube with extract concentration of 320 g mL, 640 g mL, and 1280 g mL. MBC of jackfruit leaf extract against MRSA was found at a concentration of 1280 g mL because there was no growth of MRSA colonies on Mueller Hinton agar. Therefore, it can be concluded that jackfruit leaf extract is potential as antibacteria against MRSA."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lia Waslia
"Methicillin resistant Staphylococcus aureus (MRSA) merupakan bakteri yang resisten terhadap antibiotik methicillin dan antibiotik golongan β-laktam lainnya. MRSA adalah patogen umum di rumah sakit dan masyarakat. Isolasi MRSA tidak mudah dilakukan karena seringkali bercampur atau terkontaminasi dengan flora normal seperti coagulase negative Staphylococci (CoNS) yaitu Staphylococcus epidermidis dan Staphylococcus haemolyticus.
Studi ini menggunakan metode fenotipik berupa pengamatan morfologi, pengecatan Gram, Uji biokimia, serta kepekaan antibiotik sedangkan uji genotipik (metode molekular) berupa PCR gen nuc dan mec, SCCmec typing, MLST dan sekuensing. Subyek penelitian sebanyak 48 isolat tersimpan di Laboratorium Bakteriologi Molekular, Lembaga Eijkman Jakarta. Diperoleh sebanyak 33 sampel (68.75%) memiliki tipe 5 ccr, 9 sampel (18.75 %) tipe 2 ccr dan 6 sampel (12.5 %) nontypeable. Sequence type (ST) yang dominan pada penelitian ini adalah ST239 (2-3- 1-1-4-4-3) dan merupakan strain yang multidrug resistant dominan.
Pada penelitian ini semua isolat MRSA yang berjumlah 48 isolat telah dikonfirmasi memiliki ciri-ciri fenotipik yang sesuai, yaitu Gram positif coccus menyerupai buah anggur, β-hemolisis, oksidase negatif, katalase positif dan koagulase positif. Sifat bakteri MRSA secara genotipik mempunyai gen nuc dan gen mecA positif. Hubungan antara sifat genotipe dan sifat fenotipe MRSA yang terlihat dalam penelitian ini adalah semua isolat MRSA yang multidrug resistant (uji secara fenotipik) juga merupakan sequence type yang dominan di rumah sakit (uji genotipik).

Methicillin resistant Staphylococcus aureus (MRSA) is a bacterium that is resistant to the methicillin antibiotics and other β-lactam group antibiotics. MRSA is a common pathogen in hospitals and communities. Isolation of MRSA is not easy to do because it is often mixed or contaminated with normal flora such as coagulase negative Staphylococci (CoNS), namely Staphylococcus epidermidis and Staphylococcus haemolyticus.
This study used phenotypic methods in the form of morphological observations, Gram staining, biochemical tests, and antibiotic sensitivity while genotypic tests (molecular methods) in the form of nuc and mec PCR, SCCmec typing, MLST and sequencing. The research subjects were 48 isolates stored in the Molecular Bacteriology Laboratory, Eijkman Institute Jakarta. Thirty three samples (68.75%) had type 5 ccr, 9 samples (18.75%) type 2 ccr and 6 samples (12.5%) nontypeable. The dominant sequence type (ST) in this study is ST239 (2-3-1-1-4-4-3) and is a multidrug resistant dominant strain.
In this study, all isolates of MRSA, total of 48 isolates, were confirmed to have appropriate phenotypic features, which are Gram positive cocci resembling grapes, β-hemolysis, negative oxidase, positive catalase and positive coagulase. Genotypically all isolates have positive nuc gene and mecA gene. The relationship between genotype features and MRSA phenotype seen in this study is that MRSA isolates that are multidrug resistant (phenotypic test) are also the dominant sequence types in the hospital (genotypic test).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maghfirah Anastamia Mariska
"Peningkatan insidensi infeksi S. aureus melatarbelakangi peningkatan penggunaan antibiotik yang melawan S. aureus, sehingga kejadian resistensi antibiotik semakin meningkat. Ekstrak tanaman M. oleifera Lamk. telah diteliti di berbagai negara dan didapatkan hasil berupa efek antibakteri terhadap S. aureus. Penelitian ini bertujuan mengetahui efek antibakteri ekstrak daun M. oleifera Lamk. terhadap bakteri S. aureus. Penelitian dikerjakan di laboratorium Departemen Mikrobiologi FKUI dengan rancangan eksperimental dan menggunakan metode makrodilusi tabung. Konsentrasi ekstrak yang diuji efek antibakterinya adalah 3.200 mg/mL, 1.600 mg/mL, 800 mg/mL, 400 mg/mL, dan 200 mg/mL. Selain kelompok uji, juga terdapat 6 kelompok kontrol, yaitu brain heart infusion (BHI); BHI dan bakteri; BHI, dimethyl sulfoxide (DMSO), dan bakteri; BHI dan esktrak; eritromisin; dan eritromisin dan bakteri. Hasil pertumbuhan bakteri setiap tabung dinilai sebagai Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) dan pertumbuhan pada agar nutrisi dinilai sebagai Konsentrasi Bunuh Minimum (KBM). Setiap konsentrasi juga dihitung jumlah koloni yang tumbuh pada plate count agar (PCA) menggunakan colony counter. Percobaan dilakukan dengan enam kali pengulangan. Ekstrak daun M. oleifera Lamk. memiliki KHM 800 mg/mL dan KBM pada konsentrasi1.600 mg/mL terhadap S. aureus. Jumlah koloni bakteri pada KHM dari pengamatan PCA adalah 55,83±10,685 (rerata±SD) dan pada KBM adalah steril (0 CFU/mL). Hasil uji ANOVA dan Post Hoc Bonferroni adalah terdapat perbedaan bermakna (p<0,05) baik antarkelompok uji maupun antara kelompok uji dan kontrol, sementara tidak terdapat perbedaan bermakna (p>0,05) antarkelompok kontrol positif. Dapat disimpulkan bahwa ekstrak daun M. oleifera Lamk. memiliki potensi antibakteri terhadap S. aureus.

The increasing incidence of S. aureus infection is the background for the increasing use of antibiotics against S. aureus, so the occurrence of antibiotic resistance is increasing. M. oleifera Lamk. plant extract has been studied in several countries and the results revealed that there was an antibacterial effect againsts S. aureus. The aim of this research is to discover antibacterial effect of M. oleifera Lamk. leaves extract against S. aureus bacteria. Research conducted at Microbiology Department Laboratory of FKUI with an experimental study design and using tube macrodilution method. The extract concentrations tested for its antibacterial effect were 3.200 mg/mL, 1.600 mg/mL, 800 mg/mL, 400 mg/mL, and 200 mg/mL. There were also six control groups, i.e. brain heart infusion (BHI); BHI and bacteria; BHI, dimethyl sulfoxide (DMSO), and bacteria; BHI and extract; erythromycin; and erythromycin and bacteria. Result of bacterial growth of each tube was determined as Minimum Inhibitory Concentration (MIC) and on nutrient agar was determined as Minimum Bactericidal Concentration (MBC). Each concentration also planted on plate count agar (PCA), so the number of colonies were counted using colony counter. The experiment was repeated six times. The result revealed that MIC and MBC of M. oleifera leaves extract against S. aureus are 800 mg/mL and 1.600 mg/mL. The number of bacterial colonies of MIC through PCA observation was 55,83±10,685 (mean±SD) and on MBC was sterile. According to One-way ANOVA and Post Hoc Bonferroni test, there were statistical difference (p<0,05) between test and control groups, and between test groups, while there were no statistical difference between control groups itself. This research conclude that M. oleifera Lamk. leaves extract has an antibacterial effect against S. aureus.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amira Az Zahra
"ABSTRAK
Latar Belakang: Infeksi Staphylococcus aureus semakin meningkat dan diperumit oleh munculnya jenis yang resisten terhadap antibiotik methicillin. Perkembangan terakhir melaporkan penurunan kepekaan Methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) terhadap terapi lini pertamanya yaitu antibiotik vankomisin. Daun kelor (Moringa oleifera) telah lama diketahui memiliki banyak manfaat bagi kesehatan dan berpotensi memiliki aktivitas antimikroba terhadap MRSA.
Tujuan: Mengetahui kemampuan antibakteri yang dimiliki oleh fraksi heksan daun kelor terhadap MRSA.
Metode: Penelitian dilakukan dengan uji Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) dan Konsentrasi Bunuh Minimum (KBM) fraksi heksan daun kelor terhadap MRSA menggunakan metode makro dilusi. Konsentrasi yang digunakan adalah 0,078125 μg/mL hingga 1280 μg/mL. Uji makro dilusi antibiotik vankomisin terhadap MRSA dilakukan sebagai standar pembanding.
Hasil: Tidak ditemukan KHM dan KBM fraksi heksan daun kelor terhadap MRSA pada konsentrasi yang digunakan pada penelitian.
Kesimpulan: Fraksi heksan daun kelor tidak memiliki aktivitas antimikroba terhadap MRSA pada konsentrasi 0,078125 μg/mL hingga 1280 μg/mL.

ABSTRACT
Background: Staphylococcus aureus infection is increasing and becomes more complicated as a methicillin-resistant strain arises. Latest updates report decline in sensitivity of Methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) to vancomycin as its first line therapy. Moringa oleifera leaves has long been known to possess many health benefits and potentially has antimicrobial properties against MRSA.
Aim: To find out antimicrobial activities possessed by hexane fraction of Moringa oleifera leaves against MRSA.
Methods: Minimum Inhibitory Concentration (MIC) and Minimum Bactericidal Concentration (MBC) test was carried out by macrodilution method. Concentration of hexane fraction used in the study was 0,078125 μg/mL to 1280 μg/mL. Macrodilution of vancomycin was done as a comparison standard.
Results: In MIC and MBC test of hexane fraction of Moringa oleifera leaves, there was no MIC nor MBC found in all concentration.
Conclusion: Hexane fraction of Moringa oleifera leaves in concentrations of 0,078125 μg/mL to 1280 μg/mL does not possess antimicrobial activities against MRSA.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adityo Shalahudin Putro
"Infeksi bakteri Methicillin-Resistant Staphylococcus aurues merupakan salahsatu infeksi yang perlu diwaspadai seiring dengan prevalensinya yang semakin meningkat di kawasan Asia termasuk Indonesia. Alternatif antibiotik untuk infeksi Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus perlu dikembangkan lebih lanjut sebagai usaha untuk munculnya resistensi terhadap antibiotik jenis lain. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efek antimikrobial yang dimiliki ekstrak Calophyllum flavoramulum terhadap bakteri Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus berdasarkan kosentrasi hambat minimum (KHM) dan konsentrasi bunuh minimum (KBM). Penelitian ini menggunakan uji in-vitro metode makro dilusi tabung dengan konsentrasi ekstrak Calophyllum flavoramulum sebesar 1280 μg/mL, 640 μg/mL, 320 μg/mL, 160 μg/mL, 80 μg/mL, 40 μg/mL, 20 μg/mL, 10 μg/mL, 5 μg/mL, dan 2,5 μg/mL. Hasil penelitian tidak ditemukan konsentrasi hambat minimum (KHM) dan konsentrasi bunuh minimum (KBM) Calophyllum flavoramulum terhadap methicillin-resistant Staphylococcus aureus pada konsentrasi 1280 μg/mL, 640 μg/mL, 320 μg/mL, 160 μg/mL, 80 μg/mL, 40 μg/mL, 20 μg/mL, 10 μg/mL, 5 μg/mL, hingga konsentrasi 2,5 μg/mL.

Bacterial infection of Methicllin-Resistant Staphylococcus aureus is one of serious infection as the prevalence is increasing in Asia, including Indonesia. The alternative of antibiotic treatment should be developed to prevent another antibiotic resistance. The aim of this research is to determine antimicrobial activity of Calophyllum flavoramulum extract to Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus by the minimum inhibitory concentration (MIC) and minimum bactericidal concentration (MBC). This research used in-vitro broth macrodilution method with ten different concentrations of Calophyllum flavoramulum extract 1280 μg/mL, 640 μg/mL, 320 μg/mL, 160 μg/mL, 80 μg/mL, 40 μg/mL, 20 μg/mL, 10 μg/mL, 5 μg/mL, dan 2,5 μg/mL. Result showed that Calophyllum flavoramulum extract has no minimum inhibitory concentration (MIC) and minimum bactericidal concentration (MBC) to Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus in ten different concentrations of Calophyllum flavoramulum extract 1280 μg/mL, 640 μg/mL, 320 μg/mL, 160 μg/mL, 80 μg/mL, 40 μg/mL, 20 μg/mL, 10 μg/mL, 5 μg/mL, dan 2,5 μg/mL"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Larasati
"Acinetobacter baumannii dan Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus merupakan dua dari sekian banyak bakteri yang menginfeksi manusia. Infeksi bakteri tersebut menjadi semakin berbahaya akibat tingginya kejadian resistensi bakteri tersebut terhadap antibiotik. Keterbatasan antibiotik yang tersedia menyebabkan perlunya penggunaan bahan alternatif sebagai antibiotik, antara lain tanaman herbal yang banyak djumpai di Indonesia sebagai kekayaan hayati. Kalanchoe pinnata merupakan salah satu tanaman herbal yang sering digunakan untuk menghambat pertumbuhan beberapa jenis bakteri. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas antibakteri ekstrak etanol daun Kalanchoe pinnata terhadap Acinetobacter baumannii dan Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus. Penelitian ini dilakukan di Departemen Mikrobiologi dan Farmasi, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia. Daun Kalanchoe pinnata diekstraksi dengan etanol. Sampel bakteri diambil secara acak dari koleksi kultur bakteri yang diisolasi dari pasien. Uji kepekaan dilakukan dengan metode mikrodilusi. Kalanchoe pinnata mempunyai aktivitas antibakteri terhadap Acinetobacter baumannii dan Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus. Konsentrasi Hambat Minimum dan Konsentrasi Bunuh Minimum ekstrak daun Kalanchoe pinnata terhadap Acinetobacter baumannii sebesar 144,9 mg/ml dan 289,8 mg/ml, sedangkan terhadap Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus sebesar 144,9 mg/ml; dengan Konsentrasi Bunuh Minimum yang tidak dapat ditentukan.

Acinetobacter baumannii and Methicillin Resistant Staphylococcus aureus are two out of many human infecting bacteria. These bacterial infections are becoming more threatening due to their high resistance towards antibiotics. This condition leads to a challenge in searching alternative substances that can be utilized as antibiotics. One way to obtain the substance is from herbs that are found all around Indonesia as its national plant heritage. Cocor Bebek Kalanchoe pinnata is one of the herbs that is often used to treat infections. The aim of this study is to investigate the antibacterial activity of leaves extract of Kalanchoe pinnata against Acinetobacter baumannii and Methicillin Resistant Staphylococcus aureus. This study was conducted at The Department of Microbiology and Pharmacy, Faculty of Medicine, Universitas Indonesia. Leaves of Kalanchoe pinnata were extracted using ethanol as solvent. Bacterial samples were selected randomly from a culture collection isolated from patients. Susceptibility test was done by broth microdilution method. Kalanchoe pinnata has antibacterial activity against Acinetobacter baumannii and Methicillin Resistant Staphylococcus aureus. The Minimum Inhibitory Concentration and Minimum Bactericidal Concentration of Kalanchoe pinnata leaves extract against Acinetobacter baumannii are 144.9 mg ml and 289.8 mg ml, while for Methicillin Resistant Staphylococcus aureus is 144.9 mg ml unfortunately, its MBC cannot be determined.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadira Alya Putri
"Staphylococcus aureus merupakan bakteri yang bersifat anaerob fakultatif, membentuk pigmen kuning, umumnya tumbuh berpasangan maupun berkelompok. Bakteri ini seringkali ditemukan pada saluran pernapasan atas dan kulit. Infeksi S. aureus diasosiasikan dengan beberapa kondisi patologi, diantaranya seperti bisul, jerawat, pneumonia, meningitis, dan arthritits. S. aureus merupakan salah satu bakteri Gram positif yang banyak ditemukan di lingkungan medis yang berpotensi menimbulkan infeksi tak berbahaya maupun gejala lebih serius terhadap pasien rawat inap di rumah sakit. Sebagai upaya pencegahan terjadinya infeksi ringan maupun serius akibat bakteri S. aureus, maka dilakukan metode sterilisasi bakteri. Dalam studi kali ini dilakukan perbandingan efikasi menggunakan metode sterilisasi UV-C dan ozon terhadap Staphylococcus aureus secara in vitro. Bakteri dipaparkan ozon dan sinar UV-C dengan durasi 15, 30 dan 45 menit. Dilakukan pula uji lanjutan sterilisasi stetoskop. Selanjutnya dilakukan analisa Total Plate Count (TPC) untuk mengetahui tingkat kematian bakteri dan dilakukan uji statistik berupa ANOVA, Mann-Whitney, dan Kruskal-Wallis sehingga dapat ditentukan metode sterilisasi yang paling efektif terhadap S. aureus. Penelitian menunjukkan bahwa sterilisasi menggunakan sinar UV-C dan ozon paling efektif pada durasi paparan 30 menit.

Staphylococcus aureus is a facultatively anaerobic bacteria, producing yellow pigments, generally grown in pairs or groups. These bacteria are often found in the upper respiratory tract and skin. S. aureus infection is associated with several pathological conditions, including ulcers, acne, pneumonia, meningitis, and arthritis. S. aureus is one of the Gram-positive bacteria found in many medical environments that have the potential to cause harmless infections or more serious symptoms to hospitalization patients. As an effort to prevent the occurrence of mild and serious infections due to S. aureus bacteria, the method of sterilization of bacteria is carried out. In this study, efficacy comparisons were conducted using UV-C and ozone sterilization methods against Staphylococcus aureus bacteria. Bacteria are exposed to ozone and UV-C light with durations of 15, 30 and 45 minutes. Further tests of stethoscope sterilization are also carried out. Furthermore, Total Plate Count (TPC) analysis is performed to determine bacterial mortality rates and statistical tests in the form of ANOVA, Mann-Whitney, and Kruskal-Wallis can be determined so that the most effective sterilization methods against S. aureus can be determined. Research shows that sterilization using UV-C light and ozone is most effective at an exposure duration of 30 minutes."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Pratiwi
"Kolonisasi SA merupakan salah satu faktor ekstrinsik yang berperan sebagai pencetus eksaserbasi dan menetapnya inflamasi kulit DA. Prevalensi kolonisasi SA pada pasien DA lebih tinggi dibandingkan dengan populasi umum, baik pada lesi kulit, kulit nonlesi, maupun nares anterior. Kolonisasi SA di nares anterior berperan sebagai reservoir dan merupakan faktor panting untuk kolonisasi kulit. Data tentang kolonisasi SA nasal pada pasien DA bayi dan anak di Indonesia belum ada. Belum diketahui apakah densitas koloni SA nasal berhubungan dengan derajat keparahan DA bayi dan anak.
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan data perbandingan prevalensi kolonisasi SA nasal pasien DA bayi dan anak dengan bayi dan anak nonDA. Selain itu untuk mencari hubungan antara derajat densitas koloni SA nasal dengan derajat keparahan DA bayi dan anak. Penelitian ini adalah penelitian potong lintang dengan membandingkan antar kelompok (comparative cross sectional).
Penelitian dimulai pada bulan September 2004 sampai Januari 2005 di Poliklinik Divisi Dermatologi Anak Departemen IKKK RSCM, Jakarta. Pemeriksaan biakan untuk identifikasi dan hitung koloni SA dilakukan di Divisi Mikrobiologi Departemen Patologi Klinik RSCM, Jakarta.
Subyek penelitian terdiri atas 42 orang yang datang ke Poliklinik Divisi Dermatologi Anak Departemen IKKK RSCM dan memenuhi kriteria penerimaan serta penolakan. Subyek penelitian dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu 21 orang sebagai kelompok pasien DA dan 21 orang nonDA sebagai kelompok kontrol.
Variabel bebas yang diteliti adalah kolonisasi dan densitas koloni SA nasal, sedangkan variabel tergantung adalah derajat keparahan DA. Diagnosis DA ditegakkan berdasarkan kriteria Hanifin dan Rajka (1989). Dilakukan pencatatan derajat keparahan DA dengan skor EASI.
Hasil penelitian adalah sebagai berikut:
1. Karakteristik subyek penelitian
Usia, jenis kelamin, riwayat atopi diri selain DA, dan riwayat atopi keluarga antara kedua kelompok sebanding. Usia termuda 6 bulan dan tertua 13 tahun 11 bulan. Subyek penelitian terbanyak berusia 5 -14 tahun, yaitu 52%.
Pada kelompok pasien DA, 80,8% merupakan pasien DA fase anak. Pasien DA laki-laki 1,3 kali lebih banyak daripada perempuan. Terdapat 3 (14,3%) pasien DA yang disertai riwayat RA dan 2 (9,5%) pasien dengan riwayat asma bronkial. Tidak ditemukan pasien DA yang memiliki 2 manifestasi atopi saluran papas.
Usia awitan DA bervariasi antara 1 bulan - 12 tahun, terbanyak pada kelompok usia 1-5 tahun yaitu 8 (38,1%) pasien. Saat penelitian, 14 (66,5%) pasien menderita episode DA kurang dari 2 minggu. Frekuensi kekambuhan penyakit terbanyak terjadi 3 - 6 kali/tahun, yaitu pada 7 (33,2%) pasien.
2.Prevalensi kolonisasi SA nasal
Kolonisasi SA nasal pada pasien DA didapat pada 16 (76,2%) kasus, sedangkan pada kelompok kontrol ditemukan pada 8 (38,1%). Dengan menggunakan uji Chi-square didapat perbedaan bermakna (p=0,029). Prevalensi kolonisasi SA nasal bayi dan anak DA lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol.
3.Hubungan derajat keparahan DA dengan densitas koloni SN nasal dengan menggunakan uji Kruskal Wallis tidak terdapat hubungan bermakna antara derajat keparahan DA yang dihitung berdasarkan skor EASI dengan densitas koloni SA nasal (p=0.834)"
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>