Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 82508 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Wiwiek Awiati
"Peran Pemerintah dalam hal ini Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam menjalankan mandat dan kewenangannya telah dilengkapi dengan seperangkat peraturan, kelembagaan dan mekanisme untuk mencegah terjadinya kerusakan lingkungan hidup. Selain itu Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga telah melengkapi berbagai instrumen akuntabilitas untuk dapat mempertanggungjawabkan tindakan yang dilakukannya. Akuntabilitas Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebagai bagian dari pemerintahan yang demokratis telah berjalan dengan cukup baik. Permasalahannya adalah, mengapa Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang telah dilengkapi berbagai peraturan perundangan, kelengkapan kelembagaan serta mekanisme pengawasan dan sanksi tidak berbanding lurus dengan hasil kinerja yang diharapkan, yaitu berkurangnya pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup di Indonesia.Dalam tulisan ini akan dibahas mengenai beberapa masalah yaitu; Bagaimana akuntabilitas Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam Penegakan Hukum Lingkungan Administrasi di Indonesia? Bagaimana jaminan peran serta masyarakat dalam menjaga akuntabilitas Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam penegakan hukum lingkungan administrasi di Indonesia? Serta bagaimana akuntabilitas Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan peran serta masyarakat dalam kasus Gemulo?

The role of the Government in this case the Ministry of Environment and Forestry to carry out government affairs in the field of environmental protection and management has been complemented by a set of regulations, institutions and mechanisms to prevent environmental damage.In addition to that, the Ministry of Environment and Forestry has also equipped itself with various instruments of accountability. The accountability of the Ministry of Environment and Forestry as part of a democratic government has worked quite well.The problem is, why the Ministry of Environment and Forestry that has been equipped with various laws and regulations, institutional and supervisory mechanisms and sanctions are not directly proportional to the expected performance results, namely the reduction of pollution and environmental degradation in Indonesia.In this paper will be discussed on several issues namely What is the accountability of the Ministry of Environment and Forestry in Enforcement of Environmental Administrative Laws in Indonesia What is the guarantee of public participation in maintaining the accountability of the Ministry of Environment and Forestry in the enforcement of administrative environment law in Indonesia And how is the accountability of the Ministry of Environment and Forestry and community participation in Gemulo case."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
T49550
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Handarbeni Imam Arioso
"Tesis ini membahas gugatan administratif terhadap izin lingkungan terkait dengan upaya penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui peradilan administrasi. Rezim hukum lingkungan hidup di Indonesia pada saat ini diatur dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) serta peraturan-peraturan pelaksananya. Dalam Pasal 38 UU PPLH disebutkan bahwa izin lingkungan dapat dibatalkan melalui keputusan pengadilan tata usaha negara. Pengujian izin lingkungan tersebut diajukan dengan gugatan melalui pengadilan tata usaha negara dengan mendasarkan pada alasan-alasan pembatalan sebagaimana diatur dalam Pasal 37 ayat (2) UU PPLH serta mengacu pada alasan-alasan pembatalan yang diatur dalam Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara itu sendiri. Selain itu dasar hukum pengajuan gugatan administratif terhadap izin lingkungan diatur khusus dalam Pasal 93 ayat (1) UU PPLH. Namun demikian, dalam prakteknya di peradilan tata usaha negara, penerapan Pasal 93 ayat (1) UU PPLH tersebut dilaksanakan secara berbeda-beda oleh Majelis Hakim peradilan tata usaha negara. Perbedaan penerapan tersebut diakibatkan oleh rumusan atau anasir Pasal 93 ayat (1) UU PPLH yang bersifat multitafsir karena mengandung frasa bersyarat yang berpotensi ditafsirkan sebagai pembatasan/pengecualian kompetensi absolut peradilan tata usaha negara untuk memeriksa, mengadili dan memutuskan izin lingkungan sebagai obyek gugatan. Dalam Tesis ini akan diuraikan analisis mengenai penerapan Pasal 93 ayat (1) UU PPLH tersebut khususnya mengenai gugatan administratif terhadap izin lingkungan. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan menggunakan studi kepustakaan dan wawancara dalam pengumpulan data, kemudian data-data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan pendekatan kualitatif.

This thesis discusses administrative claims on environmental permits in relation to efforts to resolve environmental disputes using administrative courts. Indonesia's currently prevailing environmental law regime is regulated by Law Number 32 year 2009 regarding the Protection And Management of the Environment (UU PPLH) with its bylaws. Article 38 of the UUPLH states that environmental permits can be revoked through a decision of the State Administrative Court. The review of said environmental permit is initiated by the submission of a claim through the State Administrative Court using the reasons for revocation as set out in article 37 paragraph (2) of the UU PPLH as well as referring to the reasons for revocation in the State Administrative Court Law itself. In addition to the above, the legal grounds for submitting an administrative claim against an environmental permit is specifically regulated in Article 93 paragraph (1) of the UU PPLH. However, in practice in the State Administrative Court, the council of judges applied Article 93 paragraph (1) of the UU PPLH in a diverse. Said diversity in application is caused by the multi-interpretative nature of the elements of article 93 paragraph (1) of the UUPLH because it contains a conditional phrase that can potentially be interpreted as a limitation/exclusion of the State Administrative Court?s absolute competence to examine, review, and decide on environmental permits as the object of a claim. This thesis will explain the analysis on the application of said Article 93 paragraph (1) of the UU PPLH especially regarding administrative claims on environmental permits. This research is a normative legal research by using a library study and interview technique for its data resources, then the obtained data will be analyzed using a qualitative approach."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
T44542
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pekei, Titus
"Masyarakat Indonesia dalam kenyataannya lebih akrab dengan lingkungan alamnya daripada penerapan teknologi. Perkembangan teknologi yang mengelola sumber daya alam harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat, dengan tetap memperhatikan keseimbangan dan kelestariannya sehingga tetap bermanfaat bagi generasi-generasi mendatang. Dengan memperhatikan kualitas lingkungan alam, sosial, budaya, dan ekonomi sebagai komoditi masyarakat setempat yang tersubsistem. Hanya tindakan manusia yang membuat seolah-olah mampu menguasai alam sehingga hampir semua lingkungan hidup sudah tersentuh oleh kehidupan manusia. Manusia adalah sebagian dari ekosistem, manusia adalah pengelola pula dari sistem tersebut.
Kerusakan lingkungan adalah pengaruh sampingan dari tindakan manusia untuk mencapai suatu tujuan yang mempunyai konsekuensi terhadap lingkungan. Pencemaran lingkungan adalah akibat dari ambiguitas tindakan manusia. Kewajiban pengusaha untuk melakukan pengendalian pencemaran lingkungan hidup adalah salah satu syarat dalam pemberian izin usaha maka pengusaha dapat dimintakan .pertanggungjawaban jika dia lalai dalam menjalankan kewajibannya. Dengan hal tersebut, aspek perdata penegakan hukum terpadu lingkungan hidup atas kasus Teluk Buyat oleh NMR, merupakan upaya penyelesaian sengketa lingkungan hidup dengan penerapan asas tanggung jawab mutlak membayar ganti rugi dan pemulihan lingkungan hidup sekitarnya.
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui upaya penegakan hukum lingkungan hidup dan secara khusus bertujuan untuk mengetahui: (1) mengetahui proses penyelesaian litigasi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan; (2) Mengetahui kedudukan hukum dan kepentingan penggugat; (3) Mengetahui petitum dan optimalisasi penggugat terhadap tergugat I (PT.NMR) dan Tergugat 11 (Direktur PT.NMR) hingga putusan.
Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah: (a) Evaluasi aspek perdata penegakan hukum lingkungan terhadap kasus PT.NMR, Provinsi Sulawesi Utara berdasarkan peraturan perundang-undangan lingkungan hidup terkait dapat implementasikan instrumen penegakan hukum lingkungan untuk mencapai tujuan namun kenyataannya tidak efektif; (b) Kurangnya kapasitas dan komitmen aparat penegakan hukum dalam melaksanakan penegakan hukum lingkungan hidup untuk merealisasikan pelaksanaan satuan tugas tim penegakan hukum lingkungan hidup sebagai gabungan satuan tugas penelitian dan pengembangan melakukan serangkaian kegiatan terhadap dampak besar dan penting untuk mengembangkan sistem penegakan hukum lingkungan hidup terpadu (satu atap) atap ke depan; (c) Keterbatasan kuantitas dan kualitas aparat penegakan hukum lingkungan hidup dalam hal -penanganan litigasi dan non-litigasi kasus Newmont Minahasa Raya di Teluk Buyat - Sulawesi Utara.
Penelitian ini digunakan penelitian kualitatif dengan penyajian data menggunakan metode deskriptif analitis, terhadap proses litigasi aspek perdata penegakan hukum terpadu lingkungan terhadap kasus PT.NMR. Dimana pemerintah (KLH) sebagai penggugat terhadap PT.NMR dan Direktur NMR, Sulawesi Utara sebagai tergugat di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Implementasi kaidah-kaidah hukum perdata dalam menyelesaikan sengketa lingkungan hidup, pada hakikatnya memperluas upaya penegakan hukum dari berbagai peraturan perundang-undangan termasuk ruang lingkup hukum lingkungan keperdataan. Dalam hubungannya dengan sengketa lingkungan hidup, akan membedakan adanya tiga fungsi dari penegakan hukum perdata, yaitu: (1) dengan melalui hukum perdata dapat dipaksakan ketaatan pada norma-norma hukum lingkungan baik yang bersifat hukum privat maupun hukum publik. (2) dapat memberikan penentuan norma-norma dalam masalah lingkungan hidup, (3) memberikan kemungkinan untuk mengajukan gugatan ganti kerugian atas pencemaran lingkungan terhadap pihak yang menyebabkan timbulnya pencemaran tersebut, yang biasanya dilakukan melalui gugatan perbuatan melawan hukum.
Hasil analisis penelitian sebagai teknik penegakan hukum melalui upaya-upaya yang bersifat persuasif-edukatif (preventif) dan teknik penegakan hukum yang bersifat represif, yang disebut penindakan hukum bagi para perusak/pencemar lingkungan melalui peran, para pihak yang terlibat secara langsung, meliputi Penggugat, Hakim, Saksi, Ahli, maupun peran para pihak yang tidak terlibat secara langsung, meliputi Instansi pemerintah yang bertanggung jawab dibidang lingkungan hidup, organisasi lingkungan hidup, legislatif, media massa.
Kesimpulan penelitian aspek perdata penegakan hukum terpadu lingkungan hidup merupakan pengelolaan dan pengawasan untuk mempertahankan kelestarian fungsi lingkungan hidup maka dapat menarik kesimpulan sebagai berikut: (1). Gugatan KLH melawan PT.NMR dan Direktur PT.NMR merupakan proses menguji atau uji coba Standi in Judicio. 2. Kedudukan pemerintah sebagai pelaksana instrumen maka tuntutan ganti-kerugian harus konkrit - nyata. 3. Pemerintah sebagai penggugat di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, nampak tidak tegas dan aktual sesuai kondisi dan desakan masyarakat korban untuk mendorong proses penegakan hukum melalui proses class action terdahulu tanpa Standi in Judicio untuk mengukur posisi gugatan litigasi dengan kekuatan proses hukum acara perdata.
Adapun saran Standi in Judicio dimana penulis menyarankan, bahwa saatnya untuk merevisi. UUPLH (UU No.2311997), yakni: 1. instrumen administrasi, perdata, pidana, dan upaya alternatif harus diatur proses beracara, 2. valuasi ekonomi atas kerugian lingkungan hidup dan kerugian sosial-budaya masyarakat dilegalkan, 3. penaatan peraturan internal maupun eksternal harus menigkatkan kemampuan agar supaya proaktif, preventif, represif. 4. dimensi social control dan sarana social engineering kurang efektif maka ke depan diprioritaskan.

In fact, the Indonesian people know better their nature environment than the technology aspects. The development of technology that manage natural resource should bring people to reach their welfare as great as possible but still concern to natural conservation and equilibrium so that it is useful continually to our next generation. Only human actions sign as if they are able to manage the nature whole after which giving the effects that almost all natural environment aspects have been explored by them. Human is a part of ecosystem, human also one who manage this ecosystem. Human actions also give the effect of environment damage when they want to reach their goals connected with the environment aspect itself. The ambiguities of human action result in the environment damage.
Assuasive instrument. The entrepreneur has the obligation in controlling environmental pollution which it is one of the requirements of giving permission of venture processing so that he could be asked for the responsibility in case he derelict in his obligation. Based on that fact, civil aspect on integrated law enforcement of life environment on NMR of Teluk Buyat environment pollution case is an effort to solve legal action of Buyat's life environment by implementing the total responsibility term with pay the compensation and restore the environment to normal condition.
This research has generally purpose to know how life environmental law efforts are enforced and has specifically purpose to know : (1) The Court session process of civil aspect on integrated law enforcement of life environment on pollution impact and/or life environmental damage of Teluk Buyat, Minahasa Province of South Sulawesi. (2) The decisive factor of civil aspect on integrated law enforcement of life environment in fulfill the duty and authority in remanding or handling pollution and/or damaging of Teluk Buyat's life environment case and how is the mechanism the government agencies law enforcement process which they responsible for live environment section which stand for the interest of life environment and local people management. (3) Petitum and the optimal of government development as the litigant which has submitted the claim to accused I (PT. NMR) and Accused II (PT. NMRDirector) until the verdict of the judge of court of first instance in North of Jakarta which connected with UUPLH and other regulations.
The hypothesis used in this research are : (1) Civil aspect on integrated law enforcement of life environment to NMR case based on UUPLH, AMDAL, B3 License and other life environment regulation could represents of life environment law enforcement to reach its goal. (2) The institution of law enforcement commitment in bringing about their integrated life environment civil duty by the form of PT. NMR case handling team work, by the goal to bring about the life environment law enforcement task team Minister of Life environment decree as the combination of developing and researching task team for bringing about a series of activities to integrally important and extensive impact to develop the integrated system of life environment law enforcement for furthermore. (3) By limitedness of quality and quantity of civil aspect on life environment law enforcement of PT. NMR case, it should capable.
In this research the writer use qualitative research by providing the data using analytic descriptive method to litigation process of civil aspect on law enforcement of life environment in PT. NMR case. The government, represented by Life Environment Ministerial (KLH), as the litigation to PT. NMR and the director of PT. NMR as the accused in North Jakarta court of first instance. In fact, the implementation of legal norms in solving of life environment legal action case would expand law enforcement efforts from various constitution regulations include within environment civil law scope. Related to life environment legal action, there are three civil law enforcement functions: (1) By civil law, one subject could be enforced to obey environment law norms; either in private law or public law. (2) By civil law, it could determine the norms inside the life environment terms. (3) It gives the opportunity for someone or corporation to submit the compensation claim to the party which carry out pollution in life environment, it is usually implemented by a claim of against the law.
The result of research analyze as the law enforcement technique by the persuasive-educative (preventive) efforts and also repressive law enforcement technique, which also called a legal action for those who carry out the pollution through roles of directly involved parties- such; Litigant, Judge, Witness, Expert and also roles of indirectly involved party such; Government Instance which is responsible in life environmental matters; organizations, legislative and mass media.
The conclusion of this research is that the civil aspect on integrated law enforcement of life environment connecting to manage and sustain the function of environmental conservation completed with various instruments, they are : 1. KLH against PT. NMR and Director of PT NMR is an examination process or standi judicio try-out, 2. The position of .government _ party as instrument organizer so the compensation claim submitted properly and concretely, 3. Government as litigant party seems unclear and actual in accordance with people pressure as the victim to enforce the law enforcement by class action claim without standi judicio to measure litigation claim position by the power of civil law process.
The Standi In Judicio suggestion, the writer suggest that it is time to make a revision of UUPLH (UU No.2311997). Consist of : I. The Criminal, Civil , Administration instrument and also other alternative efforts must be set up in procedure, 2. Economic valuation upon the detriment of life environment and social-culture detriment of people should be determined in regulations, 3. The obedience of internal and external regulations should increase the capability in order to be preventive, reactive, and repressive, 4. The social control and social engineering dimensions are still ineffective; for furthermore they should be a priority. The instrument of next life environment law enforcement should be bringing out gradually; the stage is: (a) Preparation. (b) Initiation. (c) Development. (d) Program adoption. (e) The Implementation or realization of program. (f) Completing and consolidation.
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2007
T17930
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nank Kusna Buchari
"Kegiatan pembangunan industri sebagai salah satu penunjang pembangunan nasional harus memenuhi syarat yang telah ditentukan oleh Peraturan PerUndang-Undangan. Dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: II/MPR/1993 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara, dinyatakan bahwa pembangunan industri diarahkan untuk menuju kemandirian perekonomian nasional, meningkatkan kemampuan bersaing dan menaikkan pangsa pasar dalam negeri dan luar negeri dengan selalu memelihara kelestarian flmgsi lingkungan hidup.
Penegakan Hukum Lingkungan Industri yang dilaksanakan oleh aparat Kepolisian baik sebagai individu, sebagai fungsi dan sebagai organ sangat penting dalam mencegah dan menanggulangi pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup baik sebagai akibat pembangunan industri maupun akibat limbah dan kegiatan usaha industri, dalam mewujudkan pembangunan industri berwawasan lingkungan sebagai diatur antara lain dalam Undang-undang No.4 Tahun 1982, PP No 13 Tahun 1987 Tentang Izin Usaha Industri jo PP No 51 1993 Tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan jo SK. Menteri Penndustnan No. 291/M/SK/10/1989 Tentang Tata Cara Perizinan dan Standar Teknis Kawasan Industri jo SK. Menteri Perindustrian No.l34/M/4/1988 Tentang Pencegahan dan Penanggulangan Pencemaran Sebagai Akibat Kegiatan Usaha Industro jo KEPPRES No. 77 Tahun 1994 Tentang BAPEDAL jo Undang-Undang Republik Indonesia No. 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang dan jo Undang-Undang Kepolisian RI No. 13 Tahun 1961 jo Undang-Undang HAP No. 8 Tahun 1981.
Pencegahan pencemaran yang meliputi antara lain pemilihan lokasi sesuai RUTR, pembuatan AMDAL, pengolahan dan lain-lain serta penanggulangan, seperti penetapan kualitas limbah dan nilai ambang batas bagi lingkungan, penanganan limbah melalui daur ulang dengan mengikuti prosedur Administrasi Pemerintah Daerah setempat.
Adanya kemungkinan perusahaan kawasan industri diberikan batas waktu tiga tahun untuk tidak menyusun RKL, RPL setelah persetujuan prinsip dikeluarkan, sebagaimana dimaksud SK. Menteri Perindustrian No. 291/M/SK/10/1989, dan hanya adanya kewajiban menyusun ANDAL, RKL dan RPL apabila ada dampak penting pada tingkat izin tetap sebagaimana diatur di dalam PP No. 51 Tahun 1993 tentang ANDAL, maka memberi peluang pada tingkat persetujuan prinsip bag! perusahaan industri terjadinya pencemaran dan kerusakan Hngkungan hidup, sebab pencemaran dan kerusakan itu dapat terjadi tidak saja setelah usaha industri itu beroperasi, tapi dapat juga pada tahap persiapan dan usaha pembangunan industri. Keadaan ini menjadikan tidak efektifnya peratuaran Izin Usaha Industri dalam rangka usaha pencegahan dan penanggulangan pencemaran industri terhadap lingkungan hidup. Di sinilah diperlukan suatu kebijakan yang merupakan suatu strategi penegak hukum dalam rangka menunjang pembangunan berwawasan lingkungan.
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui kualitas kebijakan dalam Penegakan Hukum Lingkungan dan tingkat kesadaran lingkungan para pengusaha dan masyarakat lingkungan industri. Di samping itu, dengan penelitian ini juga ingin diketahui (1) Perbedaan persepsi antara kelompok Pengusaha, Pengelola Lingkungan, dan pandangan Masyarakat Lingkungan Industri mengenai kualitas kebijakan dalam Penegakan Hukum Lingkungan (penyidikan di lingkungan industri). (2) Perbedaan persepsi antara kelompok Pengusaha, Pengelola Lingkungan dan Masyarakat Lingkungan Industri mengenai tingkat kesadaran lingkungannya. (3) Hubungan antara kualitas Kebijakan Penegakkan Hukum Lingkungan dengan Tingkat Kesadaran Masyarakat Lingkungan Industri menurut persepsi Kelompok Pengusaha, Pengelola Lingkungan, dan Masyarakat Lingkungan Industri itu sendiri.
Pelaksanaan penelitian ini di wilayah hukum POLDA JABAR dan khususnya di daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Bandung sepanjang Sungai Citarum dari mulai Desa Sapan sampai dengan Bandung Selatan dengan memakan waktu selama (enam) bulan (dari mulai April sampai dengan September Tahun 1996). Metode penelitian ini digunakan metode survei dengan besar sampel seluruhnya 100 Responden untuk kelompok Pengelola Lingkungan 37 orang, kelompok Pengusaha 27 orang dan Masyarakat Lingkungan Industri 36 orang.
Instrumen penelitian yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah kuesioner, baik untuk kelompok Pengusaha, kelompok Pengelola Lingkungan, dan kelompok Masyarakat Lingkungan Industri. Jumlah pertanyaan seluruhnya ada 181 butir. Untuk kelompok Pengusaha terdiri atas 80 butir mengenai materi kebijakan manajemen Penegakan Hukum Lingkungan, dan 39 butir untuk tingkat Kesadaran Lingkungan Industri, 62 butir untuk Administrasi Penegakkan Hukum Lingkungan. Sedangkan kelompok Pengelola Lingkungan jumlah butir instrumennya sebanyak 80 butir pernyataan tentang materi Kebijakan dalam Penegakkan Hukum Lingkungan, 39 butir tentang Tingkat Kesadaran Lingkungan. Sementara itu untuk kelompok Masyarakat Lingkungan Industri instrumennya adalah 80 butir tentang materi Kebijakan dalam Penegakkan Hukum Lingkungan dan 39 butir materi tentang tingkat Kesadaran Lingkungan Industri. Dari jumlah butir masing-masing instrumen, seluruhnya tidak diujicobakan, tetapi telah diperhitungkan tentang tingkat validitas dan reabilitasnya. Teknik analsis data yang digunakan adalah analisis deskriptif, ANOVA satu jalan dan korelasi sederhana pada taraf signifikansi a = 5%. "
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Said Saile
Jakarta : Restu Agung, 2003
344.046 SAI p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Fathan Nautika
"Hukum lingkungan disusun sebagai bentuk perlindungan atas lingkungan hidup. Dari sistem hukum lingkungan tersebut, terkandung didalamnya berbagai prinsip dalam penegakan hukum lingkungan. Prinsip pencegahan adalah salah satu prinsip yang bertujuan melindungi lingkungan sebelum terjadinya kerusakan. Selain prinsip pencegahan terdapat juga prinsip kehati-hatian. Prinsip ini menjadi prinsip yang sangat penting dalam penegakan hukum lingkungan dalam mencegah terjadinya kerusakan lingkungan yang serius dan tidak dapat dipulihkan. Pada prinsip-prinsip inilah kita menggantungkan masa depan alam kita agar tetap terjaga, berkelanjutan dan dapat dimanfaatkan oleh generasi mendatang. Mengajukan gugatan tata usaha negara atas izin kegiatan dan/atau usaha yang potensial merusak lingkungan merupakan salah satu langkah pemenuhan prinsip tersebut.

Environmental law constructed as protection for environment. In that environmental law system, various principle of environmental law enforcement contained. Preventative principle is one of the principles that aim to protect the environment before damage occurs. Besides preventative principle there is also precautionary principle. This principle is become very important in environmental law enforcement to prevent serious and irreversible damage to the environment. In that principles we depend our future so that protected, sustainable, and the next generation can take advantage from the environment. Filing administrative law suit on permit activity and/or business that potentially damage the environment is an effort to fulfill that principle."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S43627
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Satya Arinanto
"Sejalan dengan penetapan pembangunan ekonomi sebagai prioritas utama pembangunan pada masa Orde Baru, pada tahun 1994 Indonesia mulai melaksanakan era industrialisasi. Dalam implementasinya, kegandrungan terhadap pembangunan industri ternyata telah mengabaikan kebutuhan pembangunan sektor-sektor lainnya. Masalah sosial dan ekonomi yang serius pun timbul, seperti ketidakmerataan pendapatan dan kekayaan serta pengangguran.
Bagi sebagian masyarakat, kesempatan untuk berusaha semakin sempit dan mata pencaharian mereka menghilang karena kesalahan manajemen dari kegiatan industri yang mengabaikan pertimbangan sosial budaya dan lingkungan. Program diversifikasi industri pada Pembangunan Lima Tahun (Pelita) II dan IV telah mendorong tumbuhnya industri-industri kimia seperti pulp, kertas, rayon, pupuk, semen, dan industri petrokimia. Masing-masing jenis pembangunan tersebut memiliki konsekuensi terhadap lingkungan (Heroepoetri, 1994: 76-80).
Semua kegiatan tersebut tentunya memerlukan aturan-aturan hukum untuk menjamin keseimbangan sumberdaya alam yang ada dengan aktivitas-aktivitas manusia yang menggangunya. Sayangnya, gegap gempita pembangunan industri tersebut tidak diikuti dengan tersedianya perangkat pengawasan terhadap pencemaran yang menyeluruh. Di tengah masih terdapatnya berbagai kekosongan hukum lingkungan ini, kendala utamanya adalah bagaimana agar para pelaku industri tersebut mentaati (compliance) peraturan yang ada, dan bagaimana hukum yang ada dapat ditegakkan (enforcement).
Salah satu pihak yang diharapkan dapat berperan serta dalam upaya penegakan hukum lingkungan di tengah kondisi masih terdapatnya berbagai kekosongan hukum lingkungan tersebut ialah lembaga swadaya masyarakat (LSM). Hal ini sejalan dengan ketentuan Undang-Undang (UU) No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagaimana diubah dengan UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang memberikan ruang bagi lembaga swadaya masyarakat untuk berperan sebagai penunjang dalam pengelolaan lingkungan hidup.
Dalam UU No. 23 Tahun 1997 tersebut, hak, kewajiban, dan peran masyarakat mendapatkan pengakuan. Hal tersebut tercantum dalam Bab III yang terdiri dari Pasal 5, 6, dan 7. Sedangkan dalam UU yang berlaku sebelumnya, yakni UU No. 4 Tahun 1982, peran serta masyarakat juga mendapatkan pengakuan sebagaimana tercantum dalam Pasal 6 dan 19."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1999
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Widia Cynthia Bahari
"Sejak terjadinya Revolusi Industri di Inggris, yang ditandai dengan peralihan sisem tenaga kerja manual yakni menggunakan tenaga manusia dan hewan menjadi tenaga mesin, beberapa sektor usaha perdagangan seperti tekstil, pertambangan, transportasi kereta api mulai beralih ke teknologi mesin.Oleh karena besarnya manfaat yang dirasakan dengan ditunjangnya hasil produksi dan kemajuan di sektor pembangunan fisik, fenomena Revolusi Industri ini pun berkembang dengan pesat hingga ke negara-negara seperti Eropa Barat, Amerika Utara, dan Jepang, serta ke seluruh dunia. Meski demikian, pengaruh modernisasi besar-besaran rupanya memunculkan berbagai masalah, salah satunya adalah peningkatan polusi udara sebagai akibat dari produk buangan industri yang menimbulkan lingkungan yang tidak sehat. Di samping itu, produksi limbah cair yang tidak terolah dengan baik juga menimbulkan masalah lingkungan yang cukup serius, yakni tercemarnya air yang menjadi media pembuangan sehingga merugikan makhluk hidup yang menggantungkan hidup dari air buangan seperti ikan dan manusia. Dalam hal ini, terdapat beberapa kasus yang diambil sebagai akibat dari pencemaran limbah tersebut, misalnya terdapat kasus tercemarnya air tanah di wilayah Hinkley akibat terkontaminasinya air tanah dengan limbah yang dihasilkan oleh perusahaan minyak Pacific Gas and Electric Company (PG&E) . Sementara itu di Indonesia terdapat kasus PT. Inti Teksturindo Megah yang telah mengalirkan air limbah ke Kali Citarik tanpa diproses terlebih dahulu melalui Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL). Akibatnya, sejumlah biota air seperti ikan, kura-kura dan hewan lainnya mati, dan warga masyarakat mengalami luka bakar, gatal-gatal dan melepuh, sebagaimana bukti Visum et Repertum. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan bagaimana bentuk keterlibatan korporasi dan/atau pengurus korporasi.Dalam penelitian ini bentuk penelitian yang digunakan oleh penulis adalah yuridis normatif, yang didasarkan kepada bahan kepustakaan dan juga peraturan perundang-undangan terkait. Hasil menunjukkan bahwa dalamputusan 155/PID.SUS/2013/PN.CMS, Majelis Hakim mengakui peran korporasi dalam tindakan tersebut dan menjatuhkan hukuman kepada individu serta korporasi sebagai bentuk pertanggungjawaban atas perbuatan tersebut. Walaupun jika melihat bentuk hukuman yang dijatuhkan, terdapat kegamangan dari karena adanya pengganti pidana kurungan.

Since the Industrial Revolution in England, which was marked by the shift from a manual labor system, namely using human and animal power to machine power, several trade business sectors such as textiles, mining and rail transportation have begun to switch to machine technology. Because of the large benefits felt by the support of production results and progress in the physical development sector, the Industrial Revolution phenomenon is growing rapidly to other countries, such as Western Europe, North America and Japan, as well as throughout the world. However, the influence of massive modernization has apparently given rise to various problems, one of which is an increase in air pollution as a result of industrial waste products which create an unhealthy environment. Apart from that, the production of liquid waste that is not properly treated also causes quite serious environmental problems, namely the contamination of water which is used as a disposal medium, thereby harming living creatures that depend on waste water for their living, such as fish and humans. In this case, there are several cases taken as a result of waste pollution, for example there is a case of groundwater contamination in the Hinkley area due to groundwater contamination with waste produced by the Pacific Gas and Electric Company (PG&E) oil company. Meanwhile in Indonesia there is a case of PT. Inti Teksturindo Megah has channeled waste water into the Citarik River without prior processing through the Waste Water Treatment Plant (IPAL). As a result, a number of aquatic biota such as fish, turtles and other animals died, and community members experienced burns, itching and blisters, as evidenced by the Visum et Repertum. This research aims to find out what forms of corporate involvement and/or corporate management take. In this research, the form of research used by the author is normative juridical, which is based on library material and also related laws and regulations. The results show that in decision 155/PID.SUS/2013/PN.CMS, the Panel of Judges acknowledged the role of corporations in these actions and imposed penalties on individuals and corporations as a form of responsibility for these actions. Even if you look at the form of punishment imposed, there is uncertainty on the part of the Panel of Judges to impose a crime on an individual or corporation, because there is a substitute for imprisonment."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Hamzah
Jakarta: Sapta Artha Jaya, 1997
344.046 AND p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Manurung, Emmi Frasiska
"Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada bangsa Indonesia merupakan kekayaan alam yang tak ternilai harganya, wajib disyukuri. Karunia yang diberikanNya, dipandang sebagai amanah, karenanya hutan hares diurus dan dimanfaatkan dengan akhlak mulia dalam rangka beribadah, sebagai perwujudan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Penulisan tesis "Penegakan Hukum Lingkungan terhadap Illegal Logging dalam Upaya Perlindungan Hutan di Kabupaten Bungo, Propinsi Jambi", didasarkan karena hutan sebagai modal pembangunan nasional yang memiliki manfaat yang nyata bagi kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia, baik manfaat ekologi, sosial budaya maupun ekonomi, secara seimbang dan dimanfaatkan secara berkesinambungan bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia, baik generasi sekarang maupun yang akan datang, sehingga diperlukan suatu langkah dan upaya guna menanggulangi maraknya illegal logging di Kabupaten Bungo, Propinsi Jambi.
Bahwa para pelaku illegal logging di kabupaten Bungo yang tertangkap adalah masyarakat yang hidup dan tinggal di sekitar hutan, dan para sopir-sopir truk yang mengangkut kayu hasil illegal logging tanpa disertai SKSHH, sementara para cukongnya tidak tertangkap seakan-akan tidak bias tersentuh oleh hukum.
Beberapa penyebab illegal logging semakin marak terjadi di Kabupaten Bungo, Propinsi Jambi yang menjadi kendala dalam penegakan hukum terhadap illegal logging di karenakan : (1) Lemahnya koordinasi antar penegak hukum, kurangnya kapasitas dan integritas penegak hukum, serta minimnya jumlah aparat polisi kehutanan yang bertugas di lapangan dalam rangka melindungi hutan produksi di kabupaten Bungo yang tidak sebanding dengan luas hutan; (2) Rumusan sanksi pidana yang tidak mengatur batasan minimal masa hukuman pidana minimal bagi para pelaku illegal logging sehingga menimbulkan disparitas hukuman pidana yang dituntut oleh jaksa dengan masa hukuman yang diputus oleh hakim; (3) Tidak adanya pasal yang mengatur mengenai kerugian ekologis yang harus ditanggung oleh pelaku illegal logging karena kerugian yang dialami oleh pemerintah bukan saja kerugian secara ekonomi, namun juga kerugian ekologis yaitu rusaknya ekosistem hutan, punahnya spesies langka, terganggunya habitat satwa, terjadinya bencana banjir dan erosi; (4) Bahwa pemerintah masih cenderung sentralistik dan mengabaikan hak-hak masyarakat lokal dengan memberikan kepada pengusaha-pengusaha untuk mengelola hutan produksi tanpa memperhatikan nasib masyarakat di sekitar hutan yang mengakibatkan masyarakat sekitar hutan tidak ragu-ragu melakukan illegal logging dan bahkan meskipun sudah tahu bahwa hutan produksi tersebut telah kembali pengelolaannya kepada pemerintah, mereka tetap melakukan penebangan bahkan melakukan perambahan; (5) keterbatasan sarana dan prasarana juga merupakan kendala bagi aparat hukum dalam menangkap pelaku-pelaku illegal logging karena hutan yang diawasai begitu lugs dan kondisi jalan yang juga tidak bisa dilalui oleh kendaraan; (6) keterbatasan dana; (7) Tidak adanya tindakan tegas oleh aparat penegak hokum terhadap sawmil-sawmil yang tidak resmi yang dibiarkan beroperasi dan siap menerima order untuk memotong-motong dan mengolah menjadi kayu meskipun diketahui dari hasil illegal logging.
Melihat betapa rumitnya permasalahan illegal logging yang terjadi di kabupaten Bungo upaya-upaya yang tegas dari pemerintah ( dinas kehutanan, kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan) bekerjasama dengan aparat desa, LSM, pemuka-pemuka agama, tokoh-tokoh masyarakat, dan pemuda-pemuda desa yaitu mengadakan penyuluhan-penyuluhan kepada masyarakat lokal tentang pentingnya arti hutan, menyampaikan informasi kepada masyarakat lokal bahwa perbuatan illegal logging adalah perbuatan tindak pidana yang hukumannya lebih berat dari tindak pidana umum lainnya (melakukan pendekatan sosial budaya dan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan dengan mengadakan kegiatan hutan kemasyarakatan, padat karya, hutan rakyat, HPH bina desa, atau dengan memberikan modal kerja (home industry) pembuatan batu bata, tahu, tempe dan kerajinan tangan lainnya, menjadikan pengetahuan dan pengertian tentang peranan dan fungsi hutan sebagai mata kuliah dalam kurikulum pendidikan, mulai dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Langkah tindakan yang serupa juga dilakukan melalui penyuluhan dan ditujukan bagi masyarakat luas dengan menggunakan media cetak maupun media elektronik serta kunjungan ke lapangan. Upaya selanjutnya adalah perlu diberlakukannya Perpu Pemberantasan Illegal Logging, yang diharapkan masyarakat dapat melaporkan kejadian-kejadian illegal logging dengan data informasi, gambar foto, dan rekaman kepada LSM maupun Dinas Kehutanan Kabupaten Bungo.
Di samping usaha-usaha yang disebut di atas, guna menegakkan hukum yang seadil-adilnya dan menumpas habis para pelaku illegal logging, perlu adanya kesatuan pandangan pars jaksa penuntut umum yang melakukan tuntutan hukuman pidana terhadap terdakwa pelaku-pelaku illegal logging dan hakim yang memberi putusan berupa hukuman pidana, sehingga masa hukuman pidana yang dijatuhkan oleh hakim tidak terlalu jauh rendahnya dengan pidana yang dituntut oleh jaksa penuntut umum. Walaupun diakui, masing-masing instansi memiliki kewenangan untuk menetapkan hukuman pidana (tuntutan pidana bagi kejaksaan dan putusan pidana bagi hakim) namun dasar menetapkan hukuman pidana tersebut adalah sama yaitu Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 yang salah satu pasalnya mangatur tentang sanksi pidana yang diberikan kepada pelaku illegal logging."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
T19594
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>