Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 176938 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Arini Astasari Widodo
"ABSTRAK
Latar Belakang: Fototerapi NB-UVB merupakan salah satu modalitas terapi penyakit kulit pada lansia, terlebih populasi ini sering kali memiliki komorbiditas untuk mengonsumsi obat sistemik. Penentuan dosis awal yang akurat penting, karena dosis yang terlalu rendah akan memperpanjang waktu respons terapi sedangkan dosis yang terlalu tinggi dapat meningkatkan risiko efek fototoksik. Penentuan dosis awal fototerapi NB-UVB menggunakan pengukuran DEM merupakan metode yang lebih akurat dibandingkan dengan menggunakan tipe kulit Fitzpatrick karena respons tiap individu terhadap pajanan sinar dapat berbeda. Kulit lansia berbeda dibandingkan kulit dewasa akibat proses penuaan. Sejumlah perubahan yang terjadi dapat memengaruhi respons kulit terhadap pajanan sinar ultraviolet, termasuk respons eritema. Perbedaan respons eritema pada lansia dapat mengakibatkan perubahan DEM. Penentuan dosis fototerapi berdasarkan DEM yang tepat akan memberikan hasil terapi yang lebih optimal. Metode: Penelitian ini adalah uji klinis dengan analisis statistik yang membandingkan DEM pada lansia dan dewasa. Pada penelitian ini dilakukan perhitungan DEM berdasarkan respons eritema kulit relatif terhadap enam dosis pajanan sinar NB-UVB yang berbeda pada lansia berumur di atas 60 tahun dan dewasa berumur 18-45 tahun. Total 69 sampel dibagi menjadi kelompok dewasa dan lansia. Penyinaran dilakukan dengan alat fototerapi Waldmann UV109 TL-01 pada jendela yang dibuka. Jendela diradiasi sesuai dosis dimulai dari 300, 500, 700, 900, 1100, dan 1300 mJ/cm2. Hasil penyinaran dibaca pada 24 jam dan 48 jam pasca penyinaran oleh tiga orang penilai berbeda dengan pemahaman yang sama terhadap pembacaan DEM nilai ICC mendekati 1 Hasil: Pada kelompok dewasa, rerata DEM 24 jam didapatkan sebesar 554 182 mJ/cm2 dan rerata DEM 48 jam sebesar 606 167 mJ/cm2. Rerata DEM 24 jam lansia adalah 702 340 mJ/cm2 dan DEM 48 jam 836 341 mJ/cm2. DEM 24 jam dan 48 jam lansia lebih tinggi dibandingkan dewasa, namun hanya DEM pada 48 jam yang bermakna secara statistik p=0,026 . Pada kelompok lansia, terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik antara DEM 24 dan 48 jam p

ABSTRACT
Background UVB phototherapy is one of therapy modalities of skin diseases in elderly, in which comorbidities are often present thus taking systemic agent. To determine initial dosage is important. A dosage that is too low would lengthen the therapy response period, whereas a dosage that is too high could increase phototoxic side effect. The determination of UVB phototherapy initial dosage using MED measurement is a more accurate method compared with Fitzpatrick skin type due to different response of each individual to light exposure. Elderly rsquo s skin is different compared with adult rsquo s skin because of aging. Such changes could influence skin response to ultraviolet light exposure, for instance, erythema response. The difference of erythema response in elderly could lead to MED change. The determination of phototherapy dosage based on accurate MED would yield better therapy outcome. Methods This study was a clinical trial with statistical analysis to compare MED in elderly and adults. In this study, MED calculations were based on skin erythema responses relative to six different exposure doses of NB UVB in elderly people aged over 60 years and adults aged 18 45 years. The irradiation is done with a Waldmann UV109 lamp on the opened window. Window irradiated according to dosage starting from 300, 500, 700, 900, 1100, and 1300 mJ cm2. Responses were examined at 24 hours and 48 hours post irradiation by three different assessors with the same understanding of the DEM reading ICC values approaching 1 Results In adult group, the mean of 24 hours MED was 554 182 mJ cm2 and 48 hours MED was 606 167 mJ cm2. In elderly group, the mean of 24 hours MED was 702 340 mJ cm2 and 48 hours MED was 836 341 mJ cm2. 24 hours MED and 48 hours MED in elderly were higher compared with adults rsquo , although only 48 hours DEM that was statistically significant p 0.026 . In elderly group, a statistically significant difference between 24 hours MED and 48 hours MED was found p"
Depok: 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nartono Kadri
"ABSTRAK
Penyakit hemolitik neonatal (PHN) adalah suatu penyakit dengan umur sel darah merah janin atau neonatus yang memendek akibat antibodi ibunya. Antibodi ibu yang dapat menyeberang plasenta ialah IgG. Dengan ditemukannya upaya preventif anti Rho (anti-D) terhadap penyakit hemolitik Rhesus, maka pada waktu ini PHN akibat inkompatibilitas golongan darah ABO ibu-janin (PHN-ABO) merupakan penyebab utama terjadinya penyakit hemolitik isoimun pada neonatus.
PHN-ABO lebih sering ditemukan pada bayi golongan darah A atau B dan ibu golongan darah O, dan angka kejadiannya berbeda bermakna dibandingkan dengan kehamilan inkompatibel pada ibu golongan darah A atau B.Hal ini disebabkan karena antibodi anti-A atau anti-B pada ibu golongan darah O umumnya adalah klas IgG (7S) yang dapat menyeberang lintas plasenta, sedangkan pada ibu golongan darah A atau B umumnya adalah klas IgM (19S) yang tidak dapat menyeberang plasenta. Kehamilan inkompatibel ibu golongan darah O dengan janin golongan darah A atau B ditemukan sekitar 15-40% dari seluruh kehamilan.
Dalam masyarakat Indonesia, kelompok golongan darah O merupakan persentase tertinggi dibandingkan kelompok golongan darah lainnya yaitu 40,8%, diikuti golongan A, B kemudian. AB. Di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta (RSUPN CM), 59,2% ibu bergolongan darah O melahirkan bayi golongan darah A atau B.
Sekitar 20%-30% penderita ikterus neonatal dari berbagai ras ternyata berlatar belakang inkompatibilitas ABO. Pada beberapa penelitian terpisah, ditemukan bahwa resiko kejadian PHN-ABO lebih tinggi pada ras kulit berwarna dibandingkan dengan ras kulit putih. Di Afrika Selatan, ditemukan 47% dari penderita ikterus neonatal disebabkan oleh inkompatibilitas ABO. Pemeriksaan laboratorik uji antiglobulin direk positif, pada etnis kulit berwarna berbeda bermakna dibandingkan dengan etnis kulit putih. Tindakan transfusi tukar atas indikasi hiperbilirubinemia berlatar belakang kehamilan dengan inkompatibel ABO mempunyai persentase yang cukup tinggi. Angka kejadian di Afrika Selatan adalah 55% dari seluruh tindakan transfusi tukar, di Jakarta ditemukan sekitar 42,4%, dan di Singapore sebanyak 28%.
Di daerah yang keadaan lingkungan hidupnya belum memadai, kejadian PHN-ABO lebih tinggi dibandingkan dengan daerah yang lingkungan hidupnya lebih baik, hal ini disebabkan adanya paparan substansi dari lingkungan berupa bakteri atau parasit. Beberapa bakteri misalnya E.coli dan parasit cacing Ascaris lumbricoides dan Necator americanus yang banyak ditemukan di daerah lingkungan hidup kurang sehat, ternyata mengandung substansi yang mirip dengan komponen sel darah merah A atau B. Bila paparan oleh substansi demikian terjadi secara berulang dan kontinu, dapat menimbulkan reaksi antigen antibodi sekunder terhadap antibodi alamiah yang telah ada pada ibu, terjadilah pembentukan antibodi lebih cepat dan tinggi. Pada wanita hamil yang mempunyai titer antibodi anti-A atau anti-B tinggi, kemungkinan terjadinya penyakit hemolitik ABO pada bayinya makin tinggi pula."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1998
D179
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siphora Dien
"ABSTRAK
Latar belakang Psoriasis merupakan penyakit inflamasi kronis pada kulit. Fototerapi menggunakan sinar narrow band ultraviolet B NB-UVB adalah salah satu modalitas terapi yang efektif untuk penyakit psoriasis tipe plak derajat sedang-berat. Dosis inisial fototerapi sebaiknya ditentukan dari dosis eritema minimum DEM , namun belum ada penelitian khusus mengenai DEM pada pasien psoriasis orang Indonesia. Penelitian ini bertujuan mengetahui nilai dosis eritema minimum pada pasien psoriasis dan perbedaannya dengan orang sehat tipe kulit Indonesia. Metode Subyek penelitian terdiri atas 20 pasien psoriasis tipe plakat dan 20 orang sehat yang masing-masing dibagi dalam 2 kelompok tipe kulit Fitzpatrick IV dan V n=10 . Pada regio infraskapula dilakukan penyinaran menggunakan unit fototerapi NB-UVB wholebody Daavlin seri 3 dengan berbagai dosis antara 300-1400 mJ/cm2. Setelah 18-24 jam pasca penyinaran dosis eritema minimum dibaca oleh dua pengamat. Efek samping akibat penyinaran juga dicatat. Hasil Rerata DEM sinar NB-UVB kelompok pasien psoriasis tipe kulit IV 880 SB 181,35 mJ/cm2 dan tipe kulit V 1070 SB 125,16 mJ/cm2. Rerata DEM sinar NB-UVB kelompok orang sehat tipe kulit IV 650 SB 97,18 mJ/cm2 dan tipe kulit V 970 SB 156,70 mJ/cm2. Rerata DEM tipe kulit V lebih tinggi daripada tipe kulit IV p < 0,05 . Rerata DEM kelompok pasien psoriasis lebih tinggi bermakna dibandingkan kelompok orang sehat p < 0,05 . Tidak ditemukan efek samping pasca penyinaran pada semua subyek. Kesimpulan Pada orang Indonesia rerata DEM sinar NB-UVB tipe kulit V lebih tinggi daripada tipe kulit IV. Nilai rerata DEM pasien psoriasis lebih tinggi dibandingkan dengan orang sehat.

ABSTRACT
Background Psoriasis is a chronic inflammation skin disease. Narrowband ultraviolet B NB UVB has been considered as an effective treatment for moderate and severe psoriasis plaque. Initial dose should be determined from minimal erythema dose MED . However, study of MED in psoriasis patient Indonesian skin type has not been reported. This study aims to compare MED of psoriasis patient and healthy subjects Indonesian skin type. Methods Twenty plaque psoriasis patients dan 20 healthy subjects was divided into 2 skin type groups Fitzpatrick IV and V n 10 . Wholebody NB UVB phototherapy unit Daavlin 3 series was used to irradiate backs with doses ranging from 300 to1400 mJ cm2. After 18 24 hours post exposure, MED was determined by two examiners. Side effects of radiation were documented. Results Mean MED of psoriasis patients group skin type IV was 880 SD 181.35 mJ cm2 and type V was 1070 SD 125.16 mJ cm2. In healthy group, the average of skin type IV was 650 SD 97.18 mJ cm2 and skin type V was 970 SD 156.70 mJ cm2. Skin type V showed higher MED than skin type IV p 0.05 . There was significantly higher mean MED in psoriasis patients compared to healthy subjects p 0.05 . Post radiation side effects were not found. Conclusion Minimal erythema dose of Indonesian skin type V is higher than skin type IV. Psoriasis patients have a significantly higher MED than healthy subjects. "
2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Putu Siska Virgayanti
"[ABSTRAK
Latar belakang. Rekomendasi Global Alliance dalam penanganan AVS meliput antibiotik, asam retinoat, dengan atau tanpa BPO. Resistensi obat menjadi perhatian utama pada penggunaan antibiotik jangka panjang dalam terapi akne vulgaris sedang. Kombinasi antibiotik dan BPO direkomendasikan untuk mengatasi masalah tersebut. Pada tipe kulit IV-V hiperpigmentasi pasca akne merupakan masalah yang sering dikeluhkan. Tujuan. Membandingkan efektivitas, efek samping dan kejadian hiperpigmentasi pasca inflamasi penggunaan BPO sebagai paduan terapi lini pertama AVS pada tipe kulit IV-V Fitzpatrick. Metode. Penelitian analitik dengan desaain uji klinis acak tersamar ganda membandingkan dua sisi wajah. Subyek diberikan paduan terapi lini pertama. Sisi wajah perlakuan diberikan gel BPO 2,5% sedangkan kelompok kontrol gel plasebo. Hasil. Pada minggu ke-2,4,6,8 didapatkan penurunan persentase total lesi sebesar 51,47%, 71%, 75%, 82,84% pada kelompok BPO dan 30%, 53,75%, 62,28, 71% pada kelompok plasebo (p<0,001 .) Efek samping dan kejadian HPI pada minggu ke 2,4,6 dan 8 tidak berbeda bermakna. Kesimpulan. Penggunaan BPO sebagai bagian dari paduan terapi lini pertama AVS lebih efektif, tidak meningkatkan efek samping ataupun kejadian HPI.
Kata kunci. akne vulgaris, gel BPO 2,5%,

ABSTRACT
Background. Global alliance recommendation for moderate acne treatment are antibiotic, retinoic acid with or without benzoyl peroxide. Drug resistance become the most common problem due to longterm use of antibiotic in acne treatment. Combination of antibiotic and BPO is recommeded to overcome this problem. In patient with skin type IV-V post acne hyperpigmentation is one of the most significant complaint. Aim. To compare efectivity, side effect and post inflammatory hyperpigmentation of BPO 2,5% gel as a part of first line therapy regiment in patient with skin type IV-V. Method. This is an analytic study with randomized control trial design comparing both half-face (split-face). Subjects were given first line therapy regiment. Half-face was given BPO 2,5% gel twice daily while other half face with placebo. Result. Total lesions reduction in BPO group on week 2,4,6,8 were 51,47%, 71%, 75%, 82,84% respectively and 30%, 53,75%, 62,28, 71% in placebo group respectively. Conclusion. BPO as a part of first line therapy regiment for moderate acne is more effective, with no increase of side effect nor post inflammatory hyperpigmentation compared to placebo.
, Background. Global alliance recommendation for moderate acne treatment are antibiotic, retinoic acid with or without benzoyl peroxide. Drug resistance become the most common problem due to longterm use of antibiotic in acne treatment. Combination of antibiotic and BPO is recommeded to overcome this problem. In patient with skin type IV-V post acne hyperpigmentation is one of the most significant complaint. Aim. To compare efectivity, side effect and post inflammatory hyperpigmentation of BPO 2,5% gel as a part of first line therapy regiment in patient with skin type IV-V. Method. This is an analytic study with randomized control trial design comparing both half-face (split-face). Subjects were given first line therapy regiment. Half-face was given BPO 2,5% gel twice daily while other half face with placebo. Result. Total lesions reduction in BPO group on week 2,4,6,8 were 51,47%, 71%, 75%, 82,84% respectively and 30%, 53,75%, 62,28, 71% in placebo group respectively. Conclusion. BPO as a part of first line therapy regiment for moderate acne is more effective, with no increase of side effect nor post inflammatory hyperpigmentation compared to placebo.
]"
2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hutabarat, Rodinda Marsha Ruth
"Pendahuluan: Berbagai modalitas terapi yang tersedia untuk melasma belum memberikan hasil yang memuaskan serta kekambuhan sering terjadi setelah terapi dihentikan. Asam traneksamat merupakan penghambat plasmin yang dapat mencegah melanogenesis. Beberpa studi telah membuktikan efek injeksi asam traneksamat (AT) intradermal sebagai terapi melasma, namun belum ada sebuah konsensus yang menentukan konsentrasi injeksi AT intradermal yang paling tepat dan efektif. Di Indonesia, belum pernah dilakukan uji klinis yang membandingkan efektivitas dan keamanan injeksi AT intradermal dengan konsentrsi yang berbeda untuk tata laksana melasma. Tujuan Penelitian: Membandingkan efektivitas dan keamanan injeksi AT intradermal konsentrasi 25 mg/ml dengan 10 mg/ml sebagai terapi ajuvan pada tata laksana melasma. Metodologi penelitian: Penelitian ini merupakan uji klinis acak terkontrol tersamar ganda dengan metode split-face. Sebanyak 30 subjek penelitian (SP) dirandomisasi untuk mendapatkan injeksi AT intradermal 25 mg/ml atau 10 mg/ml pada salah satu sisi wajah. Penelitian dilakukan selama 8 minggu dan terapi injeksi diberikan sejak minggu ke-2 dengan interval 2 minggu. Seluruh SP mendapatkan terapi krim tabir surya SPF 45 dan krim tretinoin 0,05% yang dioleskan sekali sehari malam hari selama 8 minggu. Penilaian skor MASI modifikasi (mMASI) dan pemeriksaan mexameter yang terdiri atas indeks melanin (IM) dan eritema (IE) dilakukan pada setiap kunjungan. Hasil penelitian: Terdapat 27 SP yang menyelesaikan penelitian dengan rerata usia 49,67 tahun dan sebagian besar memiliki melasma tipe campuran. Terdapat penurunan bermakna skor mMASI dan IM pada pemberian terapi ajuvan injeksi AT intradermal 25 mg/ml dan 10 mg/ml, namun besar dan kecepatan penurunan skor tersebut tidak berbeda bermakna pada konsentrasi 25 mg/ml dibandingkan dengan 10 mg/ml. Mayoritas SP tidak mengalami efek samping bermakna akibat injeksi AT. Kesimpulan: Terapi ajuvan injeksi AT intradermal 25 mg/ml dan 10 mg/ml efektif dan aman dalam menurunkan skor mMASI dan IM pada pasien melasma dengan tipe kulit Fitzpatrick IV dan V.

Background: The various treatment modalities available for melasma have yet to provide satisfactory results, and recurrence often occurs after discontinued therapy. Tranexamic acid (TA), a plasmin inhibitor, can prevent melanogenesis. Several studies have demonstrated the effectiveness of intradermal injections of TA as a treatment for melasma. However, there is no consensus on the most appropriate and effective concentration for these injections. In Indonesia, no clinical trials have been conducted to compare the effectiveness and safety of intradermal TA injections at different concentrations to manage melasma. Research Objective: Comparing the effectiveness and safety of intradermal TA injections at 25 mg/ml and 10 mg/ml concentrations as adjuvant therapy for melasma. Methods: A double-blind, randomized controlled trial was performed with the split-face method. A total of 30 subjects were randomized to receive intradermal TA 25 mg/ml or 10 mg/ml either on the right or the left side of their face. The study research was conducted over eight weeks, with injection therapy administered starting from the second week at 2-week intervals. All subjects received SPF 45 sunscreen and 0.05% tretinoin cream for eight weeks. Assessment for modification MASI (mMASI) score and mexameter examination, which includes melanin index (MI) and erythema index (EI), were performed on every visit. Results: Twenty-seven subjects completed the study, with an average age of 49.67 years, and most had mixed-type melasma. There was a significant decrease in mMASI and MI scores with adjuvant therapy using 25 mg/ml and 10 mg/ml intradermal tranexamic acid injections. However, the score reduction did not significantly differ between the 25 mg/ml and 10 mg/ml concentrations. The majority of subjects did not experience significant side effects from the tranexamic acid injections. Conclusion: Adjuvant therapy with intradermal injection of TA 25 mg/ml and 10 mg/ml effectively and safely reduces the mMASI and MI scores in melasma patients with Fitzpatrick skin types IV and V."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Pasaribu, Uly Aanda Maria Nugraheni
"Pendahuluan : Akhir-akhir ini penelitian terkait mikrobiom kulit manusia menjadi fokus di bidang dermatologi dan kosmetik karena mikrobiota kulit yang memiliki fungsi vital dalam menjaga homeostasis kulit. Sudah banyak laporan disbiosis mikrobiom yang berhubungan dengan beberapa kondisi kulit, baik patologis maupun nonpatologis, contohnya pada penuaan atau aging. Pada kulit menua terdapat perubahan struktural dan fungsional kulit yang menyebabkan perubahan habitat mikrobiom, sehingga terjadi perubahan komposisi mikrobiota. Hal tersebut dapat menyebabkan disbiosis, sehingga dapat pula menjadi faktor predisposisi dalam proses penuaan kulit. Tujuan Penelitian : Menilai korelasi antara mikrobiom kulit dengan parameter penuaan kulit wajah perempuan Indonesia dan juga mengetahui gambaran mikrobiom pada kulit dewasa muda, lansia perempuan Indonesia, serta menilai perbedaan shannon index serta relative abundance mikrobiom kulit antara perempuan dewasa muda dan lansia. Metodologi Penelitian : Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan desain potong lintang. Pengambilan sampel dilakukan pada bulan Februari – Maret 2023 di Poliklinik Dermatologi dan Venereologi (DV) RSCM. Subjek penelitian berjumlah 48 orang yang terdiri dari 24 orang perempuan sehat usia dewasa muda (21–37 tahun) dan 24 orang lansia (60–76 tahun) yang melewati kriteria penerimaan dan penolakan. Subjek penelitian yang terpilih melakukan kunjungan ke Poliklinik DV RSCM, dan dilakukan anamnesis, pemeriksaan klinis, pemeriksaan wajah menggunakan skin analyzer JANUS™ III, serta pengambilan apusan kulit (swab) pada kedua pipi. Hasil sampel apusan kulit kemudian dilakukan ekstraksi DNA menggunakan DNeasy PowerSoil Kit™ dan dilakukan sekuensing pada region V3-V4 16s rRNA dengan alat Next Generation Sequencing (NGS), MiSeq Illumina™. Total didapatkan 39 sampel DNA yang dapat diidentifikasi oleh alat MiSeq Illumina™. Hasil Penelitian : Abundance filum firmicutes dan genera staphylococcus secara bermakna lebih besar pada kelompok lansia. Shannon index kelompok dewasa muda lebih tinggi daripada kelompok lansia namun tidak berbeda bermakna dan hanya berkorelasi lemah terhadap usia (P>0,05). Terdapat korelasi positif antara Staphylococcus dengan usia, serta Paracoccus dengan porfirin. Terdapat korelasi negatif antara Shannon index dengan pori-pori, dan Cutibacterium dengan porfirin (P≤0,05) Kesimpulan : Hasil penelitian akhir didapatkan dari 39 sampel apusan kulit yang berhasil diidentifikasi oleh alat NGS, oleh karena itu perlu dilakukan penelitian yang membandingkan metode pengambilan sampel mikrobiom kulit wajah untuk standarisasi penelitian selanjutnya dan perlu dilakukan penelitian dengan jumlah sampel yang lebih banyak serta multi-centered untuk mewakili daerah Indonesia di pedalaman dengan iklim dan lingkungan yang berbeda dengan masyarakat urban.

Introduction: Recently research related to the human skin microbiome has become a focus in the fields of dermatology and cosmetics because skin microbiome has a vital function in maintaining skin homeostasis. There have been many reports of microbiome dysbiosis associated with several skin conditions, both pathological and non-pathological, for example aging. In aging skin, there are structural and functional changes in the skin that cause alterations in the microbiome habitat, resulting changes in the composition of the microbiota. This condition can cause dysbiosis, and it may also be a predisposing factor for the skin aging process. Objectives: To assess the correlation between the skin microbiome and the facial aging score of Indonesian women and also to determine the description of Indonesian young adults and elderly's women microbiomes, as well as addressing the differences in Shannon index and the relative abundance of skin microbiomes between young adult and elderly women. Methods: This research is an analytical observational study with cross-sectional design. Samples were taken in February – March 2023 at Cipto Mangunkusumo Hospital (RSCM), Dermatology and Venereology (DV) clinic. The research subjects were 48 people consisting of 24 healthy young adult women (21–37 years) and 24 elderly people (60–76 years) who passed the inclusion and exclusion criteria. The selected research subjects visited DV RSCM clinic, and underwent anamnesis, clinical examination, and facial examination using the JANUS™ III skin analyzer, also took skin swabs on both cheeks. The resulting skin swab samples were subjected to DNA extraction using DNeasy PowerSoil Kit™ and sequenced at V3-V4 16s rRNA region using the NGS (Next Generation Sequencing) tool, MiSeq Illumina™. Total were 39 DNA samples were obtained which could be identified by MiSeq Illumina™. Results: Abundance of the phylum Firmicutes and the genera Staphylococcus was significantly higher in elderly group. Shannon index of the young adult group was higher than the elderly group but was not stastistically ignificant and only weakly correlated with age (P>0.05). There is positive correlation between Staphylococcus and age, as well as Paracoccus and porphyrins. There is negative correlation between Shannon index and pores, Cutibacterium with porphyrins (P≤0.05) Conclusion: The final research results were obtained from 39 skin swab samples that were successfully identified by NGS tool. It is necessary to carry out future research that compares facial skin microbiome sampling methods to standardize further skin mikrobiome research and also to carry out research with a larger number of samples and multi-centered to represent rural areas of Indonesia with different climates and environments from urban communities (Jakarta)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Endang Rosdianingsih
"Mayoritas orang masih mengganggap dan percaya bahwa kecemburuan sebagai awal tanda adanya masalah dalam perkawinan. Hal ini diperkuat dari hasil beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa kecemburuan dapat memperburuk perkawinan Dugosh (2000). Namun, hasil penelitian lain menunjukkan bahwa kecemburuan cenderung baik untuk perkawinan Mathes & Severa (1989). Adanya perbedaan hasil dari kedua penelitian diatas, menjadi tujuan dari penelitian ini. Pengukuran ini menggunakan skala-skala yaitu kecemburuan dan kepuasan perkawinan. Hal ini dikarenakan untuk melihat apakah ada hubungan positif atau negatif antara kedua-duanya. Tidak hanya sebatas mengukur kecemburuan secara umum, namun kecemburuan juga dilihat dari domain kognisi, emosi dan perilaku.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kecemburuan secara umum dapat menurunkan kualitas perkawinan. Hal yang serupa terjadi pada domain kognisi (salah satu pasangan menyadari pasangannya tertarik dengan orang ketiga) dan perilaku (pasangan cenderung akan bertindak) yang memiliki hubungan yang kuat dengan ketidakpuasan pada perkawinan. Hal yang menarik dari hasil penelitian ini adalah pada kecemburuan domain emosi yang memiliki hubungan yang dapat meningkatkan kepuasan perkawinan. Hal ini dikarenakan kecemburuan domain ini sebagai indikatornya yaitu banyak melibatkan perasaan cinta. Selama perasaan tersebut tidak mengarah pada kecemburuan patologi, kemungkinan kepuasan perkawinan akan dirasakan lebih lama.

Most people believe that jealousy is a trouble sign for marriage. And indeed, in the literature of psychology some theorists maintain that jealousy is bad for marriages. However some maintain that jealousy is good. This disagreement is the point of departure for this study. Using various pre-designed scales for measuring jealousy and marital satisfaction, this study attempts to find out whether there is a positive or negative correlation between the two. The study measures jealousy not only in a general sense, but also in its behavioral, cognitive and emotional aspects as well.
The study finds that the general experience of jealousy is corrosive to marriages. Similary both the cognitive (knowledge of a partner?s interest in a third party) and behavioral (confrontation of a wayward partner) dimensions of jealousy correlate with marital dissatisfaction. However, surprisingly the study finds that those who are emotionally jealous (predisposed toward feelings of jealously) tend to be more satisfied with their relationships than those who are not. This appears to suggest that feelings of jealousy are closely bound up with those of love. As long as such feelings do not become pathological, they may serve as an indicator of relationship satisfaction and longevity.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2007
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rajagukguk, Reston
"Bahaya radiasi Ultraviolet-B di tempat kerja yang dihasilkan oleh proses pengelasan merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan terjadinya gangguan kesehatan dan penyakit akibat kerja pada pekerja PT. Jaya Asiatic Shipayrd Indonesia ? Batam, yang mana dalam proses produksinya melakukan proses pengelasan dalam penyambungan logam mempunyai potensi untuk terjadinya kelelahan mata pekerja las.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah terjadi peningkatan keluhan kelelahan mata sebagai akibat pajanan radiasi Ultraviolet-B pada pekerja las di workshop Hull perusahaan. Faktor yang berhubungan dengan keluhan kelelahan mata yang diteliti adalah tingkat radiasi Ultraviolet-B, serta beberapa faktor yang berkaitan dengan individu yaitu umur, lama paparan dan pemakaian Alat Pelindung Diri.
Penelitian ini dilakukan dengan disain deskriptif analitik dengan pendekatan cross sectional untuk menemukan fakta dengan interpretasi yang tepat dan akurat melukiskan gejala-gejala kelelahan mata pada kelompok atau individu pekerja las. Pengumpulan data dilakukan dengan mengukur tingkat radiasi Ultraviolet-B memapar pekerja las, serta mendapatkan data umur, lama paparan, dan pemakaian Alat Pelindung Diri melalui kuesioner.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa 90% pekerja las di workshop Hull mengalami keluhan kelelahan mata. Setelah dilakukan analisis data, ternyata keseluruhan pekerja las terpapar dengan tingkat radiasi yang dihasilkan oleh proses pengelasan yang melebihi nilai ambang batas. Analisis hubungan antara faktor-faktor yang mempengaruhi keluhan kelelahan mata pekerja ternyata tidak terlihat adanya hubungan.
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa dari hasil pengukuran radiasi Ultraviolet-B di workshop Hull melebihi nilai ambang batas yang diperbolehkan berdasarkan PERMENAKERTRANS No. PER.13/MEN/X/2012. Bagi peneliti lain yang ingin melihat faktor-faktor yang mempengaruhi keluhan kelelahan mata pekerja las, perlu mempertimbangkan adanya populasi kontrol.

Ultraviolet-B radiation hazards in the workplace is a factor that caused of health effect and occupational disease on the workers of PT. Jaya Asiatic Shipayrd Indonesia - Batam, where in the process of their production conducting welding to connect metal, has the potential for eye fatigue of the welders.
This study aims to determine whether there is an increase in eye fatigue complaints as a result of UV-B radiation exposure to welder in Hull Workshop. Factor associated with complaints of eye fatigue studied is Ultraviolet-B radiation levels, as well as a number of factors relating to the individual, namely age, duration of exposure, and usage of Personal Protective Equipment.
The research was done by analytical descriptive design with cross sectional approach to find the facts to the proper interpretation and accurately describe the symptoms of eye fatigue on the individual or group of welder. Data collection was performed by measuring the levels of UV-B radiation exposed welders, as well as getting the data on age, duration of exposure and the use of Personal Protective Equipment through questionnaires.
The survey results revealed that 90% of workers in the Hull welding workshop complaint of eye fatigue. After analyzing the data, it turns out that the whole welders were exposed to radiation levels generated by the welding process that exceeds a threshold limit value. Analysis of the relationship between the factors that affect workers' complaints eyes fatigue was not visible.
From this study it can be concluded that the measurement of UV-B radiation in Hull workshop exceeds the threshold limit value allowed by PERMENAKERTRANS No. PER.13/MEN/X/2012. For other researchers who want to look at the factors that affect welders complaints eye fatigue, needs to consider the control population.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2012
T40854
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Betty Yosephin
"Sinar ultraviolet B adalah sumber utama vitamin D, tetapi wanita usia subur
yang bekerja di dalam ruangan mempunyai vitamin D yang rendah
meskipun Indonesia negara tropis. Tujuan penelitian ini untuk mengevalua-
si peranan paparan sinar matahari pada wanita usia subur terhadap status
vitamin D dan tekanan darah. Desain penelitian yang digunakan adalah
eksperimen tanpa kelompok kontrol pada 21 wanita sehat. Penelitian ini
membandingkan status vitamin D dan tekanan darah sebelum dan setelah
mendapat paparan sinar matahari pada wajah dan lengan tiga kali seming-
gu selama 12 minggu. Analisis data menggunakan uji t-berpasangan.
Paparan sinar matahari dapat meningkatkan vitamin D. Serum 25(OH)D
meningkat 15,9% dari 15.7 ng/dL menjadi 18,2 ng/dL. Paparan sinar mata-
hari menurunkan tekanan darah sistolik (nilai p = 0,004) dan diastolik (ni-
lai p = 0,011). Ultraviolet B dari sinar matahari 30 menit tiga kali seminggu
selama 12 minggu dapat memperbaiki status vitamin D dan tekanan darah.
Ultraviolet B sunlight exposure is a primary source of vitamin D, but women
of childbearing age who worked in room every day had low serum vitamin
D despite Indonesia is a tropical country. The objective of this study was to
evaluate the role of sun exposure in women of childbearing age on vitamin
D status, and blood pressure. An intervention before-after study without
group control was conducted on 21 healthy women. This study compared
vitamin D status, and blood pressure before and after receiving ultraviolet
B (UVB) from sun exposure on the face and both arms three times a week
for 12 weeks. Anthropometric parameter and blood pressure were mea-
sured, were determined at baseline and after 12 weeks of sun exposure.
The effect of sun exposure can improve vitamin D. Serum 25 (OH)D in-
crease 15.9% from 15.7 ng/dL to 18.2 ng/dL. Sun exposure significantly re-
duced systolic blood pressure (p value = 0.004), and diastolic blood pres-
Peranan Ultraviolet B Sinar Matahari terhadap Status
Vitamin D dan Tekanan Darah pada Wanita Usia Subur
The Role of Ultraviolet B from Sun Exposure on Vitamin D Status and
Blood Pressure in Women of Childbearing Age
Betty Yosephin* Ali Khomsan** Dodik Briawan** Rimbawa
sure (p value = 0.011). Ultraviolet B from sun exposure for 30 minutes, 3
times a week for 12 weeks improves the vitamin D status, and blood pres-
sure."
Jurusan Gizi Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Bengkulu, 2014
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Peningkatan radiasi ultraviolet B berhubungan dengan penipisan ozon di lapisan stratosfer. Akibat dari peningkatan radiasi ini, diprediksi dapat menganggu dan mengancam kestabilan ekosistem di muka bumi. Gangguan yang ditimbulkan dapat mengancam kekurangan pangan karena radiasi UV dapat menurunkan hasil panen dan dapat merusak kekebalan terhadap penyakit pada binatang. Adapun pada manusia bahaya yang timbul berupa gangguan kesehatan, antara lain dapat menimbulkan katarak pada mata, kanker kulit dan mempengaruhi ketahanan tubuh terhadap serangan berbagai penyakit. EPA memperkirakan sebesar 0.3-0.6 pesen peningkatan katarak disebabkan penurunan ozon sekitar 1 persen."
621 DIRGA 7:1 (2006)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>