Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 103119 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Gabriela Ekklesia
"ABSTRAK
Tindak kekerasan yang terjadi terhadap etnis Rohingya di Myanmar telah terjadi
sejak tahun 1970-an dan masih terjadi di tahun 2017. Perdana Menteri Malaysia
Najib Razak menyatakan bahwa tindak kekerasan terhadap etnis Rohingya harus
dihentikan. Malaysia juga mengajak anggota ASEAN untuk mengabaikan prinsip
non-interferensi terhadap isu Rohingya ini. Hal ini menarik untuk ditelaah
mengingat Malaysia merupakan salah satu negara pendiri ASEAN dan pertanyaan
kemudian muncul apakah tanggapan Malaysia terhadap isu Rohingya
menampakkan pergeseran dari norma yang disepakati. Dengan demikian,
pertanyaan penelitian pada tesis ini adalah: Mengapa Perdana Menteri Malaysia
Najib Razak mengabaikan prinsip non-interferensi ASEAN dalam isu Rohingya?
Untuk menjawab pertanyaan penelitian, tesis ini menggunakan teori kebijakan
luar negeri Valerie M. Hudson sebagai dasar dalam menjelaskan penyebab
tindakan dan perkataan seorang pemimpin (agen-oriented) sebagai decision maker
yang dapat mempengaruhi kebijakan luar negerinya. Untuk menjelaskan faktor
penyebab tindakan dan perkataan agen oriented tersebut, maka tesis ini
menggunakan operasionalisasi teori dari Evi Fitriani, yang dijelaskan dalam tiga
faktor; yaitu: motivasi, emosi dan representasi masalah.
Hasil analisis, menunjukkan bahwa Najib Razak memiliki kepentingan pribadi
melalui sikapnya sebagai Perdana Menteri Malaysia terhadap isu Rohingya.
Najib Razak berusaha menjaga eksistensi posisinya sebagai Perdana Menteri yang
sempat tergoyahkan karena tuduhan keterlibatan dirinya dalam kasus 1MDB.
Najib Razak mengkhawatirkan masalah keamanan dengan adanya kasus ini,
karena dengan bertambahnya jumlah pengungsi Rohingya, dapat mengganggu
stabilitas regional keamanan di Asia Tenggara. Selain itu, Najib Razak juga
mengusung tema kemanusiaan dan HAM dalam isu Rohingya ini.
Dengan demikian, Perdana Menteri Najib Razak menunjukkan sikap yang telah
mengabaikan prinsip non-interferensi ASEAN. Hal ini dapat menimbulkan
keretakan dalam tubuh ASEAN dan dapat mengganggu stabilitasnya kawasan,
karena nilai yang diabaikan yaitu prinsip non-interferensi adalah nilai yang
diharapkan dapat menjaga stabilitas institusi ASEAN.

ABSTRACT
Violent acts against Rohingyas in Myanmar have occurred since the 1970s and
still occured in 2017. Malaysian Prime Minister Najib Razak stated that violence
against Rohingyas must be stopped. Malaysia also invites ASEAN members to
ignore the ASEAN non-interference principle on Rohingya issue. This is
interesting to be reviewed as Malaysia is one of the founding countries of ASEAN
not the less the question has arisen whether Malaysia's response to the Rohingya
issue reveals a shift from the agreement.
Thus, this thesis aim at reviewing why Malaysian Prime Minister Najib Razak
neglects the ASEAN non-interference principle in the Rohingyas issue. To do so,
this thesis applies Valerie M. Hudson's foreign policy theory as the basis for
explaining the cause of action and the words of a leader (agent-oriented) as a
decision maker that can influence its foreign policy. In order to explain the cause
and action factor of the oriented agent, this thesis using the theory
operationalization from Evi Fitriani, described in three factors; namely:
motivation, emotion and problem representation.
The results of the thesis analysis indicate that Najib has a personal interest
through his attitude as Prime Minister of Malaysia against Rohingya case. Najib
tried to maintain the existence of his position as Prime Minister who had been
shaken because of his alleged involvement in the case of 1MDB. Najib is
concerned about security issues in this case, as the growing number of Rohingya
refugees can disrupt regional security stability in Southeast Asia. In addition,
Najib also carries the theme of humanity and human rights in Rohingya issue.
Thus, Prime Minister Najib Razak shows an attitude of being an ignorance to the
ASEAN principle of non- interference. This can create problem within ASEAN
institution and can disrupt their stability, because ASEAN non-interference
principles has been neglected which it was the value to maintain the stability of
ASEAN the negligible value of ASEAN non-interference principles is the value
that expected to maintain the stability southeast regional."
2018
T49044
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wariya, Chamil
Selangor: MPH Group Publishing Sdn Bhd, 2009
923.259 5 CHA n (1);959.506 2 CHA n (2)
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Shariff, Datin Omi Habibah
Kuala Lumpur: Ketua Pengarah Jabatan Penerangan Malaysia, 2010
320.959 5 DAT n
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Wariya, Chamil
"Biography of Najib Razak, a Malaysian politician and prime minister since April 3, 2009"
Petaling Jaya: Media Global Matrix, 2009
923.2 CHA n
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Kuala Lumpur: Director-General Information Department of Malaysia, 2011
351.595 NAJ
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Hassan, Mohd. Yusof
Kuala lumpur: Malaysia, 2009
R 320.959 5 MOH n
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
Malaysia: MPH Group, 2010
R 320.959 5 NAJ
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
Hanna Adistyana Hefni
"Sejak berdiri pada tahun 1967, prinsip non-interference atau prinsip yang melarang ikut campur terhadap urusan domestik suatu Negara oleh Negara lain, telah ditetapkan oleh Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) sebagai fundamental norm dalam melaksanakan kerja sama di antara Negara-Negara Anggotanya. Pada tahun 1980an, ASEAN memperluas lingkup kerja samanya ke bidang HAM sebagaimana seruan dari Sidang Umum PBB. Konsep HAM ini kemudian disahkan ASEAN menjadi salah satu prinsip kerja samanya dalam Pasal 2 ayat (2) ASEAN Charter dan menjadikan prinsip ini bersandingan sejajar dengan prinsip non-interference. Nyatanya, pelanggaran HAM yang dilakukan Tatmadaw terhadap masyarakat etnis minoritas muslim Rohingya di Negara Bagian Rakhine dan terhadap warga sipil Myanmar, serta ketidakmampuan ASEAN bertindak menunjukkan ketidakharmonisan dari kedua prinsip tersebut. Untuk menjawab permasalahan ini, tulisan ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan menggunakan bahan hukum primer seperti regulasi internasional maupun nasional, dan bahan hukum sekunder berupa publikasi, kamus hukum, dan pendapat ahli sebagai acuan pembahasan. Hasilnya, prinsip non-interference telah terlalu mendominasi implementasi kerja sama di ASEAN yang menyebabkan pelemahan kepemimpinan ASEAN dan menjadikan ASEAN tidak independen atas Negara-Negara Anggotanya, serta melemahkan penegakan HAM di ASEAN. Ini membuktikan adanya ketidakharmonisan antara kedua prinsip tersebut. Untuk itu, ASEAN perlu melakukan perubahan berupa pembaruan prinsip non-interference yang lebih berkarakter ASEAN, seperti mempertimbangkan gagasan constructive intervention sebagaimana disampaikan Perdana Menteri Thailand Surin. Dengan demikian, ASEAN diyakini akan memiliki kepemimpinan yang kuat dan independen atas Negara-Negara Anggotanya, serta mampu mengharmoniskan implementasi dari prinsip non-interference dengan karakteristik ASEAN dengan prinsip pemajuan dan perlindungan HAM.

Since established in 1967, the principle of non-interference has been set by ASEAN as the fundamental norm in cooperation among its Member States. In the 1980s, ASEAN expanded its cooperation scope to human rights as called by the UN General Assembly. The human rights concept was later adopted by ASEAN as principle of cooperation in Article 2 paragraph (2) of the ASEAN Charter paralleled to the principle of non-interference. In fact, human rights violations committed by the Tatmadaw against the Rohingya Muslim in Rakhine State and Myanmar civilians, as well as ASEAN inability to act on the human rights violations showed the disharmony of these two principles. To answer this problem, this paper uses a normative juridical research method using primary legal materials such as international and national regulations, and secondary legal materials ranging from publications, legal dictionaries, and expert opinions as references. As a result, the principle of non-interference found dominating the implementation of ASEAN cooperation. It also weakened ASEAN's leadership and made ASEAN not independent over its Member States, which led to the weak enforcement of human rights in ASEAN. This proves the disharmony between the two principles. Hence, ASEAN needs to make changes by renewing the principle of non-interference with ASEAN characteristic, such as considering the idea of ​​constructive intervention conveyed by Thai Prime Minister Surin. Thus, it is believed that ASEAN will have strong and independent leadership, and be able to harmonize the principle of non-interference with ASEAN’s characteristics and the principle of human rights."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tobing, Rian Fachmi
"ABSTRACT
ASEAN merupakan sebuah organisasi regional di sebelah tenggara benua Asia yang dibentuk melalui Deklarasi Bangkok 1967. ASEAN memiliki sebuah prinsip penting yaitu Non-Interference Principle, dimana setiap negara anggota tidak boleh melakukan suatu tidakan yang bisa mengganggu kedaulatan negara anggota lainnya. Namun prinsip ini dapt menjadi pertanyaan apabila disangkutkan dengan Hak Asasi Manusia, apa tindakan yang seharusnya diambil oleh negara anggota? ASEAN sebagai organisasi yang dianggap sangat baik dalam banyak hal tidak tinggal diam, perlindungan HAM di ASEAN sebagai organisasi secara menyeluruh dimualai pada tahun 1993 sehingga pada puncaknya yaitu ASEAN Charter 2008. Daripada mengubah prinsip yang sudah puluhan tahun dilaksanakan ASEAN membuat komisi untuk mempromosikan dan melindungi HAM bernama AICHR serta membuat deklarasi tentang HAM melalui ADHR.

ABSTRACT
ASEAN is a regional organization in Southeast Asian established by Bangkok Declaration 1967. ASEAN has an important principle called Non-Interference Principle, where every member states may not conduct any action that might cause interference to the other member’s sovereignty. However, the principle could be questioned if it relates with Human Rights issue, what action should ASEAN member states take? ASEAN, as an organization that deemed very well in handling many issue by international community, not remain silent in protecting Human Rights. As organization ASEAN started pay attention to the issue in 1993 until the ASEAN Charter 2008. Instead of change the principle that has been practiced in decades, ASEAN established a commission to protect and promote Human Rights named AICHR and declared a declaration regarding Human Rights named ADHR."
2014
S56061
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tobing, Rian Fachmi
"ASEAN merupakan sebuah organisasi regional di sebelah tenggara benua Asia yang dibentuk melalui Deklarasi Bangkok 1967. ASEAN memiliki sebuah prinsip penting yaitu Non-Interference Principle, dimana setiap negara anggota tidak boleh melakukan suatu tidakan yang bisa mengganggu kedaulatan negara anggota lainnya. Namun prinsip ini dapt menjadi pertanyaan apabila disangkutkan dengan Hak Asasi Manusia, apa tindakan yang seharusnya diambil oleh negara anggota? ASEAN sebagai organisasi yang dianggap sangat baik dalam banyak hal tidak tinggal diam, perlindungan HAM di ASEAN sebagai organisasi secara menyeluruh dimualai pada tahun 1993 sehingga pada puncaknya yaitu ASEAN Charter 2008. Daripada mengubah prinsip yang sudah puluhan tahun dilaksanakan ASEAN membuat komisi untuk mempromosikan dan melindungi HAM bernama AICHR serta membuat deklarasi tentang HAM melalui ADHR.

ASEAN is a regional organization in Southeast Asian established by Bangkok Declaration 1967. ASEAN has an important principle called Non-Interference Principle, where every member states may not conduct any action that might cause interference to the other member’s sovereignty. However, the principle could be questioned if it relates with Human Rights issue, what action should ASEAN member states take? ASEAN, as an organization that deemed very well in handling many issue by international community, not remain silent in protecting Human Rights. As organization ASEAN started pay attention to the issue in 1993 until the ASEAN Charter 2008. Instead of change the principle that has been practiced in decades, ASEAN established a commission to protect and promote Human Rights named AICHR and declared a declaration regarding Human Rights named ADHR."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>