Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 178805 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Wardhana
"Latar belakang: Enterokolitis nekrotikans EKN merupakan inflamasi pada saluran cerna yang sering terjadi pada bayi prematur. Lactobacillus reuteri merupakan mikroorganisme hidup yang dilaporkan dapat mencegah kejadian EKN, intoleransi minum dan menurunkan angka mortalitas.
Tujuan: Mengidentifikasi kejadian EKN pada bayi prematur yang mendapat Lactobacillus reuteri DSM 17938 dan sekunder kejadian sepsis, intoleransi minum, waktu mencapai full feeding, lama hari perawatan, efek samping dan kematian.
Metode: Uji klinis acak tersamar ganda membandingkan pemberian Lactobacillus reuteri dengan plasebo pada neonatus usia gestasi 28-34 minggu dan berat lahir 1000-1800 gram di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo. Masing-masing kelompok terdiri dari 47 subjek.
Hasil: Kejadian EKN stadium 2 dan 3 didapatkan 3 subjek 6,4 pada kelompok plasebo dan tidak ada ada pada kelompok probiotik RR 1,07 IK 95 0,99-1,15, p=0,24 . Intoleransi minum berupa muntah, kembung, atau keduanya lebih rendah pada kelompok probiotik dibandingkan plasebo 8,5 vs. 25,5 , RR 0,33 IK 95 0,12-0,96, p=0,03 . Proven sepsis pada kelompok probiotik dan plasebo tidak berbeda bermakna 2,1 vs. 6,4 , p=0,62 . Waktu mencapai full feeding dan lama perawatan tidak didapatkan perbedaan bermakna antara kedua kelompok. Efek samping yang diobservasi berupa diare tidak berbeda bermakna antara kedua kelompok 2,1 vs. 4,3 , p=1,00 . Kematian tidak berbeda bermakna antara kedua kelompok 2,1 vs. 8,5 , p=0,36.
Simpulan: Kejadian EKN terjadi pada kelompok plasebo sebesar 6,4 dan tidak ada pada kelompok probiotik. Intoleransi minum secara bermakna lebih rendah pada kelompok probiotik dibandingkan plasebo. Luaran sekunder proven sepsis, waktu mencapai full feeding, lama perawatan, efek samping diare dan kematian tidak didapatkan perbedaan bermakna antara kedua kelompok.

Background: Necrotizing enterocolitis NEC is an inflammatory disorder of the gastrointestinal tract that often occurs in preterm infants. Lactobacillus reuteri is a living microorganism that has been reported to prevent NEC.
Objectives: Identify the NEC prevalence in preterm infants receiving Lactobacillus reuteri DSM 17938 with secondary outcomes including sepsis, feeding intolerance, time to reach full feeding, length of stay, adverse effects, and mortality.
Methods: Double blind randomized controlled trial of Lactobacillus reuteri DSM 17938 versus placebo in 28 34 weeks of gestational neonates and birth weight 1000 1800 grams at Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital. Each group consisted of 47 subjects.
Results The prevalence of NEC stages 2 and 3 were found in three subjects 6,4 of the placebo whereas none occurred in the probiotic RR 1.07, 95 CI 0.99 1.15, p 0.24 . Feeding intolerance vomiting, distension, or both were found to be lower in the probiotic compared to the placebo 8.5 vs 25.5 RR 0.33 95 CI 0.12 0.96, p 0.03. No significant differences were found between both groups for the proven sepsis, time to reach full feeding, length of stay, and adverse effects of diarrhea. Mortality rates were 2.1 in the probiotic and 8.5 in the placebo, p 0.36.
Conclusion 6,4 of the placebo group experienced NEC whereas none occurred in the probiotic group. Feeding intolerance was found to be significantly lower in the group receiving probiotics compared to the placebo group. Secondary outcomes including proven sepsis, time to reach full feeding, length of stay, adverse effect diarrhea , and mortality were also not found to be significantly different between both trial groups.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T57649
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dandan Marthadani
"Latar belakang. Enterokolitis nekrotikan (EKN) merupakan penyakit inflamasi akut pada saluran cerna neonatus, terutama neonatus kurang bulan (NKB). Penyebab terjadinya EKN hingga saat ini belum diketahui tetapi terdapat beberapa faktor risiko yang berhubungan dengan kelainan tersebut.
Tujuan. Mengetahui rerata usia dan faktor risiko terjadinya EKN pada NKB.
Metode. Penelitian ini merupakan penelitian kohort retrospektif berdasarkan data rekam medis NKB yang dirawat selama periode Januari 2017-Desember 2019 di Divisi Neonatologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Analisis faktor risiko menggunakan analisis bivariat dan multivariat.
Hasil. Sampel yang didapatkan sebanyak 160 subyek. Rerata usia terjadinya EKN adalah 11,38 hari. Analisis bivariat didapatkan faktor risiko berat lahir <1500 gr (p=0,006, RR 2,623, IK 95% 1,302-5,282), usia gestasi <32 minggu (p=0,009, RR 2,531, IK 95% 1,246-5,141), dan pemberian antibiotik ≥5 hari (p=0,007, RR 4,831, IK 95% 1,391-16,780) meningkatkan risiko terjadinya EKN. Hasil analisis multivariat pada faktor risiko berat lahir, usia gestasi, pemberian antibiotik, dan jenis nutrisi enteral tehadap terjadinya EKN, tidak didapatkan hasil yang bermakna secara statistik. Faktor prenatal dan intrapartum tidak dapat diketahui karena keterbatasan data.
Kesimpulan. Rerata usia terjadinya EKN adalah usia 2 minggu pertama kehidupan neonatus. Faktor risiko terjadinya EKN bersifat multifaktorial dan terdapat kecenderungan dipengaruhi oleh berat lahir rendah, usia gestasi yang muda, serta pemberian antibiotik ≥5 hari.

Background. Necrotizing enterocolitis (NEC) is an acute inflammatory disease of gastrointestinal tract that commonly occurs in newborns, particularly with preterm birth. To date, the cause of NEC is not known, however several risk factors contribute to the occurrence of this disease.
Objective. To investigate mean age and risk factors of NEC in premature newborns.
Methods. A retrospective cohort study was conducted using secondary data from medical records of premature infants hospitalised since January 2017 until December 2019 in Neonatology Division, Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta. Risk factors was analysed using bivariate and multivariate analysis.
Results. A total of 160 subjects were obtained and analysed. Mean age of NEC occurrance is 11,38 days. Bivariate analysis showed birth weight <1500 gram (p=0,006, RR 2,623, 95% CI 1,302-5,282), gestational age <32 weeks (p=0,009, RR 2,531, 95% CI 1,246-5,141), and antibiotics administration ≥5 days (p=0,007, RR 4,831, 95% CI 1,391-16,780) were associated with increased risk of NEC. However multivariate analysis revealed birth weight, gestational age, antibiotics administration, and enteral nutrition type showed no association with NEC occurrence. Prenatal and intrapartum factors were not studied due to lack of data.
Conclusion. Mean age of occurrence is within the first 2 weeks of life. Risk factors of NEC are multifactorial and tend to be related with smaller gestational age, low birth weight, and antibiotic use ≥5 days.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rafindhra Adhitya Prihastama
"Latar belakang. Bayi kurang bulan merupakan masalah yang masih sering menghantui dunia kedokteran akibat komplikasi jangka pendek, jangka panjang, maupun kematian secara langsung. Salah satu komplikasi yang dapat muncul adalah enterokolitis nekrotikans, sebuah penyakit kegawatdaruratan gastrointestinal bersifat fatal. Enterokolitis nekrotikans sendiri dapat dicegah dengan pemberian ASI, salah satu metodenya adalah meneteskan ASI secara orofaringeal atau biasa disebut sebagai care.
Tujuan. Mengetahui perbandingan antara pemberian oral care dengan kejadian enterokolitis nekrotikans pada bayi kurang bulan, mengetahui sebaran karakteristik subjek penelitian (jenis kelamin, usia gestational, berat lahir, dan usia ibu, mengetahui angka kejadian enterokolitis nekrotikans pada bayi kurang bulan yang mendapat oral care, mengetahui angka kejadian enterokolitis nekrotikans pada bayi kurang bulan yang tidak mendapat oral care, dan mengetahui perbandingan angka kejadian enterokolitis nekrotikans antara bayi kurang bulan yang mendapat oral care dengan bayi yang tidak mendapat oral care.
Metode penelitian. Penelitian dilakukan dengan metode crosssectional komparatif pada bayi kurang bulan yang dirawat di NICU RSCM pada tahun 2016-2017 dengan jumlah total subjek sebanyak 144 orang dan dipilih secara random sampling. Sumber data merupakan rekam medis dan pengambilan data dilakukan selama 6 bulan dari Januari hingga Agustus 2018.
Hasil penelitian. Dari 144 pasien, didapatkan 72 bayi kurang bulan mendapat oral care dan 72 bayi kurang bulan tidak mendapat oral care. Dari kedua kelompok tersebut, ditemukan adanya perbedaan pada masa gestasi (p=0,006) dan berat lahir bayi (p=0.042). Pada 72 bayi kurang bulan yang mendapat oral care, terdapat 19 bayi kurang bulan yang mengalami enterokolitis nekrotikans dan pada 72 bayi kurang bulan lainnya yang tidak mendapatkan oral care, terdapat 9 bayi kurang bulan yang tidak mendapatkan oral care. Perbandingan kedua kejadian enterokolitis nekrotikans pada kedua kelompok tersebut adalah 26.4% banding 12.5%. Dengan menggunakan analisis kategorik, didapatkan hubungan antara oral care dengan kejadian enterokolitis nekrotikans (p=0.036).
Kesimpulan. Terdapat hubungan antara pemberian oral care dengan angka kejadian enterokolitis nekrotikans. Namun penelitian lebih lanjut dengan skala yang lebih besar harus untuk menentukan melihat hasil lebih spesifik dan lebih lanjut mengenai sebab-akibat.

Introduction. Premature infants still pose a big problem in the medicine due to its association with high morbidity and mortality. Necrotizing enterocolitis, or NEC, a gastrointestinal emergency case, is one of the complications that rises from prematurity. NEC can be prevented with breast milk, especially mothers own milk, through oropharyngeal administration, or in other words, oral care.
Objectives. To determine comparison between oral care administration with necrotizing enterocolitis incidence on preterm infants, to determine the distribution of subjects based on characteristic (gender, gestational age, birth weight, and mothers age), to determine the incidence of necrotizing enterocolitis on preterm infants with oral care administration, to determine the incidence of necrotizing enterocolitis on preterm infants without oral care, and to compare the incidence of necrotizing enterocolitis between preterm infant with and without oral care.
Methods. A cross-sectional study was conducted on preterm infants who were treated in Neonatal Intensive Care Unit of Cipto Mangunkusumo Hospital between 2016 and 2017. There were 144 subjects chosen by simple random sampling. Medical record from Perinatology Division was the source of data and data was taken from January until August 2018.
Result. From 144 Premature infant, there were 72 premature infants with oral care and 72 premature infants without oral care. In those two groups, two characteristics, gestational age (p=-0.006) and birth weight (p=0.042), were significantly different. There were 19 preterm infants with oral care and 9 preterm infants without oral care who suffered from necrotizing enterocolitis. The proportion of necrotizing enterocolitis in these two groups is 26.4%:12.5% The difference is significant (p=0.036).
Conclusion. There is a significant association between oral care and the incidence of necrotizing enterocolitis, though further larger studies must be conducted to obtain more detailed results.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Afiffa Mardhotillah
"Latar belakang: Enterokolitis nekrotikans merupakan salah satu komplikasi pada bayi prematur dengan angka mortalitas tinggi. Patogenesis terjadinya enterokolitis nekrotikans hingga kini belum dipahami namun bersifat multifaktorial. Berbagai penelitian mengaitkan enterokolitis nekrotikans dengan transfusi sel darah merah. Salah satu upaya untuk mencegahnya adalah dengan melakukan puasa saat transfusi, namun hingga kini masih bersifat kontroversial. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan puasa saat menjalani transfusi sel darah merah dengan kejadian enterokolitis nekrotikans pada bayi prematur. Metode: Penelitian menggunakan desain studi kohort retrospektif dilakukan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo menggunakan data rekam medis. Bayi prematur yang dirawat di Unit Perinatologi RSCM dalam periode Januari 2019 hingga Desember 2023 dan menjalani transfusi sel darah merah, serta memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi diikutsertakan dalam penelitian. Subyek kemudian dikelompokkan berdasarkan puasa atau tidak puasa saat menjalani transfusi sel darah merah. Diagnosis enterokolitis nekrotikan ditegakkan melalui hasil foto polos abdomen. Dilakukan pula pencatatan terhadap status maternal, usia gestasi, data antropometri saat lahir, skor APGAR usia 5 menit, jenis nutrisi enteral saat dilakukan transfusi sel darah merah. Hasil: Sebanyak 240 bayi prematur yang menjalani transfusi sel darah merah diikutsertakan dalam analisis. Seratus empat puluh empat bayi lelaki (60,0%), dengan rerata usia gestasi 31 (SD 2,69) minggu dan median berat lahir 1.256 (RIK 1.005-1.653) gram. Enterokolitis nekrotikans ditemukan pada 23,75% subyek dan EKN awitan dini lebih banyak ditemukan yaitu sebanyak 54,39% subyek. Proporsi bayi yang dipuasakan mengalami EKN lebih rendah dibandingkan yang tidak dipuasakan (22,09% dan 27,94%). Tidak ditemukan hubungan bermakna secara statistik antara kejadian EKN pada kelompok puasa dibandingkan kelompok tidak puasa saat menjalani transfusi sel darah merah (RR 1,081 (IK 95% 0,913-1,279). Kesimpulan: Puasa saat transfusi sel darah merah tidak memiliki hubungan bermakna secara statistik menurunkan kejadian enterokolitis nekrotikans.

Background: Complications due to prematurity are major problems for premature infants. Necrotizing enterocolitis has been one of the most considered complication with high mortality rate. Pathogenesis of necrotizing enterocolitis yet to be fully understood, however multiple factors were proven to be associated. Transfusion associated necrotizing enterocolitis has been studied in many researches. Withholding feeds during red blood cell transfusion were postulated to decrease the rate of necrotizing enterocolitis in premature infants, however controversy still found among the research published. Objective: This study aimed to evaluate the association between withholding feeds during red blood cell transfusion and incidence of necrotizing enterocolitis in premature infants. Method: We conducted a retrospective cohort study in Cipto Mangunkusumo Hospital. Premature infants admitted from January 2019 to December 2023 who received red blood cell transfusion were selected according to inclusion and exclusion criteria. Subjects were divided into two group by looking at withholding feeds status during transfusion or fed during transfusion. Necrotizing enterocolitis was diagnosed by radiologist using abdominal radiograph. Maternal status, gestational age, birth anthropometric measurement, 5-minutes APGAR score, and type of enteral nutrition (breast milk or formula) while receiving red blood cell transfusion were recorded. Results: Two hundred and forty subjects included in this study. Among all subjects, male infants 144 (60%), mean gestational age was 31 (SD 2,26) weeks, and median birthweight was 1.256 (IQR 1,005-1.653) grams. Necrotizing enterocolitis were slightly lower in withholding feeds during transfusion group compared to fed group (22,09% and 27,94%, respectively). No association was found between withholding feeds during red blood cell transfusion compared to fed during transfusion with incidence of necrotizing enterocolitis (RR 1,081 (95% CI 0,913-1,279). Conclusion: Withholding feeds during red blood cell transfusion did not significantly decrease the incident of necrotizing enterocolitis in this study."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Charles
"Latar Belakang: Enterokolitis nekrotikans (EKN) adalah penyakit peradangan berat pada dinding usus menyebabkan cedera dan nekrosis usus. Foto polos abdomen (FPA) serial masih dianggap sebagai standar diagnosis dan evaluasi penyakit ini, namun pemeriksaan ini tidak akurat dan sering terlambat dalam pelaksanaannya serta mengakibatkan neonatus sangat prematur terpapar dengan radiasi. Karenanya diperlukan alat diagnostik yang lebih aman, non-invasif mudah pelaksanaannya dan akurat. Dua dekade terakhir pemeriksaan ultrasonografi abdomen (USGA) semakin berkembang dan memperlihatkan hasil yang baik dalam diagnosis EKN, akan tetapi penggunaan modalitas ini di Indonesia dan khususnya di RSCM masih belum banyak dilakukan.
Tujuan: Mendapatkan akurasi gambaran ultrasonografi abdomen (USGA) dibandingkan dengan foto polos abdomen (FPA) dalam menegakkan diagnosis EKN pada bayi sangat prematur tersangka EKN.
Metode: Penelitian uji diagnostik potong lintang ini dilakukan pada 40 neonatus sangat prematur berusia antara 28-32 minggu yang dirawat di RSCM Jakarta pada bulan November sampai Desember 2023. Pada Neonatus sangat prematur tersangka EKN yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dilakukan pemeriksaan USGA dan FPA. Kedua hasil pemeriksaan dibandingkan menggunakan tabel kontigensi 2x2. Didapatkan sensitivitas 83% dan spesifisitas 43%. Hasil nilai prediksi positif 38% dan nilai prediksi negatif 86%, dan rasio kemungkinan positif (LR+) 1,45 dan rasio kemungkinan negatif (LR-)  0,39.
Kesimpulan: Ultrasonografi abdomen lebih akurat untuk penapisan (screening) menengakkan diagnosis EKN pada Neonatus sangat prematur dibandingkan foto polos abdomen.

Background: Necrotizing enterocolitis (NEC) is a condition characterized by severe inflammation of the intestinal wall leading to intestinal injury and necrosis. Plain abdominal radiography has long served as the standard for the diagnosis and evaluation of NEC despite its low diagnostic accuracy, impracticality, and the risk this modality poses from exposing neonates to ionizing radiation. Therefore, a safer, non-invasive, easy-to-implement, and more accurate diagnostic tool is necessary for diagnosing NEC. Over the past two decades, knowledge about abdominal ultrasound has developed greatly and has been shown to be an excellent modality in diagnosing NEC. However, in Indonesia this modality is still not widely used for diagnosing NEC, especially at Cipto Mangunkusomo National Public Hospital (RSCM) Jakarta.
Objective: This study aimed to assess the accuracy of abdominal ultrasonography in diagnosing NEC compared to plain abdominal radiography in very premature neonates suspected of NEC.
Methods: A cross-sectional diagnostic test study was conducted on 40 very premature neonates aged between 28-32 weeks, who were treated at RSCM Jakarta from November to December 2023. Neonates suspected of NEC who met the inclusion and exclusion criteria underwent both abdominal ultrasound and plain abdominal radiography. The findings from these two examinations were compared using a 2x2 contingency table to establish the sensitivity and specificity. A sensitivity of 83% and a specificity of 43% were found for abdominal ultrasound. The study also found a positive predictive value (PPV) of 38%, a negative predictive value (NPV) of 86%, a positive likelihood ratio (LR+) of 1.45, and a negative likelihood ratio (LR-) of 0.39.
Conclusion: Abdominal ultrasonography was found to be a more accurate for screening  NEC in very premature neonates compared to plain abdominal radiography.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Siagian, Ira Handayani
"Latar belakang: Necrotizing enterocolitis / enterokolitis nekrotikan (NEC/EKN) adalah masalah serius yang sering terjadi pada neonatus, dengan tingkat insiden dan mortalitas yang tinggi, terutama pada bayi berat lahir yang rendah. Beberapa faktor telah diidentifikasi sebagai berpotensi meningkatkan risiko dan derajat keparahan EKN. Meskipun penelitian sebelumnya telah dilakukan di berbagai negara, belum ada penelitian serupa EKN dilakukan di Indonesia untuk memahami faktor-faktor yang berhubungan dengan EKN.
Metode: Penelitian ini memiliki desain penelitian kohort retrospektif dan dilakukan di Unit Penelitian Kesehatan Neonatologi FKUI-RSCM dengan pengambilan sampel pada periode tahun 2016-2021 dan penulisan hasil penelitian pada Mei 2022-Desember 2023. Populasi target melibatkan neonatus dengan EKN, dengan populasi terjangkau merupakan pasien neonatus dengan derajat EKN I dan II yang diambil pada periode penelitian. Pasien dengan kelainan kongenital saluran cerna atau menjalani operasi lainnya selain tata laksana EKN dieksklusi dari penelitian. Variabel yang dinilai dalam penelitian ini adalah usia kehamilan, jenis kelamin, jenis kelahiran, skor APGAR, berat lahir rendah, sindrom gawat napas, sepsis, kadar C- reactive protein (CRP), pemberian antibiotik, jenis antibiotik, dan penggunaan ventilator.
Hasil: Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara faktor-faktor seperti usia kehamilan, jenis kelahiran, skor APGAR, berat lahir rendah, sindrom gawat napas, sepsis, kadar CRP, pemberian antibiotik, jenis antibiotik, penggunaan ventilator, dan jenis kelamin dengan insiden peningkatan derajat keparahan EKN (p > 0,05) maupun waktu peningkatan derajat keparahan EKN (p > 0,05).
Kesimpulan: Berdasarkan penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa dalam populasi pasien neonatus dengan EKN derajat I dan II di RSCM, faktor-faktor internal dan eksternal yang diteliti tidak berhubungan secara signifikan dengan insiden maupun waktu peningkatan derajat keparahan EKN.

Background: Necrotizing enterocolitis (NEC) is a serious problem that often occurs in neonates, with a high incidence and mortality rate, especially in neonates with very low birth weight. Several factors have been identified as potentially increasing the risk and severity of NEC. Although previous research has been conducted in various countries, there has been no similar study conducted in Indonesia to understand the factors associated with NEC.
Methods: This study has a retrospective cohort study design and was conducted in the Neonatology Research Center Unit, RSCM-FKUI with subject recruitment during the period of 2016 to 2021 and research report written during the period of May 2022 to December 2023. The target population included neonates with NEC, with the accessible population consisting of neonates with NEC I and II. Patients with congenital gastrointestinal tract disorders or those undergoing surgeries other than NEC management were excluded from the study. Variables assessed in this study included gestational age, sex, type of birth, APGAR score, very low birth weight, respiratory distress syndrome, sepsis, C-reactive protein (CRP) levels, antibiotic use, type of antibiotics, and ventilator use.
Results: The study results showed no significant relationship between factors such as gestational age, type of birth, APGAR score, very low birth weight, respiratory distress syndrome, sepsis, CRP levels, antibiotic use, type of antibiotics, ventilator use, and gender with the incidence of an increase in the severity of NEC (p > 0.05) or the time of the increase in the severity of NEC (p > 0.05).
Conclusion: Based on this study, it can be concluded that in the population of neonatal patients with NEC I and II at RSCM, the examined internal and external factors are not significantly associated with the incidence or time of the increase in the severity of NEC.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Charissa Devania Pramita
"Latar Belakang: Sepsis Awitan Dini (SNAD) merupakan salah satu penyebab terbesar mortalitas neonatus prematur. Riset mengenai SNAD mengatakan bahwa ada faktor ibu yang berasosiasi dengan kemungkinan kasus SNAD. Faktor tersebut adalah, paritas, umur ibu, kelahiran Bedah Kaisar, frekuensi kunjungan antenatal, keputihan patologis, infeksi saluran kemih, ketuban pecah dini, leukositosis ibu, dan preklampsia. Meskipun tinggi angka kelahiran prematur di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), belum ada studi yang mempelajari faktor ibu terhadap SNAD di bayi prematur. Sehingga peneliti berusaha untuk membuat riset yang akan menyajikan data deskriptif dari faktor ibu yang berasosiasi dengan SNAD pada bayi prematur di RSCM pada tahun 2020. Metode: Penilitian kohort retrospeltif ini mengumpulkan 101 kasus kelahiran prematur pada tahun 2020 di RSCM. Dengan persetujuan komite etik, data akan dikumpulkan dari rekam medis dan infromasi mengenai faktor ibu akan diulas. Penelitian ini akan melakukan analitik untuk faktor maternal yang berhubungan dengan SNAD. Hasil: Hasil desrkiptif penilitian ini menunjukan, kelahiran Bedah Kaisar(79.2%), paritas primipara (60.4%), Umur ibu diatas 30 tahun (45.5%), Kunjungan antenatal tidak lengkap (8.9%), ketuban pecah dini (40.4%), preklampsi (26.7%), keputihan patologis (44.6%), infeksi saluran kemih (44.6%) dan jumlah leukosit ibu (27.7%). Studi analitik menunjukan bahwa tidak hubungan faktor maternal yang berhubungan bedasarkan statistik secara signifikan dengan SNAD pada bayi prematur. Konklusi: Tidak ada hubungan faktor maternal paritas, umur ibu, kelahiran bedah kaisar, frekuensi kunjungan antenatal, keputihan patologis, infeksi saluran kemih, leukositosis ibu, dan preklampsia, dengan kejadian SNAD pada bayi prematur di RSCM pada tahun 2020.

Background: Early onset Neonatal Sepsis (EOS) is one of the biggest cause of morbidity in neonates, especially premature neonates. Previous researches stated that there are maternal risks that are associated with EOS. These risks are parity, maternal age, route of birth, completion antenatal care, presence of pathological vaginal discharge, urinary tract infection, premature rupture of membrane, maternal leukocytosis and preeclampsia. Despite the high numbers of premature births in CMH, there hasn’t been a study about maternal risks associated with EOS in preterm neonates. Hence the writer proposes a study on EOS on preterm neonates association with maternal risks. Method: This retrospective cohort study is conducted on 101 preterm neonates CMH Neonatal Unit, on the year of 2020. With the approval of the ethics committee, information regarding presence of maternal risk associated is reviewed. Results: The descriptive result of the maternal risk associated with shows caesarean section (79.2%), primiparity (60.4%), advanced maternal age (45.5%), incomplete antenatal care (8.9%), premature rupture of membrane more than 18 hours (40.4%), preeclampsia (26.7%), pathological vaginal discharge (44.6%), urinary tract infection (31.7%), and maternal leukocyte (27.7%). The analytical study shows, none of these maternal risks associated with EOS have statistical significance to preterm neonates with EOS. Conclusion: There is no significance of maternal risk associated with EOS, primiparity, advanced maternal age, incomplete antenatal care, premature rupture of membrane more than 18 hours, preeclampsia, pathological vaginal discharge, UTI and maternal leukocytes to the incidence of EOS in preterm neonates in CMH Neonatal Unit in the year 2020."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmawati Kusumastuti Roosadiono
"Latar belakang: Angka kelahiran dan kesintasan bayi prematur mengalami peningkatan. Prematur memiliki morbiditas 7 kali lipat dari bayi cukup bulan. Gangguan pendengaran merupakan salah satu morbiditas yang masih tinggi insidensnya dengan 6 kasus per 1000 kelahiran di negara berkembang. Deteksi dini dan identifikasi faktor risiko dilakukan agar tidak terjadi keterlambatan diagnosis dan intervensi.
Tujuan: Mengetahui prevalens dan faktor risiko disfungsi auditorik pada bayi prematur.
Metode: Penelitian deskriptif-analitik dengan metode potong lintang dilakukan selama bulan Oktober 2016 sampai Januari 2017 pada bayi prematur usia 48 jam-3 bulan yang dirawat di Divisi Perinatologi Departemen IKA FKUI/RSCM. Sampel dipilih secara consecutive sampling. Pengambilan data dilakukan dengan wawancara orangtua pasien, pengumpulan data retrospektif dari rekam medis, uji tapis DPOAE dan AABR. Analisis bivariat disfungsi auditorik dengan faktor risiko dinilai dengan uji chi-square dan fischer sebagai uji alternatif. Analisis multivariat dilakukan untuk menilai interaksi faktor risiko dengan regresi logistik.
Hasil: Sejumlah 100 subyek memenuhi kriteria inklusi dan sebesar 25 subyek pernah mendapat perawatan intensif. Prevalens disfungsi auditorik pada bayi prematur sebesar 14 . Analisis multivariat faktor risiko yang berhubungan dengan disfungsi auditorik adalah usia gestasi OR 3,824; IK 95 1,109-13,179; p=0,034 . Faktor risiko lain seperti berat lahir, pertumbuhan janin terhambat, hiperbilirubinemia, proven sepsis, pemakaian aminoglikosida, ventilasi mekanik lebih dari 5 hari, nilai Apgar yang rendah, abnormalitas lingkar kepala, riwayat gangguan pendengaran di keluarga tidak memiliki hubungan bermakna dengan disfungsi auditorik.
Simpulan: Prevalens disfungsi auditorik pada bayi prematur sebesar 14 . Usia gestasi merupakan faktor risiko disfungsi auditorik pada bayi prematur."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Juliana Dewi
"Latar belakang: Kelahiran hidup bayi prematur di Indonesia mencapai 675.700 kasus (15.5%) tiap tahun. Peningkatan insidens gangguan minum dan menelan pada bayi ditemukan terbanyak pada kelompok bayi prematur. Dampaknya akan meningkatkan komplikasi pasien berupa infeksi saluran napas, gangguan nutrisi, dan tumbuh kembang. Keadaan tersebut berisiko memperpanjang konversi pemberian makan per oral, perawatan, serta pembiayaan perawatan. Penelitian terdahulu belum melaporkan prevalensi dan karakteristik gangguan menelan serta gangguan koordinasi siklus isap-telan-napas (ITN) sebagai salah satu bentuk gangguan minum pada bayi prematur. Tujuan: Menilai prevalensi ganguan minum dan menelan pada bayi prematur, serta menilai karakteristik dan faktor risiko yang berpengaruh terhadap kemampuan minum dan menelan pada bayi prematur.
Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang pada bayi prematur dengan riwayat perawatan di NICU yang dilakukan Flexible Endoscopic Evaluation of Swallowing (FEES) di Klinik Disfagia Terpadu  Departemen THT-KL RSCM periode Oktober 2020-Oktober 2022. Parameter yang dinilai adalah faktor karakteristik kelahiran, karakteristik paska lahir, karakteristik oromotor dan tonus postural, serta karakteristik pemeriksaan FEES.
Hasil: Prevalensi gangguan menelan sebesar 25% dengan karakteristik temuan disfagia fase oral mekanik, disfagia fase faring neurogenik, dan disfagia fase orofaring neurogenik. Prevalensi gangguan koordinasi siklus ITN sebesar 62,5%. Faktor risiko penyakit refluks gastro esofagus (PRGE) berhubungan dengan gangguan menelan pada bayi prematur (p=0,015) dengan menggunakan uji chi-square. Parameter lain seperti kelompok PMA, high arched palate, standing secretion, nutritive sucking, penetrasi dan aspirasi memiliki hubungan terhadap gangguan menelan pada bayi prematur (p<0,05).
Kesimpulan: Karakteristik gangguan minum dan menelan pada bayi prematur ditemukan prevalensi gangguan koordinasi siklus ITN lebih banyak dibandingkan gangguan fungsi menelan (disfagia). Kelompok PMA, PRGE, high arched palate, standing secretion ditemukan sebagai faktor risiko yang berhubungan dengan gangguan menelan pada bayi prematur. Nutritive sucking, penetrasi, dan aspirasi  ditemukan sebagai faktor menentu diagnosis disfagia pada bayi prematur.

Background: Preterm birth in Indonesia reaches 675,700 cases (15.5%) each year. This condition is the etiologic feeding difficulty and swallowing disorders in preterm babies. The impact will increase patient complications, such as respiratory tract infections, nutritional disorders, and growth and development. It precedes the risk of prolonging the conversion of oral feeding, and treatment, as well as a financial burden related to hospitalization. Previous studies have not reported the prevalence and characteristics of swallowing disorder or dysphagia and suck-swallow-breath (SSB) coordination disorder as a form of feeding difficulty in premature infants.
Objective: To assess the prevalence of feeding difficulty and swallowing disorders in premature babies and analyzed characteristics and risk factors that affect the ability to feed and swallow in premature babies.
Method: A cross-sectional study in preterm babies with a history of treatment in the NICU using a flexible endoscopic evaluation of swallowing (FEES) for swallowing evaluation at the Dysphagia outpatient clinics Department of ORL-HNS RSCM for the period October 2020-October 2022. The parameters assessed were birth characteristics, postnatal characteristics, oro-motor characteristics, and postural tone, as well as FEES examination characteristics.
Results: The prevalence of swallowing disorders was 25% with characteristics of mechanical oral phase dysphagia, neurogenic pharyngeal phase dysphagia, and neurogenic oropharyngeal phase dysphagia. The prevalence of SSB cycle coordination disorders was 62.5%. The risk factor associated with dysphagia in preterm babies was gastroesophageal reflux disease (GERD) with a p-value = 0.015. Other parameters such as post-menstrual age (PMA) group, high arched palate, standing secretion, nutritive sucking, penetration, and aspiration have an association with swallowing disorders in premature infants (p<0.05).
Conclusion: Characteristics of feeding difficulties and swallowing disorders in preterm babies were found to have more prevalence of SSB cycle coordination disorders than impaired swallowing function (dysphagia). The PMA, GERD, high-arched palate, and standing secretion group were found to be risk factors associated with swallowing disorders in premature infants. Nutritive sucking, penetration, and aspiration were found to be the erratic factors of dysphagia diagnosis in premature babies.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Abellia Auriel Ashilah
"Salah satu penyebab utama kematian pada neonatal di Indonesia disebabkan oleh kelahiran prematur. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui determinan kejadian kelahiran prematur di Indonesia. Data berasal dari Riset Kesehatan Dasar Indonesia 2018 dengan menggunakan desain studi potong lintang. Sampel terdiri dari 72.602 anggota rumah tangga perempuan berusia 10-54 tahun dengan status kawin/cerai hidup/cerai mati yang pernah bersalin dan memiliki anak hidup. Analisis menggunakan model uji regresi logistik. Hasil penelitian ini menemukan prevalensi kelahiran prematur di Indonesia sebesar 33%. Hasil penelitian juga menemukan terdapat hubungan antara faktor iatrogenik yaitu preeklampsia (aOR: 1,71; 95% CI: 1,22-2,38), perdarahan antepartum (aOR: 1,39; 95% CI: 1,23-1,57), dan plasenta previa (aOR: 1,30; 95% CI: 1,07-1,57), faktor maternal yaitu frekuensi kunjungan antenatal care (aOR: 1,56; 95% CI: 1,50-1,62) dan kehamilan kembar (aOR: 1,56; 95% CI: 1,33-1,82), faktor riwayat reproduksi ibu yaitu paritas (aOR: 1,07; 95% CI: 1,03-1,11), faktor penyakit dan keadaan kehamilan yaitu hipertensi (aOR: 1,26; 95% CI:1,16-1,37) dan hidromnion (aOR: 1,34; 95% CI: 1,22-1,46), serta faktor sosiodemografi yaitu usia ibu (aOR: 1,04; 95% CI:1,00-1,08) dan daerah tempat tinggal (aOR: 1,21; 95% CI:1,17-1,25). Diharapkan pemangku kebijakan dapat mempertimbangkan faktor-faktor tersebut dalam menurunkan prevalensi kejadian kelahiran prematur di Indonesia.

One of the main causes of neonatal death in Indonesia is preterm birth. This study aimed to determine the risk factors of preterm birth in Indonesia. Data were obtained from the Indonesia Basic Health Research (Riskesdas) 2018 and a cross-sectional design was used. The sample consisted of 72,602 female household members aged 10-54 years with married/divorced status who had given birth and had living children. The logistic regression model was used in the analysis. This study found that the prevalence of preterm birth in Indonesia was 33%. The results showed that there was a relationship between iatrogenic factors e.g., preeclampsia (aOR: 1,71; 95% CI: 1,22-2,38), antepartum hemorrhage (aOR: 1,39; 95% CI: 1,23-1,57), and placenta previa (aOR: 1,30; 95% CI: 1,07-1,57), maternal factors e.g., frequency of ANC visits (aOR: 1,56; 95% CI: 1,50-1,62 ) and twin pregnancy (aOR: 1,56; 95% CI: (1,33-1,82), maternal reproductive history factor, namely parity (aOR: 1,07; 95% CI: 1,03-1,11), disease factors and pregnancy conditions, namely hypertension (aOR: 1,26; 95% CI: 1,16-1,37) and hydromnios (aOR: 1,34; 95% CI: 1,22-1,46), as well as sociodemographic factors e.g., maternal age (aOR: 1,04; 95% CI: 1,00-1,08) and area of residence (aOR: 1,21; 95% CI: 1,17-1,25) Therefore, policy makers should consider these factors to reduce the prevalence of premature births in Indonesia."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia;Fakultas Teknik Universitas Indonesia;Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia;Fakultas Teknik Universitas Indonesia;Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia;Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>