Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 110552 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rinaldi
"Latar Belakang : PJK disebabkan adanya stenosis pembuluh koroner akibat adanya proses aterosklerosis. Aterosklerosis berhubungan dengan penebalan tunika intima media arteri karotis komunis. Penebalan tunika intima media terjadi akibat kondisi inflamasi sebagai konsekuensi peningkatan sekresi sitokin proinflamasi.
Tujuan : Mengetahui gambaran ketebalan tunika intima media pada pasien PJK stabil dan korelasinya dengan derajat stenosis arteri koroner.
Metode : Dilakukan studi potong lintang pada lima puluh enam pasien PJK stabil yang telah menjalani angiografi koroner. Derajat stenosis arteri koroner dinilai dengan skor Gensini > 40 berat dan le; 40 ringan-sedang . Ketebalan tunika intima media arteri karotis komunis dinilai menggunakan alat USG dan dinyatakan tidak normal jika rerata ketebalannya ge;1mm. Dilakukan analisa statistik untuk melihat korelasi antara tebal tunika intima arteri karotis komunis dengan skor Gensini arteri koroner.
Hasil : Didapatkan rerata Tebal Tunika Intima-Media Arteri Karotis Komunis TTIM AKK gabungan sebesar 0,95 mm SB 0,18 . Nilai median skor gensini adalah 71 kisaran 0-256 . Uji spearman correlation menunjukan hasil korelasi bermakna antara derajat beratnya skor Gensini dan TTIM AKK dengan p.

Background Coronary heart disease CHD is caused by stenosis of coronary artery as the effect of atherosclerosis. Atherosclerosis has a correlation with the thicken of intimal media of common carotid artery. The thicken of intimal media of common carotid artery happened because of inflammatory process which is a consequencies of increased proinflammatory cytokines.
Objective To determine the correlation between Intimal media thickness IMT with the severity of coronary artery stenosis in patient with stable CHDMethod A cross sectional study was conducted on fifty six stable CHD patient undergoing coronary angiography. Severity of coronary artery stenosis was evaluated using Gensini scoring system 40 severe and le 40 mild moderate. IMT was measured using USG and determined as abnormal if the mean of IMT ge 1mm. Statistical analytic was perform to determine the correlation between CCA IMT with Gensini score of coronary artery.
Results Mean value of combined IMT of common carotid artery IMT CCA was 0.95mm SD 0,18. The median value of Gensini score was 71 range 0 256. The Spearman correlation Test showed a significant correlation between Gensini score severity with IMT CCA p."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ngantung, Robert Noldy
"Latar Belakang: Jaringan adiposa epikardial (JAE) sebagai jaringan adiposa visera penting peranannya dalam proses aterosklerosis di arteri koroner. Studi sebelumnya menunjukkan ketebalan adiposa epikardial lebih besar pada pasien dengan penyakit jantung koroner (PJK) Tujuan Mengetahui korelasi antara ketebalan adiposa epikardial dengan derajat stenosis arteri koroner pada pasien PJK stabil.
Metode: Dilakukan studi potong lintang pada tujuh puluh pasien PJK stabil yang menjalani angiografi koroner. Derajat stenosis arteri koroner dinilai dengan skor Gensini > 40 (berat) dan ≤ 40 (ringan-sedang). Ketebalan adiposa epikardial dinilai dengan ekokardiografi transtorakal pada fase sistolik akhir tampilan parasternal long axis.
Hasil: Nilai rerata ketebalan adiposa epikardial adalah 5,96 mm (SB 1,76) dan nilai median skor Gensini adalah 35,0 (kisaran 2-126). Analisis bivariat menunjukkan korelasi positif kuat yang bermakna (r = 0,768, p < 0,001). Nilai titik potong terbaik dari ketebalan adiposa epikardial yang memiliki nilai klinis berkaitan dengan derajat stenosis arteri koroner berdasarkan skor Gensini adalah 6,15 mm dengan sensitivitas 85,29%, spesifisitas 83,33%, nilai duga positif 82%, nilai duga negatif 85% dengan AUC sebesar 0,893 (IK 95% 0,814-0,971, p < 0,001).
Simpulan: Ketebalan adiposa epikardial berkorelasi signifikan dengan derajat stenosis arteri koroner berdasarkan skor Gensini. Ketebalan adiposa epikardial 6,15 mm memiliki kemampuan yang cukup baik untuk membedakan pasien PJK stabil ringan-sedang dan berat berdasarkan skor gensini.

Background: Epicardial adipose tissue (EAT) as part of visceral adipose tissue, has an integral role in the atherosclerotic cardiovascular disease. Previous studies have shown that EAT is thicker in those with coronary heart disease.
Objective: To determine the correlation of epicardial adipose thickness with the severity of coronary artery stenosis in stable coronary heart disease (CHD) patient.
Method: A cross-sectional study was conducted on seventy stable CHD patient undergoing coronary angiography. Severity of coronary artery stenosis was evaluated using Gensini scoring system : > 40 (severe) and ≤ 40 (mild-moderate). Epicardial adipose tissue was measured using transthoracic echocardiography at end-systole from parasternal longaxis view.
Results: Mean value of epicardial adipose thickness was 5,96 mm (SD 1,76) and median value of Gensini score was 35,0 (range 2-126). The correlation test showed a significant strong-positive correlation (r = 0,768, p < 0,001). The best cut-off point of epicardial adipose thickness which has a clinical value correlating to severity of coronary artery stenosis based on Gensini scoring system was 6,15 mm with the sensitivity 85,29 %, specificity 83,33%, positive predictive value 82 %, negative predictive value 85 % and AUC of 0,893 (CI 0,814-0,971, p < 0,001).
Conclusion: Epicardial fat thickness is significantly correlated to the severity of coronary artery stenosis based on Gensini scoring system. The thickness cutoff point of 6,15 mm has a good capability in discriminating mild-moderate dan severe stable CHD patient based on Gensini scoring system.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erwin Mulia
"Latar belakang. Perubahan fungsi endotel mendahului proses perubahan morfologi dan berkontribusi terhadap perkembangan lesi aterosklerosis dan progresinya. Evaluasi dengan menggunakan metode non invasif FMD (flow mediated dilation) brakial memberikan informasi inkonsisten mengenai ekstensi dan beratnya aterosklerosis koroner terkait disfungsi endotel. Penelitian ini akan melihat korelasi nilai FMD brakial dengan derajat beratnya stenosis arteri koroner.
Metode. Penelitian ini merupakan suatu penelitian potong lintang. Evaluasi dilakukan pada 85 pasien yang menjalani angiografi koroner elektif di Pusat Jantung Nasional Harapan Kita dan memenuhi kriteria inklusi sejak Januari hingga Oktober 2012. Korelasi nilai FMD brakial dengan beratnya stenosis penyakit arteri koroner (PAK) menggunakan Skor Gensini dinilai dengan analisis regresi linier.
Hasil. FMD brakial memiliki korelasi negatif dengan Skor Gensini (R= -0,227; P= 0,037). Hipertensi memiliki korelasi negatif dengan nilai FMD brakial (R= -0,235; P= 0,032). Jenis kelamin laki-laki memiliki korelasi positif dengan nilai FMD brakial (R= 0,220; P= 0,040).
Kesimpulan. Nilai FMD brakial memiliki korelasi negatif yang lemah dengan Skor Gensini.

Background. Endothelial dysfunction precedes the development of morphological changes and contributes to atherosclerotic lesion development and progression. Evaluation using non invasive method such as brachial FMD (flow mediated dilation) has given inconsistent information for extension and coronary atherosclerotic severity regarding endothelial dysfunction. This research will evaluate the correlation between brachial FMD and severity of coronary artery disease (CAD) stenosis.
Methods. It was a cross sectional study. Evaluations were performed in 85 patients who had followed elective coronary angiography and fulfilled inclusion criteria in National Cardiovascular Center Harapan Kita since January until October of 2012. Correlation between brachial FMD and severity of CAD stenosis (Gensini score) was evaluated using linear regression analysis.
Results. Brachial FMD had negative correlation with Gensini score (R= -0,227; P= 0,037). Hypertension had negative correlation with brachial FMD (R= -0,235; P= 0,032). Male gender had positive correlation with brachial FMD (R= 0,220; P=0,040).
Conclusion. There was weak negative correlation between brachial FMD and Gensini score.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hengky Gosal
"Latar Belakang: Carotid stiffness (CS) merupakan perubahan fungsional pada arteri karotis akibat aterosklerosis. Diabetes mellitus tipe 2 (DMT2) akan mempercepat dan memperburuk aterosklerosis sehingga meningkatkan risiko kejadian kardiovaskular. Sampai saat kini belum ada data di Indonesia tentang CS pada pasien penyakit jantung koroner (PJK) stabil dengan DMT2 yang menggunakan sistem otomatis echotracking ultrasound berbasis frekuensi radio. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan CS pada pasien PJK stabil dengan dan tanpa DMT2.
Metode: Comparative cross-sectional antara kelompok pasien PJK stabil dengan dan tanpa pasien DMT2. Pemeriksaan CS dilakukan dengan posisi pasien berbaring telentang secara non-invasif pada 1 cm sebelum bulbus arteri karotis kiri dan kanan menggunakan automatic echotracking radiofrequency-based ultrasound dengan probe linear 3-13 MHz. Pengukuran CS dilakukan sebanyak enam kali pada masing-masing sisi arteri karotis dengan nilai tertinggi rerata carotid Pulse Wave Velocity (car-PWV) sebagai nilai CS individu.
Hasil: Dari total 42 pasien (21 pasang) yang diperiksa didapatkan nilai rerata car-PWV pasien PJK stabil dengan DMT2 lebih tinggi dibandingkan pasien PJK stabil tanpa DMT2 (9,8±1,3m/s vs 6,7±1,3m/s, p< 0,001).
Kesimpulan: Nilai carotid stiffness pasien PJK stabil dengan DMT2 lebih tinggi dibandingkan pasien PJK stabil tanpa DMT2.

Background: Carotid stiffness (CS) represents the functional changes in carotid arteries due to atherosclerosis. Progression of atherosclerosis was more accelerated in type 2 diabetes mellitus (T2DM) compared to non-diabetic patient, thus increasing the risk of cardiovascular events. Until now there is no data of CS in stable coronary artery disease (CAD) with T2DM in Indonesia using automatic echotracking radiofrequency-based ultrasound. The aim of this study was to compare CS in stable CAD with and without T2DM patient.
Method: Comparative cross-sectional between group of stable CAD with and without T2DM patients. CS was measured in patient lying down non-invasively at 1 cm proximal to bulbus of the left and right carotid artery using automatICechotracking radiofrequency-based ultrasound system, 3-13 MHz linear probe. The highest mean carotid pulse wave velocity (car-PWV) value of six measurements of both side was used as an individual CS.
Result: Total 42 patients (21 pairs) was examined. Mean value of car-PWV stable CAD with T2DM patient is higher than stable CAD without T2DM patient (9.8 1.3 m/s vs. 6.7 1.3 m/s, p<0.001).
Conclusion: Carotid stiffness value of stable CAD with T2DM patient is higher than stable CAD without T2DM patient.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T55967
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tjatur Yoga Utaman
"Untuk mengetahui sejauh mana peranan arteri karotis membantu deteksi dini penyakit jantung koroner, telah dilakukan
penelitian terhadap 200 orang Indonesia yang diotopsi di Jakarta. Dilakukan pemeriksaan indeks ater o sklerosis secara langsung terhadap arteri karotis komunis dan arteri koronaria pada semua golongan umur, jenis kelamin, sosial ekonomi dan suku bangsa. Hubungan antara aterosklerosis arteri karotis dan arteri koronaria dianalisa secara regresi. Juga dilakukan analisa statistik pengaruh umur, jenis kelamin, sosial ekonomi dan suku terhadap aterosklerosis arteri karotis dan arteri koronaria. Sebagai hasil ternyata didapatkan
hubungan yang sangat kuat antara aterosklerosis arteri karotis dengan aterosklerosis arteri koronaria ( r = 0,96 ). Faktor umur saja hanya berpengaruh 42 % terhadap aterosklerosis arteri koronaria. Umur rata-rata saat timbulnya aterosklerosis untuk orang Indonesia adalah 28 tahun. Hanya sosial ekonomi tinggi saja yang berhubungan secara bermakna terhadap aterosklerosis, sedangkan sosial ekonomi sedang dan rendah tidak berhubungan secara bermakna. Jenis kelamin juga tidak berhubungan secara bermakna terhadap aterosklerosis. Sedang faktor suku terhadap aterosklerosis dalam penelitian ini tidak dianalisa karena penyebaran sampel yang tidak merata."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1995
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mala Hayati
"Latar Belakang: Anti dsDNA merupakan salah satu faktor risiko aterosklerosis yang berasal dari LES dan belum ada penelitian yang melihat hubungan antara kadar anti dsDNA dengan ketebalan tunika intima-media arteri karotis. Penelitian ini bertujuan untuk melihat korelasi antara anti dsDNA dengan ketebalan tunik intima-media arteri karotis.
Metode: Penelitian ini adalah penelitian potong lintang, melibatkan 84 pasien LES dengan kriteria inklusi adalah pasie LES yang memenuhi kriteria diagnosis sesuai dengan ACR 1997 atau SLICC 2012, dan kriteria eksklusi adalah bila terdapat variasi anatomi pembuluh darah yang tidak dapat dilakukan pengukuran. Anti dsDNA diperiksa dengan menggunakan ELISA dan USG Doppler dilakukan pada pasien untuk mengukur ketebalan maksimal tunika intima media arteri karotis (max-IMT). Analisa statistik dilakukan dengan uji parametrik Pearson dan bila tidak memenuhi syarat dilakukan uji non parametrik Spearman.
Hasil: Delapan empat responden (82 perempuan dan 2 laki-laki) dilakukan analisa. Rerata usia pasien 35,5±8,9 tahun dengan 64,3% berusia di bawah 40 tahun, median anti dsDNA 38,9 IU/L(0,9 ? 750 IU/L) dan Median max-IMT adalah 581 μm (385-1800 μm). Terdapat 43 (51,2 %) pasien dengan ketebalan pada tunika intima-media arteri karotis, 36 (42,9%) pasien dengan ketebalan saja, 6 (7,1%) pasien dengan ketebalan pada tunika intimamedia dan plak dan 1 (1,2%) pasien dengan plak di near wall bulbus kiri tanpa disertai dengan ketebalan pada tunika intima-media. Plak terutama ditemukan pada bulbus karotis kanan dan kiri. Berdasarkan uji korelasi speraman's tidak terdapat korelasi antara ati dsDNA dengan ketebalan maksimal tunika intima media arteri karotis. (r = 0,073, p= 0,520).
Kesimpulan: Tidak terdapat korelasi antara anti dsDNA dengan ketebalan tunika intima-media arteri karotis pada pasien LES.

Background: Anti dsDNA is considered as one of SLE-related risk factors for atherosclerosis. The evaluation of Carotid intimal-media thickness has recently became one of the surrogate markers for atherosclerosis. Until now, there hasn't been any study relate the level of anti dsDNA antibody with Carotid intimal-media thickness. This study is conducted to determine the correlation between anti dsDNA and Carotid intima-Media Thickness.
Methods: This is a cross sectional study, 84 SLE patients were included. Patients diagnosed as SLE according to ACR 1997 or SLICC 2012 criteria were included in the study, while SLE patients with anatomical variation which difficult to measured were excluded from this study. Doppler ultrasound was carried out for patients and max-IMT was measured. Anti dsDNA was measured with ELISA.
Study results: Eighty four subjects (82 female, 2 male) were included. Mean age was 35,5 ±8,9 years old, 64,3 % between 18-39 years old, median anti dsDNA level 38,9 IU/L (0,9 - 750 IU), and median max-IMT value was 581 μm. There were 43 (51,2 %) patients Carotid intima-media thickness, 36 (42,9%) patients with increased IMT only, 6 (7,1%) patients with increase IMT and Plaque, and 1 (1,2%) patient with plaque in near wall left bulbus without increased IMT. Based on spearman's correlation test there are no correlation between anti dsDNA and max-IMT (r=-0,073, p= 0,520).
Conclusion: There are no correlation between anti dsDNA level and Carotid intimal-media thickness this study.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cindy Cahaya
"Latar Belakang: Penyakit jantung koroner adalah penyakit yang terjadi karena aliran darah ke jantung tersumbat akibat aterosklerosis. Dental kalkulus terjadi sebagai konsekuensi supersaturasi saliva terutama oleh kalsium fosfat. Peningkatan kadar kalsium dalam saliva adalah kharakteristik periodontitis. Hipotesis yang penting dalam kardiologi adalah infeksi kronik berkontribusi pada aterosklerosis.
Tujuan: Menganalisis keterkaitan antara kadar kalsium dan fosfat terhadap akumulasi kalkulus penderita Penyakit Jantung Koroner (PJK).
Metode: Pemeriksaan Kalkulus Indeks pada 60 subjek penderita PJK dan 40 subjek kontrol serta pengambilan sampel saliva dan darah yang kemudian dianalisis di Laboratorium Klinik.
Hasil: Tidak terdapat korelasi bermakna dengan p>0,05 antara kadar kalsium dan fosfat terhadap akumulasi kalkulus pada PJK dan non PJK.
Kesimpulan: Kadar kalsium dan fosfat dalam saliva dan darah penderita PJK tidak berhubungan dengan akumulasi kalkulus. Penelitian lebih jauh perlu dilakukan.

Background: Coronary Artery Disease (CAD) or Coronary Heart Disease (CHD) is a disease that happened because of blood flow being blocked by atherosclerosis. Dental calculus had happened as a consequence of saliva supersaturation by calcium and phosphate. Increasing salivary calcium levels is characteristic of periodontitis patients. An important hypothesis in Cardiology is chronic infections contribute in atherosclerosis.
Objective: To analyse the correlation between calcium and phosphate levels to calculus accumulation on CHD patients.
Method: Calculus index examination on 60 CHD patients and 40 non CHD patient. Collecting saliva and blood serum and then be analysed.
Result: Correlation analysis between calcium and phosphate levels with calculus accumulation in patients with CHD and non-CHD showed no significant p value, p> 0.05.
Conclusion: There are no correlation between calcium levels and phosphate levels with calculus accumulation in CHD patients. Further research need to be done.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Meiny Faudah Amin
"Background: Infeksi Endodontik dapat menjadi faktor prediktor penyakit jantung koroner (PJK) aterosklerosis. Penyakit ini terjadi karena merespon proses inflamatori akibat infeksi bakteri Porphyromonas endodontalis. Beberapa literatur mengatakan bahwa etiologi penyakit kardiovaskular disebabkan infeksi kronik. Diduga bakteri Porphyromonas endodontalis yang ada dalam Infeksi Endodontik (IE) dapat juga menjadi faktor prediktor PJK aterosklerosis. Objective: Mengetahui peran dan potensi IE sebagai faktor predikdi PJK aterosklerosis dan juga peran sitokin inflamatori, IL-1 , IL-6, hsCRP, TNF- dalam kaitannya akan hubungan IE dan PJK aterosklerosis. Method: Dilakukan riset rancangan kasus kontrol dengan mengamati ada terpaparnya IE pada penderita PJK aterosklerosis. Dibagi menjadi kelompok subjek PJK aterosklerosis dengan IE sebagai kasus dan kelompok subjek bukan PJK aterosklerosis dan tanpa IE sebagai kontrol. Subjek dilihat intra oralnya terutama jaringan periapikal dan jaringan periodontal, dicatat faktor-faktor tradisional penyebab PJK serta diukur kadar IL-1 , IL-6, hsCRP, TNF- di dalam darah sirkulasi. Dicatat juga adanya gastritis, psoriosis, dan periodontitis. Results: Dianalisis dengan regresi logistik terlhat ada peran yang potensial (p < 0,041) Infeksi Endodontik sebagai penyebab penyakit jantung koroner aterosklerosis. IL-1, IL-6, dan CRP di dalam darah sirkulasi tidak berbeda bermakna setelah dianalisis denam tes Mann- Whitney, walaupun median setiap kelompok variabel lebih tinggi pada kelompok kasus daripada kontrol. Hanya TNF- yang berbeda bermakna (p < 0,019) setelah danalisis dengan uji-t. Conclusion: Infeksi Endodontik mempunyai peran yang potensial menjadi faktor prediktor penyakit jantung koroner aterosklerosis dan mungkin hanya TNF- yang terlibat dalam mekanisme terjadinya PJK karena IE.

Endodontic infection can be a predictive factor of atherosclerosis coronary heart disease (CHD). This disease occurs because it responds to the inflammatory process caused by infection of Porphyromonas endodontalisbacteria. Several literature state that the etiology of cardiovascular disease is caused by chronic infection. Porphyromonas endodontalis bacteria inside Endodontic Infection (EI) is also assumed to be a predictive factor of atherosclerosis CHD. The purpose of this research is to determine the role and potential of EI as a predictive factor of atherosclerosis CHD as well as the role of inflammatory cytokines, IL-1 , IL-6, hsCRP, TNF- in relation to the relationship of EI and atherosclerosis CHD. This research used a case control design research method by observing EI exposure in atherosclerosis CHD patients. Subjects were divided into atherosclerosis CHD subjects with IE as case and non-atherosclerosis CHD subjects without IE as the control. On the subjects, their intraoral was observed, specifically the periapical tissue and periodontal tissue, the traditional factors causing CHD were recorded and the level of IL-1 , IL-6, hsCRP, TNF- in circulating blood was measured. The presence of gastritis, psoriasis, and periodontitis was also recorded. The results of data analysis in this research with logistic regression showed that there was a potential role (p <0.041) of endodontic infection as a cause of atherosclerosis CHD. IL-1, IL-6, and CRP in circulating blood do not differ significantly after being analyzed by Mann- Whitney test even though the median of each group was higher in the case than the control group. It was only TNF- that was significantly different (p <0.019) after being analyzed by t-test. Therefore, the researcher concludes that endodontic infection has a potential role as a predictive factor of atherosclerosis CHD and probably it is only TNF- that is involved in the mechanism of CHD incidence due to IE."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2020
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Katrin Sumekar
"Latar Belakang: Pasien diabetes melitus tipe 2 menunjukkan peningkatan risiko penyakit jantung koroner dengan kondisi aterosklerosis arteri koroner yang lebih berat. Ketebalan lemak epikardial diperkirakan berhubungan dengan kondisi inflamasi dan derajat stenosis arteri koroner pada pasien DM tipe 2 dengan chronic coronary syndrome (CCS), dimana kadar HsCRP dapat digunakan sebagai penanda inflamasi dan skor Gensini digunakan untuk menilai derajat stenosis arteri koroner.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi antara ketebalan lemak epikardial dengan kadar dan HsCRP derajat stenosis arteri koroner pada pasien DM tipe 2 dengan CCS.
Metode: Studi potong lintang pada 47 pasien DM tipe 2 dengan CCS yang berusia antara 35 sampai 87 tahun dan menjalani angiografi koroner di Laboratorium Kateterisasi Jantung PJT-RSCM. Nilai ketebalan lemak epikardial diperoleh dari hasil pemeriksaan ekokardiografi, skor Gensini dihitung berdasarkan hasil pemeriksaan angiografi koroner, dan kadar HsCRP diperiksa menggunakan metode Imunoturbidimetri.
Hasil: Diperoleh median kadar HsCRP sebesar 1,9 mg/L (RIK 0,8–3,30 mg/L), rerata ketebalan lemak epikardial sebesar 6,06 ± 2,14 mm, dan median skor Gensini sebesar 34 (RIK 14–84). Didapatkan korelasi positif sedang antara ketebalan lemak epikardial dan HsCRP (p<0,05; r = 0,500, namun tidak menemukan adanya korelasi yang bermakna antara ketebalan lemak epikardial dan skor Gensini (p > 0,05).
Kesimpulan: Ketebalan lemak epikardial hanya menunjukkan adanya korelasi yang bermakna dengan kadar HsCRP pada pasien DM tipe 2 dengan CCS, namun tidak dengan derajat stenosis arteri koroner yang dinilai berdasarkan skor Gensini. Jadi dengan memeriksa ketebalan lemak epikardial dengan ekokardiografi kita dapat memperkirakan tingkat inflamasi pada pasien DM tipe 2 dengan CCS

Background: T2DM patients showed an increased risk of CAD with more severe coronary artery atherosclerosis. Epicardial fat thickness (EFT) was presumed to be associated with inflammatory conditions and the severity of coronary artery stenosis in patients with T2DM and CCS, wherein HsCRP levels can be used as an inflammatory marker and Gensini score to quantify the severity of coronary artery stenosis.
Objective: To determine the correlation between EFT and HsCRP levels and the severity of coronary artery stenosis in patients with T2DM and CCS.
Methods: A cross sectional study conducted among 47 patients with T2DM and CCS between the age of 35 to 87 that had underwent coronary angiography at the Heart Catheterization Laboratory of PJT-RSCM. Results of echocardiography was evaluated to determine EFT, while the Gensini score was calculated based on the results of coronary angiography, and HsCRP levels was evaluated using a commercial Immunoturbidimetry kit.
Results: Median HsCRP levels was 1.9 mg/L (IQR 0.8–3.30 mg/L), mean EFT was 6.06 ± 2.14 mm, and median Gensini score was 34 (IQR 14–84). There was a moderate positive correlation between EFT and HsCRP (p < 0.05, r = 0.500), but found no significant correlation between EFT and Gensini score (p > 0.05).
Conclusion: EFT only showed significant correlation with HsCRP levels in patients with T2DM and CCS, but showed no correlation with the severity of coronary artery stenosis that was quantified by Gensini score. So, by echocardiography evaluation of epicardial fat thickness, we could have an estimation of inflamation degree in patients with T2DM and CCS.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yusuf Huningkor
"Latar Belakang: Kadar hsCRP berhubungan dengan mayor adverse cardiac events. Pada PJK stabil, hubungan antara kadar hsCRP dengan skor SYNTAX sebagai gambaran derajat aterosklerosis koroner belum jelas.
Tujuan: Mengetahui hubungan antara kadar hsCRP dengan skor SYNTAX pada penderita PJK stabil, dan mengetahui titik-potong kadar hsCRP yang dapat membedakan antara kelompok skor SYNTAX rendah dengan yang tinggi.
Metode: Observasional potong-lintang pada consecutive 93 subjek penderita PJK stabil dewasa yang menjalani angiografi koroner di RSUPNCM pada bulan Mei sampai September 2018, untuk memperoleh skor SYNTAX. Diambil darah dari arteri perifer sebelum tindakan angiografi untuk pemeriksaan hsCRP dan laboratorium dasar. Dieksklusi penderita infeksi berat, trauma, PGK, sirosis hati, keganasan, pengobatan steroid. Selanjutnya data dikumpulkan dan dianalisis. Skor SYNTAX dikelompokkan tinggi bila > 27, dan rendah bila nilai < 27. Untuk menilai titikpotong kadar hsCRP dipakai uji Sperman karena distribusi data tidak normal.
Hasil: Ditemukan rerata umur 60,23 tahun (SB 8,984), IMT 26,30 Kg/m2 (SB 3,903), kol-LDL 117,74 mg/dL (SB 36,31). Kadar hsCRP dan skor SYNTAX tidak dipengaruhi oleh IMT atau kol-LDL (hsCRP-IMT: r:0,032; p:0,772; skor SYNTAX-IMT: r:-0,021; p:0,849; hsCRP-kol LDL: r:-0,149; p:0,266; skor SYNTAX-kol LDL: r:0,159; p:0,234). Ditemukan korelasi positif lemah hsCRP dengan skorSYNTAX (r:0,270; p:0,009) dan Titik-potong pada kadar hsCRP 2,35 mg/L (sensitifitas 0,69; spesifisitas 0,53). Nilai AUC 0,554, IK 95%, p: 0,472, merupakan diskriminasi yang kurang baik.
Simpulan: Pada penderita PJK stabil, kadar hsCRP berkorelasi positif lemah dengan skor SYNTAX sebagai gambaran derajat aterosklerosis. Kadar hsCRP dengan titik-potong > 2,35 mg/L dapat membedakan kelompok yang mempunyai skor SYNTAX rendah dengan kelompok skor SYNTAX tinggi, namun nilai prediksinya relatif rendah.

Background: High sensitivity C-reactive protein levels are associated with mayor adverse cardiac events. In stable CAD, the association of baseline hcCRP level with coronary atherosclerosis severity assessed by SYNTAX score were not clear.
Objective: To investigate the association between hsCRP level and SYNTAX score in patients with stable CAD, and to know cut-off point of hsCRP level which can differentiated between the group of low SYNTAX score and of high SYNTAX score.
Methods: Cross-sectional observation to the consecutive 93 subject adult patients of stable CAD, undergoing coronary angiography in Cipto Mangunkusumo General Hospital on May to September 2018 to obtain SYNTAX score. The blood tests were taking from pheripheral artery prior to carrying out of coronary angiography to obtain level of hsCRP and laboratory data base. The exclusion were severe infection, trauma, CKD, cirrhosis hepatis, malignancy, and steroid therapy. The SYNTAX score will be differentiated between the group of high if the value > 27, and the group of low if the value < 27. Sperman analysis will be used to evaluate hsCRP cut-off point.
Results: Average age was 60,23 year (SD 8,984), BMI 26,30 Kg/m2 (SD 3,903), and LDL-chol 117,74 (SD 36,31). The Level of hsCRP and SYNTAX score were not influenced by BMI or LDL-chol (hsCRP - BMI: r:0,032; p:0,772; SYNTAX score - BMI: r:-0,021; p:0,849; hsCRP- LDL-chol: r:-0,149; p:0,266; SYNTAX score - LDL-chol: r:0,159; p:0,234). We found positif corelation (weak) between hsCRP and SYNTAX Score (r:0,270; p:0,009). Cut-off point was found in the hsCRP level 2,35 mg/L (sensitivity 0,69; spesivisity 0,53). AUC 0,554, CI 95%, p: 0,472, were the poor discrimination.
Conclusions: There were positif (weak) correlation between hsCRP level and SYNTAX score in stable CAD patients. Cut-off point in the hsCRP level > 2,35 mg/L can differentiated between the group of low SYNTAX score and of high SYNTAX score, but the prediction value is low-grade.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>