Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 183468 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sari Veratiwi
"ABSTRAK
Perkembangan zaman dan teknologi telah memasuki berbagai sektor lini kehidupan di masyarakat Indonesia saat ini, termasuk di dalam bidang pendaftaran tanah. Berbagai pengaturan mengenai pendaftaran tanah telah diundangkan dari waktu ke waktu yang dimana terakhir diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997. Namun demikian, permasalahan pendaftaran tanah masih kerap kita temukan di berbagai wilayah di Indonesia. Salah satu kasus yang dijumpai adalah adanya perbedaan sistem pemetaan yang digunakan oleh Badan Pertanahan Nasional dalam rangka penerbitan sertipikat hak atas tanah khususnya tentang metode pemetaan manual dan digital, dimana pada akhirnya menyebabkan sengketa pertanahan. Sehubungan dengan hal tersebut, dampak yang ditimbulkan salah satunya adalah ketiadaan kepastian hukum bagi penanam modal yang akan berinvestasi di Indonesia yang tentu memiliki dampak domino terhadap perekonomian di Indonesia antara lain ketiadaan pembukaan lapangan kerja, mengurangi pendapatan negara dari sektor pajak dan terhambatnya pemerataan pembangunan dan perekonomian di Indonesia. Setelah dilakukan penelitian oleh penulis, permasalahan pendaftaran tersebut disebabkan oleh karena belum adanya sinkronisasi dan kesamaan sistem pemetaan yang digunakan antar kantor pertanahan di Indonesia. Selain itu, masih belum adanya landasan hukum yang memaksa para pemilik sertipikat hak atas tanah untuk menyesuaikan wilayah dalam sertipikatnya ke dalam sistem pemetaan digital. Dengan masih belum sempurnanya sistem pendaftaran tanah di Indonesia saat ini, maka kehati-hatian dan penelitian yang mendalam sebelum melakukan transaksi pembelian atau akuisisi tanah sangat perlu dilakukan khususnya bagi penanam modal yang akan melakukan kegiatan usahanya di Indonesia. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah melakukan legal due diligence dengan memeriksa secara menyeluruh dan komprehensif seluruh data-data terkait dengan tanah yang akan dibeli.

ABSTRACT
The development of the era and technology has entered various sectors of the Indonesian societies 39 life recently, including in the field of land registration. Various regulations on land registration have been enacted from time to time which was lastly stipulated in the Government Regulation Number 24 of 1997. However, the issues of land registration are still often found in various regions in Indonesia. One of the cases encountered was different of mapping systems used by the National Land Agency for the issuance of land rights certificates, particularly in the transition from manual mapping method to digital mapping methods, which ultimately led to land disputes. In relation to this, one of the impact is the lack of legal certainty for investors who are going to invest in Indonesia which may raise a domino effect on the economy in Indonesia, among others, the absence of job openings, the reduction of state revenues from the tax sector and stranded the equity of development and economy in Indonesia. After conducting research by the writer, the registration issues may be caused by the lack of synchronization and harmonization of mapping system used among land offices in Indonesia. Furthermore, there is still no legal basis which forces the owners of land titles certificates to adjust the territory in their certificates into the digital mapping system. With the incomplete of the land registration system in Indonesia nowadays, prudent and thorough research prior to entering into a transaction of land purchase or acquisition is necessary to be conducted, especially for investors who will carry out their business activities in Indonesia. One of the ways that can be done is to do legal due diligence by checking thoroughly and comprehensively all the data related to the land to be purchased."
2017
T49148
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marindi Cintyana
"Girik adalah alat bukti tanda membayar pajak. Sebelum berlakunya UUPA, hukum tanah yang berlaku bersumber hanya hukum adat. Girik digunakan oleh pemilik tanah sebagai tanda bukti hak atas tanah, karena hanya pemilik tanah yang wajib membayar pajak. Dengan berlakunya Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok- Pokok Agraria terjadi perubahan secara fundamental di bidang hukum tanah dan hak- hak perorangan atas tanah yang berlaku di Indonesia. Namun pada kenyataannya masih banyak masyarakat di Indonesia terutama di Jakarta yang menganggap Girik adalah bukti kepemilikan hak atas tanah. Girik tidak kuat untuk menjadi alat bukti kepemilikan hak atas tanah apabila terjadi sengketa di Pengadilan. Oleh karena itu perlunya sosialisasi dari pihak pemerintah untuk memberitahukan kepada masyarakat bahwa alat bukti kepemilikan hak atas tanah yang sah adalah berupa Sertipikat, bukanlah Girik. Banyak masyarakat yang belum mengerti apa yang dimaksud dengan Girik, karena didalam literatur ataupun Perundangundangan mengenai pertanahan sangatlah jarang dibahas dan dikemukakan. Tanah Girik bukan merupakan bentuk kepemilikan hak sesuai dengan UUPA, melainkan hanya bukti pembayaran pajak tanah saja. Namun demikian , Petuk Pajak Bumi/ Landrentee, Girik, Pipil,Verponding Indonesia ini adalah salah satu bukti tertulis yang dapat didaftarkan sesuai dengan PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Seperti permasalahan dalam penulisan tesis ini mengenai sengketa tanah girik yang telah mendapat putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 166/PDT.G/2012/PN.JKT.PST. pemilik dari Girik C nomor 1349 tidak dapat membuktikan kepemilikannya yag sah di pegadilan, karena kurangnya alat bukti yang lain. Girik dapat menjadi alat bukti kepemilikan hak atas tanah dengan didukung alat bukti yang lain yang menguatkan. Oleh sebab itu, perlunya sosialisasi yang dilakukan pemerintah agar masyarakat melakukan pendaftaran pertama kali atas tanah yang masih berstatus hak milik adat.

Girik is proof of payment of tax. Before Act Number 5 of 1960 regarding Agrarian Law, the prevailing law on land was bassed on common law. Girik used by the land owner as a proof of the land, because only a landholder who is obliged to pay taxes. Since Act Number 5 Year 1960 regarding Agrarian Law promulgated, land law and personal rights on land in Indonesia fundamentally changed.. In fact, Some of Indonesian people especially in Jakarta still thought that Girik is an evidenceof land ownership. Because of that, need for socialization of the government to tell people that the proof of ownership land rights is a Sertipikat. Many people do not understand what is referred about Girik, because in literature or regulations of land is very rarely discussed and presented about that.Girik certificate is not propietary right as pointed out in Basic Agrarian Law (UUPA). It only indicates tax payment receipt. Nevertheless, there are other [less formal] land certificate of Petuk Pajak Bumi, Landrentee, Girik, Pipil, verponding Indonesia that can serve as written evidence for land registration as provided for in Government Regulation (PP) No.24 of 1997 concerning Land Regisration. Shown in land dispute case on Court of Central JakartaDecision Number 166/Pdt.G/2012/PN.JKT.PST. This research uses a method of a descriptive analysis with yuridis normative approach."
2015
T43965
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Audry Zefanya
"Pada praktiknya, peralihan hak atas tanah tersebut mengalami konvergensi antara keberlakuan hukum agraria nasional dalam Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (“UUPA”) serta peraturan-peraturan pelaksananya. Salah satu problem yang muncul ialah berkaitan dengan perlindungan hukum bagi pemegang hak atas tanah yang didapatkan melalui proses hibah yang dilakukan tanpa akta pejabat pembuat akta tanah (PPAT) dan terjadi pada kurun waktu sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (“PP Pendaftaran Tanah”). Dengan demikian, tesis ini hendak meneliti berkaitan dengan: (a) bagaimana hukum agraria Indonesia mengatur mengenai peralihan hak atas tanah melalui proses hibah yang dilakukan tanpa akta PPAT dan (b) bagaimana perlindungan hukum bagi pemegang hak atas tanah yang didapatkan melalui proses hibah yang dilakukan tanpa akta PPAT dan terjadi pada kurun waktu sebelum berlakunya PP Pendaftaran Tanah. Adapun terhadap penelitian yang ada berikut menggunakan pendekatan studi kasus terhadap Putusan Pengadilan Negeri Limboto Nomor 2/Pdt.G/2021/PN.Lbo. Dari penelitian ini, ditemukan bahwa UUPA memuat hibah atau penghibahan sebagai salah satu perbuatan yang ditempuh untuk memindahkan hak milik. Kebiasaan ini dikristalisasi sebagai hukum yang hidup dan, melalui sinkretisme hukum, dipadukan oleh hakim kepada konteks UUPA mengenai hibah (yang seharusnya harus dengan akta PPAT, tetapi menjadi tidak perlu dalam konteks sengketa Putusan Pengadilan Negeri (PN) Limboto No. 2/2021). Berlandaskan hal ini, surat penyerahan hibah tanpa akta PPAT pun dianggap oleh hakim sebagai persetujuan yang kemudian mengikat bagi pihak yang membuatnya dan sah di mata hukum.

In practice, the transfer of land rights experienced a convergence between the application of national agrarian law in Law (UU) Number 5 of 1960 concerning Basic Agrarian Regulations (“UUPA”) and its implementing regulations. One of the problems that arise is related to legal protection for holders of land rights obtained through a grant process which is carried out without a certificate of land certificate maker (Land Deed Official or Pejabat Pembuat Akta Tanah-“PPAT”) and occurred in the period before the enactment of Government Regulation Number 24 of 1997 concerning Land Registration (“Government Regulation on Registration land"). Thus, this thesis aims to examine: (a) how Indonesian agrarian law regulates the transfer of land rights through a grant process carried out without a PPAT deed and (b) how legal protection for land rights holders is obtained through a grant process carried out without PPAT deed and occurred in the period before the enactment of the PP on Land Registration. As for the existing research, the following will use a case study approach to the Limboto District Court Decision Number 2/Pdt.G/2021/PN.Lbo. From this research, it was found that UUPA contains grants or grants as one of the actions taken to transfer property rights. This custom was crystallized as a living law and, through legal syncretism, was integrated by judges into the context of UUPA regarding grants (which should have been with the PPAT deed, but became unnecessary in the context of the disputed Limboto District Court Decision No. 2/2021). Based on this, the grant submission letter without the PPAT deed is also considered by the judge as an agreement which is then binding on the party who made it and is legal in the eyes of the law."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
U. Indrayanto
"Pemerintah memerlukan data penguasaan tanah untuk perencanaan pembangunan dan pelaksanaannya. Dalam rangka menunjang keperluan Pemerintah itu, diselenggarakan inventarisasi yang dikenal dengan kegiatan Pendaftaran Tanah. Tujuannya adalah bidang-bidang tanah yang dikuasai dengan sesuatu hak dan dikenal dengan tanah hak atau persil yang kemudian diukur, dipetakan dan diselidiki proses penguasaan oleh pemegang haknya. Hasilnya berupa peta dan daftar yang memberikan penjelasan mengenai siapa pemegang haknya, letaknya, luas dan lain sebagainya. Tujuan pendaftaran tanah adalah untuk menjamin kepastian hukum yang meliputi: kepastian hukum mengenai orang/badan hukum yang menjadi pemegang hak (subyek hak); kepastian hukum mengenai lokasi, batas serta luas suatu bidang tanah hak (obyek hak); dan kepastian hukum mengenai hak atas tanahnya. Kepastian subyek dan obyek hak diperlukan untuk penyelenggaraan sistem keterbukaan/pengumuman mengenai hak atas tanah atau sistem publisitas. Pemerintah telah memiliki undang-undang yang mengatur tentang pertanahan/agraria yang biasa disebut Undang-Undang Pokok Agraria. Dari undang-undang ini telah menghasilkan peraturan pemerintah di bidang pendaftaran tanah yakni PP nomor 10 tahun 1961 dan kemudian disempurnakan oleh PP nomor 24 tahun 1997. Dari kedua PP ini bila ditinjau dari produk penerbitan sertifikat terdapat perbedaan yang signifikan, yang menandakan bahwa adanya perubahan pengaturan tentang pendaftaran tanah ke arah yang lebih baik."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T15427
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syarifah Dalilah Albar
"Adanya pemalsuan identitas dalam jual beli tanah, menjadikan perlu adanya suatu perlindungan hukum yang kuat bagi pemilik tanah. Permasalahan pemalsuan identitas saat dilakukannya pembuatan akta jual beli tanah dihadapan PPAT, membuat pihak sebenarnya yang identitasnya dipalsukan mengalami kerugian materiil dan immateriil. Seperti dalam Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor 317/Pdt/2020/PT DKI, hakim justru mengabulkan gugatan dari penggugat selaku pembeli dari tanah, yang sebelumnya merupakan milik dari tergugat yang identitasnya dipalsukan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian Doktrinal, artinya penelitian ini dilihat dari keseluruhan data sekunder hukum untuk menjawab permasalahan mengenai perlindungan hukum bagi pemilik tanah yang kehilangan hak nya berdasarkan Peraturan Pemerintah 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah jo. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 dan Undang-Undang 27 Tahun 2022 tentang perlindungan data pribadi, dan pertimbangan hakim dalam putusan Nomor 317/Pdt/2020/PT DKI yang tidak membatalkan peristiwa jual beli yang berdasarkan pemalsuan identitas, serta peran dan tanggung jawab PPAT untuk mencegah terjadinya pemalsuan identitas. Hasil dari penilitian ini adalah bahwa Peraturan Pemerintan Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, telah memberikan perlindungan hukum yang bersifat preventif, sehingga perlu adanya perubahan yang mengatur mengenai sanksi-sanksi yang tegas terhadap penyalahgunaan identitas dalam peralihan hak atas tanah. Hakim seharusnya dalam memutuskan suatu perkara tidak hanya melihat pada satu permasalahan dan alat bukti saja, melainkan seharusnya melihat kepada seluruh aspek yang ada dalam suatu perkara. PPAT dalam jabatannya juga berperan untuk memberikan penyuluhan hukum, dan mencocokan identitas para pihak dengan yang asli dalam pembuatan akta, serta menolak pembuatan akta, jika diketahui ada itikad tidak baik dari para  pihak yang akan ada dalam akta tersebut, sehingga permasalahan seperti ini tidak terjadi lagi dimasa yang akan datang.

Legal Protection for Landowners Due to IdentityFalsification Based on PP 24/1997 concerning Land Registration and Law Number 27 of 2022 concerning Protection of Personal Data (Analysis of DKI Jakarta High Court Decision Number 317/Pdt/2020/PT DKI) The existence of falsification of identity in buying and selling land, makes it necessary to have a strong legal protection for land owners. The problem of falsification of identity when the sale and purchase deed of land was carried out before the PPAT, caused the real party whose identity was falsified to suffer material and immaterial losses. As in the Decision of the DKI Jakarta High Court Number 317/Pdt/2020/PT DKI, the judge actually granted the plaintiff's claim as the buyer of the land, which previously belonged to the defendant whose identity was falsified. This study uses a doctrinal research method, meaning that this research is viewed from all legal secondary data to answer questions regarding legal protection for landowners who have lost their rights based on Government Regulation 24 of 1997 concerning Land Registration jo. Government Regulation Number 18 of 2021 and Law 27 of 2022 concerning personal data protection, and judges' considerations in decision Number 317/Pdt/2020/PT DKI which do not cancel buying and selling events based on identity falsification, as well as PPAT's roles and responsibilities for prevent identity fraud. The result of this research is that Government Regulation Number 24 of 1997 concerning Land Registration has provided preventive legal protection, so there is a need for changes to regulate strict sanctions against identity abuse in the transfer of land rights. Judges should not only look at one problem and evidence in deciding a case, but should look at all aspects of a case. The PPAT in his position also has the role of providing legal counseling, and matching the identity of the parties with the original in making the deed, and rejecting the making of the deed, if it is known that there is bad faith from the parties that will be in the deed, so that problems like this do not happen again in the future.

 

Key Words: Legal Protection of Land Owners, Deed of Sale and Purchase of Land, Officers who make Land Deeds, False Identity."

Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lutfiah
"Pemerintah Indonesia pada tanggal 15 April 2015 menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2015 dan peraturan pelaksananya yaitu Peraturan Menteri Agraria Nomor 29 Tahun 2016, yang mengatur ketentuan mengenai syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh WNA dalam pemilikan satuan ruamh susun. dengan adanya ketentuan yang memberikan syarat kepada WNA, dalam tesis ini dibahas tentang Kepemilikan tanah dan bangunan atas satuan rumah susun oleh WNA yang berkedudukan di Indonesia dengan mengkaji dan menganalisa PP No. 103/2015 dan Permen No.29/2016 dikaitkan dengan UU No. 5 /1960 tentang Peraturan Dasa Pokok-Pokok Agraria dan peraturan lain yang berkaitan. Sehingga dapat ditarik kesimpulan apakah PP No.103/2015 dan Permen No.29/2016 ini telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia ataukah belum.

Indonesia's Government on April 15th 2015 is enacted Government Regulation No.103 2015 on Ownership og Dwelling of Residency House By Foreign Persons Domiciled In Indonesia and Subordinate legislation is enacted by The Ministry of Agrarian and Spatial Planning Affairs Regulation No.29 2016, is stipulated the condition of foreigners based in Indonesia concerning to completed the requirement of the ownership of land and building right on Apartments. According the requirement on the ownership of apartments, in this thesis is discussed and analyzed the government regulation No.103 2015 and The Ministry of Agrarian Regulation No.29 2016 in related to Law No. 5 1960 on Basic Agrarian Law. and others Law and regulation related to term and condition the ownership of apartments and foreigners. thereby, it would have concluded that the government reglation No.103 2015 and The Ministry Regulation No.29 2016 is connected to Indonesia's Law or not."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
T49288
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adi Kurniawan
"

Pendaftaran tanah di Indonesia jika dilihat dalam penerapan sistem publikasinya tidak memberikan suatu jaminan kepastian dan perlindungan hukum kepada pemilik hak atas tanah. Diberikannya sertipikat sebagai tanda bukti hak atas tanah, berdasarkan Pasal 32 ayat (2) PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, adanya kesempatan untuk diajukan keberatan atau gugatan terhadap terbitnya sertipikat. Tidak adanya jaminan atas kebenaran data yang disajikan dalam sertipikat, menyebabkan data yang disajikan dalam buku tanah bermakna ganda, bisa dipercaya sebagai data yang benar dan bisa sebaliknya. Persoalan tentang penjaminan kebenaran data yang disajikan adalah menjadi lingkup dari sistem publikasi dalam pendaftaran tanah. Dijaminnya kebenaran data yang disajikan dalam sertipikat bisa dikatakan sebagai bentuk nyata dari adanya kepastian hukum dan perlindungan hukum yang diberikan oleh Negara kepada pemilik hak atas tanah yang namanya tercatat dalam sertipikat. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif, dengan tipologi penelitiannya adalah eksplanatoris, dan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Penelitian ini menyimpulkan bahwasanya sistem publikasi negatif bertendensi positif sebagaimana penjelasan Pasal 32 ayat (2) PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah bisa dikatakan sebagai bentuk kontra produktif dari tujuan dilaksanakannya pendaftaran tanah yaitu untuk menjamin kepastian dan memberikan perlindungan hukum. Adanya kesempatan untuk mengajukan keberatan dan gugatan terhadap penerbitan sertipikat, menjadi kelemahan yang nyata dari sistem publikasi yang berlaku saat ini. Oleh karena itu berlakunya sistem publikasi negatif bertendensi positif saat ini, dirasakan perlunya melakukan suatu pergerakan untuk menuju kearah sistem publikasi positif, untuk mewujudkan kepastian hukum serta pemberian perlindungan hukum kepada pemilik hak atas tanah yang namanya tercantum dalam sertipikat. Saran yang dapat disampaikan adalah perlu dibangunnya political will dari pemerintah untuk merubah suatu sistem publikasi dalam pendaftaran tanah yang sudah berlangsung sejak lama. Sepatutnya, Negara sebagai otoritas yang diberikan mandat oleh Undang-Undang untuk melakukan kegiatan pendaftaran tanah, bertanggung jawab penuh terhadap kebenaran dan keberlakuan dari sertipikat sebagai tanda bukti hak atas tanah.

 


Registration of land in Indonesia if it is viewed in the implementation of the publication system does not provide a guarantee of certainty and legal protection to the owner of the land rights. The granting of certificate as a proof of land rights, pursuant to Article 32 paragraph (2) of Government Regulation Number 24 of 1997 concerning Land Registration, provides an opportunity to submit an objection or lawsuit against the issuance of a certifiate. The lack of assurance of the correctness of the data that presented in the certificate, causing the data that presented on the land book are ambigous, untrustworthy as the correct data and vice versa. The main issue of ensuring the truth of the data that presented, is the scope of the publication system in land registration. Ensuring the correctness of the data presented in the certificate can be regarded as a real form of the legal certainty and legal protection granted by the State to the land owners whose names are listed in the certificate. The research method used in this research is normative juridical research, with research typology is explanatory, and the data used in this research is secondary data. This study concluded that, the negative publication system with positive tendency as explained in Article 32 paragraph (2) of Government Regulation Number 24 of 1997 concerning Land Registration, can be regarded as a form of counter-productive from the purpose of the implementation of land registration that is to guarantee the certainty and provide the legal protection. There is still an opportunity to raise objections and a lawsuit against the issuance of a certificate, in fact that become a real weakness of the current publication system. Hence, the enactment of the negative publication system with positive tendency nowadays, it is necessary to make a move towards the positive publication system, to ensure the legal certainty and to provide the legal protection to the owner of land rights whose name is listed in the certificate. Suggestions that can be delivered is the need to build a political will from the government to change the publication system in land registration that has been going on since long. Appropriately, the State as an authority granted by the law to carry out land registration activities, is fully responsible for the truth and the validity of the certificate as a proof of land rights.

"
2018
T52650
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Meka Azzahra Larasati
"Sebagaimana yang dinyatakan dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata
Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 6 Tahun 2018 tentang
Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap, Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap yang selanjutnya disingkat PTSL adalah kegiatan Pendaftaran Tanah untuk pertama kali yang dilakukan secara serentak bagi semua obyek Pendaftaran Tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia dalam satu wilayah desa/kelurahan atau nama lainnya yang setingkat dengan itu, yang meliputi pengumpulan data fisik dan data yuridis mengenai satu atau beberapa obyek Pendaftaran Tanah untuk keperluan pendaftarannya. Program ini digadang-gadangkan sebagai pendaftaran
tanah yang gratis atau tanpa pungutan biaya. Namun, pada kenyataannya tidak seperti itu. Seperti yang terjadi di Kelurahan Bukit Duri, Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan, banyak warga yang mengeluhkan bahwa pengajuan PTSL mereka ditolak. Adapun yang menjadi alas an penolakan pengajuan penerbitan sertifikat tanah warga tersebut salah satunya adalah masalah status tanah eks-kotapraja.
Dari latar belakang permasalahan tersebut didapatkan dua pokok permasalahan yakni yang pertama adalah bagaimana ketentuan yang mengatur tentang pendaftaran tanah eks-kotapraja dalam rangka PTSL di Jakarta Selatan, dan yang kedua adalah bagaimana implikasi pengaturan mengenai tanah eks-kotapraja dalam pelaksanaan PTSL. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Hasil penelitian menunjukan bahwa adanya pengaturan mengenai tanah eks-kotapraja berimplikasi dalam kegiatan pelaksanaan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap. Mengingat bahwa seperti yang disebutkan sebelumnya bahwa tujuan pendaftaran tanah adalah untuk
menjamin kepastian hukum sehingga tercipta perlindungan hukum bagi pemegang hak, hal ini tidak dapat dilaksanakan karena masyarakat yang memiliki tanah ekskotapraja kemudian mendaftarkannya melalui PTSL, maka akan terhambat prosesnya akibat diharuskan terlebih dahulu untuk membayar retribusi agar terbit rekomendasi dari Gubernur DKI Jakarta, sehingga tidak terjamin kepastian hukum atas pemilik tanah eks-kotapraja.
As stated in the Regulation of the Minister of Agrarian Affairs and Governance
Room/Head of the National Land Agency Number 6 of 2018 concerning
Complete Systematic Land Registration, Complete Systematic Land Registration, hereinafter abbreviated as PTSL, is a Land Registration activity for the first time which is carried out simultaneously for all Land Registration objects throughout the territory of the Republic of Indonesia in one village/kelurahan area or other names of the same level, which include collection of physical data and juridical data regarding one or several objects of Land Registration for the purposes of its registration. This program is predicted as registration
free or free land. However, in reality it is not like that. As happened in Bukit Duri Village, Tebet District, South Jakarta, many residents complained that their PTSL applications were rejected. One of the reasons for the refusal to apply for the issuance of the residents' land certificates was the issue of the status of the ex-municipal land.
From the background of these problems, two main problems were obtained, namely the first is how the provisions governing the registration of ex-municipal land in the context of PTSL in South Jakarta, and the second is how the implications of regulations regarding ex-municipal land in the implementation of PTSL are. The method used in this research is normative legal research. The results of the study indicate that the regulation regarding ex-municipal land has implications for the implementation of Complete Systematic Land Registration. Bearing in mind that as previously mentioned that the purpose of land registration is to guaranteeing legal certainty so as to create legal protection for rights holders, this cannot be implemented because people who own exkotapraja land then register it through PTSL, the process will be hampered due to being required to first pay a levy in order to issue a recommendation from the Governor of DKI Jakarta, so there is no guarantee of certainty law on ex-municipal land owners."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Michael Wisnoe Barata
"Tesis ini membahas mengenai Kepemilikan Hak-Hak atas Tanah bagi Warga Negara Asing yang ditinjau dari Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) dan Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan. Kewarganegaraan ganda artinya adalah seseorang selain mempunyai kewarganegaraan Indonesia, juga mempunyai kewarganegaraan negara lain (asing). Hal ini dapat terjadi karena adanya perkawinan campuran antara warga negara Indonesia (WNI) dengan warga negara asing (WNA), yang mana menyebabkan anak-anak keturunan mereka akan mempunyai kewarganegaraan ganda. Apabila anak hasil dari perkawinan campuran tersebut tetap menginginkan kewarganegaraan Indonesia-nya tidak hilang, anak-anak keturunannya juga tetap sebagai warga negara Indonesia, dan agar dapat memiliki tanah yang berstatus Hak Milik atau Hak Guna Bangunan, maka harus diperlakukan sebagai seorang WNI sampai berusia 18 tahun, apabila nanti ingin melepaskan WNI-nya barulah Sertipikat Tanah-nya gugur dan kembali ke Negara.

This Thesis discusses the Ownership Rights of Land for foreign citizens in terms of Act No 5 Year 1960 on Basic Agrarian Principles and Law No. 12 Year 2006 on Citizenship. Dual citizenship, meaning that the person has Indonesian nationality and also has the citizenship of other countries (foreign). This can occur because of mixed marriages between Indonesian citizens (WNI) by foreign nationals (WNA), which led to the children of their offspring will have dual citizenship. If the child is the result of mixed marriages still wants his Indonesian citizenship, and children are also descendants remain as a citizen of Indonesia, and in order to have leased hold land Ownership or Right to Build, then it should be treated as a citizen until the age of 18 years, if he wants to release its citizenship then Land Certificates will fall back to the State."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T29244
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Esse Herliyani
"Tanah tumbuh adalah tanah yang terbentuk karena faktor sendimentasi yaitu terjadi karena adanya endapan. Dimana endapan-endapan yang berupa pasir dan lumpur dibawa oleh aliran air laut menuju ke daratan kemudian ombak tidak sepenuhnya mencapai bibir pantai ataupun endapan-endapan yang dibawa oleh aliran air sungai dari hulu dan bermuara ke laut yang tertahan oleh vegetasi mangroove maka lama kelamaan terbentuklah tanah tumbuh. Tanah tumbuh dapat pula terbentuk oleh bantuan manusia yaitu dengan cara menanam patok-patok dari bambu yang diikat oleh kawat guna menahan aliran air laut yang membawa endapan-endapan tersebut. Tanah tumbuh merpakan Tanah negara yang masih kosong atau murni yang dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh masyarakat ataupun oleh negara. Untuk tanah tumbuh di Kelurahan Kesenden Kecamatan Kejaksan Kota Cirebon dapat dimohonkan kepemilikannya dengan melakukan pendaftaran tanah ke Kantor BPN Cirebon yang akan diterbitkannya sertipikat guna menjamin kepastian hak karena sifat otentisitas dari surat kepemilikan atas tanah tumbuh sangatlah penting mengingat posisi dan kedudukan hukum dari kepemilikan tanah tumbuh yang dimiliki oleh masyarakat. Pendaftaran Tanah Tumbuh pertama-tama dilakukan permohonan kepada Kelurahan Kesenden Kecamatan Kejaksan Kota Cirebon, kemudian akan dikeluarkan SIM (Surat Ijin Menggarap) oleh Kelurahan dan dilanjutkan pendaftaran ke BPN Cirebon.

The Grows Land is formed due to soil sedimentation that occurs because of sediment. Where precipitates in the form of sand and silt carried by the flow of sea water to the mainland and then the waves did not fully reach the shore or the sediments that carried by the river water flow from upstream, empties into the ocean which restrained by vegetation Mangroove then gradually formed The Grows Land. The Grows Land can also be formed by growing human assistance that is by planting stakes of bamboo that tied together by a wire in order to resist the flow of sea water that brings such deposits. The Grows Land forms an empty land state or pure that can be best utilized by the people or by the state. For The Grows Land in the Kesenden Village of Kejaksan Sub-District of Cirebon city may be filed with the registration of land ownership to the Land Office whom will issue a certificate of Cirebon to guarantee certain rights because of the nature of The Grows Land authenticity letter ownership is growing very important considering the legal position and status of The Grows Land ownership that owned by the communities. The Grows Land Registry, first, made an application to the Kesenden Village of Kejaksan Sub-District of Cirebon City, then issued the SIM (Permit Handle) by the Village and continued enrollment into BPN Cirebon."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
T43074
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>